Memahami Budaya Pemerkosaan

Written by  Selasa, 30 Januari 2018 11:58

Keluarga saya harus melihat foto-foto kepala saya yang terikat kepada brankar yang dipenuhi jarum pinus, badan saya diatas tanah dengan mata tertutup, rambut berantakan, tubuh tertekuk. Dan meskipun demikian, keluarga harus mendengarkan pengacara Anda yang mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut diambil setelah kejadiannya terjadi, maka harus digugurkan sebagai bukti

Pernyataan korban dalam Pengadilan di negara bagian California. Suatu kasus pemerkosaan yang terjadi di Universitas Stanford, yang mana pelaku bernama Brock Turner, seorang mahasiswa atlit berumur 22 tahun.

Budaya pemerkosaan adalah sebuah sistem kepercayaan yang tertanam dalam suatu masyarakat, yang membenarkan agresi dan kekerasan terhadap perempuan, maupun anak.[2] Teori ini menjelaskan bahwa yang menyebabkan seseorang untuk melakukan pemerkosaan bukanlah motivasi diri dari si pelaku semata, tetapi hal tersebut terjadi dikarenakan adanya sokongan dari masyarakat, dengan cara memberikan sokongan terhadap perbuatan tersebut.[3]

Ada dua ciri-ciri hal dimana suatu masyarakat patut diduga untuk menganut budaya pemerkosaan: (a) saat masyarakat membenarkan tindakan-tindakan kejahatan seksual, dengan cara menunjuk korban sebagai pihak utama untuk disalahkan (misalnya seperti meyakini bahwa pemerkosaan terjadi karena persetujuan korban, atau pelecehan seksual terjadi karena korban ‘mengingkannya’); dan (b) saat tindakan-tindakan heteroseksualitas yang tidak pantas dianggap sebagai sesuatu yang normal.[4]

Ada banyak sekali contoh-contoh manifestasi budaya pemerkosaan, beberapa diantaranya dapat berupa suatu musik populer, seperti suatu lagu yang diciptakan oleh Robin Thicke dan Pharell Williams berjudul “Blurred Lines”, dimana lagu tersebut memperolok persetujuan wanita dalam kasus-kasus pemerkosaan.[5] Contoh lain bisa dilihat dari kelakuan suatu kelompok mahasiswa dari suatu universitas di Kanada, dimana mereka bersorak dan bernyanyi “Y adalah untuk adik perempuanmu, O adalah untuk oh begitu ketatnya, U adalah untuk dibawah umur, N adalah untuk tak adanya persetujuan, G adalah untuk peganglah bokong itu” saat berlangsungnya sebuah acara orientasi mahasiswa baru di kampus mereka.[6] Ada juga suatu contoh, dimana seorang mahasiswa bernama Angie Epifano yang diperkosa di dalam asramanya, tetapi tidak ada bentuk tindak lanjut yang diberikan oleh penasihat-penasihat sekolahnya, dikarenakan ketidakpercayaan mereka terhadap cerita Angie.[7]

Telah terbukti, bahwa kita hidup di suatu masyarakat yang mempromosikan kejahatan/pelecehan/kekerasan seksual, yang menyediakan lahan subur untuk aktifitas-aktifitas kejahatan seksual untuk bertumbuh. Sebagaimana opini antropolog Lionel Tiger : meskipun laki-laki, terkhusus jika dalam sebuah grup, memunyai kecenderungan untuk menjadi agresif terhadap perempuan, tetapi tidak selalu berakhir dengan tindak pemerkosaan atau tindak kekerasan lainnya.[8] Tindakan tersebut terjadi dikarenakan masyarakat dan/atau teman-teman (laki-laki) lainnya memberi isyarat-isyarat sosial agar terlaksananya kejahatan itu.[9] Maka dari itu, sebuah niat untuk memerkosa dibentuk oleh di dalam lingkungan pelaku tersebut. Mungkin kita tidaklah sadar, tetapi suatu masyarakat yang terus-menerus terdidik untuk berpikir seperti ini, adalah yang membuat upaya pencegahan atau kejahatan seksual lainnya menjadi ekstra sulit, terlebih lagi untuk memberi keadilan terhadap pelaku-pelakunya

