Menyikapi banyaknya pertanyaan yang masuk ke Rifka Annisa tentang kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus seperti salah satunya pelecehan seksual yang terjadi di UGM sebagaimana ramai diberitakan belakangan ini, maka dalam hal ini Rifka Annisa menyampaikan pernyataan sikap:
Yogyakarta, 07 Juni 2016
Suharti
Direktur Rifka Annisa
Download file Annual Report Rifka Annisa melalui link di bawah ini:
Annual Report Rifka Annisa 2017
Annual Report Rifka Annisa 2016
Annual Report Rifka Annisa 2015
Annual Report Rifka Annisa 2014
Annual Report Rifka Annisa 2013
Annual Report Rifka Annisa 2008
Menteri Sosial, Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, seperti yang ditayangkan pada beberapa media televisi, mewacanakan pengkebirian bagi pelaku kekerasan seksual anak sebagai model intervensi dan penghukuman yang akan dipilih agar menimbulkan efek jera bagi pelaku. Pilihan intervensi ini tentunya dilandasi cara pandang yang melihat bahwa kekerasan seksual adalah permasalahan biologis - psikologis sehingga model intervensi yang dipilih adalah menyasar organ biologis pelaku. Tulisan ini mencoba memberikan cara pandang alternatif bagi masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan terhadap anak yang tidak melulu masalah biologis – psikologis
Keterbatasan cara pandang psikopatologi
Sejauh ini, seperti yang kita lihat dalam tayangan-tayangan televisi, dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terungkap, cara pandang psikopatologi menjadi hal yang popular dalam memahami perilaku pelaku kekerasan. Pada umumnya, cara pandang ini menggunakan acuan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang berisi klasifikasi gangguan-gangguan mental dan perilaku dalam mendiagnosis suatu perilaku manusia untuk dapat diklasifikasikan sebagai “normal” atau “menyimpang”. Cara pandang psikopatologi bertujuan mencari hubungan kausalitas dalam diri seseorang yang membuat ia mengalami keterbatasan atau gangguan mental dan perilaku sehingga melakukan kekerasan seksual.
Namun, cara pandang yang hanya menggunakan sudut pandang psikopatologi semata dalam melihat kasus kekerasan seksual akan menjauhkan permasalahan dari konteks sosialnya, terutama dalam melihat hubungan pelaku dan korban. Cara pandang psikopatologi tidak mampu membongkar politik relasional antara pelaku dan korban yang justru berbicara mengenai hirarkhi kuasa, kontrol dan dominasi berdasarkan usia, gender, ras, suku dan agama pada suatu budaya tertentu di masyarakat[2], khususnya Indonesia.
Pada kasus kekerasan seksual anak yang dilakukan orang dewasa, maka diasumsikan penyebabnya adalah gangguan biopsikologis pelaku sehingga ia tidak mampu mengontrol dorongan biologisnya dan melakukan kekerasan. Maka upaya yang dilakukan adalah dengan melacak dan mengintervensi sumber masalahnya, yaitu hormon testosteron yang dianggap paling bertanggung jawab.
Kenyataannya, tidak ada “penyakit psikologis” yang menetap seolah-olah berada di ruang hampa, tanpa bersinggungan dengan konteks sosialnya. Pengalaman Rifka Annisa di Yogyakarta dalam mendampingi para laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan bahwa nilai dan norma maskulinitas patriarkhis memiliki pengaruh besar yang membuat mereka terobsesi dengan kuasa (power) dan cara-cara penyelesaian masalah yang maskulin (kekerasan) ketika menghadapi problema kehidupan.
Misalnya pada satu kasus dimana pelaku memiliki riwayat buruk di masa lalu dalam keluarganya yang membuat dia menjadi temperamen dan impulsif. Dalam beberapa sesi konseling diketahui bahwa ketika pelaku marah, ia bersikap kasar secara fisik dan verbal hanya pada istri dan anak di rumah. Perilaku kasar dan sikap temperamen tidak muncul ketika ia berhadapan dengan boss laki-lakinya di kantor, tidak kepada teman-temannya yang laki-laki, tidak kepada konselornya yang laki-laki dan tidak pula kepada para perempuan yang bekerja sebagai polisi yang menangani kasusnya.
