Halo Rifka Annisa,
Saya YP, sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Dua tahun terakhir ini saya mempunyai permasalahan rumah tangga yang akhirnya saya dan suami sepakat untuk mengakhiri perkawinan kami dengan percerain. Dalam perkawinan kami selama 11 tahun kami memiliki rumah dan kendaraan. Namun tanah dimana rumah itu berdiri adalah pemberian ( warisan ) dari orang tua saya. Yang ingin saya tanyakan dalam rubric ini bagaimana cara membagi harta bersama dan apakah Saya bisa meminta agar harta bersama diatas namakan anak kami yang masih berumur 11 tahun? Atas penjelasannya Saya sampaikan terima kasih.
Jawaban:
Sdri YP, kami ikut prihatin dengan permasalahan saudari. Namun apabila memang sudah menjadi keputusan bersama untuk mengakhiri perkawinan kami berharap keputusan itu telah dipikirkan masak-masak dan semoga menjadi keputusan terakhir yang terbaik.
Harta bersama dan pembagiannya setelah perceraian telah di atur dalam UU Perkawinan. Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan dalam pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan menyatakan harta bawaan masing-masing yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan dibawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para Pihak tidak menentukan lain.
Dengan lain perkataan jika Sdri Yp dan suami membuat perjanjian yang menyatakan semua harta yang diperoleh selama perkawianan baik yang diperoleh dari warisan atau hadiah menjadi harta bersama maka ketentuan yang terakhir tersebut menjadi tidak berlaku.
Apabila proses perceraian harus melalui sidang di Pengadilan maka tidak demikian halnya dengan pembagian harta bersama karena pembagian harta bersama dapat melalui musyawarah kedua belah pihak. Namun karena Sdri Yp dan suami telah bersepakat berpisah dengan baik-baik maka tidak ada salahnya jika dibuat kesepakatan yang didalamnya memuat kesepakatan pembagian harta bersama.
Banyak pasangan yang bercerai memberikan harta gono-gininya kepada anak-anaknya. Hal ini dapat saja dilakukan. Mengingat anak Sdri masih kecil, sebaiknya salah satu pihak diserahi untuk menjadi penjaga harta benda tersebut sampai anak-anak itu dewasa dan boleh meiliki harta benda sendiri.
Namun demikian hendaknya semua ketentua dan syarat lainnya dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri. Didalamnya bisa dimuat pula kesepakatan tentang biaya pemeliharaan dan pendidikan anak serta akses kunjungan keduanya terhadap anak tersebut.
Saya Tina (bukan nama sebenarnya), saya lahir tahun 1962, saya menikah pada tanggal 2 Maret 1984, kami sudah dikaruniai 2 orang anak, sampai 12 tahun usia pernikahan saya, keluarga kami harmonis dan bahagia kalaupun ada konflik kami selalu mampu menyelesaikan dengan baik.
Namun pada bulan April 1997 tiba-tiba suami saya selalu mencari masalah, walaupun demikian saya menanggapinya dengan santai dan tidak terlalu serius, seringkali sambil senda gurau saya berkata “Pak! Keluarga sudah tentrem, kok suka cari-cari” (mencari masalah, red.). Namun sampai bulan Mei tidak ada perubahan kok malah semakin parah, dia semakin membenci saya. Dalam keadaan seperti ini saya kerapkali merenung, barangkali saya yang salah, tapi toh saya tidak menemukan kesalahan yang saya perbuat, hingga suatu ketika saya sakit dan tentu saja fisik saya lemah, saya pesen sama anak-anak dan suami kalau hari ini saya tidak bisa diganggu karena mau istirahat, dan semua keperluan agar dikerjakan sendiri.
Situasi ini justru dimanfaatkan suami saya untuk memvonis bahwa saya adalah istri yang tidak baik, karena tidak mau disuruh, tidak setia, disamping itu suami saya juga menganggap saya suka mendikte. Hal ini disebabkan karena di keluarga kami saya lah yang mencari uang sehingga saya tidak akan memberi suami uang kalau tidak untuk keperluan penting.
