Kamis, 24 April 2014 13:19

Bedah Remaja Pembangkang Melalui Buku

Oleh: Ratnasari Nugraheni
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Rabu (23/4), diskusi buku rutin yang diagendakan Rifka Annisa tiap minggunya kembali diadakan, pemantik diskusi kali ini adalah Niken Angrek Wulan. Bedah buku ini berkaitan dengan kehidupan dan kecenderungan remaja melanggar aturan-aturan di sekolah. Buku berjudul “Middle School the Worst Years of My Life” diterbitkan oleh Mizan Publika tahun 2013, karangan James Patterson dan Chris Tebbetts.

Daya tarik buku ini terletak pada penggambaran karakter utama, Rafe,  sebagai sosok remaja pembangkang di sekolahnya. Pembaca diajak untuk menggali lebih dalam mengenai penyebab yang membentuk sikap dan sifat negatif tersebut. Meski termasuk dalam salah satu novel yang bergenre fiksi, pengaplikasian ilmu-ilmu psikologi dalam cerita semakin membawa pembaca lebur ke dalam cerita. Pembaca tertantang untuk memaknai unsur-unsur intrinsik cerita. Sangat disarankan kepada pembaca untuk tidak mentah-mentah memaknai sikap dan sifat karakter dalam buku ini.

Selain itu, diskusi juga berjalan semakin dinamis karena peserta diskusi yang hadir terlihat sangat antusias pada topik yang yang dibawakan oleh Niken. Ari mengungkapkan, “Sebenarnya proses pembelajaran bukan harus dari hal-hal positif, hal-hal buruk juga memberikan pembelajaran.” Ari menilik kembali proses pembelajaran dalam hidupnya dan mengaitkannya dengan kondisi karakter utama, Rafe.

Dibalik hal-hal negatif yang pernah dilakukan remaja semasa di bangku SMA, pastinya remaja akan menerima akibat-akibat tertentu atas perbuatannya tersebut. Pada fase inilah remaja seharusnya berintrospeksi dan melakukan internalisasi diri. Sehingga, remaja dapat memetik buah-buah kebaikan atas kenakalan remajanya.

Kamis, 24 April 2014 01:55

Memaknai Kata Emansipasi Perempuan

Oleh : Diana Putri Arini
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.21 April merupakan hari nasional Indonesia untuk memperingati R.A. Kartini, seorang perempuan kelahiran Jepara yang dianggap pelopor gerakan emansipasi perempuan. Nama Kartini bukan hanya dijadikan hari nasional, melainkan juga menjadi lagu. Disana kemudian timbul pro dan kontra dari masyarakat sendiri, mengapa harus Kartini? Kenyataannya sebelum Kartini sudah ada pahlawan perempuan lainnya dari tanah luar Jawa yang sudah melakukan pelopor gerakan perempuan. Sebutlah Cut Nyak Dien dari Aceh yang mengusir Portugis dari tanah Aceh atau Christina Marta Tiahahu dari Maluku yang berupaya melakukan penyerangan terhadap Portugis. Memang sejarah Indonesia terkesan Jawa-sentris dengan sendirinya menganggap remeh fakta-fakta di luar Jawa.  

Jika Kartini pada tahun tersebut baru bisa berdiskusi, mempunyai visi besar, surat-menyurat dengan teman-temannya di Belanda dalam rangka memperluas wawasannya, dan mengajar di kediamannya. Maka Laksamana Malahayati, para perempuan Aceh sudah melakukan penyerangan terhadap bangsa penjajah. Menurut Hamka (1996) di seluruh tanah air kita, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka turut aktif dalam perang, mereka menyediakan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka. Dari pendapat Hamka, dapat kita ambil kesimpulan bahwa ruang gerak perempuan-perempuan Aceh sangat luas, tidak berbeda dengan kaum lelaki, hal inilah yang mempengaruhi cara berpakaian mereka.

Kartini berasal dari priyayi Jawa yang hidup dalam kultur keraton Jawa yang menganggap perempuan hanya pantas untuk tiga tempat yaitu : dapur, sumur dan kasur. Dalam kultur yang memisahkan peran kaum perempuan dan laki-laki, Kartini memberontak budaya yang mengekangnya saat itu.  Di zaman tersebut, Kartini beranggapan bahwa perempuan juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama seperti kaum laki-laki. Sayangnya, banyak anggapan salah mengenai makna emansipasi perempuan yang disebut Kartini. Suatu kesalahan keliru jika menganggap Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti paradigma Barat.
 

Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menuliskan pendidikan bagi perempuan  bukan upaya untuk bersaing dengan kaum lelaki, namun pendidikan adalah upaya agar perempuan bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Karena anak-anak yang baik dan berkualitas hanya terlahir dari ibu-ibu terdidik, bukan ibu yang bodoh. Memaknai emansipasi perempuan bukan dengan mengadakan kontes kencantikan, kontes memasak, kontes berhias seperti ratu sejagad dan lainnya. Jika Kartini hidup di zaman sekarang dan melihat bagaimana hari Kartini diperingatkan dengan kontes kecantikan, dia akan mengkritik dengan keras pemaknaan emansipasi perempuan.