Sebagai contoh, masyarakat akan berpikir bahwa seseorang akan diperkosa hanya pada saat orang tersebut sedang berjalan di jalan yang gelap dan terasingkan pada malam hari.[10] Ini secara langsung memberikan makna bahwa: (a) pemerkosaan diperbolehkan jika seseorang sedang berjalan di jalan yang gelap dan terasingkan pada malam hari, dan (b) bahwa pemerkosaan terjadi hanya pada kondisi dan tempat seperti yang telah disebutkan, mengabaikan fakta dimana pemerkosaan juga terjadi di dalam satu lingkungan keluarga.[11] Titik masalahnya bukan berada pada ketidakmampuan seseorang untuk menyadari kekeliuran dalam pemikiran seperti ini, tetapi dikarenakan tiada orang yang berpikir kebenaran moralitas dalam pemikiran tersebut.

Kadangkala, masyarakat sudah terbiasa untuk dibantu orang lain untuk berpikir, sehingga lupa untuk berpikir untuk diri mereka sendiri. Sebuah ‘budaya pemerkosaan’ dihasilkan oleh buah pemikirian yang kita miliki, dan bagaimana kita mengekspresikannya di ranah  publik. Jika hal ini terjadi, semua orang dalam masyarakat mempunyai pertanggungjawaban terhadap kejadian tersebut. Walaupun itu lelucon mengenai pemerkosaan, menyalahkan temannya yang merupakan korban suatu kekerasan seksual karena penampilannya ‘menggoda’, atau mungkin se-sederhana dengan berdiam diri di saat hal-hal tersebut terjadi. Kita semua terlibat, dan itulah alasannya mengapa hal tersebut merupakan tanggungjawab moral kolektif kita untuk memusnahkan budaya ini.

Artikel ini ditulis oleh Julian Martin, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

 

[1] Buncombe, Andreq. “Stanford Rape Case: Read the Impact Statement of Brock Turner's Victim.” The Independent, Independent Digital News and Media, 2 Sept. 2016, www.independent.co.uk/news/people/stanford-rape-case-read-the-impact-statement-of-brock-turners-victim-a7222371.html.

[2] Cobos, April. “‘Rape Culture’ Language and the News Media: Contested versus Non-Contested Cases.” Journal for Communication Studies, vol. 7, 23 Dec. 2014, p. 38., rape culture.

[3] Ibid.

[4] Sills, Sophie, et al. “Rape Culture and Social Media: Young Critics and a Feminist Counterpublic.” Feminist Media Studies, vol. 16, no. 6, 2016, p. 936,, doi:10.1080/14680777.2015.1137962.

[5] Tanya Horeck (2014) #AskThicke: “Blurred Lines,” Rape Culture, and the Feminist Hashtag Takeover, Feminist Media Studies, 14:6, 1105-1107, DOI: 10.1080/14680777.2014.975450

[6] Williams, Mary Elizabeth. “College Students Cheer Sex Abuse.” Salon, 5 Sept. 2013, www.salon.com/2013/09/05/college_students_cheer_sex_abuse/.

[7] Kingkade, Tyler. “Angie Epifano, Amherst Rape Survivor: Reaction To Op-Ed On Sexual Assault Was 'Overwhelming'.” The Huffington Post, TheHuffingtonPost.com, 15 Jan. 2013, www.huffingtonpost.com/2013/01/15/angie-epifano-amherst_n_2480070.html.

[8] May, Larry, and Robert Strikwerda. “Men in Groups: Collective Responsibility for Rape.” Hypatia, vol. 9, no. 2, 1994, pp. 134–151., doi:10.1111/j.1527-2001.1994.tb00437.x.

[9] Ibid.

[10] Bettencourt, Jackie. “Rape Culture.” 5 Oct. 2013, p. 8., innisdale.ca/Global2013/wp-content/uploads/2013/05/Rape-Culture.pdf.

[11] Bettencourt, Jackie. “Rape Culture.” 5 Oct. 2013, p. 8., innisdale.ca/Global2013/wp-content/uploads/2013/05/Rape-Culture.pdf.

Read 1829 times
46778353
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1675
13010
286720
343878
46778353