Selasa, 31 Desember 2013 09:42

Siaran Publik

Talk Show

“SEMAKIN ANDA PEDULI SEMAKIN ANDA LAKI-LAKI”


Di penghujung tahun 2013, Rifka Annisa mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan tidak juga mengalami penurunan yang berarti. Sepanjang bulan Januari-November 2013, Rifka Annisa mencatat telah terjadi 308 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara dari sekian banyak kasus tersebut, 239 kasus adalah kasus kekerasan terhadap istri. Kasus Kekerasan dalam rumah tangga sedikit banyak berpengaruh pada persoalan kesehatan perempuan.

Demikian pula dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan, setiap harinya terjadi 44 kasus ibu meninggal. Merujuk pada data Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah kematian ibu hamil, melahirkan dan semasa nifas yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2012 mencapaI 359 orang per 100.000 kelahiran hidup per tahun. Di Indonesia 4,5 juta bayi lahir setiap tahun, artinya lebih dari 16000 ibu meninggal tiap tahun.  

Dua persoalan tersebut hanya merupakan puncak gunung es karena masih jauh lebih banyak kasus yang tidak tercatat dan terlapor. Perihal kesehatan ibu dan anak masih dianggap bukan merupakan prioritas laki-laki. Selain itu, masih sedikit laki-laki yang mau peduli untuk menghapuskan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pemahaman laki-laki tentang keterlibatannya dalam kesetaraan gender serta pengasuhan anak pun masih minim. Akibatnya, masalah KDRT serta angka kematian ibu masih terkait satu sama lain dan saling berkelindan.

Upaya untuk melindungi perempuan dari kekerasan serta mendorong peningkatan kesehatan ibu dan anak memerlukan partisipasi bersama baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu melalui program Laki-Laki Peduli (Men Care) diharapakan ada penurunan angka kasus kekerasan terhadap perempuan serta peningkatan kesehatan ibu dan anak.

Program laki-laki peduli sendiri adalah bagian dari kampanye global Men care+ yang mempromosikan keterlibatan laki-laki sebagai mitra perempuan yang anti kekerasan, sebagai ayah yang peduli dan pengasuh yang berbagi tanggung jawab untuk mencapai kualitas hidup keluarga yang lebih sehat dan setara.
 
Tujuan:
•Mendorong partisipasi laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, KB dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan
•Mengkampanyekan Laki-Laki Peduli
•Mendorong keterlibatan laki-laki terlibat dalam pengasuhan anak
 
 Narasumber
•Bupati Kulonprogo “Kebijakan Kulonprogo Terkait Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak, KB dan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan”
•Rifka Annisa“Laki-Laki Peduli”
•DR. Indria Laksmi Gamayanti, MSi (Psikolog Anak) “Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Dampaknya terhadap Tumbuh Kembang Anak

Peserta
Peserta sebanyak 260 orang, peserta perwakilan desa, kecamatan, ormas, SKPD terkait se-Kab.kulonprogo

Jumat, 13 Desember 2013 13:53

Magang dan Penelitian


PROSEDUR MAGANG

 

  1. Mahasiswa menyerahkan permohonan magang resmi dari Universitas atau lembaga lain (surat pengantar) dilengkapi dengan proposal rencana kerja   magang yang ditujukan kepada Direktur Rifka Annisa selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum masa magang dimulai.
  2. Proposal yang diserahkan harus meliputi:
    1. Tujuan magang
    2. Manfaat bagi mahasiswa, universitas, dan lembaga
    3. Rencana kegiatan yang dilakukan termasuk timeframe dan outputnya
    4. Rancangan alat ukur atau tools lainya yang akan digunakan
  3. HRD berkoordinasi dengan Divisi yang dituju, juga untuk menentukan Supervisor (SPV) Magang.
  4. Setiap pemagang akan memiliki SPV di divisi yang dituju. SPV akan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama di Divisi yang dituju. Tugas SPV adalah:
    1. Membantu pemagang melakukan tugas magangnya dan mencapai tujuan magangnya sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
    2. Mereview pemagang di setiap akhir minggu dan akhir masa magang bersama dengan HRD.
    3. Memberikan nilai bersama-sama dengan HRD dan Manajer (jika ada penilaian dari Universitas)
  5. Mahasiswa wajib mengisi Form Permohonan Magang yang disertai fotokopi KTP, KTM, dan pas foto 3 x 4, 1 (satu) lembar di hari pertama magang.
  6. HRD dan Divisi yang dituju mengadakan sesi orientasi lembaga kepada mahasiswa magang selama 1 (satu) hari
  7. Mahasiswa magang selanjutnya mengikuti proses magang sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati antara pihak mahasiswa dan Divisi yang bersangkutan serta prosedur kerja yang berlaku dalam Divisi yang bersangkutan.
  8. Mahasiswa magang wajib melaporkan kegiatan yang telah dilakukan selama 1 (satu) minggu kepada SPV, Manajer Divisi dan HRD.
  9. Mahasiswa wajib mengkonsultasikan bahan laporan kepada SPV, Manajer Divisi, atau HRD.
  10. Mahasiswa wajib menyerahkan laporan yang sudah dipertanggungjawabkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah masa magang selesai.
  11. Durasi magang adalah min. 2 bulan, kecuali dengan beberapa kondisi dimana waktu 2 bulan tidak memungkinkan.
  12. Surat Keterangan Magang akan dikeluarkan sesuai permintaan dan jika pemagang telah menyerahkan laporan kepada Rifka Annisa.
  13. Mahasiswa magang wajib mengikuti tata tertib yang berlaku di lingkungan Rifka Annisa dan wajib menjunjung tinggi etika profesi.
  14. Lembaga berhak membatasi jumlah pemagang terkait dengan efektivitas, dan muatan pekerjaan tiap Divisi.

 

PROSEDUR PENELITIAN

Rifka Annisa melalui Divisi Penelitian dan Pelatihan atau Research and Training Centre (RTC) mendampingi penelitian yang akan dilakukan baik oleh mahasiswa maupun masyarakat umum. Hasil penelitian akan ditempatkan di Perpustakaan Rifka Annisa sehingga bisa diakses oleh siapapun yang memerlukannya sebagai referensi. Jika tema penelitian sinergis dengan apa yang sedang diangkat oleh Rifka Annisa, peneliti bisa diundang untuk mempresentasikan dan mendiskusikan penelitiannya di forum diskusi internal Rifka Annisa.

Adapun prasyarat yang harus dipenuhi oleh peneliti untuk bisa melakukan penelitian di Rifka Annisa adalah sebagai berikut:

  1. Membawa surat dari institusi/kampus.
  2. Menyerahkan proposal penelitian.
  3. Mengisi formulir penelitian (dari Rifka Annisa).
  4. Membayar uang jaminan penelitian sebanyak Rp. 120.000, - untuk mahasiswa S1, Rp. 150.000, - untuk mahasiswa S2, dan institusional fee untuk lembaga/umum yang nanti akan dikembalikan setelah hasil akhir penelitian diserahkan kepada Rifka Annisa dengan dipotong biaya administrasi/infaq untuk Rifka Annisa.
  • Jika diperlukan, Rifka Annisa akan memberikan data kasus yang ditangani oleh Rifka Annisa, profil lembaga Rifka Annisa, referensi yang bisa diakses di perpustakaan Rifka Annisa, dan wawancara dengan staf maupun klien Rifka Annisa.
  • Untuk wawancara dengan klien (korban dan pelaku kekerasan), akan dikoordinasikan terlebih dahulu dengan konselor Rifka Annisa terkait apa saja yang akan ditanyakan dan juga terkait apakah peneliti bisa melakukan wawancara langsung atau melalui konselor. Apabila setelah dipertimbangkan peneliti bisa melakukan wawancara langsung dengan klien, konselor akan melakukan briefing terlebih dahulu dan juga mendampingi selama proses wawancara. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien, seperti klien menjadi relapse atau ada dampak yang buruk secara psikologis.
  • Khusus untuk wawancara dengan klien, dikarenakan hal tersebut akan membuat klien harus datang ke kantor Rifka Annisa dan itu berarti klien meninggalkan pekerjaan atau aktivitasnya, maka peneliti harus memberikan kompensasi berupa uang transport yang langsung diberikan kepada klien setelah selesai wawancara, yaitu sejumlah Rp. 75.000, - jika rumah klien dekat dengan kantor Rifka Annisa dan Rp. 100.000,-  jika rumah klien jauh dari kantor Rifka Annisa. Hal ini tidak berlaku untuk wawancara dengan staf Rifka Annisa.
  • Peneliti diharapkan mengumpulkan hasil penelitian akhirnya dalam bentuk hard copy dan kemudian mengambil kembali uang jaminan penelitiannya. Rifka Annisa menyediakan surat keterangan telah melakukan penelitian dan surat-surat lain yang dibutuhkan.