Situasi ini terus berlangsung hingga saya merasa perlu untuk mencari sebab-sebabnya. Ternyata suami saya memiliki WIL (wanita idaman lain, red.), sebut saja Dewi (juga bukan nama sebenarnya). Maka saya segera membicarakan hal ini dengan keluarga saya dan keluarga suami saya. Dan, kepada keluarga Dewi, saya berusaha untuk njlentrehke (menjelaskan) bahwa laki-laki yang dicintainya itu sudah punya istri.
Tampaknya keluarga Dewi sepakat untuk memutuskan hubungan anaknya dengan suami saya. Tapi ternyata yang terjadi sebaliknya keluarga justru mempercepat kelangsungan pernikahan mereka.
Dalam kasus ini 90% tetangga-tetangga saya mendukung saya. Demikian juga halnya kakak dan keluarga saya bahkan mertua saya. Bentuk dukungan yang diberikan lebih bersifat Rohani, agar saya berserah kepada Tuhan. Namun dalam benak saya dukungan rohani memang penting tapi harus dibarengi ikhtiar atau usaha. Atas pertimbangan kakak saya akhirnya saya bisa berhubungan dengan Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Setelah berkonsultasi dengan Rifka Annisa saya menemukan alternatif pemecahannya. Salah satunya adalah mengambil upaya hukum untuk memisahkan suami saya dengan Dewi, yang sudah menjadi istrinya. Tindakan ini saya ambil atas dasar keyakinan bahwa suami saya itu masih mencintai saya dan anak-anak.
Akhirnya dengan dukungan Rifka Annisa WCC saya mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan suami saya. Karena pernikahan itu dilangsungkan tanpa persetujuan saya. Setelah gugatan saya diproses dan dimenangkan pengadilan ternyata belum dapat memisahkan suami saya dengan Dewi, justru suami saya dibawa ke rumah keluarga Dewi tersebut.
Melihat keadaan seperti ini saya berniat akan melaporkan hal ini ke kepolisian bahwa suami saya telah memalsukan KTP dan akte Nikah. Mendengar ancaman saya, suami saya malah mengejek kalau laporan saya itu tidak laku. Mendengar ejekan itu tentu hati saya menjadi panas. Maka tidak ada pilihan lain kecuali melaporkan suami saya. Dan akhirnya suami saya diproses di pengadilan dengan tuduhan memalsukan KTP dan Akte nikah. Akhirnya suami saya dipenjara 7 bulan.
Dengan dipenjarakannya suami saya, saya berharap mereka dapat terpisah dan selama dalam penjara, suami saya dapat menyadari bahwa tindakannya selama ini keliru. Tetapi, yang lebih penting lagi, sekeluarnya dari penjara dia dapat berkumpul kembali dengan saya dan anak-anak.
Saya berterima kasih sekali kepada Rifka Annisa karena dengan bantuannya saya mendapatkan jalan. Saya akui, saya orang yang tidak tahu. Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya tidak mendapatkan dukungan teman-teman Rifka Annisa. Barangkali saya akan menyerah pada keadaan. Saya yakin bahwa Tuhan telah membantu saya melalui Rifka Annisa.
Dengan kesaksian ini, saya berharap agar perempuan yang senasib dengan saya tidak lagi diam. Kita harus meraih hak-hak kita, karena saya yakin batin setiap perempuan yang diperlakukan seperti saya akan tersiksa dan meronta. Mungkin secara fisik diam tapi dalam batin pastilah berontak. Di samping itu, tentunya kita perlu juga berserah diri pada Tuhan. Karena Tuhan akan memberikan kekuatan. Tanpa pertolongan-Nya kita tidak akan bisa apa-apa.
Sebagaimana diceritakan kepada Boim dan Uta
Tiada henti, badai derita menimpa rumah tanggaku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal menikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintainya walau ia sempat masuk jeruji besi.
Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku.
Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku.
Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai perempuan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mereka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku.
Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga.
Sebagaimana diceritakan kepada Purnawanti - Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa
Download buku disini
Download buku disini