Pelaku memiliki kontrol emosi hanya ketika berhadapan dengan individu lain yang berjenis kelamin sama atau perempuan yang lebih tinggi kelas sosialnya. Lalu apa yang membuat kemampuannya dalam mengelola marah tidak berfungsi hanya ketika berhadapan dengan istri dan anak-anaknya di rumah?. Pada kasus ini konstruksi gender sangat berperan dalam bagaimana laki-laki memaknai semua jenis emosi berikut situasinya, bagaimana diekspresikan dan kepada siapa boleh dan tidak boleh dilampiaskan
Pada kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang terlaporkan di Rifka Annisa Yogyakarta[3], sebagian besar korban adalah perempuan dengan status sosial rendah dan lemah secara ekonomi, anak-anak perempuan, perempuan buruh, perempuan dengan keterbatasan mental dan fisik, perempuan yang sedang membutuhkan bantuan untuk kehidupannya dari figur-figur kuat dan berilmu yang kebanyakan adalah laki-laki, baik dalam setting keluarga, sekolah, kampus, tempat kerja, jalanan, maupun komunitas.
Maka dari itu, dari berbagai cara pemenuhan hasrat seksual yang bisa dipilih, mengapa beberapa laki-laki dewasa memilih anak-anak?. Mengapa korban yang ia pilih cenderung anak yang sudah dikenal yang pelaku memahami benar pola relasi yang timpang antara dia dengan korban. Tentunya sangat naif jika penjelasan atas kasus kekerasan seksual pada anak hanya semata-mata karena permasalahan libido dan hormonal semata.
Hukuman kebiri
Ada 2 jenis pengkebirian yang saat ini dikenal. Pertama, dengan operasi bedah (surgical castration) yang mengintervensi atau memotong bagian testis pelaku untuk menghilangkan pertumbuhan hormon testosteron yang dianggap memicu munculnya dorongan seksual. Kedua, dengan suntikan kimia (chemical castration), yaitu penyuntikan secara bertahap cairan kimia anti-androgen yang di Amerika dikenal dengan MPA (medroxyprogesterone acetate) dan di Inggris dan Canada dikenal dengan CPA (cyproterone acetate)[4]. Kedua suntikan kimia tersebut berfungsi mengontrol perkembangan hormon testosteron seseorang.
Dari sejumlah penelitian yang ada di Amerika, Inggris dan Canada menunjukkan bahwa suntikan MPA dan CPA memang mampu menurunkan dorongan seksual pelaku.Namun perlu digarisbawahi,tritmen kastrasi kimia hanya effektif pada para pelaku yang memang siap dan bersedia untuk disuntik[5]. Mereka para pelaku secara sukarela memilih untuk mengikuti program kastrasi kimia secara bertahap karena merasa bentuk-bentuk intervensi psikologis yang lain tidak cocok baginya. Oleh karena itu, program kastrasi kimia yang dijalankan di 3 negara tersebut merupakan bagian dari pilihan intervensi medis pelaku dan bukan sebagai bentuk hukuman utama.
Laporan medis yang lain menyebutkan bahwa tidak semua kondisi tubuh pelaku cocok dengan jenis obat-obatan kimia yang dipilih. Masing-masing pelaku memiliki karakteristik reaksi tubuh tersendiri yang hasilnya berbeda-beda ketika disuntik dengan cairan kimia tersebut[6]. Ada yang berhasil dan ada yang tidak. Hal ini mendatangkan kekhawatiran yaitu pelaku berbohong seolah-olah suntikan sudah bekerja dengan baik dalam tubuhnya. Sementara itu, masyarakat terlanjur percaya pada model intervensi ini, bahwa para pelaku yang telah dikebiri benar-benar sembuh total dan tidak akan melakukan kekerasan seksual lagi, sehingga masyarakat merasa benar-benar aman ketika para pelaku kembali ke lingkungan sosialnya. Tentu hal ini sangat berbahaya.
