Perang Bergejolak, Perempuan Waspada

Written by  Selasa, 22 April 2014 10:04

Oleh: Ratnasari Nugraheni
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Selasa (15/4), Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Universitas Sungkonghoe, Korea Selatan menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Introducing Democratic Peace Principles and Political Situation in South Korea”, pada pukul 09.00-11.00 WIB. Sekitar 50 peserta yang terdiri dari berbagai institusi dan LSM daerah Yogyakarta hadir dalam seminar tersebut. Francis Daehoon Lee selaku guru besar Universitas Sungkonghoe menjadi pembicara dalam seminar tersebut. Dia yang juga memiliki pengalaman sebagai penasihat perdamaian, keamanan, dan perempuan di bawah naungan PBB untuk regional Asia-Pasifik.

“We are in a war, Korea is in a war”, ujar Francis dalam awal presentasinya. Sudah sejak lama Korea terbagi menjadi 2, Korea Utara dan Selatan. Sejak itu pula banyak anggota keluarga terpisah, ibu dan ayah terpisah dari anak, perempuan dan anak-anaklah yang menjadi korban perang paling menderita.

Saat ini pun, perang saudara kedua negara tersebut masih berlangsung walaupun tidak secara fisik, dan lebih menjurus ke perang dingin. Imbasnya, anak remaja laki-laki usia lebih dari 15 tahun harus mengikuti wajib militer. Hal inilah yang menimbulkan adanya male chauvinism yang menjadi akar tumbuhnya budaya patriarki. Adanya steriotipe di mana laki-laki disebut laki-laki sejati bila dia dapat menahan rasa sakit dan kuat mengikuti wajib militer. Kemudian, sejak dini, sejak mengenyam bangku pendidikan, anak-anak sudah diperkenalkan perang melalui kurikulum sekolah. Perang secara umum berdampak pada lahirnya prostisusi di setiap pangkalan militer. Perempuan di daerah konflik menjadi korban kekerasan seksual.

Setelah perang berakhir, perempuan masih tetap menjadi korban. Kembalinya para prajurit perang akan merampas pekerjaan kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena selama perang, kaum laki-laki yang menjadi prajurit dan perempuan yang bekerja dan menempati kekosongan pekerjaan. Posisi pekerjaan yang kosong tidak mungkin dibiarkan, karena hal ini akan berdampak pada bidang ekonomi, kemudian tentunya akan mempengaruhi pembiayaan perang. Usai perang, prajurit yang selamat akan diberikan kompensasi sebagai imbal jasanya. Pekerjaan dan penghidupan layaklah yang akan diberikan pemerintah. Artinya, pekerjaan yang selama ini diisi perempuan, akan diserahkan kepada laki-laki. Perempuan secara terpaksa diberhentikan dan kembali ke rumah.

Di rumah pun, perempuan masih perlu waspada. Laki-laki yang pulang dari medan perang akan lebih mudah tersulut emosi, kekerasan dalam rumah tangga pun menjadi ancaman. Hal-hal inilah yang menjadikan kaum perempuan terus-menerus menjadi korban paling menderita. Di akhir diskusi, Francis menegaskan bahwa perang selamanya tidak akan melahirkan kehidupan yang lebih baik, di awal maupun akhir perang.

Read 1279 times
46402282
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7768
76090
254527
306641
46402282