WATES - Kasus kekerasan seksual pada anak di Kulonprogo setiap tahun terus meningkat. Beberapa hal ditengarai menjadi penyebabnya, seperti budaya yang menganggap perempuan sebagai objek seksual, kesepian, sampai penetrasi internet yang semakin masif sehingga akses ke pornografi semakin terbuka.
Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kulonprogo mencatat, pada 2015 terjadi 15 kasus kekerasan seksual, meningkat menjadi 23 kasus pada 2016. Sedangkan sampai Juni 2017 telah terjadi 16 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual bahkan menduduki peringkat pertama untuk segala macam jenis kekerasan di Bumi Menoreh.
Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinsos P3A Kulonprogo, Woro Kandini menyatakan, pelaku kekerasan seksual pada anak cukup beragam. Begitu pun jenis dan umur anak yang menjadi korban. "Jenisnya cukup mengerikan untuk diceritakan. Pada 2017, di Kulonprogo telah terjadi empat kasus ayah kandung yang memperkosa anaknya sendiri. Belum lagi kasus lain seperti seseorang yang memperkosa anak tetangga atau yang mencabuli temannya sendiri. Bahkan pada Maret lalu, ada anak usia tiga tahun yang menjadi korban," ucap Woro Kandini, Jumat (21/7).
Woro Kandini menyebut, ada berbagai hal yang membuat kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat, salah satunya pandangan sebagian masyarakat yang menganggap perempuan sebagai objek seksual. "Tayangan konten porno di internet juga menjadi satu penyebab, karena sangat memengaruhi perilaku seseorang. Tapi ada juga penyebab lain seperti kesepian dan lainnya. Penyebabnya memang cukup beragam tapi internet yang paling keras pengaruhnya," ujar Woro Kandini menambahkan.
Untuk menekan tingginya kasus ini, Dinas Sosial P3A Kulonprogo terus berupaya untuk menyosialisasikan Perda No.7/2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Sosialisasi dilakukan agar masyarakat tidak lagi bertindak sewenang-wenang terhadap anak, karena sudah ada peraturan yang bisa menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.
Konselor psikologi Rifka Annisa, Budi Wulandari menyampaikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung akan mengalami tindakan yang sama secara berulang, karena takut ancaman dari pelaku. Ancaman tersebut seperti kekerasan dalam bentuk lain atau penyebarluasan aib.
Ia mengatakan kekerasan seksual pada anak tidak akan langsung diketahui sampai muncul dampaknya bagi korban, misalnya anak yang biasanya ceria menjadi pendiam, sering cemas, ketakutan dan lainnya. "Kalau keluarganya peka pasti akan langsung menggali untuk mencari tahu apa yang terjadi," ujar Budi Wulandari.
Untuk menekan kasus ini, harus ada sinergi antara Pemkab Kulonprogo, aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemerintah harus menghimbau masyarakat agar melaporkan semua tindak kekerasan pada anak, dan sebaliknya masyarakat harus aktif melaporkan.
I Ketut Sawitra Mustika
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Sumber: Harian Jogja, Sabtu 22 Juli 2017
GUNUNGKIDUL - Kasus kejahatan melibatkan anak masih tinggi. Berdasarkan data dari kepolisian setempat, dalam kurun waktu 2015 hingga 2017 ada puluhan anak berurusan dengan hukum.
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Gunungkidul mencatat pada 2015 jumlah kasus 16. Setahun kemudian naik menjadi 27 kasus. Tahun ini sampai 1 Mei tercatat delapan anak terimpit kasus hukum. "Anak-anak menjadi korban sekaligus pelaku kejahatan," kata Panit Humas Polres Gunungkidul, Iptu Ngadino kemarin (1/5).
Jumlah kasus bervariasi, mulai pencurian dengan kekerasan hingga pencabulan. Jumlah korban didominasi anak perempuan. Maraknya tindak kejahatan melibatkan anak harus menjadi perhatian bersama. Selain itu, idealnya ada upaya pencegahan. "Pencegahan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tapi semua pihak harus terlibat. Sehingga kasus yang muncul dapat ditekan," ujar Ngadino.
Selama 2015 hingga 2017 tercatat 35 kasus kejahatan yang melibatkan anak. Pada 2017 unit PPA menangani delapan perkara. Satu anak terlibat pencurian dengan kekerasan, enam kasus persetubuhan dan pencurian satu kasus.
Kami berharap orangtua lebih waspada. Menjaga anak terutama yang mulai tumbuh dewasa karena rentan menjadi korban dan pelaku kejahatan. Pengawasan intensif mendesak dilakukan. "Bagaimana pun kesibukan orangtua, perhatian dan pengawasan terhadap anak harus diutamakan," kata Ngadino.
