Diskusi Novel “ Pulang” : Cerita Tentang Akar Identitas

Written by  Senin, 10 Februari 2014 13:32

Oleh : Ratna Dwi Astuti

 

Rabu (05/02/2014) diantara rintik-rintik hujan yang membasahi, sekelompok orang tengah asyik berkumpul disebuah ruangan berukuran 10x5 meter. Ruangan yang dipenuhi oleh ratusan buku ini adalah ruang perpustakaan Rifka Annisa. Di sisi selatan dari rak-rak buku yang menggunung, orang-orang terlihat khusyuk mendengarkan seorang perempuan yang berada deretan paling utara dari peserta yang duduk melingkar. Perempuan itu adalah pemantik diskusi, namanya Any Sundari.

Bersama lima belas orang yang lainnya ia asyik bertutur tentang sebuah buku novel berjudul “Pulang”. Buku bersampul kuning, berilustrasi tangan mengepal tersebut adalah novel karya Lelia S Chudori. Ann, sebagaimana ia biasa disapa,mengajak peserta diskusi untuk merefleksikan apa yang ia baca pada novel yang berlatar belakang sejarah politik tragedi tahun 1965. Sebanyak lima ratus ribu sampai satu juta orang meninggal dunia dalam sebuh krisis politik. Mereka yang dibantai diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia berujar dibawah naungan rezim Suharto yang berkuasa, nasib orang-orang yang hidup dari pembantaian tentu saja menyedihkan. Mereka dicap bertindak makar dan mereka yang dipenjara terkatung-katung tidak jelas vonis hukumannya. Mereka terpinggirkan bahkan mengalami diskriminasi baik sebagai HAK Kewarganegaraanya sendiri. Keturunannya pun terkena getah yang dialami oleh generasai sebelumnya. Padahal banyak dari mereka yang sebenaranya bukan menjadi anggota atau bagian dari PKI.

Any mengatakan novel “Pulang” karya Leila berfokuskan pada dua sudut pandang, yakni mereka para eks tapol yang mengalami tragedi tahun 1965 dan generasi kedua atau anak-anak dari para eks tapol tersebut. Yang menarik menurutnya, Leila menuliskan novel ini dari perspektif korban dan keluarganya dengan pendekatan personal yang cukup erat. Selain itu Leila secara cerdik membidik cerita orang Indonesia yang pada saat meletusnya tragedi 1965 tengah berada di luar negeri dan tidak bisa pulang karena gejolak ideologi dan transisi politik. “Pulang” menurutnya adalah cerita novel tentang kerinduan seseorang kepada tanah air yang menjadi tanah kelahiran mereka.

Cerita yang ada dalam novel itu memberikan gambaran ada kompleksitas identitas dari masing-masing generasi yang memandang peritiwa 1965 dan ada beban sejarah yang akan dipikul oleh generasi selanjutnya. Menurut Any, novel Leila memiliki kelebihan dalam pendekatan dari sisi emosional dan drama tokohnya. Namun Leila tidak pernah cukup berani menegaskan posisi ideologis para tokoh yang menjadi korban. Faktanya sejak awal mereka para tokoh berada di daerah abu-abu, berada dalam kondisi dan kesempatan yang tak tepat. Baginya Leilla terjebak pada cerita-cerita penderitaan yang dialami para eks tapol di dalam tokoh yang ia ciptakan. Mungkin bias jadi Leila mencari titik aman untuk tidak membicarakan persoalan ideologis setiap tokoh. Pada dasarnya, Leila hanya mengupas identitas dan melupakan struktur ideologis yang terjadi pada amuk masa tahun 1965.

Peristiwa tahun 1965 baginya memberikan pelajaran berharga bagi bangsa kita. Bagaimana bangsa ini selalu melabelkan peristiwa amuk masa dalam sebuah kerangka identitas seperti pelabelan identitas PKI ataupun identitas Cina. Kit tidak pernah belajar untuk mencari akar persoalan yang semata bukan pesoalan identitas namun sebuah persoalan ideologis. Ia juga bercerita bahwa ada beberapa cerita para eks tapol telah menjalin komunikasi dengan komunitas eks tapol lain yang berdiaspora di beberapa negara di Eropa. Mereka membentuk jejaring bagi eks tapol yang mengalami kesusahan dan selalu memantau tanah airnya. Hal itu membuktkan kecintaan mereka yang tidak pernah surut kepada Tanah Air.
Diskusi ini sangat hidup dan banyak pernyataan yang terlontar dari beberapa orang misalnya Fitri Harjanti berpendapat peristiwa 1965 dari 1998, sekalipun Pemerintah tidak pernah memberikan klarifikasi secara resmi, bahkan untuk mencabut pelarangan Marxisme dan Komenisme baru dilakukan pada zaman Gus Dur dan itupun sangat kontroversial. Zaman kuliah saya banyak menemui eks tapol di luar Indonesia. Saat ia diluar negeri, jika ketemu dengan orang Indonesia, mereka selalu menceritakan bahwa sejarah milik pemenang. Ia juga berujar betapa hebatnya Orde Baru membuat komunisme itu menjadi laten, stigma mereka  kuat sampai ada candaan “mending diteriakin maling dari pada komunis”. Para eks tapol hanya menginginkan pelurusan sejarah yang sampai sekarang belum terjadi dan setiap generasi hanya menerima informasi yang salah.  

Niken Angrek Wulan, salah satu peserta diskusi juga berpendapat bahwa cerita ini hampir mirip dengan buku Jamilah. Baginya pelaku kekerasan itu bisa dilakukan oleh keluarga atau teman dekat sehingga perempuan dan anak menjadi pihak yang menderita diantara stigmasi itu berlanjut. Pencabutan identitas atas seseorang merupakan kejahatan yang luar biasa kepada seorang individu. Sementara peserta lain, Johan menangapi Leila memilih berada di posisi abu-abu hal itu sebagai pilihan bahwa negara atau pemerintah tidak boleh menghakimi hal berideologi karena dikhawatirkan  hal ini bias menjadi alasan negara untuk melakukan  kekerasan.

Diakhir sesi Any menekankan bahwa sejatinya pemerintah wajib meluruskan kebenaran atas sejarah yang terjadi masa lampau. Sehingga tidak ada lagi korban lagi pada generasi selanjutnya. Setiap manusia hanya ingin pulang ke tempat yang nyaman dan aman. Bukan pulang untuk mengalami penderitaan bahkan berujung kepada kematian kepercayaan dan ideologi yang mereka pertahankan. Itulah pulang yang di maksud oleh Leila S. Chudori.

Read 4187 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:10
46401754
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7240
75562
253999
306641
46401754