Kerentanan Anak terhadap KBG pada Situasi Bencana Featured

Written by  Senin, 19 Desember 2022 13:13

Indonesia memiliki letak geografi Indonesia diantara dua benua dan dua samudera, serta berada di titik pertemuan dua lempengan bumi Pasifik dan Hindia, membuat Indonesia rentan mengalami bencana alam. Bencana Menurut UU NO. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah mengartikan bencana sebagai “Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

 Menurut data yang diperoleh dari website resmi BNPB di tahun 2018 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi 513 bencana di Indonesia. Dan yang terbesar yang terjadi di Lombok pada Agustus 2018 memakan korban jiwa sebanyak 259 jiwa dan ribuan korban luka berat dan ringan. Tentu saja dalam bencana kelompok perempuan, anak, disabilitas dan kelompok rentan lainnya menjadi korban yang paling tinggi. Dikarenakan aktivitas sehari-hari mereka yang lebih banyak berada di dalam rumah, saat bencana terjadi sehingga mereka lebih sulit menyelamatkan diri.  Di tambah dengan kerentanan menghadapi kasus Kekerasan Berbasis Gender dalam bencana dan pasca bencana.

Kekerasan tersebut terjadi dipicu karena terpisahnya mereka dengan komunitas keluarga, tinggal pada tenda-tenda padat pengungsi, bercampur antara perempuan, laki-laki, dan anak tanpa adanya ruang privasi serta tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan akses terhadap berbagai fasilitas termasuk hilangnya mata pencaharian menjadi kerentanan ekonomi menjadi pemicu tindakan kekerasan oleh banyak pihak. Kondisi diatas mempertebal kemungkinan terjadinya kekerasan kekerasan berbasis gender, walaupun bukan menjadi faktor utama penyebab kekerasan tersebut. Fakta nyata satu bulan setelah terjadinya bencana gempa di Lombok, dalam fase pemulihan, sudah muncul lima kasus pelecehan dan pencabulan terhadap perempuan dan anak mulai terungkap di tenda-tenda pengungsian.

Fenomena ini dikhawatirkan merupakan fenomena gunung es yang harus diselesaikan segera mungkin. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam situasi krisis adalah kerentanan anak terhadap KBG (kekerasan berbasis gender). Situasi krisis ini dapat  mencakup situasi bencana maupun konflik. Selama situasi krisis, anak dihadapkan pada masalah seperti terpisah dari keluarga atau masyarakat yang menjadi pelindungnya, sehingga mereka akan beresiko mengalami kekerasan seksual, terlebih anak remaja perempuan. Anak-anak akan menjadi sasaran grooming dalam situasi darurat terlebih dapat menjadi korban kekerasan, eksploitasi dan pemaksaan terhadap pernikahan anak. (UNFPA,2018)

Secara umum, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 mencatat sebanyak 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki & 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya.  Adapun dalam kondisi krisis, yakni kondisi bencana wabah pandemi Covid-19, SNPHAR 2021 juga mencatat bahwa 2 dari 10 anak laki-laki & 3 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu bentuk kekerasan atau lebih, di mana kekerasan emosional menjadi bentuk kekerasan tertinggi dibandingkan dengan bentuk kekerasan lainnya.Selain itu, dalam situasi krisis lain, yakni kondisi konflik tahun 1965-2009 di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, meliputi kekerasan seksual sebanyak 1511 kasus dan kekerasan nonseksual sebanyak 302.642 kasus. Data kasus pada anak remaja, secara spesifik pada situasi bencana saat ini masih belum banyak terlaporkan.  Seringkali penyintas anak yang mengalami tindak kekerasan seksual berisiko mengalami cidera fisik, IMS termasuk HIV, termasuk mengalami masalah psikologis yang berat, antara lain karena stigma masyarakat atas apa yang telah dialami korban.

Untuk  mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender di situasi krisis bencana maupun konflik, perlu dilakukan koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempatkan kelompok rentan di pengungsian dan memastikan satu keluarga berada dalam tenda yang sama. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan ruang aman bagi anak pada situasi krisis, diantaranya :

  1. Memberikan fasilitas dan mensosialisasikan pelayanan kesehatan reproduksi, layanan konseling, ruang aman bagi perempuan yang ramah remaja untuk penyintas kekerasan seksual pada tenda pengungsian. 
  2. Melibatkan lembaga-lembaga/organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di pengungsian dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak.
  3. Memberikan informasi adanya pelayanan bagi penyintas dengan nomor telepon yang dapat dihubungi selama 24 jam. Informasi dapat disebar melalui leaflet, selebaran, radio dll. 
  4. Memastikan adanya petugas, baik penjaga shelter maupun petugas lainnya yang berkompeten dan memiliki perspektif korban dan responsif gender, khususnya dalam merespons kekerasan yang dialami oleh anak. 
  5. Memastikan tersedianya pelayanan medis penanganan kesehatan jiwa dan dukungan psikososial di organisasi/lembaga yang terlibat dalam respons bencana bagi penyintas kekerasan, serta memastikan adanya mekanisme rujukan, perlindungan sosial, dan hukum yang terkoordinasi dengan baik. 

Perlindungan hak anak terbebas dari kekerasan terlebih dalam situasi krisis khusunya bencana alam penting menjadi perhatian seluruh pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, komunitas harus berjalan secara kolaboratif, integratif dan komperhensif. Dalam Implementasi lapangannya membutuhkan keterlibatan dari seluruh pihak baik stuktural maupun kultural melalui kebijakan di tingkat nasiona, daerah, sampai dengan desa, kolaborasi lintas sektorla ini memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Oleh karena itu perlu adanya kesamaan persepsi ataupun pemahaman tentang pentingnya partisipasi mulai level individu sampai dengan pemerintah sebagai upaya menekan angka KBG dalam situasi bencana.


Sumber : Artikel Kemenppa “Angka kekerasan terhadap anak sepanjang 2021 menurun” (2021)

Publikasi UNFPA dan Kementrian Kesehatan RI “ Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi Remaja Pada Krisis Kesehatan” (2017)

Buku Pedoman UNFPA “Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam   Bencana” (2018)

Read 10401 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:39
46776429
Today
This Week
This Month
Last Month
All
11086
11086
284796
343878
46776429