Gunungkidul – The issue of child marriage may no longer be a new issue but it has been a problem that has not been resolved until now. Many teenagers do not really understand what an child marriage is and the bad effects of having an marriage in early age. According to the problem, it needs a accompaniment for young generations to increase their understanding.

In this case, Rifka Annisa actively conducts discussions with the teenagers. The topic for each discussions are different. Rifka Annisa held a discussion with teenagers in the Kepek village Saptosari district Gunungkidul regency to prevention child marriage, on Sunday (23/7).

In the discussion program, Rifka Annisa explained to adolescent about prevention of child marriage. The discussion was guided by Khoirun Ni'mah as Public Relations and Media of Rifka Annisa staff who also often held discussions with youth and students in Rifka Goes To School (RGTS) program. Nurmawati as the Manager of Community Organizing and Advocacy Division of Rifka Annisa also attended it.

During the two hours of discussion, the participants did not only get informations but also make a group discussions. The participants were divided into group of girls and groups of boys to discuss child marriage and its impacts, as well as to see the comparison between boys and girls thinking in understanding child marriage.

The result of the group discussion was nearly 80% of participants understood the child marriage and its impacts. “The cause of child marriage is pregnant out of wedlock. If a girl is already pregnant, she usually is married although she is still a child, but that's coercion from parents. It happens when she has a rich boyfriend, so the parents urge her to get married because of economic factors. Then the impacts are she is vulnerable to disease, experience violence, has economic crisis, etc,” said Putri, one of the participants who is junior high school student.

“It usually occur because of parents want to have grandchildren quickly, also social pressure. It could be because a child marriage is considered to be common in the social environment. The effects are divorce, easy to fight because of their mindset are still unstable, troublesome parents, and low economy  condtion,” added Mulyanto, one of the participants from boy group.

Although the participants have correctly understand the child marriage, there is no guarantee that they are free from vulnerability to be victim because it always requires intense control and guidance. Based on realizing the very harmful impacts, Rifka Annisa seeks to join teenagers and society to change the paradigm. That Rifka Annisa`s program are certainly very positive contribution for Indonesia and the surrounding community because Rifka Annisa have a active role to protect children and the nation's generation. (Lamtiar Tambunan)

Translated by Ana Widiawati

Gunungkidul – The members of Forum for Handling Victims of Violence against Women and Children (FPK2PA) often face difficulties to implement their work plan. The main difficulty is coordination. Members feel lack of coordination therefore the program work plan is hampered in its implementation. Such problems also faced by the FPK2PA in Ngalang District, Gedangsari, Gunungkidul.

           “This is our weakness. We need to improve cooperation in program implementation,” Ayuk said – one of the FPK2PA Ngalang member on program work plan coordination meeting in Rumah Pintar, Saturday (22/7). This meeting was also attended by Kaderi as Ngalang headmen and Eko Sutardi from Public Welfare division.

            Moreover, Ayuk also said that the member of FPK2PA in village level during program implementation always waiting the instruction from the coordinator. Thus, she hope the other member to commit and be responsible for the planning that already agreed.

            Furthermore, the problems are miscommunication and the lack of coordination with the coordinator. Heni as the coordinator of FPK2PA Ngalang revealed the member is allowed to take initiative and communicate to the coordinator if she is busy to coordinate. Therefore, the coordinator highly suggest to the member to be able to conform about this difficulty in order to make the work plan implemented.

            Meanwhile, Ani Rufaida as the facilitator from Rifka Annisa suggested optimize the use of WhatsApp if the condition is impossible to meet directly. “So we don’t need to wait the coordination”, Rufed- nick name of Ani Rufaida-said. The facilitator underlined to make serious effort for maximizing coordination and communicate each other.

            The meeting attended by 10 members to discuss the close planning agenda such as headmen training and family contest. The headmen training will be held in August 12th 2017 and the family contest will be held in August 27th. (Ana Widiawati)

 

Translated by Laras Intansari

Wednesday, 26 July 2017 17:27

Kasus Kekerasan Seksual Melonjak

WATES - Kasus kekerasan seksual pada anak di Kulonprogo setiap tahun terus meningkat. Beberapa hal ditengarai menjadi penyebabnya, seperti budaya yang menganggap perempuan sebagai objek seksual, kesepian, sampai penetrasi internet yang semakin masif sehingga akses ke pornografi semakin terbuka.

Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kulonprogo mencatat, pada 2015 terjadi 15 kasus kekerasan seksual, meningkat menjadi 23 kasus pada 2016. Sedangkan sampai Juni 2017 telah terjadi 16 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual bahkan menduduki peringkat pertama untuk segala macam jenis kekerasan di Bumi Menoreh.

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinsos P3A Kulonprogo, Woro Kandini menyatakan, pelaku kekerasan seksual pada anak cukup beragam. Begitu pun jenis dan umur anak yang menjadi korban. "Jenisnya cukup mengerikan untuk diceritakan. Pada 2017, di Kulonprogo telah terjadi empat kasus ayah kandung yang memperkosa anaknya sendiri. Belum lagi kasus lain seperti seseorang yang memperkosa anak tetangga atau yang mencabuli temannya sendiri. Bahkan pada Maret lalu, ada anak usia tiga tahun yang menjadi korban," ucap Woro Kandini, Jumat (21/7).

Woro Kandini menyebut, ada berbagai hal yang membuat kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat, salah satunya pandangan sebagian masyarakat yang menganggap perempuan sebagai objek seksual. "Tayangan konten porno di internet juga menjadi satu penyebab, karena sangat memengaruhi perilaku seseorang. Tapi ada juga penyebab lain seperti kesepian dan lainnya. Penyebabnya memang cukup beragam tapi internet yang paling keras pengaruhnya," ujar Woro Kandini menambahkan.