Di Amerika, banyak pelaku kejahatan seksual yang dikebiri berupaya mengembalikan fungsi kelelakiannya dengan mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dijual bebas untuk melawan pengaruh suntikan anti-androgen ini[7]. Dalam konteks Indonesia, pemerintah harus siap dengan konsekuensi munculnya praktik-praktik beresiko bagi kesehatan yang dilakukan oleh banyak pelaku yang dikebiri, yaitu dengan mengkonsumsi obat atau ramuan tradisional yang berbahaya secara medis agar kelelakiannya pulih. Apalagi dalam konteks Indonesia yang masih didominasi kultur patriarkhi, tentu kita perlu bertanya bagaimana laki-laki pelaku melihat dirinya sendiri sebagai laki-laki setelah dikebiri. Bagaimana pula cara pandang terhadap diri sendiri setelah dikebiri ini berpengaruh terhadap cara ia berperilaku dan menjalin relasi dengan orang lain. Jangan sampai pelaku yang telah dikebiri merasa tidak mampu memenuhi standar kelelakian di masyarakat terkait dengan fungsi seksual sehingga ia merasa perlu melakukan tindak kejahatan lain yang lebih maskulin.
Pemerintah juga harus siap dengan regulasi atau kerangka hukum bagi praktisi medis terkait dengan etika profesi. Hal ini karena, jika suntik kebiri dilakukan oleh dokter, maka hal ini menjadi bagian dari bentuk intervensi medis yang secara etika profesi harus ada persetujuan pasien (Informed consent) dan pasien harus mendapat informasi tentang efek samping pasca suntikan. Pemerintah juga harus siap dengan konsekuensi anggaran mengingat proses pengkebirian tidak sekali suntik jadi, melainkan dengan memberikan suntikan secara bertahap yang membutuhkan biaya tidak sedikit dan sangat tergantung sikap kooperatif dari pelaku.
Maskulinitas dan seksualitas
Pada tahun 2013, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre yang didukung oleh 4 badan PBB (UNICEF, UNFPA, UN Women, UNV) melakukan penelitian kuantitatif dengan mengambil 3 area di Indonesia, Jakarta, Purworejo, dan Jayapura yang melibatkan 2765 responden laki-laki dewasa[8]. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan pengalaman hidup laki-laki terkait kekerasan seksual, baik sebagai pelaku maupun korban di masa lalu, dan bagaimana hal ini berhubungan dengan tindak kekerasan yang mereka lakukan terhadap perempuan dan anak.
Pada konteks Indonesia, hasil penelitian ini menginformasikan bahwa sebanyak 19,5% hingga 48,6% responden yang diteliti pada 3 area tersebut mengaku pernah melakukan kekerasan seksual pada anak perempuan maupun perempuan dewasa dalam hidupnya. Para responden laki-laki ini yang pernah melakukan kekerasan seksual pada perempuan dan anak, berkorelasi positif dengan sikap mereka terhadap ketidakadilan gender (gender-inequality attitudes) dan norma maskulinitas patriarkhis yang sangat mengagungkan machoisme, kontrol dan dominasi pada orang lain, khususnya perempuan dan anak. Salah satu aspek dari norma maskulinitas patriarkhis yang sangat merusak tersebut adalah keyakinan bahwa laki-laki selalu dan senantiasa berhak mendapatkan pelayanan seksual (men’s sexual entitlement) kapan pun, dimana pun dan dari siapa pun, hanya semata-mata karena mereka adalah laki-laki.
