Kamis, 23 Juli 2020 08:08

Awal Juli lalu, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengusulkan agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dicabut dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020[1]. Usulan ini menuai banyak protes dan berbanding terbalik dengan desakan publik yang sejak beberapa tahun lalu menyuarakan agar RUU PKS segerah disahkan.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI menyebutkan alasan dari penarikan RUU PKS ini karena pembahasan yang sulit. Jika boleh membandingkan, lebih sulit mana dengan upaya korban untuk bangkit dari trauma pasca mengalami kekerasan seksual? Salah satu konselor Rifka Annisa, yaitu Siti Darmawati mengatakan bahwa mungkin saja DPR tidak begitu memahami mengenai persoalan di lapangan dan urgensi dari RUU PKS ini. Beliau menilai bahwa jika DPR memahami mengenai persoalan yang terjadi di lapangan, sikap DPR mungkin saja tidak akan seperti saat ini.

Menunda pembahasan RUU PKS berarti juga menunda penegakan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Padahal kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini semakin meningkat dan beragam bentuknya. Sepanjang tahun 2017 hingga 2019, Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memuat setidaknya 17.940 kasus kekerasan seksual yang terjadi di seluruh Indonesia. Yang artinya, dalam kurun waktu 3 tahun tersebut terdapat sekitar 16 perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya. Hal tersebut bukanlah sekedar angka statistik, namun belasan ribu manusia yang bernama perempuan di bumi pertiwi ini mengalami berbagai rangkaian kekerasan dan sedang berjuang untuk bangkit dari keterpurukan.

Kasus kekerasan seksual berdampak besar pada korban dan tidak dapat disamakan dengan jenis kekerasan lainnya. Konselor sekaligus Manajer Divisi Pendampingan di Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, menyatakan bahwa secara psikologis kekerasan seksual menyerang harga diri dan konsep diri korban sehingga korban merasa dirinya kotor, tidak berharga hingga menyalahkan diri sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan kecenderungan masyarakat yang menyalahkan korban kekerasan dan memberikan stigma negatif terhadap para korban.

Kekerasan seksual juga memberikan kemungkinan dampak berupa depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002)[2].

Dampak yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual nyata adanya dan tidak dapat dilupakan begitu saja. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang merenggut hak tubuh dan martabat dari seseorang. Proses untuk dapat bangkit dan pulih dari pengalaman kekerasan tersebut tidaklah mudah. Korban kekerasan seksual membutuhkan proses panjang untuk dapat kembali menerima dirinya secara utuh dan berdamai dengan pengalaman yang tidak menyenangkan tesebut. Para korban membutuhkan upaya penanganan yang serius terhadap kasus yang dialami.

Oleh karena itu, dengan data angka kekerasan seksual yang tinggi, negara wajib hadir untuk menanggulangi permasalahan kekerasan ini, termasuk para anggota DPR. Forum Pengada Layanan (FPL) menyatakan bahwa upaya pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual terkendala karena tidak ada payung hukum yang memadai. Oleh karena itu, RUU PKS hadir sebagai lex specialis yang mengatur segala aspek mengenai kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, perlindungan kepada korban hingga upaya rehabilitasi yang merupakan hak mutlak korban kekerasan. Upaya komprehensif diperlukan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual yang semakin hari situasinya semakin darurat.

Melihat dampak yang dirasakan oleh korban dan semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual, pengesahan RUU PKS harus segera dilakukan sebagai bentuk komitmen negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Trauma yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual nyata adanya. Teruntuk para wakil rakyat yang terhormat, apakah masih ingin menunggu ribuan perempuan lain mengalami kekerasan seksual tiap harinya? Atau di tahun-tahun berikutnya sehingga RUU PKS bisa ditarik kembali dari Prolegnas? Pertanyaan terakhir dari saya yang juga seorang perempuan, apakah puluhan ribu data perempuan yang mengalami kekerasan seksual hanya sekedar angka statistik dan bukan merupakan prioritas yang penting untuk ditangani?