Kasus kekerasan yang kian marak terjadi layaknya fenomena gunung es membuat segenap kalangan dari berbagai lapisan masyarakat khawatir. Terlebih, kasus-kasus tersebut mulai terjadi di lingkup kehidupan remaja. Tak jarang remaja menjadi pelaku ataupun korban kekerasan. Adanya lembaga-lembaga yang berperan dalam penanganan kasus kekerasan tersebut, dirasa masih belum dapat mengurangi tindakan kekerasan yang semakin merajalela.

Oleh sebab itu, Rifka Annisa bekerjasama dengan mitra Rifka Annisa di Banda Aceh (KKTGA), Makassar (LBHP2I), dan Jakarta (LBH APIK Jakarta), atas dukungan dari UN Trust Fund mengadakan pelatihan pendampingan teman sebaya atau biasa disebut Youth Camp yang betemakan “Sebarkan Cinta, Jauhi Kekerasan”. Acara pelatihan berlangsung selama 4 hari (5 – 8 Desember 2013) dan bertempat di Hotel UNY.

Terdapat 24 peserta yang mengikuti Youth Camp tersebut, masing-masing 11 peserta remaja laki-laki dan 13 peserta remaja perempuan. Mereka berasal dari berbagai daerah, yaitu Aceh, Jakarta, Gunung Kidul, dan Makassar. Pelatihan ini ditujukan agar para peserta mengetahui isu gender dan pelabelan (stereotyping), memahami terjadinya kekerasan terhadap perempuan (KTP), mengenali konstruksi sosial perempuan dan laki-laki, memahami karakteristik korban dan pelaku, mengetahui teknik-teknik dan keterampilan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan (KTP), dan memahami dasar-dasar melakukan pendampingan.

Banyak pengalaman yang didapat para peserta selama pelatihan. “Kami bisa belajar mengenai gender, isu-isu apa yang terjadi di daerah masing-masing, lalu mendapatkan banyak teman. Ada pun ekspektasi ke depan setelah mengikuti acara ini adalah kami bisa mengubah pola pikir masyarakat, terlebih di Makassar, daerah saya, masih banyak pernikahan dini yang kerap terjadi”, ungkap Risna, salah satu peserta pendampingan teman sebaya dari Makassar. Lain Risna lain Rita, peserta asal Gunung Kidul Yogyakarta. “Nantinya, saya ingin membuat pendampingan seperti ini juga untuk lingkup teman-teman saya, sehingga mereka mengetahui apa itu gender”, ujarnya.

