Yogyakarta – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur mengunjungi Rifka Annisa, Rabu (12/7). Kunjungan tersebut disambut dan dipandu langsung oleh Manager Divisi Pendampingan, Indiah Wahyu Andari. Kegiatan kunjungan yang berlangsung mulai pukul 10.30 WIB tersebut diawali dengan diskusi dan berbagi pengalaman terkait metode penanganan korban kekerasan yang dilakukan oleh Rifka Annisa maupun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat.
Esther, salah satu perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat mengatakan memilih Rifka Annisa sebagai rujukan karena menilai Rifka Annisa telah berpengalaman dalam menangani kasus kekerasan perempuan dan anak sejak tahun 1993. Ia juga mengungkapkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat menangani sekitar 60 kasus per tahun.
Pertemuan dimulai dengan membahas tentang perbandingan shelter yang dimiliki Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat dengan shelter yang dimiliki Rifka Annisa. Indiah menjelaskan jika ada klien yang membutuhkan shelter maka ada beberapa peraturan diantaranya korban tidak diizinkan memegang handphone dan uang. Hal tersebut dilakukan agar klien tidak dapat dipengaruhi oleh pelaku dan menjaga kerahasian rumah shelter Rifka Annisa. Tetapi bukan berarti klien tidak boleh menggunakan alat komunikasi. Pihak Rifka hanya mengawasi untuk mengetahui siapa-siapa saja yang dihubungi oleh klien tersebut.
“Jangka waktu untuk klien sendiri selama di shelter Rifka Annisa maksimal dua minggu. Hal itu disampaikan sejak awal semenjak klien masuk shelter tetapi jika kasus tidak selesai sampai dua minggu tersebut maka pihak Rifka berusaha untuk memahaminya,” tambah Indiah. Selain itu, Indiah juga menegaskan bahwa klien yang berada di shelter Rifka Annisa tetap melakukan kegiatan pemberdayaan seperti membuat keterampilan tangan dengan tujuan sebagai pemberdayaan perempuan.
Sementara itu, Esther menjelaskan kondisi shelter di Sumba Barat. “Ruangan shelter yang di mililki di Sumba masih sangat terbuka,” kata Esther.
Sama halnya dengan peraturan di Rifka Annisa, Esther juga mengungkapkan jangka waktu untuk tinggal di shelter hanya dua minggu dan tentu juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang lainnya. Ia juga mengaku tidak hanya berperan sebagai ibu shelter melainkan juga melakukan peranan ganda yaitu sebagai pendamping korban jika dirujuk kepada hukum,.
Perbedaan yang lain, Rifka Annisa telah bergabung dalam forum diskusi dengan lembaga lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bernama Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA). Sedangkan shelter Sumba Barat sampai saat ini belum mengikuti forum diskusi dengan lembaga-lembaga lain.
“Itu yang menjadi kendala. Kami belum memiliki forum diskusi dan ruang shelter itu memang masih terbuka,” tegas Esther. Di akhir pertemuan, Esther mengharapkan supaya adanya bimbingan yang diberikan oleh pihak Rifka dan berharap pihak Rifka itu bisa menjadi wadah diskusi dari shelter Sumba. (Ana Widiawati/Lamtiar Tambunan)
*Ana Widiawati dan Lamtiar Tambunan adalah mahasiswa magang di Divisi Humas dan Media Rifka Annisa