Referensi: 

[1] Nasional.kompas.com (2020, 5 Juli). RUU PKS Ditarik dari Prolegnas Prioritas di Saat Tingginya Kasus Kekerasan Seksual. Diakses pada 15 Juli 2020, dari https://nasional.kompas.com/read/2020/07/05/22540701/ruu-pks-ditarik-dari-prolegnas-prioritas-di-saat-tingginya-kasus-kekerasan?page=all

[2] Fu’ady, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika : Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 8(2), 191–208. https://doi.org/10.18860/psi.v0i0.1553

Rabu, 14 November 2018 10:53

KOMPAS.com – Banyak orang berpikir pemerkosaan terjadi karena faktor fisik yang ditunjukkan korban, mulai dari pakaiannya yang seksi atau tingkah lakunya yang dinilai centil. Ada pula yang menganggap pemerkosaan terjadi karena kondisi yang memungkinkan, sehingga pelaku merasa aman untuk melancarkan aksi pemerkosaan.

Namun, menurut organisasi perlindungan perempuan Rifka Annisa, penyebab utama terjadinya pemerkosaan adalah ketimpangan relasi kuasa yang terjadi antara pelaku dan korban yang terlibat. Relasi kuasa itu misalnya terjadi antara dosen dengan mahasiswa, orangtua dengan anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya. Bahkan, bisa saja relasi kuasa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan langsung. 

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa, sebagaimana disampaikan juru bicaranya, Defirentia One Muharomah kepada Kompas.com, Kamis (8/11/2018) pagi. "Dalam penelitian Rifka Annisa, hal dominan yang menyebabkan mengapa pelaku melakukan pemerkosaan adalah karena mereka merasa berhak. Pemerkosaan ini adalah masalah relasi kuasa yang timpang," kata Defi. 

Jadi, menurut lembaga yang berbasis di Yogyakarta itu, kurang tepat jika ada yang menyimpulkan pemerkosaan terjadi hanya karena adanya aspek rendahnya moral dan liarnya nafsu birahi. Adanya kuasa yang dimiliki pelaku atas korban membuat pelaku merasa berhak dan tidak bersalah ketika melakukan tindakan biadabnya. "Banyak kasus pemerkosaan di Rifka Annisa yang pelakunya ayahnya sendiri, teman, pacar, tetangga, guru, dosen, dan orang-orang dekat yang justru dikenal oleh korban," kata Defi. Hal itu juga dibenarkan oleh Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Indry Oktaviani. "Karena pelaku selalu berkuasa atas korban. Bukan berarti kedudukannya lebih tinggi ya, tapi karena pelaku menguasai korban," kata Indry.

Perempuan Harus Bagaimana?

Defi menyebut penting bagi perempuan untuk memiliki kemampuan multi level approach. Ketegasan dan keberanian diharapkan ada dalam setiap diri perempuan agar terhindar dari hal-hal yang mengancam keselamatan mereka dalam hal seksual.

"Perempuan harus berdaya, agar berani menolak dan bertindak tegas. Inilah pentingnya relasi yang setara. Sebagai perempuan kita harus paham soal consent dan power untuk bisa mencegah kekerasan seksual," ucapnya.

Jika tindak kekerasan seksual sudah terlanjur terjadi, perempuan juga sebisa mungkin harus segera bangkit dari keterpurukan dan berani mengambil tindakan tegas. Deperesi dan tekanan psikologis yang dialaminya secepat mungkin harus diselesaikan dan bergerak menegakkan keadilan. "Dan ketika sudah terjadi, perempuan harus berani bertindak. Untuk itulah pentingnya support system dan perlindungan bagi penyintas," ujar Defi.

Lingkungan yang mendukung keberadaan penyintas masih sulit ditemukan dalam masyakat kita saat ini. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa terbentuk. Melalui edukasi yang tepat dan berkelanjutan, masyarakat bisa diliterasi apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan, jika lingkungannya ada yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Dengan begitu, penyintas akan merasa aman dan memiliki banyak kekuatan untuk mengungkapkan apa yang ia alami sebelumnya.

 

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Relasi Kuasa Dianggap sebagai Penyebab Utama Terjadinya Pemerkosaan", https://nasional.kompas.com/read/2018/11/08/18432481/relasi-kuasa-dianggap-sebagai-penyebab-utama-terjadinya-pemerkosaan
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Bayu Galih

Rabu, 14 November 2018 09:54

TRIBUNJOGJA.COM - Direktur Rifka Annisa, Suharti mengungkapkan, mahasiswa UGM yang jadi korban kekerasan seksual saat melaksanakan KKN di Maluku mengalami depresi berat saat datang ke kantornya.