Pengalaman pun juga tak hanya dirasakan para peserta, akan tetapi juga dirasakan oleh fasilitator dan panitia Youth Camp. Haryo, seorang fasilitator, mengungkapkan bahwa pengalaman menarik dialami pada saat dia berbagi kisah dengan para peserta mengenai kesetaraan gender. Pada intinya, kita belajar menjadi lebih baik juga bercermin pada pengalaman para peserta yang terdokumentasi melalui sharing. Begitu pun panitia Youth Camp Rifka Annisa, Fitri mengungkapkan bahwa, “Dengan diadakannya Youth Camp ini, kami mengharapkan tumbuhnya konselor-konselor muda dengan kisaran umur 17 – 24 tahun atau belum menikah, yang nantinya akan menjadi peer educator atau peer konselor untuk teman-temannya.”

Diharapkan dengan adanya Youth Camp ini, para generasi muda akan semakin lebih baik. Mereka mampu menghindari segala bentuk kekerasan baik seksual, psikis, maupun fisik. Dengan demikian, terciptalah generasi yang melek gender dan akhirnya kekerasan pun kian berkurang.[Oleh: Ratnasari Nugraheni, Relawan Rifka Annisa Wcc]

Budaya patriaki yang menempatkan kaum laki-laki sebagai prioritas utama dan dominan menjadi faktor penyebab sering munculnya kasus kekerasan terhadap perempuan. Ditambah lagi, upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan seringkali terganjal minimnya sumber daya manusia (SDM) di lapangan yang tersedia. Akses informasi mengenai kasus kekerasan pun sulit terdeteksi dengan sistem budaya timur yang menganggap pengaduan atas tindak kekerasan sebagai pembongkaran aib keluarga di masyarakat. Keterlibatan kaum laki-laki dan juga leader perempuan dalam mengatasi akar permasalahan tersebut dirasa sangat penting. Hal inilah yang melatarbelakangi Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Solok, Sumatra Barat melakukan kunjungan ke berbagai instansi-instansi di Yogyakarta guna menggali informasi lebih mendalam. Memiliki visi dan misi yang tak jauh berbeda dengan P2TP2A, Rifka Annisa menjadi salah satu tujuan kunjungan perjalanan P2TP2A kota Solok di Yogyakarta.

Tepat pukul 10.00 WIB, pada hari Kamis, 28 November 2013, di aula Rifka Annisa, Any Sundary, manajer Divisi Humas dan Media berdialog bersama anggota P2TP2A kota Solok di antaranya Zulmiyetti Zul Elfian (Ketua pelaksana P2TP2A), Ansimar (Wakil Ketua), Suhermi (Bendahara), dan Nelli Haryanti (Sekertaris). Tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan minimnya SDM yang tersedia menjadi topik utama dalam dialog tersebut.

Berdasarkan hasil data yang dihimpun oleh Rifka Annisa, kasus korban kekerasan yang melapor ke Rifka per-trimester ketiga tahun 2013 sudah mencapai 255 kasus. Bukan tidak mungkin angka tersebut akan terus merangkak naik di penghujung tahun 2013. Hal ini menjadi refleksi tersendiri, mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan terus bertambah?

Layaknya penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pepatah inilah yang menjadikan tindakan preventif sebagai kebutuhan utama. Sama halnya dalam upaya penghapusan tindak kekekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan tindakan preventif yang efektif. Sosialisasi dan survei langsung ke lapangan adalah dua contoh konkret dalam pencegahan kekerasan. Pada prakteknya, keterbatasan SDM yang menghambat kedua hal tersebut. Di Solok, anggota P2TP2A kewalahan menangani berbagai kasus karena keterbatasan relawan mengingat persoalan ekonomi juga menjadi salah satu kendala yang paling signifikan, sehingga kesadaran akan isu gender terabaikan. Adanya informasi palsu mengenai kebenaran kasus kekerasan menjadi faktor penghambat penghapusan kekerasan. Kemudian, permasalahan laki-laki yang merasa menjadi korban pun turut menambah bias suatu kasus kekerasan terhadap perempuan.

