Perempuan di Era Kapitalisme

Written by  Selasa, 07 Agustus 2018 15:50

Kapitalisme bukanlah suatu kata yang asing dalam telinga kita. Kapitalisme membawa dunia pada sistem perekonomian yang tunduk pada norma serta aturan pasar. Terobosan kapitalisme adalah membentuk sistem pasar yang hegemonik dimana kekuasaan privat juga memiliki kemampuan untuk menciptakan pengaruh pada kawasan publik.  Adam Smith adalah peletak dasar pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan individu dalam menciptakan keteraturan ekonomi (Prasetyo, 2004).

Di berbagai negara-negara di dunia, termasuk Indonesia muncul industri-industri yang bergerak di segala bidang diantaranya fashion, kecantikan, makanan dan masih banyak lagi. Kemunculan industri membawa beberapa dampak positif dan negatif. Positifnya turut andil dalam mengurangi pengangguran di Indonesia. Negatifnya, buruh di sektor industri justru terdiskriminasi khususnya buruh perempuan lantaran peran gendernya. Tidak banyak perusahaan yang sensitif terhadap peran-peran perempuan misalnya peran reproduksi, peran menyusui, menstruasi, hamil dan sebagainya. Penjelasan Ratna (dalam Subagya dkk, 2013) Serikat pekerja Nasional (SPN) pada tahun 2007 sekitar 70% di sector tekstil, garment dan sepatu adalah perempuan. Sementara Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP-Kahutindo) menyebutkan 60% buruh kehutanan (termasuk didalamnya perkebunan sawit, kopi, tembakau) adalah perempuan. Kebanyakan dari mereka bekerja bukan dalam sistem kerja tetap tetapi dalam sistem kerja kontrak yang minim perlindungan.

Masih banyak perempuan tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja. Undang-undang No 13 Tahun 2003 banyak mengatur soal tenaga perempuan di dalamnya. Meski demikian, antara peraturan dan yang terjadi di lapangan nampaknya berbeda. Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Tetapi pada realitasnya tak jarang buruh perempuan yang di PHK karena hamil, dianggap bahwa tenaganya tidak produktif lagi.  

Lebih parah lagi, perempuan tidak hanya diambil tenaganya, tetapi juga dijadikan suatu komoditas. Komoditas merupakan sesuatu yang mudah untuk diperdagangkan. Seperti yang sering kita temui bahwa iklan di televisi, majalah, Instagram dan sebagainya, selalu menjadikan perempuan sebagai media promosi, memberikan pengertian bahwa perempuan yang cantik itu adalah perempuan yang putih, tinggi, langsing dan untuk mewujudkannya maka harus membeli produk-produk yang diiklankan. Apabila tidak memenuhi kriteria yang dtampilkan di media maka dia tidak dianggap cantik. Sebenarnya, menjadikan diri putih, langsing itu merupakan sebuah pilihan. Hal tersebut akan bermasalah apabila memaknai dan mendefinisikan kecantikan terlalu sempit dengan harus memakai produk-produk tertentu (Sulaiman, 2018).

Lebih jauh lagi, hadirnya industrialisasi membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif dengan produk-produk yang memikat. Alhasil banyak perempuan yang menjadi pekerja migran untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ketika perempuan menjadi pekerja migran, tidak selalu fungsi pengasuhan di keluarganya berjalan dengan baik lantaran tidak ada dukungan dari suami dan anggota keluarga lainnya sehingga semakin rentan rumah tangga tersebut mengalami konflik. Pemerintah sering membanggakan pendapatan yang masuk dari buruh migran perempuan, dan berpendapat bahwa hal ini akan berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi negara. Buruh migran perempuan banyak mendapatkan perlakukan kasar dari majikan, penganiayaan, perkosaan hingga pembunuhan. Pemerintah memperlakukan rakyatnya sebagai sumber pendapatan negara, bertransaksi dengan rakyat sebagai regulator semata, bukan sebagai pelindung, pengayom, dan penanggung jawab nasib setiap individu warga negaranya (Falah, 2012).

Sangat diperlukan pengawasan dan tinjauan ulang kepada beberapa industri yang ada di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang ketenagakerjaan yang sudah dibentuk. Selain itu, perlu adanya pengetahuan yang ditujukan kepada buruh agar lebih paham mengenai permasalahannya dan apa yang harus dilakukan karena kebanyakan buruh perempuan tidak menyadari dan tidak mengetahui posisi dan haknya.

Referensi

Daulay, H. (2006). Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan Analisis Gender. Harmona Daulay adalah Dosen FISIP USU .

Falah, M. (2012, Desember 16). Dilema Perempuan di Tengah Kapitalisme . Retrieved from Kolom: https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/12/26/mfmiez-dilema-perempuan-di-tengah-kapitalisme

Prasetyo, E. (2004). Kapitalisme dan Neoliberalisme Sebuah Tinjauan Singkat . Ekonomi Politik Journal Al-Manär Edisi I/2004 .

Subagya, S., Indria L, S., & Budiati, A. C. (2013). Pengarusutamaan Gender dan Optimalisasi Peran Serikat Pekerja Sebagai Upaya Perlindungan Berbasis Gender Bagi Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Karanganyar. FIS40 (1)(2013).

Sulaiman, A. (2018, February 5). Perempuan dan Kapitalisme. Retrieved from Nusantara News: https://nusantaranews.co/perempuan-dan-kapitalisme/

--------------------------

Ditulis oleh Muflikhah dan Dwi Utami, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

Disclaimer: Opini dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merepresentasikan sudut pandang Rifka Annisa secara keseluruhan.

Sumber gambar: https://www.cartoonmovement.com/collection/78

Read 13367 times
46433461
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6335
13133
285706
306641
46433461