Oleh: M. Ryandaru Danisworo
“Loh Anda kan menikah? Masa’ diperkosa suami?”
“Itu maksudnya gimana, diperkosa? Tapi kan married?”
Kata-kata tersebut adalah respon dari beberapa orang terhadap kasus Marital Rape. Memang kerap kali kasus pemerkosaan terjadi antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan perkawinan, namun pada nyatanya pemaksaan untuk bersetubuh juga kerap kali terjadi di dalam sebuah perkawinan. Ini lah yang lalu disebut dengan Marital Rape.
Mungkin masyarakat akan menganggap Marital Rape sebagai hal yang aneh karena di dalam pernikahan, suami atau istri memiliki hak untuk bersetubuh dengan pasangannya. Namun tentunya dalam melaksanakan hak, ada batasan yang harus dipatuhi dan ini juga ada di dalam Sebuah perkawinan. Hubungan seksual antara suami dan istri harus disertai konsen dari kedua pihak. Tentunya jika tidak ada konsen dari salah satu pihak, pihak tersebut akan merasa disakiti.
Berdasarkan catatan Rifka Annisa dan lembaga layanan lainnya, pemerkosaan dalam perkawinan memang kerap kali terjadi dan dampaknya juga serupa dengan dampak pemerkosaan di luar perkawinan seperti gangguan psikologis dan kehamilan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, tentu tidak adil untuk membedakan pemerkosaan hanya karena satu kasus terjadi di luar perkawinan dan di dalam perkawinan.
Dengan pembacaan strict terhadap Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), pemerkosaan dapat dikenakan pasal 285-286 jika tindakan tersebut dilakukan terhadap wanita diluar perkawinan. Tapi perlu diingat bahwa KUHP adalah produk hukum yang dapat dikatakan sudah usang karena berasal dari era-kolonial sehingga pemahaman tradisional yang patriarkis masih teradopsi.
Pemerintah telah mengeluarkan UU 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah pemerkosaan, UU tersebut dalam pasal 8 mendefinisikan kekerasan seksual sebagai pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dari definisi tersebut, tindakan pemerkosaan tentu dapat dikategorikan menjadi kekerasan seksual menurut UU tersebut.
Marital Rape memang dikenal dan memang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Namun sayangnya, kesadaran terhadap tindakan tersebut masih minim, ditunjukkan dari pernyataan yang dilontarkan beberapa orang ketika mendengar Marital Rape. Ketidaksadaran ini menyebabkan beberapa masalah, seperti enggannya korban untuk melaporkan tindakan tersebut karena adanya pemahaman bahwa memang tugas suami atau istri untuk melayani kebutuh fisik pasangannya, sehingga ketika tidak dapat melaksanakan “tugas” tersebut, maka akan ada rasa bersalah. Hal ini tentunya menghambat penegakan hukum dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, melihat hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, tidak dapat ditemukan penetapan pengadilan yang mengharuskan pelaku untuk mengikut konseling. Padahal, pasal 50 UU PKDRT memberikan kuasa kepada hakim untuk menetapkan pelaku untuk mengikuti konseling. Menurut Penjelasan pasal 50, tambahan hukuman tersebut diperuntukan dimana telah terjadi percobaan kekerasan dalam rumah tangga. Penjelasan bukan merupakan sumber hukum yang mengikat, sehingga boleh saja seorang hakim, menetapkan wajib konseling terhadap pelaku walaupun kejahatan yang dilakukan bukan percobaan.
Konseling sangatlah penting dalam pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Pelaku kekerasan seksual biasanya memiliki permasalahan psikologis seperti ketidakdapatan mengatur emosi atau pemahaman tentang wanita yang salah. Sesuai dengan adagium hukum “actus reus mens rea”, jika seseorang berbuat jahat, bukan hanya tindakannya saja yang bersalah, tetapi pikirannya juga bersalah. Disinilah peran konseling dalam membantu penegakan hukum yang bertujuan bukan hanya untuk menghukum pelaku tetapi juga menjadi sarana rehabilitasi pelaku agar pelaku tersebut tidak mengulangi tindakan. Sayangnya, seperti yang telah disinggung diatas, penetapan konseling wajib oleh pengadilan masih jarang dilakukan.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Marital Rape. Marital Rape adalah hal yang nyata dan merupakan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Seluruh komponen masyarakat, mulai dari diri pembaca sendiri, dapat membantu menyebarkan dan menegakan hak-hak perempuan.
Jika pembaca mengetahui adanya Marital Rape, pembaca dapat meminta bantuan dari Rifka Annisa pada Nomor (0274) 553333 , kirim email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya., atau datang ke Rifka Annisa Women Crisis Center di Jalan Kambon IV, Kompleks Jatimulyo Indah.