Menanggapi problematika tersebut, Any men-sharing-kan berbagai upaya yang telah Rifka lakukan dalam menghadapi persoalan tersebut. Pertama, dibutuhkan peran berbagai pihak, leader perempuan dalam suatu komunitas menjadi kunci utamanya. Pendampingan yang intensif kepada leader sangat diperlukan. Melalui pendampingan, lambat laun akan tumbuh kesadaran dan jiwa kerelawanan dari leader perempuan tersebut dan nantinya penyebaran informasi ke perempuan-perempuan lain dalam suatu komunitas akan mengalir secara bertahap. Leader ini pun nantinya akan menjadi agen yang efektif dalam pencarian data mengenai kekerasan. Rifka Annisa tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Agen-agen itulah yang menjadi sumber informasi. Dalam upaya menghindari indikasi informasi palsu, triangulasi data sangat dibutuhkan. Keterangan yang dikumpulkan tidak hanya berasal dari sisi korban, akan tetapi mencakup orang terdekat, keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya, menanggapi permasalahan mengenai laki-laki yang menjadi korban. Haryo, konselor psikologi untuk laki-laki di Rifka Annisa, ikut menanggapi. “Laki-laki yang menjadi korban memang ada, akan tetapi melalui penelusuran Rifka, ternyata laki-laki sudah terlebih dahulu melakukan kekerasan, sehingga munculnya kecenderungan untuk membalas dendam dari pihak korban perempuan”, ujarnya. Di Rifka, pelayanan laki-laki didampingi secara psikologis saat terjadi kasus di mana seorang istri korban kekerasan ingin rujuk. Rifka membantu dengan mengadakan konseling ke laki-laki untuk lebih memberdayakan dari sisi emosi dan cara berkomunikasi. Tujuannya bukan untuk penyelesaian kasus akan tetapi lebih ke proses bagaimana memperbaiki perilaku si laki-laki itu sendiri.

Diharapkan melalui keterlibatan laki-laki dan leader perempuan sebagai SDM pendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, angka kasus kekerasan tidak terus bertambah atau berada dalam kondisi stagnan tiap tahunnya. Akan tetapi, dapat berkurang secara bertahap [Oleh: Ratnasari Nugraheni, Relawan Rifka Annisa WCC]