Kontes kecantikan, memasak, memakai kebaya hanya akan memisahkan garis besar antara peran lelaki dan perempuan sendiri. Seolah mengatakan hari Kartini hanya untuk perempuan. Dalam perjuangan Kartini untuk membuka wawasan kaumnya, tidak terlepas dari peranan suaminya yang membantu secara materill dan kongkrit terhadap perjuangannya seperti menyediakan ruangan untuk Kartini mengajar, mengizinkan Kartini untuk memperluas gerak ruangnya tidak hanya dirumah. Memaknai hari Kartini adalah lepas dari kegelapan, kegelapan yang dimaksud adalah kebodohan dan rasa tidak tahu. Sambut hari terang dengan pengetahuan dan ilmu bermanfaat untuk kita sendiri, orang-orang disekitar kita dan generasi setelah kita.

Refrensi :

Hamka.1996. Peradaban Lama. Jakarta : Pustaka Panjimas
Prianaderi.2012.Emansipasi Wanita di Era Globalisasi.     http://prianaderi.wordpress.com/2012/05/29/emansipasi-wanita-di-era-globalisasi. diakses tanggal 22 April 2014 jam 19.00

Kamis, 24 April 2014 01:52

Hari Buku, Jangan Lupa Baca Buku!

Oleh : Any Sundari
Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Mari kita bicara tentang buku. Tepat tanggal 23 April, ada peringatan hari buku internasional. Peringatan hari buku internasional mengantarkan kita untuk melihat bahwa buku tak sekedar buku, yang berisi ratusan kertas bertumpuk dan tergores tinta didalamnya. Ia adalah ruang muka ilmu dan siapa yang menyinggahinya maka ia masuk dalam kaum pembaharu.

Dan tadi pagi pukul 10.00 di Ruang Konfrensi University Club UGM, ada Sosialiasi tentang keikutsertaan Indonesia dalam Frankfrut Book Fair (FBF). Indonesia berkesempatan untuk menjadi Guest of Honour pada tahun 2014-2015. Pada acara itu, Indonesia diberikan kesempatan langka untuk memamerkan buku-buku karya penulis Indonesia ataupun penerbit dalam negeri yang ingin memamerkan buku terbitannya, yang tentu melalui proses seleksi terlebih dahulu. Bagi saya, ini kesempatan langka, jarang-jarang ada event besar seperti ini di UGM, pembicaranya mulai dari Wakil Menteri Pendidikan, ada Komite Harian FBF  Agus Maryono hingga si budayawan Goenawan Mohamad.

Acara ini mengetengahkan dorongan bagi para penulis dan penerbit untuk ikut serta dalam FBF. Tentu, FBF bukan event buku biasa, ada 500.000 ribu pengunjung, 7000 penerbit dari 114 negara di dunia datang ke Frankfurt. Karya-karya literasi dari Indonesia nantinya akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Jerman serta bisa dijual copyright-nya. Penulis dan penerbit pun punya kesempatan terbang ke Frankfrut untuk mempresentasikan bukunya. Selain buku yang dipamerkan, akan ada pertunjukan budaya dari Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, para pembicara menjelaskan bahwa festival ini bertujuan untuk membangkitkan gerakan literasi bangsa Indonesia, artinya ia tak sekedar seremonial bila Indonesia ikut dalam acara tersebut. Niat baik ini harus kita dorong, tetapi jangan lupa ada beberapa aspek yang mungkin perlu kita baca ulang.

Ya, pemerintah kita sangat terkenal dengan birokrasi yang berbelit dan pelit. Potong sana sini, soal anggaran tentu saja. Belum lagi, acara ini diadakan pada masa genting untuk tahun politik. Cukup menganggetkan pemerintah tetap maju mengikuti acara ini. Karena yang akan menikmati manfaat dari acara ini secara politis adalah orang-orang yang duduk di pemerintahan pasca 2014.

Selain itu, pemerintah kita punya kebiasaan pamer lalu bubar. Ikut pentas dunia, lalu tak ada kelanjutan. Sebuah ide tak teresebarkan pada taraf penyebaran wacana dan praktek perilaku. Rendahnya literasi Indonesia tak bisa diubah dalam semalam, tak semudah mengayunkan tongkat Nirmala. Ikut pameran buku di Frankfurt tak akan ada artinya jika anak-anak di daerah pedalaman Papua, Sulawesi, atau Kalimantan masih harus menempuh puluhan kilometer, menantang bahaya di hutan hingga ancaman terseret arus sungai karena tak ada jembatan. Ya, sekali lagi mungkin kita harus mengingatkan pemerintah, oh tidak, kita sudah hafal kata mengingatkan, sekarang kita uji komitmen pemerintah, seperti ia menguji anak-anak di pedalaman Papua, Sulawesi dan Kalimantan dengan ujian negara (UN)

Saya bukan pesimis, tapi rendahnya minat baca dan menulis menjadi hal yang krusial. Angka buta huruf kita kata Goenawan Mohamad tadi ada 93%, tetapi seberapa besar melek huruf itu berpengaruh pada minat literasi, baik membaca ataupun menulis? Mungkin Goenawan juga menyengitkan dahi.
Tapi bukan, bukannya saya tidak yakin, hanya lihat kenyataan kok. Hari ini kita bisa mendongak ke atas dan bicara literasi di tingkatan dunia tetapi mari jangan lupa melihat ke bawah,  di negeri ini masih banyak buku yang dilarang terbit, karena dianggap komunis, berbahaya laten dan mengganggu ketertiban umum.

Sudah ya, yang jelas saya mengucapkan selamat hari buku internasional, hari ini jangan lupa baca buku. Adilah pada buku, jangan lagi menumpuknya di rak. Jangan pernah terbesit membakarnya, berikan ke orang atau saya, jika Anda tak sudi membacanya.

46432235
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5109
11907
284480
306641
46432235