Manajer Humas dan Media LSM Rifka Annisa, Defirentia One, prihatin dengan tingginya kasus kejahatan melibatkan anak. Dari data yang dimiliki Rifka Annisa, selama 2016 terdapat 43 anak menjadi korban kekerasan. "Kasusnya meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, perdagangan anak serta kekerasan dalam pacaran," kata Defirentia.
Sebanyak 70 persen merupakan perkara kekerasan seksual, 16 diantaranya telah memiliki putusan hukum tetap. Rata-rata untuk kasus seksual anak, hukuman bagi pelaku tujuh tahun penjara.
Namun ada juga kasus yang dihentikan penyidikannya. Korban merupakan anak 12 tahun sementara pelaku dewasa. Penyidikan dihentikan karena hasil pemeriksaan kejiwaan menunjukkan pelaku terganggu jiwanya.
"Ada juga perkara dicabut karena ada kesepakatan damai kedua pihak. Laporan dicabut karena dinikahkan dengan pelaku," kata Defirentia. (gun/iwa/er)
Sumber: Jawa Pos Radar Jogja, Selasa 2 Mei 2017
Hari perempuan Internasional adalah hari yang diperingati untuk merayakan perjuangan kaum perempuan. Memperingati hari perempuan merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi sejarah perjuangan perempuan. Kemajuan dunia saat ini yang terlihat begitu pesatnya tidak lepas dari berbagai peran perempuan didalamnya. Banyak kita ketahui adanya pergeseran yang ditunjukkan dengan adanya kemajuan perempuan dalam berbagai aspek. Namun, kemajuan perempuan tersebut berbanding terbalik dengan banyaknya kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi. Setiap tahun di Indonesia kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, berdasarkan catatan komisi Nasional Perempuan yang dirilis tahun 2017 menyebutkan bahwa terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan selama tahun 2016. Hal tersebut menunjukkan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan belum menjadi perhatian penuh oleh berbagai pihak.
Kemudian ada pun peristiwa lainnya yang terjadi pada 8 Maret 1857 yang kemudian diperingati sebagai hari perempuan sedunia di New York City. Kala itu, kaum perempuan dari pabrik pakaian tekstil mengadakan protes karena apa yang mereka merasakan kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa kemudian diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini kemudian membentuk serikat buruh pada bulan yang sama dua tahun setelah peristiwa tersebut. Di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja inilah gagasan perayaan International Women’s Day ini tercetuskan.
Namun, sekitar tahun 1910 dan 1920-an, peryaan ini sempat menghilang tanpa alasan yang jelas. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Lalu, pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori peringatan Hari Perempuan Sedunia. Seiring berjalannya waktu, peringatan ini semakin menggema karena semakin banyak perempuan-perempuan yang merayakannya. Para perempuan di masing-masing negara mengadakan berbagai acara yang diharapkan dapat memotivasi para perempuan untuk lebih mengembangkan dirinya sesuai dengan bidang yang diminatinya. Di Yogyakarta sendiri masih banyak pembangunan yang dilakukan namun selalu mengacu kepada pembangunan fisik dan infrastruktur, namun pembangunan dari sisi mental dirasa masih sangat kurang terutama dalam pembangunan dan kebijakan yang adil gender. Pada 8 Maret 2017 lalu telah dilaksanakan momentum perayaan hari perempuan sedunia. Salah satunya bertempat di titik nol kilometer Yogyakarta. Acara diawali dengan tarian adaptasi “Jampi Gugat” yang di tarikan oleh perempuan-perempuan yang tengah berkumpul disana. Kegiatan tersebut berlangsung meriah, terlihat para perempuan menunjukkan ekspresi keceriaan mereka.