*Oleh:Ratnasari Nugraheni

Kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak setiap tahun semakin meningkat. Terlebih lagi munculnya fenomena pernikahan dini di kalangan masyarakat. Tak ayal, kondisi tersebut menjadi faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk di negara tetangga yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, Timor Leste. Sudah lebih dari 11 tahun merdeka, Timor Leste semakin berbenah dengan banyak melakukan studi banding ke beberapa instansi-instansi di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan kunjungan ke Rifka Annisa pada hari Selasa, 26 November 2013. Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda resmi tahunan yang telah dicanangkan Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik (Komisi Perlindungan Hak Anak) yang berada di bawah naungan Ministeriu Justisa Timor Leste (Kementrian Kehakiman Timor Leste).
Kegiatan kunjungan empat delegasi Timor Leste diisi dengan sharing dan diskusi di aula Rifka Annisa yang terbagi dalam 3 sesi. Sesi pertama berkaitan dengan informasi pengantar mengenai latar belakang Rifka Annisa sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dibawakan oleh Any Sundari selaku Manajer Divisi Media dan Humas Rifka Annisa.
Antusiasme para delegasi terlihat jelas, terutama saat salah seorang dari mereka, Paskuela, menanyakan isu kekerasan. “Sejauh mana Rifka Annisa menangani kasus kekerasan dan mengapa korban akhirnya kembali ke pasangan?” tanya perempuan paruh baya tersebut. Any menanggapi hal tersebut dengan memaparkan beberapa kasus di mana perempuan merasa tak berdaya. Tak sedikit kasus perempuan mengalami kekerasan pra-menikah dan pasca-menikah. Adanya pelabelan gender yang diskriminatif membuat perempuan tergantung pada pasangannya. Dalam kondisi inilah perempuan merasa bimbang dan bingung mengenai keputusan akan dirinya sendiri. Banyak pandangan-pandangan di mana perempuan merasa tidak mampu menjalani hidup soliter setelah perceraian, terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Kecenderungan dependensi inilah yang memicu perempuan memilih untuk kembali ke pasangan. Di sinilah Rifka Annisa berperan dalam mendampingi perempuan korban kekerasan sampai pada saat mereka sudah kembali ke pasangan ataupun bila memutuskan bercerai.
Kemudian diskusi berlanjut ke sesi kedua bersama Lisa Oktavia, Konselor Hukum Rifka Annisa. Di sesi ini, para delegasi banyak mendapatkan informasi mengenai sistematika dan birokrasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Sistem kerjasama yang terintegrasi ke instansi-instansi terkait, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah, menjadi kunci kesuksesan dalam penanganan kasus kekerasan. Pemerintah Timor Leste sampai saat ini belum mengesahkan Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik sebagai komisi pemerintahan mengingat belum ada nota kesepahaman (MOU) yang mengikat. Hal inilah yang menjadi hambatan untuk membuat rujukan-rujukan seperti sistematika kerjasama yang telah ditempuh Rifka Annisa baik dengan pihak rumah sakit, aparat kepolisian, maupun instansi terkait lainnya. Lebih jauh, Lisa memaparkan bahwa sistem rujukan yang terintegrasi tersebut berawal dari insiatif kerjasama antara Rifka Annisa, departemen kesehatan, dan kepolisian. Setali tiga uang, dinas-dinas lain mulai tertarik, sehingga kerjasama pun terbentuk secara otomatis.
Usai makan siang, rangkaian acara dilanjutkan dengan sesi ketiga bersama Any Sundari yang mengangkat topik isu, dampak, dan tindakan preventif kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai akibat adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, yaitu perbedaan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sampai saat ini, upaya penghapusan kekerasan berbasis gender masih stagnan mengingat eskalasi kekerasan yang terus  menerus terjadi. Tindakan preventif untuk mengurangi kasus kekerasan tersebut adalah melalui upaya perlindungan hukum dan sosialisasi sedini mungkin kepada masyarakat.
Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik di Timor Leste sudah mencoba mensosialisasikan upaya penghapusan kekerasan di beberapa daerah. Upaya penghapusan kekerasan melalui hukum pun tak luput menjadi sorotan. Melalui konstitusi, pelaku kekerasan di Timor Leste mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal yaitu 20-25 tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera dan berdasar bahwa seorang pelaku kekerasan itu telah mencoba mengambil hak hidup seseorang. Walaupun demikian, kasus kekerasan masih saja bertambah. Rifka Annisa pun memberikan saran bahwa tindakan preventif yang dapat ditempuh dengan menanamkan pengetahuan untuk orang-orang di pemerintahan atau kementerian melalui data-data di lapangan ataupun riset. Data-data tersebut dapat digunakan sebagai proses pembelajaran untuk memprediksi apa yang akan terjadi 10-20 tahun mendatang apabila tindakan kekerasan tidak dicegah. Dengan demikian, pemerintah terdorong untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang dapat digunakan untuk mencegah semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan atau anak.
Kegiatan kunjungan pun berlanjut dengan touring para delegasi di kantor Rifka Annisa ke ruang pendampingan konseling, guest house, dan perpustakaan Rifka Annisa. Acara berakhir dengan pemberian cenderamata dari Rifka Annisa berupa buku-buku dan majalah terbitan Rifka. Pihak delegasi pun memberikan cenderamata berupa kain tenun khas Timor Leste, Tais. Diharapkan melalui kegiatan kunjungan ini terjalin sebuah kerjasama antara Komisaun Nasional Direitu Ba Labarik Timor Leste dengan Rifka Annisa dalam upaya penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak. Dengan demikian, angka kekerasan dapat ditekan dan berkurang secara berangsur-angsur.

42480401
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2434
10509
173931
156663
42480401