Untuk menekan tingginya kasus ini, Dinas Sosial P3A Kulonprogo terus berupaya untuk menyosialisasikan Perda No.7/2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Sosialisasi dilakukan agar masyarakat tidak lagi bertindak sewenang-wenang terhadap anak, karena sudah ada peraturan yang bisa menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.

Konselor psikologi Rifka Annisa, Budi Wulandari menyampaikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung akan mengalami tindakan yang sama secara berulang, karena takut ancaman dari pelaku. Ancaman tersebut seperti kekerasan dalam bentuk lain atau penyebarluasan aib.

Ia mengatakan kekerasan seksual pada anak tidak akan langsung diketahui sampai muncul dampaknya bagi korban, misalnya anak yang biasanya ceria menjadi pendiam, sering cemas, ketakutan dan lainnya. "Kalau keluarganya peka pasti akan langsung menggali untuk mencari tahu apa yang terjadi," ujar Budi Wulandari.

Untuk menekan kasus ini, harus ada sinergi antara Pemkab Kulonprogo, aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemerintah harus menghimbau masyarakat agar melaporkan semua tindak kekerasan pada anak, dan sebaliknya masyarakat harus aktif melaporkan.

I Ketut Sawitra Mustika

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Sumber: Harian Jogja, Sabtu 22 Juli 2017

Wednesday, 26 July 2017 17:26

Puluhan Anak Berurusan dengan Hukum

GUNUNGKIDUL - Kasus kejahatan melibatkan anak masih tinggi. Berdasarkan data dari kepolisian setempat, dalam kurun waktu 2015 hingga 2017 ada puluhan anak berurusan dengan hukum.

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Gunungkidul mencatat pada 2015 jumlah kasus 16. Setahun kemudian naik menjadi 27 kasus. Tahun ini sampai 1 Mei tercatat delapan anak terimpit kasus hukum. "Anak-anak menjadi korban sekaligus pelaku kejahatan," kata Panit Humas Polres Gunungkidul, Iptu Ngadino kemarin (1/5).

Jumlah kasus bervariasi, mulai pencurian dengan kekerasan hingga pencabulan. Jumlah korban didominasi anak perempuan. Maraknya tindak kejahatan melibatkan anak harus menjadi perhatian bersama. Selain itu, idealnya ada upaya pencegahan. "Pencegahan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tapi semua pihak harus terlibat. Sehingga kasus yang muncul dapat ditekan," ujar Ngadino.

Selama 2015 hingga 2017 tercatat 35 kasus kejahatan yang melibatkan anak. Pada 2017 unit PPA menangani delapan perkara. Satu anak terlibat pencurian dengan kekerasan, enam kasus persetubuhan dan pencurian satu kasus.

Kami berharap orangtua lebih waspada. Menjaga anak terutama yang mulai tumbuh dewasa karena rentan menjadi korban dan pelaku kejahatan. Pengawasan intensif mendesak dilakukan. "Bagaimana pun kesibukan orangtua, perhatian dan pengawasan terhadap anak harus diutamakan," kata Ngadino.

Manajer Humas dan Media LSM Rifka Annisa, Defirentia One, prihatin dengan tingginya kasus kejahatan melibatkan anak. Dari data yang dimiliki Rifka Annisa, selama 2016 terdapat 43 anak menjadi korban kekerasan. "Kasusnya meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, perdagangan anak serta kekerasan dalam pacaran," kata Defirentia.

Sebanyak 70 persen merupakan perkara kekerasan seksual, 16 diantaranya telah memiliki putusan hukum tetap. Rata-rata untuk kasus seksual anak, hukuman bagi pelaku tujuh tahun penjara.

Namun ada juga kasus yang dihentikan penyidikannya. Korban merupakan anak 12 tahun sementara pelaku dewasa. Penyidikan dihentikan karena hasil pemeriksaan kejiwaan menunjukkan pelaku terganggu jiwanya.

"Ada juga perkara dicabut karena ada kesepakatan damai kedua pihak. Laporan dicabut karena dinikahkan dengan pelaku," kata Defirentia. (gun/iwa/er)

Sumber: Jawa Pos Radar Jogja, Selasa 2 Mei 2017

Yogyakarta (20/7) Poltekes (Medical Polytechnic) of Yogyakarta visited Rifka Annisa Women Crisis Center as a forum to gain knowledge or obtain clear information especially on cases of victims of violence faced by women and children. A total of 36 female students and 2 lecturers from Poltekes attended the visit and discussion.

"Our aim is that when we visit Rifka Annisa, students can find out what methods will be done when facing violent cases," said Niken, one of the lecturers at Poltekes Yogyakarta.

In the meeting, Suharti as director of Rifka Annisa present subjected related to Rifka Annisa and explain some cases handled by Rifka Annisa. In addition to Suharti, Khoirun Ni'mah as a staff of Media Public Relations Division also gave exposure to media facilities used by Rifka Annisa to promote and prevent violence against women. In addition, Sabar Riyadi as male counselor at Rifka Annisa also shared stories about the cases that in the institution.

In the meeting, it was also clearly conveyed about the background of the establishment of Rifka Annisa institutions, founding figures as well as vision and mission of the ecological framework system Rifka Annisa. In addition Suharti also showed the results of research that has been conducted by Rifka Annisa. Clear information obtained by Poltekes Yogyakarta in accordance with expectations and some questions asked by participants. Suharti also explained various methods that can be used by the health officer in dealing with the cases of violence against women and children. "Whether it is sexual violence, rape, or obscenity, the victims can get proper help," Suharti added. (Lamtiar Tambunan)

Translated by: Ana Widiawati

44152094
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6214
55056
216215
276576
44152094