"Penyintas mulai melakukan pendampingan sejak September 2017 lalu, setelah penyintas datang untuk mengakses layanan di kantor Rifka Annisa. Berdasarkan asesmen awal, penyintas berada dalam kondisi depresi berat. Sehingga fokus utama yang dilakukan adalah pemulihan kondisi psikologis dan menciptakan rasa aman bagi penyintas," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tribun Jogja Rabu (7/11/2018).

Ia melanjutkan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, pihaknya sslaku mengedepankan penyelesaian yang bertujuan menjamin rasa keadilan perempuan korban kekerasan, terutama penyelesaian secara hukum. Namun Rifka Annisa mengutamakan prinsip persetujuan dari korban. 

"Dalam kasus ini, Rifka Annisa telah menyampaikan informasi tentang hak-hak korban pada penyintas dan mendiskusikan alternatif penyelesaian melalui jalur hukum. Namun pada kasus tertentu, proses hukum memiliki kendala-kendala. Terutama dalam menjamin hak-hak dan keadilan korban," lanjutnya.

"Pada akhir 2017, Rifka Annisa telah menjalin koordinasi dengan tim Fisipol UGM untuk mencari penyelesaian terbaik. Rifka Annisa juga mendorong pihak kampus untuk menyusun sistem penyelesaian di lingkungan kampus, yang berbasis pada perlindungan dan pemenuhan hak korban agar tidak terjadi hal serupa," sambungnya.

Koordinasi tersebut direspon baik oleh Fisipol UGM, sehingga membentuk tim investigasi. Tim investigasi pun kemudian telah memberikan beberapa rekomendasi mengenai hasil investigasinya. (tribunjogja)

 

 

 

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Rifka Annisa : Mahasiswa UGM Korban Kekerasan Seksual Sempat Alami Depresi, http://jogja.tribunnews.com/2018/11/07/rifka-annisa-mahasiswa-ugm-korban-kekerasan-seksual-sempat-alami-depresi.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani
Editor: has

Senin, 30 Juli 2018 14:48

Hampir setiap minggu ada berita mengenai kasus pencabulan atau perkosaan terhadap anak-anak di Indonesia. Di sisi lain, tidak ada upaya berarti untuk menanggulanginya.

Hari Kamis, 19 Juli malam, aparat polisi dari Kepolisian Sektor Playen, Gunungkidul, DI Yogyakarta menangkap AS, kakek berumur 63 tahun. Lelaki tua itu dilaporkan oleh keluarga besarnya, karena mencabuli keponakannya yang baru berumur 15 tahun dan menyandang disabilitas. Modusnya dengan mengiming-imingi korban uang Rp 2.000. Guru tempat anak itu sekolah yang pertama kali curiga dengan perubahan fisiknya, dan kemudian membawanya ke layanan kesehatan untuk diperiksa.

“Korban awalnya tidak mau terbuka, tetapi setelah didesak akhirnya mengaku. Pelaku juga sudah mengakui perbuatannya,” kata Kanitreskrim Polsek Playen, Iptu Suryanto.

Awal Juli lalu, polisi di Bantul, Yogyakarta baru selesai menyusun berkas pemeriksaan seorang kepala dusun yang memperkosa anak berumur sembilan tahun. Berkas perkaranya masuk ke pengadilan pekan lalu, dan dalam beberapa hari ke depan sidang perdana kasus ini akan digelar. Pelaku adalah teman baik ayah korban, dan merupakan tokoh masyarakat. Kasus terungkap setelah korban kesakitan ketika buang air kecil. Tindakan keji dilakukan pelaku beberapa kali, di kebun, tambak udang dan juga di rumahnya.

Februari lalu, PN Bantul memvonis 10 tahun penjara seorang guru sekolah menengah pertama karena berulang kali mencabuli siswinya sendiri. Anak yang bahkan belum menginjak 15 tahun itu akhirnya hamil dan melahirkan. Tak mau melanjutkan sekolah, dia kini mengasuh anaknya yang berumur lima bulan dengan bantuan penuh dari ibunya.

Rentetan kasus itu tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Kasus pencabulan dan perkosaan terhadap anak merata terjadi di seluruh Indonesia. Dalam sejumlah kasus, pelakunya bahkan tidak hanya satu, tetapi sekelompok anak sebaya. Entah satu atau lebih pelakunya, selalu ada hubungan antara pelaku dan korban, entah saudara, guru atau pacar.Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan, ada 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015, kemudian 120 kasus pada 2016, dan 116 kasus di 2017.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Suprapto menilai, anak-anak sering menjadi korban karena pelaku memandang mereka sebagai target yang mudah. Di samping itu, anak-anak di Indonesia tumbuh dalam ajaran kedekatan sosial yang hangat. Ada anggapan bahwa semua orang cenderung baik dan tidak berpotensi melakukan kejahatan. Karena itu, anak-anak percaya kepada saudara, guru atau kawan dekat.

