Akibat "Rape Culture" Masyarakat Dinilai Berperan Langgengkan Pemerkosaan

Written by  Rabu, 14 November 2018 09:58

KOMPAS.com – Pernahkah kita mengeluarkan komentar terhadap kasus pemerkosaan yang ada di sekitar kita? Misalnya, mengeluarkan kalimat, "Ah pasti dia pakai bajunya seksi", "Siapa suruh mau diajak cowok enggak jelas, kejadian kan", "Dia emang cewek nakal, pantas saja sampai begitu". Komentar-komentar tersebut secara tidak langsung meletakkan posisi perempuan pada posisi bersalah (victim blaming) atas insiden pemerkosaan yang dialaminya. Sementara. laki-laki yang menjadi pelaku pemerkosaan dianggap wajar dan memiliki insting naluriah atas nafsu yang ia lampiaskan.

Atau mungkin bisa jadi kalimat yang diucapkan seperti, "Ya kan dipegang doang, serius amat”, "Santai aja, sok suci deh", "Laki-laki memang begitu". Kalimat itu bisa jadi ringan diucapkan, namun termasuk dalam fenomena rape culture yang ternyata memiliki konsekuensi besar terhadap langgengnya praktik pemerkosaan di sekitar kita. Bahkan, ketika kasus pemerkosaan dibawa ke ranah hukum, petugas polisi justru menyatakan hal-hal yang secara tidak langsung mematikan laporan pelapor. Misalnya dengan kalimat, "Apa kejadian ini bukan karena suka sama suka", "Coba dibicarakan kekeluargaan dulu", dan sebagainya. Semua itu masih ada, kerap kita dengar, atau bahkan kita sendiri ambil  bagian dalam kesalahan itu sampai saat ini. Sehingga, tak heran tindak pelecehan atau bahkan kekerasan seksual masih saja terulang di masyarakat. 

Menurut Program Development Officer dari organisasi Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah, kesalahan-kesalahan ini bersifat laten dan sudah mengakar di masyarakat. "Rape culture ini sifatnya sistemik, kita enggak sadar bahwa itu sudah ada dan bahkan dilanggengkan dalam budaya kita. Ini juga menjadi penyebab kenapa banyak kasus perkosaan atau pelecehan seksual terus terjadi dan sulit ditangani," ujar Defi kepada Kompas.com, Kamis (8/11/2018) pagi. 

Defi juga menyebutkan, praktik pemerkosaan yang dilanggengkan ini menyebabkan struktur sosial yang ada di masyarakat tidak lagi berfungsi. Selain itu, masyarakat kehilangan sensitivitas terhadap pelanggaran yang merugikan hak-hak korban. Sementara, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Indry Oktaviani, menyebutkan hal ini sebagai warisan budaya patriarki yang banyak dianut kebanyakan kelompok masyarakat di dunia. "Hal ini terkait dengan budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia, itu proses sistematik,” ujar Indry.

Dampak

Dampak buruk yang dapat timbul dari kebiasaan melumrahkan pemerkosaan dan menyalahkan korban dapat menyebabkan masalah berkepanjangan. Adapun, masalah itu seperti menyelamatkan pelaku dari rasa bersalah, kemudian menghancurkan kondisi psikologis korban, sulitnya pengungkapan sebuah kasus pemerkosaan, hingga pada akhirnya kejadian serupa kembali terulang dan terulang.

"Korban semakin terpojokkan, ia enggan berbicara. Bahkan dalam beberapa kasus, korban tidak langsung melapor karena tekanan psikologis dan dipojokkan oleh rape culture di sekitarnya," ujar Defi. “Justru kebiasaan kita yang tidak mendukung korban tersebut menyebabkan korban semakin trauma dan menanggung sendiri dampak kekerasan seksual yang dialaminya," Defi melanjutkan.

Apa yang harus dilakukan

Meski tidak mudah dan dibutuhkan partisipasi banyak pihak, menghilangkan praktik pelanggengan pemerkosaan di masyarakat masih mungkin untuk dilakukan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meniadakan praktik rape culture di tengah masyarakat. Upaya itu mulai dari membenahi diri sendiri, mengedukasi lingkungan, hingga mendesak pihak berwenang untuk mengubah aturan hukum yang kurang sesuai.

"Mulai dari hal kecil, misalnya tidak melakukan candaan seksual (sexist joke), tidak menyalahkan korban (victim blaming), dan tidak menganggap remeh tindakan seksual apa pun," Defi menjelaskan.

Masyarakat yang selama ini tidak menyadari kebiasaannya sebagai sesuatu yang salah juga perlahan harus dicerahkan dan diedukasi dengan tepat. Ada konsekuensi buruk berkepanjangan dari kebiasaan salah yang secara tidak sadar mereka lakukan.

Di ranah hukum, Indry dari Koalisi Perempuan menyebutkan, ada salah satu pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kurang tepat dan harus segera diperbaiki.

"Kalau undang-undang dan peraturan masih berpihak pada pelaku, maka korban  akan selalu menjadi pihak yang salah. Coba buka KUHP Pasal 285, perkosaan adalah jika terjadi penetrasi penis ke dalam vagina dan dilakukan dengan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan," kata Indry.

Menurut dia, definisi pemerkosaan yang ada di peraturan itu dinilai terlalu sempit. Padahal, pemerkosaan dapat diartikan pada tindakan pelecehan atau kekerasan seksual yang lebih luas. "Juga kenyataan bahwa anal atau oral seks juga bentuk yang serupa dengan penetrasi vaginal. Jadi, seharusnya penetrasi anal dan oral juga masuk dalam bentuk perkosaan," kata Indry.

Menurut dia, tidak semua ancaman bisa dibuktikan menggunakan penjelasan yang tertera di KUHP. Ada pula pemerkosaan yang dilakukan dengan bujuk rayu. Selain itu, ancaman juga tidak selalu berbentuk fisik. Bisa juga bentuk ancaman seperti meluluskan ujian, menyebarkan foto korban dalam kondisi tidak pantas juga dapat disebut sebagai ancaman yang mengerikan untuk korban. Akan tetapi, hal itu tidak termaktub dalam penjelasan peraturan hukum yang saat ini ada.

 

 

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Akibat "Rape Culture", Masyarakat Dinilai Berperan Langgengkan Pemerkosaan", https://nasional.kompas.com/read/2018/11/08/16241701/akibat-rape-culture-masyarakat-dinilai-berperan-langgengkan-pemerkosaan
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Bayu Galih

Read 1236 times
46416794
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5564
90602
269039
306641
46416794