Bagi laki-laki, seksualitas adalah bagian dari identitas kelelakiannya. Nilai dan keyakinan para laki-laki akan dunia seksual sedikit banyak dibangun atas dasar penaklukan, tantangan dan pembuktian keperkasaan dimana mereka merasa harus mampu ”mengalahkan” pasangannya. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, ukuran maskulinitas laki-laki tercermin dalam jargon-jargon penaklukan seksual seperti ”Ayo kuat berapa ronde?!”, ”menang-kalah”, ”KO” ”,lemah”,” loyo” yang semuanya berhubungan dengan makna pertarungan. Hal ini membuat para laki-laki berusaha memenangkan ”pertarungan seksual” tersebut dengan cara apapun termasuk kekerasan pada kelompok yang lemah dalam hirarkhi sosial.Program intervensi yang hanya sebatas tritmen psikologis dan medis tentu saja belum sepenuhnya mengatasi akar permasalahan terkait isu kuasa, kontrol dan dominasi.Kejahatan seksual direduksi hanya sebatas penyakit psikologis dan gangguan perilaku individual semata.
Tinjauan kritis pada program pencegahan yang ada saat ini
Pada umumnya program-program pereventif penanggulangan dini kekerasan seksual anak menyasar anak-anak yang dianggap rentan menjadi korban. Strategi ini dipilih dengan asumsi karena mayoritas korban kekerasan seksual oleh orang dewasa adalah anak-anak, maka mereka harus menjadi target utama semua program penanggulangan kekerasan seksual. Dengan kata lain, karena orang-orang yang dianggap berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual tidak dapat diidentifikasi dengan mudah, maka mereka yang berpotensi rentan menjadi korban menjadi sasaran utama program preventif.
Program pencegahan yang popular saat ini dilakukan dengan mengajarkan anak-anak mengenai 3 cara penanggulangan, yaitu mengenalkan mereka tentang konsep dan bentuk-bentuk kekerasan seksual, termasuk dengan mengenali bagian-bagian tubuh yang terlarang untuk disentuh (bad touching and body integrity) oleh orang lain atau siapa pun, mengajarkan mereka untuk berani bertindak dan menolak jika ada orang lain mencoba menyentuh bagian-bagian tubuh terlarang tersebut, dan memberikan dorongan pada anak untuk berani menceritakan pada orang tua ketika mengalami kejadian yang menjurus pada kekerasan seksual.
Di Amerika, program sejenis telah dikembangkan dan dilakukan dengan berbasis sekolah pada tiap-tiap distrik sejak akhir tahun 1970 hingga awal 1980an[9]. Harus diakui bahwa berdasarkan beberapa penelitian evaluatif, strategi ini berhasil dalam membangkitkan kesadaran publik mengenai bahaya kekerasan seksual pada anak. Selama 15 hingga 20 tahun pasca penerapan program prevensi tersebut, laporan masyarakat ke kepolisian terkait kejadian kekerasan seksual mulai marak bermunculan, walaupun jumlah kasus yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak, terutama yang pelakunya memiliki hubungan darah dengan korban (intrafamilial abuse). Hal ini karena, berdasarkan semua laporan dan kajian akademis, hampir 90% hingga 95% pelakunya adalah para laki-laki yang dikenal korban dan memiliki hubungan emosional, dianggap sebagai figur panutan dan memiliki jasa terhadap korban.
Situasi ini pula yang menyebabkan upaya preventif yang menjadikan kelompok anak sebagai target utama program, dengan membekali mereka dengan cara-cara agar terlepas dari ancaman kekerasan seksual menuai kritik di Amerika. Salah satu penelitian oleh Finkelhor dan Dziuba-Leatherman tahun 1995 [10], beberapa anak dilaporkan mengalami kecemasan, terutama ketika berada diluar rumah atau setiap kali bersama orang dewasa lain setelah mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual dalam pelatihan tersebut.
Pertanyaan kritis yang jauh lebih penting adalah apakah keterampilan dan informasi yang telah didapat mengenai pencegahan kekerasan seksual dapat diaplikasikan oleh si anak dalam berbagai kondisi dan situasi nyata ketika kekerasan berlangsung atau ketika berhadapan langsung dengan pelaku yang telah dikenal dekat oleh anak.