“Lihat saja, dalam budaya kita, kepercayaan terhadap saudara, tetangga, guru itu kan besar sekali. Bayi digendong orang lain itu wajar. Nah, itu yang membuat anak-anak tidak bisa merespons dengan baik bahwa ada tindakan yang berpotensi ke arah kekerasan seksual,” kata Suprapto.

Dosen yang juga peneliti di Pusat Studi Wanita UGM ini juga sudah menyusun sebuah panduan merespons kekerasan seksual, yang dapat digunakan oleh remaja, guru, hingga pemerintah. Dia menekankan pendidikan kesehatan reproduksi sebagai salah satu jalan keluar menekan angka kejahatan ini.

“Di Indonesia itu masih dianggap tabu untuk memberikan penjelasan atau pemahaman kepada anak mengenai seks, sehingga anak menjadi tidak terlalu paham ketika mendapatkan materi-materi atau tanda-tanda terkait tindakan yang mengarah ke kekerasan seksual dan sebagainya. Anak menjadi terlalu positive thinking, menjadi tidak siap untuk menghadapi perilaku orang dewasa. Karena itu pemahaman mengenai seks penting agar mereka sensitif ketika ada hal-hal yang mengarah ke tindakan itu,” kata Suprapto.

Triantono, peneliti dari Rifka Annisa mengakui, rentetan kasus pencabulan dan perkosaan anak seperti peringatan yang tidak pernah didengar pemerintah dan lembaga pemangku kebijakan. Rifka Annisa adalah lembaga yang berkomitmen pada upaya-upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan berpusat di Yogyakarta.

Triantono mengambil salah satu contoh macetnya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak jelas juntrungannya di DPR. Pemerintah seolah tidak memiliki sudut pandang, bahwa masalah kekerasan seksual terutama kepada anak adalah persoalan begitu besar. Indonesia terlalu sibuk membahas pembangunan fisik yang seolah prioritas yang lebih penting dibandingkan dengan soal-soal kekerasan seksual.

“Pemerintah terkesan reaktif, pasca beberapa kejadian kekerasan seksual terhadap anak. Tetapi solusi pemerintah sejauh ini tidak menyelesaikan masalah, tidak berkelanjutan dan tidak komprehensif. Isu-isu terkait kekerasan seksual anak itu terpinggirkan dibandingkan dengan isu yang lain,” kata Triantono.

Prinsipnya, kata Tri, anak harus dilindungi, bahkan mereka yang menjadi pelaku aksi kekerasan seksual terhadap anak yang lain. Maka solusi yang harus ditawarkan adalah solusi edukatif. Pemerintah harus mengupayakan tidak ada tindakan lebih lanjut dari pelaku yang sama, atau tindakan “balas dendam” dari korban kepada anak yang lain.

“Sistem hukum kita tidak sampai ke sana. Sistem hukum kita sampai sekarang hanya berbicara soal, jika ada kasus kekerasan seksual anak, baik dilakukan anak atau orang dewasa, maka implikasinya adalah bagaimana menghukum pelakunya. Tetapi tidak membicarakan bagaimana proses rehabilitasi pelaku dan yang lebih penting adalah pemulihan yang tuntas kepada korban,” jelas Triantono.

Dalam kasus kekerasan seksual, kata Tri, rehabilitasi penting karena dalam kasus kekerasan seksual kepada anak, pelaku memandang anak-anak sebagai objek seksual bagi kepuasan dirinya. Penjara tidak menyembuhkan kecenderungan ini, karena terbukti banyak pelaku lebih ganas setelah selesai dari pemidanaan.

Triantono menilai, Indonesia tidak kekurangan lembaga terkait isu ini. Namun sejauh ini belum ada jalinan kerja sama yang erat, baik antar-lembaga pemerintah maupun lembaga pemerintah dengan LSM. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan, di tengah kebuntuan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Karena pemerintah dan DPR tidak memiliki semangat yang sama dengan kita dalam isu ini,” lanjutnya. [ns/lt]

 

Sumber berita: VOA Indonesia

 

 

42480700
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2733
10808
174230
156663
42480700