Salah satu peserta yaitu ibu sopiyah yang berprofesi sebagai buruh gendong di Giwangan, beliau menyebutkan bahwa aksi ini dapat menambah semangat untuk mencari pengakuan dari masyarakat dan perempuan mendapat tempat yang sejajar dengan laki-laki. para peserta yang mengikuti aksi ini tidak hanya perempuan, banyak juga laki-laki yang mengikuti seperti bapak Ahmad asal makasar yang menyebutkan sangat senang dengan acara ini karena beliau dapat melihat kesadaran perempuan akan pentingnya kedudukan perempuan dalam kehidupan. Dalam aksi tersebut terdapat beberapa kegiatan diantaranya penulisan surat 1000 bangau yang diisi oleh peserta para perempuan tentang apa yang diinginkan untuk kemajuan perempuan, dilanjutkan dengan beberapa penampilan mulai dari nyanyian hingga musikalisasi puisi yang bertemakan pembelaan terhadap perempuan. []
Pada hari Kamis s.d Sabtu, 2 s.d 4 Maret 2017 lalu, Rifka Annisa WCC mengadakan kegiatan workshop yang bertempat di Hotel Pesonna Malioboro, Jl. Gadean No.3 Yogyakarta. Workshop ini berisi tentang bagaimana cara pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam sistem berbasis sekolah. Peserta dalam kegiatan ini berjumlah 15 orang kepala Sekolah dari beberapa SMK di Gunungkidul antara lain; SMK Sanjaya Gunungkidul, SMK Pembangunan Karangmojo, SMK N Saptosari, SMK N 2 Purwosari, SMK N 3 Purwosari, SMK N 2 Gedangsari, SMK N 1 Wonosari, SMK N 1 Nglipar, SMK N 1 Ngawen, SMK N 1 Girisubo, SMK N 1 Gedangsari, SMK Muhammadiyah Semin, SMK Muhammadiyah Karangmojo, SMK Muhammadiyah 1 Wonosari. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini bertujuan untuk memahami penyebab/akar terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, memahami dinamika psikologis remaja dan karakter psikologis perempuan/anak korban kekerasan sehingga dapat diperoleh pemahaman bersama antar sekolah terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah. Kegiatan workshop ini diadakan berdasarkan hasil evaluasi kasus yang telah di dampingi oleh Rifka Annisa WCCdimana setiap tahunnya rata-rata sebanyak 300 kasus yang mayoritas berasal dari wilayah DIY. Jenis kasus yang didampingi adalah kekerasan terhadap istri (KDRT), perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam pacaran, kekrasan dalam keluarga, serta perdagangan orang. Pada tahun 2016 Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten di DIY yang tercatat terdapat 29 kasus, 10 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual. Berdasarkan data yang ada, usia yang rentan mengalami kekerasan seksual terutama adalah anak di usia sekolah. Rifka Annisa melihat pentingnya sistem berbasis sekolah terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan dan kekerasan seksual. Hal ini juga sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 82 Tahun 2015, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Berdasarkan hal tersebut maka masing-masing unsur didalam sekolah dan lingkungan serta sistem pembelajaran di sekolah perlu diberikan penguatan. Seluruh komponen dalam sekolah seperti murid, guru, karyawan dan kepala sekolah memiliki peran masing-masing dalam mengendalikan kegiatan disekolah supaya terhindar dari aksi kekerasan dan kekerasan seksual.
Kepala sekolah memiliki peran penting dalam pembuatan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan. Untuk itu melalui workshop “Sistem Berbasis Sekolah untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, inisiatif serta upaya setiap sekolah untuk melakukan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan sekolah. Di sesi terakhir workshop para Kepala Sekolah sangat mengapresiasi kegiatan workshop yang diadakan oleh rifka annisa, Dra. Siti Fadilah, M.Pd.I kepala sekolah SMK Negeri Saptosari menyampaikan beliau merasa puas dengan materi yang disampaikan dalam kegiatan workshop, selain itu beliau juga kagum dengan fasilitator yang masih muda, namun dapat menyampaikan materi dengan baik. Apresiasi lain juga terlihat dari beberapa Kepala Sekolah lain yaitu H.Ruslan S.Pd,MM,Pd dari SMK Pariwisata Purwosari yang menginginkan pihak Rifka Annisa tetap berkoordinasi dengan sekolah-sekolah setelah melakukan worshop ini.
Hari ketiga atau sesi terakhir ini membahas tentang konseling dan pendampingan, dilanjutkan dengan pembahasan rencana tindak lanjut, kemudian ditutup dengan evaluasi kegiatan. Beberapa Kepala Sekolah saat dimintai keterangan tentang keberlanjutan untuk program pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan kekerasan seksual di sekolahnya salah satunya pak Drs. H. Rachmad Basuki, S.H, M.T dari SMK N 2 Wonosari menyampaikan akan segera menetapkan tanggal untuk dilakukan koordinasi dengan guru-guru. Hal ini menunjukkan kegiatan workshop ini sangat efektif dalam meningkatkan kesadaran para Kepala Sekolah tentang pentingnya upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Setelah mengikuti workshop ini salah satu Kepala Sekolah yaitu Sr. M. Eligia Kristiani, AK. S.Pd dari SMK Sanjaya Gunungkidul berpesan kepada generasi muda untuk tidak mudah larut dalam menggunakan media sosial demi terwujudnya cita-cita.[]