Hal ini mengingat modus yang digunakan pelaku sangat bervariatif dan berkembang dari waktu ke waktu, dengan membangun kedekatan emosional dengan anak, bujukan, rayuan, iming-iming hingga memanfaatkan status dia sebagai figur idola si calon korban. Disamping itu, isu perbedaan status usia antara korban dan pelaku yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi dan isu tahapan perkembangan kognitif anak yang belum cukup matang juga menyebabkan anak sulit untuk tetap bertahan dari bujuk rayu si pelaku. Bahkan beberapa anak yang dengan tegas mampu menolak dan sadar akan modus yang digunakan pelaku tak jarang berakhir dengan kematian si korban.
Evaluasi dari program pencegahan model ini di Amerika, yaitu dengan mengajarkan anak untuk berani berkata tidak pada orang-orang yang mencoba melecehkannya secara seksual hanya efektif ketika pelakunya adalah orang yang tidak dikenal atau tidak dekat secara emosional. Kenyataan di lapangan, justru sebagian besar pelaku kekerasan seksual anak adalah mereka yang dikenal dekat dengan korban, idola yang baik, sangat dibutuhkan korban dan memiliki kuasa terhadapnya.
Transformasi maskulinitas dan relasi kuasa sebagai model pencegahan
Belajar dari evaluasi program pencegahan kekerasan seksual di Amerika, jika selama ini yang disasar adalah anak-anak yang dianggap berpotensi menjadi korban, maka perlu mengimbangi program yang sudah berjalan ini dengan program pencegahan yang menyasar mereka yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan.
Laki-laki pelaku yang telah mendapatkan penindakan hukum maupun yang tidak, dan laki-laki secara umum yang tidak melakukan kekerasan, selama ini tumbuh dibesarkan dalam kultur patriarkhi yang sama. Kultur yang membuat mereka mengadopsi nilai dan norma tunggal maskulinitas yang berorientasi pada kontrol, dominasi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan dan anak dalam semua tata kehidupan, khususnya ranah seksualitas. Mereka ditopang sistem nilai yang sama. Mayoritas laki-laki pelaku yang tidak terlaporkan dan laki-laki yang tidak melakukan kekerasan adalah mereka yang cenderung bungkam dan permisif ketika melihat laki-laki lain melakukan praktik-praktik diskriminasi dan seksisme, baik terhadap perempuan dewasa, remaja, anak-anak maupun sesama laki-laki yang dipandang kurang maskulin.
Program pencegahan kekerasan seksual perlu menyasar laki-laki secara umum dari semua tingkatan usia, anak, remaja, dewasa dan para ayah sesuai dengan peran sosialnya masing-masing. Program pencegahan bertujuan mentransformasikan pola relasi yang timpang antar jenis kelamin, usia dan status sosial dengan mengubah nilai dan norma maskulintas patriarkhis menjadi nilai-nilai kesetaraan dan penghargaan terhadap sesama. Jika selama ini laki-laki telah sekian lama belajar cara-cara menjadi laki-laki sejati dalam budaya patriarkhi, maka kini saatnya mengajak mereka belajar kembali menjadi manusia dan mengadopsi kembali nilai-nilai kemanusiaan. Mereka akan belajar bagaimana membangun relasi sehat dengan siapapun yang tidak berbasis kuasa melainkan kesetaraan.
Program pencegahan ini dilakukan dengan mengundang mereka mengikuti diskusi reflektif secara berseri, membicarakan tema-tema seputar kesetaraan gender, maskulinitas, menjadi laki-laki-suami dan ayah, berbagi peran domestik, serta relasi sehat. Laki-laki remaja dan dewasa, diajak merefleksikan tentang proses mereka menjadi laki-laki berikut nilai dan norma maskulinitas yang mereka yakini.
Mereka akan diajak berdiskusi tentang bagaimana maskulinitas mempengaruhi kehidupan orang lain dan diri sendiri, khususnya dalam hal kesehatan mental. Pada semua rentang usia, secara khusus membahas maskulinitas dan seksualitas. Tema ini mengajak laki-laki membongkar mitos-mitos seputar kejantanan laki-laki yang memicu munculnya perilaku seksual laki-laki yang beresiko, termasuk kekerasan seksual, dan mengeksplorasi dampaknya bagi mereka sendiri. Tema-tema yang diangkat dalam diskusi reflektif ini mampu mengurangi resistensi laki-laki ketika membincangkan isu-isu kekerasan seksual. Hal ini karena tema dan metode diskusi yang digunakan berupaya menyinggung isu kekerasan dengan membincangkan isu kelelakian dan cerita hidup mereka sebagai laki-laki dimana mereka juga merasa berat.
Program pencegahan kekerasan seksual yang sudah berjalan saat ini, khususnya di Yogyakarta melibatkan kerjasama dan inisiatif dari banyak pihak, dari mulai bupati, kepala desa dan dusun, tokoh masyarakat, dinas sosial, dinas pendidikan, dinas kesehatan, KUA, sekolah, karang taruna dan LSM. Penanganan kekerasan seksual membutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas sektor dan tidak melulu menjadi tugas pokok dan fungsi satu kementerian saja. Pemerintah pusat, melalui Kemenko PMK perlu turun gunung menunjukkan kepemimpinannya dan melakukan fungsi koordinasi dengan merangkul semua kementerian dibawahnya agar tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas, jika memang serius.
Ditulis oleh: Aditya Putra Kurniawan
Peneliti Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, Yogyakarta, email; Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Keenan, M. (1998). Narrative therapy with men who have sexually abused children, The Irish Journal of Psychology, 19, I, 136-151
Data kasus Divisi Pendampingan Rifka Annisa, 2014
Grossman, L.S., Martis, B & Fichtetner, C.G. (1999). Are Sex Offenders Treatable? A Research Overview. Psychiatric Services (3)50, 349–361.
Fred Berlin, founder of the sexual disorders clinic at Johns Hopkins University on ABC News. Some Sex Offenders Opt for Castration http://abcnews.go.com/US/story?id=93947&page=1
An Ethical Analysis of the Use of Medroyprogesterone Acetate and Cyproterone Acetate to treat Repeat Sex Offenders. Elizabeth Pitula, 2010. http://academiccommons.columbia.edu/catalog/ac%3A132381
Fulu, E., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T. and Lang, J. (2013). Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent It? Quantitative Findings from the United Nations Multi-country Study on Men and Violence in Asia and the Pacific. Bangkok: UNDP, UNFPA, UN Women and UNV
http://www.partners4prevention.org/sites/default/files/resources/p4p-report.pdf
Bolen, R.M. (2003). Child Sexual Abuse: Prevention or Promotion. Social Workers, Vol.48 (2), 174 – 185.
Finkelhor, D & Dziuba-Leatherman, J. (1995). Victimization Prevention Program. A National Survey of Children’s exposures and reactions. Child abuse & neglect. 19, 129 - 139
Sabtu, tanggal 19 Maret 2016 dilaksanakan pentas seni bersama Rannisakustik dan Organ Tunggal di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Kegiatan tersebut merupakan kampanye untuk menciptakan lingkungan yang bebas kekerasan bagi perempuan dan anak. Dalam rangka Hari Perempuan Internasional Rifka Annisa menyelenggarakan kampanye melalui musik untuk menarik perhatian isu kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kampanye berlangsung dalam bentuk kolaborasi Rannisakustik dan Organ Tunggal. Di sana ada banyak orang, baik laki-laki, perempuan dan anak yang tertarik. Peristiwa itu mulai dengan perkenalan Rifka Annisa. Visi dan misi lembaga dikenalkan oleh staf Rifka Annisa. Kemudian berbagai bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual dijelaskan untuk menengahi pemahaman masalah masyarakat itu.
Lagu-lagu Rannisakustik dan Organ Tunggal berkisah tentang masalah kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam pacaran, isu kesetaraan gender, cinta dan peran ayah, ibu dan anak. Mereka menyanyi untuk lingkungan tanpa kekerasan bagi perempuan dan anak. Ketika malam minggu tersebut banyak informasi tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak disampaikan. Akhirnya orang-orang turut menari untuk lagu-lagu yang bagus. []
Penulis: Lisa Hallmann, mahasiswi Etnologi di Universitas Heidelberg, Fakultas Ilmu Perilaku dan Budaya, Institut Etnologi