Salam Rifka Annisa, kakak saya memiliki masalah di tempat kerja, yaitu mengalami perlakuan tidak pantas yang dilakukan oleh bosnya. Jadi kakak saya bekerja di sebuah rumah makan selama kurang lebih tiga bulan ini. Sejak awal bekerja, dia kurang nyaman dengan perlakuan yang diberikan oleh bos pemilik rumah makan. Bosnya memanggil dengan sapaan “say atau sayang”, kemudian sering bicara sambil sesekali merangkul. Tapi ketika kakak saya mengutarakan keberatan tersebut ke temannya, mereka bilang memang orangnya begitu, tidak perlu diambil hati. Jadi kakak saya akhirnya membiarkan perlakuan tersebut karena menurutnya pasti juga dilakukan ke karyawan-karyawan yang lain.
Sampai suatu hari ketika kakak saya hanya berdua dengan bos di ruang kantor pengola rumah makan, bos tersebut memeluk dari belakang, meremas payudara, dan berusaha mencium. Dan pada saat itu kebetulan istri bos tersebut masuk. Kakak saya berontak dan langsung lari dari sana. Saat dia lari karyawan yang lain melihat dan sempat memanggil-manggil. Sejak saat itu kakak saya tampak shock dan tidak berani kembali lagi ke rumah makan tersebut. Cerita dari peristiwa ini sudah beredar di rumah makan, tapi dengan versi bahwa kakak saya menggoda bos laki-lakinya.
Rasanya tidak adil kakak saya diperlakukan seperti itu. Apakah peristiwa ini bisa dilaporkan hukum? Mohon penjelasannya, terima kasih.
JAWAB
Salam Ibu, kami ikut bersedih dengan peristiwa yang menimpa kakak Ibu. Apa yang dialaminya adalah peristiwa pelecehan seksual. Hal ini telah terjadi sejak awal masuk, yaitu mendapat perlakuan berkonotasi seksual, berupa panggilan dan rangkulan, yang membuat kakak merasa tidak nyaman. Sayangnya, kakak tidak menyadari bahwa perlakuan tersebut adalah bentuk pelecehan ketika lingkungan di sekitar mengamini hal tersebut sebagai bentuk perilaku yang wajar. Padahal, ukuran pelecehan adalah pada diri kita sendiri. Ketika kita merasa tidak nyaman, maka perbuatan tersebut adalah bentuk pelecehan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yaitu merupakan perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang sifatnya keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, seperti ciuman, meraba kemaluan, meraba payudara, dan sebagainya, dengan landasan tindakan tersebut tidak diinginkan oleh korban. Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang sifatnya seksual. Sehingga perbuatan seperti siulan, ungkapan verbal (kata-kata), sentuhan, atau apapun yang menurut umum dianggap wajar namun tidak dikendaki korban masuk dalam kategori pelecehan seksual. Pelaku pelecehan seksual dapat dijerat pasal 289 - 296 KUHP setelah bukti-bukti dirasa cukup oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan melakukan dakwaan pada pelaku pelecehan seksual.
Pembuktian dalam hukum pidana termuat dalam pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) meliputi : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam kasus pelecehan seksual, harus dilengkapi minimal 2 (dua) alat bukti. Berdasarkan kronologi kasus yang Ibu ceritakan di atas, ada beberapa saksi terkait peristiwa pelecehan seksual tersebut, yaitu kakak sendiri sebagai saksi korban, bos sebagai pelaku pelecehan seksual, dan istri bos yang menyaksikan peristiwa tersebut, serta saksi petunjuk yaitu
karyawan-karyawan yang melihat kakak atau bos masuk ke dalam ruangan, serta yang melihat kakak lari keluar. Selain bukti di atas, pada kakak juga dapat dilakukan pemeriksaan kejiwaan, visum et psikiatrikum, untuk melihat dampak peristiwa pelecehan seksual.
Pada dasarnya, kasus ini dapat dilaporkan secara hukum ke kantor Polsek atau Polres terdekat. Yang penting perlu dipersiapkan adalah kesiapan mental dari kakak untuk menghadapi proses hukum tersebut dengan berbagai konsekuensinya. Misalnya, bahwa dia harus menceritakan dengan detil peristiwanya di hadapan penyidik kepolisian, serta apabila dianggap memenuhi unsur dan cukup alat bukti proses hukum dan proses hukum berlanjut, maka harus siap juga menceritakan di depan majelis hakim. Termasuk konsekuensi jika keluarga mendapatkan ancaman maupun teror dari pihak-pihak yang tidak senang dengan adanya proses hukum tersebut. Namun, bagaimanapun kakak memiliki hak untuk mendapat keadilan atas peristiwa ini.
Sebaiknya keluarga mengakses lembaga layanan, agar kakak juga mendapatkan layanan pemulihan dan penguatan secara psikologis. Di setiap kabupaten/kota/propinsi ada lembaga layanan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) milik pemerintah, yang memiliki layanan pendampingan hukum dan psikologi untuk perempuan dan anak korban tindak kekerasan, serta tidak berbayar. Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu.