Selasa, 30 Januari 2018 21:24

Donasi

Selasa, 30 Januari 2018 15:27

Ingin Magang di Rifka Annisa?

PROSEDUR MAGANG

  1. Mahasiswa menyerahkan permohonan magang resmi dari Universitas atau lembaga lain (surat pengantar) dilengkapi dengan proposal rencana kerja   magang yang ditujukan kepada Direktur Rifka Annisa selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum masa magang dimulai.
  2. Proposal yang diserahkan harus meliputi:
    1. Tujuan magang
    2. Manfaat bagi mahasiswa, universitas, dan lembaga
    3. Rencana kegiatan yang dilakukan termasuk timeframe dan outputnya
    4. Rancangan alat ukur atau tools lainya yang akan digunakan
  3. Humas berkoordinasi dengan Divisi yang dituju, juga untuk menentukan Supervisor (SPV) Magang.
  4. Setiap pemagang akan memiliki SPV di divisi yang dituju. SPV akan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama di Divisi yang dituju. Tugas SPV adalah:
    1. Membantu pemagang melakukan tugas magangnya dan mencapai tujuan magangnya sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
    2. Mereview pemagang di setiap akhir minggu dan akhir masa magang bersama dengan HRD.
    3. Memberikan nilai bersama-sama dengan HRD dan Manajer (jika ada penilaian dari Universitas)
  1. Mahasiswa wajib mengisi Form Permohonan Magang yang disertai fotokopi KTP, KTM, dan pas foto 3 x 4, 1 (satu) lembar di hari pertama magang.
  2. Divisi yang dituju mengadakan sesi orientasi lembaga kepada mahasiswa magang selama 1 (satu) hari
  3. Mahasiswa magang selanjutnya mengikuti proses magang sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati antara pihak mahasiswa dan Divisi yang bersangkutan serta prosedur kerja yang berlaku dalam Divisi yang bersangkutan.
  4. Mahasiswa magang wajib melaporkan kegiatan yang telah dilakukan selama 1 (satu) minggu kepada SPV dan Manajer Divisi.
  5. Mahasiswa wajib mengkonsultasikan bahan laporan kepada SPV dan Manajer Divisi.
  6. Mahasiswa wajib menyerahkan laporan yang sudah dipertanggungjawabkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah masa magang selesai.
  7. Durasi magang minimal 1 bulan.
  8. Surat Keterangan Magang akan dikeluarkan sesuai permintaan dan jika pemagang telah menyerahkan laporan kepada Rifka Annisa.
  9. Mahasiswa magang wajib mengikuti tata tertib yang berlaku di lingkungan Rifka Annisa dan wajib menjunjung tinggi etika profesi.

Lembaga berhak membatasi jumlah pemagang terkait dengan efektivitas, dan muatan pekerjaan tiap Divisi.

Informasi lebih lanjut bisa hubungi kami di:

 

Rifka Annisa Jl. Jambon IV Komplek Jatimulyo Indah 55242,

Telp/Fax. 0274-553333, Office Line: +6281390788208 atau email ke Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Relawan adalah kekuatan kami. Melalui relawan kami terbantu dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang pendampingan psikologi dan hukum, penanganan klien perempuan korban kekerasan, media dan desain, pengembangan teknologi dan sistem informasi, kampanye, advokasi, mengorganisir dan membina komunitas baik remaja maupun dewasa, menjadi kontributor, administrasi, hingga relawan profesional.

Seiring dengan organisasi yang terus berkembang, tentunya akan ada banyak metode baru dalam kerja-kerja kami untuk mengeliminir kekerasan terhadap perempuan, dan seiring dengan perkembangan tersebut, kebutuhan akan relawan baik dalam bidang-bidang baru pasti akan terus ada. 

 

Apa Yang Akan Diperoleh Relawan?

Yang mana yang kamu pilih? Sebuah pengalaman untuk mendukung karirmu kelak atau ingin memberikan sesuatu dan membantu sesuai keahlianmu untuk masyarakat?

Yang manapun yang kamu pilih, menjadi relawan di Rifka Annisa akan memberikan banyak manfaat baik bagi dirimu atau masyarakat.

l  Berbagai macam pelatihan terkait isu kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, seperti feminisme, konseling, isu legal, maskulinitas, media dan perubahan sosial, pengorganisasian, dan lain-lain.

l  Kesempatan mengikuti banyak pelatihan dan konferensi di seluruh dunia dengan beasiswa.

l  Kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan beasiswa, kerjasama antara Rifka Annisa dan universitas.

l  Kesempatan menjadi narasumber, fasilitator, dan terlibat dalam berbagai acara terkait isu kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, baik di luar maupun di dalam negeri.

l  Pengalaman bekerja dengan rekan dari berbagai latar belakang sosial dan budaya di lingkungan kerja yang dinamis dan kekeluargaan.

l  Pembelajaran baru mengenai berbagai isu terkait HAM dan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender.

l  Pengalaman berharga yang dapat kamu tampilkan dengan bangga di CV-mu.

 

Bagaimana Caranya Bergabung?

Jika kamu tertarik untuk mendaftar menjadi relawan, silahkan mengirimkan CV dan Motivation Letter melalui email ke Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. dengan mencantumkan bidang keahlian atau yang diminati di subjek email. Setelah CV dan Motivation Lettermu kami terima, kami akan menyesuaikannya dengan kebutuhan kami. Jika kamu lolos sebagai relawan, akan ada beberapa pelatihan awal yang harus diikuti dan akan ada beberapa komitmen yang kami harapkan dapat disepakati.

Selasa, 30 Januari 2018 11:58

Memahami Budaya Pemerkosaan

Keluarga saya harus melihat foto-foto kepala saya yang terikat kepada brankar yang dipenuhi jarum pinus, badan saya diatas tanah dengan mata tertutup, rambut berantakan, tubuh tertekuk. Dan meskipun demikian, keluarga harus mendengarkan pengacara Anda yang mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut diambil setelah kejadiannya terjadi, maka harus digugurkan sebagai bukti

Pernyataan korban dalam Pengadilan di negara bagian California. Suatu kasus pemerkosaan yang terjadi di Universitas Stanford, yang mana pelaku bernama Brock Turner, seorang mahasiswa atlit berumur 22 tahun.

Budaya pemerkosaan adalah sebuah sistem kepercayaan yang tertanam dalam suatu masyarakat, yang membenarkan agresi dan kekerasan terhadap perempuan, maupun anak.[2] Teori ini menjelaskan bahwa yang menyebabkan seseorang untuk melakukan pemerkosaan bukanlah motivasi diri dari si pelaku semata, tetapi hal tersebut terjadi dikarenakan adanya sokongan dari masyarakat, dengan cara memberikan sokongan terhadap perbuatan tersebut.[3]

Ada dua ciri-ciri hal dimana suatu masyarakat patut diduga untuk menganut budaya pemerkosaan: (a) saat masyarakat membenarkan tindakan-tindakan kejahatan seksual, dengan cara menunjuk korban sebagai pihak utama untuk disalahkan (misalnya seperti meyakini bahwa pemerkosaan terjadi karena persetujuan korban, atau pelecehan seksual terjadi karena korban ‘mengingkannya’); dan (b) saat tindakan-tindakan heteroseksualitas yang tidak pantas dianggap sebagai sesuatu yang normal.[4]

Ada banyak sekali contoh-contoh manifestasi budaya pemerkosaan, beberapa diantaranya dapat berupa suatu musik populer, seperti suatu lagu yang diciptakan oleh Robin Thicke dan Pharell Williams berjudul “Blurred Lines”, dimana lagu tersebut memperolok persetujuan wanita dalam kasus-kasus pemerkosaan.[5] Contoh lain bisa dilihat dari kelakuan suatu kelompok mahasiswa dari suatu universitas di Kanada, dimana mereka bersorak dan bernyanyi “Y adalah untuk adik perempuanmu, O adalah untuk oh begitu ketatnya, U adalah untuk dibawah umur, N adalah untuk tak adanya persetujuan, G adalah untuk peganglah bokong itu” saat berlangsungnya sebuah acara orientasi mahasiswa baru di kampus mereka.[6] Ada juga suatu contoh, dimana seorang mahasiswa bernama Angie Epifano yang diperkosa di dalam asramanya, tetapi tidak ada bentuk tindak lanjut yang diberikan oleh penasihat-penasihat sekolahnya, dikarenakan ketidakpercayaan mereka terhadap cerita Angie.[7]

Telah terbukti, bahwa kita hidup di suatu masyarakat yang mempromosikan kejahatan/pelecehan/kekerasan seksual, yang menyediakan lahan subur untuk aktifitas-aktifitas kejahatan seksual untuk bertumbuh. Sebagaimana opini antropolog Lionel Tiger : meskipun laki-laki, terkhusus jika dalam sebuah grup, memunyai kecenderungan untuk menjadi agresif terhadap perempuan, tetapi tidak selalu berakhir dengan tindak pemerkosaan atau tindak kekerasan lainnya.[8] Tindakan tersebut terjadi dikarenakan masyarakat dan/atau teman-teman (laki-laki) lainnya memberi isyarat-isyarat sosial agar terlaksananya kejahatan itu.[9] Maka dari itu, sebuah niat untuk memerkosa dibentuk oleh di dalam lingkungan pelaku tersebut. Mungkin kita tidaklah sadar, tetapi suatu masyarakat yang terus-menerus terdidik untuk berpikir seperti ini, adalah yang membuat upaya pencegahan atau kejahatan seksual lainnya menjadi ekstra sulit, terlebih lagi untuk memberi keadilan terhadap pelaku-pelakunya

Sebagai contoh, masyarakat akan berpikir bahwa seseorang akan diperkosa hanya pada saat orang tersebut sedang berjalan di jalan yang gelap dan terasingkan pada malam hari.[10] Ini secara langsung memberikan makna bahwa: (a) pemerkosaan diperbolehkan jika seseorang sedang berjalan di jalan yang gelap dan terasingkan pada malam hari, dan (b) bahwa pemerkosaan terjadi hanya pada kondisi dan tempat seperti yang telah disebutkan, mengabaikan fakta dimana pemerkosaan juga terjadi di dalam satu lingkungan keluarga.[11] Titik masalahnya bukan berada pada ketidakmampuan seseorang untuk menyadari kekeliuran dalam pemikiran seperti ini, tetapi dikarenakan tiada orang yang berpikir kebenaran moralitas dalam pemikiran tersebut.

Kadangkala, masyarakat sudah terbiasa untuk dibantu orang lain untuk berpikir, sehingga lupa untuk berpikir untuk diri mereka sendiri. Sebuah ‘budaya pemerkosaan’ dihasilkan oleh buah pemikirian yang kita miliki, dan bagaimana kita mengekspresikannya di ranah  publik. Jika hal ini terjadi, semua orang dalam masyarakat mempunyai pertanggungjawaban terhadap kejadian tersebut. Walaupun itu lelucon mengenai pemerkosaan, menyalahkan temannya yang merupakan korban suatu kekerasan seksual karena penampilannya ‘menggoda’, atau mungkin se-sederhana dengan berdiam diri di saat hal-hal tersebut terjadi. Kita semua terlibat, dan itulah alasannya mengapa hal tersebut merupakan tanggungjawab moral kolektif kita untuk memusnahkan budaya ini.

Artikel ini ditulis oleh Julian Martin, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

 

[1] Buncombe, Andreq. “Stanford Rape Case: Read the Impact Statement of Brock Turner's Victim.” The Independent, Independent Digital News and Media, 2 Sept. 2016, www.independent.co.uk/news/people/stanford-rape-case-read-the-impact-statement-of-brock-turners-victim-a7222371.html.

[2] Cobos, April. “‘Rape Culture’ Language and the News Media: Contested versus Non-Contested Cases.” Journal for Communication Studies, vol. 7, 23 Dec. 2014, p. 38., rape culture.

[3] Ibid.

[4] Sills, Sophie, et al. “Rape Culture and Social Media: Young Critics and a Feminist Counterpublic.” Feminist Media Studies, vol. 16, no. 6, 2016, p. 936,, doi:10.1080/14680777.2015.1137962.

[5] Tanya Horeck (2014) #AskThicke: “Blurred Lines,” Rape Culture, and the Feminist Hashtag Takeover, Feminist Media Studies, 14:6, 1105-1107, DOI: 10.1080/14680777.2014.975450

[6] Williams, Mary Elizabeth. “College Students Cheer Sex Abuse.” Salon, 5 Sept. 2013, www.salon.com/2013/09/05/college_students_cheer_sex_abuse/.

[7] Kingkade, Tyler. “Angie Epifano, Amherst Rape Survivor: Reaction To Op-Ed On Sexual Assault Was 'Overwhelming'.” The Huffington Post, TheHuffingtonPost.com, 15 Jan. 2013, www.huffingtonpost.com/2013/01/15/angie-epifano-amherst_n_2480070.html.

[8] May, Larry, and Robert Strikwerda. “Men in Groups: Collective Responsibility for Rape.” Hypatia, vol. 9, no. 2, 1994, pp. 134–151., doi:10.1111/j.1527-2001.1994.tb00437.x.

[9] Ibid.

[10] Bettencourt, Jackie. “Rape Culture.” 5 Oct. 2013, p. 8., innisdale.ca/Global2013/wp-content/uploads/2013/05/Rape-Culture.pdf.

[11] Bettencourt, Jackie. “Rape Culture.” 5 Oct. 2013, p. 8., innisdale.ca/Global2013/wp-content/uploads/2013/05/Rape-Culture.pdf.

Selasa, 30 Januari 2018 10:52

Budaya Catcalling (Pelecehan Seksual)

Mendengarkan siulan saat berjalan ke atas tangga di samping area konstruksi tidak pernah menjadi hal yang diinginkan oleh perempuan dimanapun. Dipanggil dengan kata “sayang” atau “neng” juga tidak akan membuat seorang perempuan merasa nyaman. Diamatinya tubuh seorang perempuan oleh segerombolan laki-laki saat sedang menunggu datanya bis kota, tidak akan membuat perempuan itu ingin menikahi salah satu dari lelaki hidung belang tersebut.

Catcalling atau pelecehan seksual terjadi di seluruh penjuru dunia, dan mendapatkan definisi dari Kamus Oxforda sebagai “siulan keras atau komentar bersifat seksual yang dilontarkan oleh seorang pria kepada perempuan yang melewati nya”. Laki-laki yang melakukan catcalling bersikeras untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan dengan harapan mereka dapat melakukan hubungan seksual dengan perempuan tersebut. Percobaan ini telah terbukti 99,9% tidak pernah berhasil; tetap saja, hal ini tidak mencegah seorang pria untuk melakukan hal tersebut.

Malah sebaliknya, sebagian besar laki-laki tidak pernah mendapatkan catcalling oleh perempuan. Seorang laki-laki yang berjalan di stasiun kereta dengan muka cemberut tidak akan pernah diminta untuk senyum oleh wanita yang dilewatinya. Dan laki-laki tidak akan pernah mendapatkan perkataan mengenai tubuhnya atau mendengar apa yang dilakukan seorang perempuan tersebut kepadanya tanpa persetujuan lelaki tersebut. Seaneh-anehnya situasi ini terlihat, tapi situasi ini telah mencerminkan bagaimana bentuk pelecehan ini adalah berdasarkan gender.

Meningkatkan Kesadaran

Perempuan yang menjadi korban catcalling, maupun itu di suatu jalanan yang ramai di pagi hari sekalipun ataupun pada lorong yang gelap di malam hari, tidak pernah membuat perempuan tersebut nyaman atau baik. Hal seperti itu menyeramkan dan memalukan. Berbagai macam bentuk usaha untuk meningkatkan kesadaran terhadap hal ini telah  bermunculan dari tahun-tahun sebelumnya:

Stop Telling Women to Smile adalah sebuah pergerakan yang dicanangkan oleh seniman asal New York bernama Tatyana Fazlalizadeh. Untuk melawan pelecehan seksual berbasis gender, Ia memutuskan untuk meningkatkan kesadaran dengan seri seni di ruang publik. Tatyana bertemu dengan perempuan-perempuan yang telah menjadi korban komentar-komentar seksual yang tidak dinginkan dari laki-laki, dan Ia menawarkan mereka apakah ada yang ingin mereka sampaikan ke laki-laki semacam itu. Kata-kata dicetak dengan huruf kapital di bawah gambar-gambar wanita yang menjadi korban dan dipampangkan di jalana

This is What it Feels Like adalah proyek yang diciptakan seniman asal California bernama Terra Lopez. Pengunjung-pengunjung di pameran akan berjalan melewati lorong yang redup dan akan mendengarkan rekaman dari 100 wanita yang menjadi korban. Tingkatan pelecehan dan obyektivitas perempuan berbeda-beda dari “Apakah kamu mempunyai pacar?” dan “Boleh aku ikut denganmu?” sampai yang lebih menyeramkan dan berbentuk ancaman eksplisit, seperti “Aku akan menidurimu” dan “Aku ingin memperkosa mu.” Semua pernyataan telah disampaikan sebagaimana adanya oleh perempuan-perempuan yang berpartisipasi pada proyek ini.[2]

 

DearCatCallers adalah sebuah akun instagram dengan 400 ribu pengikut yang dimiliki oleh Noa Jansma yang berumur 20 tahun, seorang mahasiswa dari Amsterdam. Ia memutuskan untuk mengambil foto dengan laki-laki yang telah melakukan catcalling terhadapnya selama satu bulan. Ide ini dipantik oleh sebuah diskusi yang Ia ikuti di tempat perkuliahannya, dimana semua lelaki dalam kelas Filsafatnya mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui isu ini.[3] Semua gambar diambil dengan persetujuan dari laki-laki yang ada di dalam foto tersebut. Sejak 1 Januari 2018, pelecehan seksual di jalanan dapat dipidana sampai dengan 190 Euro di Negara Belanda.[4]

 

 Memidanakan Pelaku Catcalling

Argentina: Di Argentina, pelaku catcalling yang telah terbukti membuat komentar-komentar seksual terhadap tubuh orang lain, dapat diproses secara hukum. [5] Hukum yang juga memidanakan orang-orang yang melakukan pelecehan seksual dalam bentuk: pengiriman gambar kemaluan mereka tanpa adanya persetujuan, kontak fisik yang tidak dinginkan, mengikuti seseorang di jalanan dan pemaparan yang tidak senonoh juga dapat dipidana.[6] Denda 60$ atau pelayanan masyarakat dapat diberi kepada pelaku-pelaku kejahatan ini. [7]

Perancis: Menteri Kesetaran Gender Perancis, Marlene Schiappa, sedang mengusahakan terbitnya undang-undang yang dapat memidanakan pelaku pelecehan seksual jalanan. Undang-undang ini dapat memungkinkan polisi di Perancis untuk menahan orang yang melakukan hal-hal seperti catcalling.[8] Saat ini Marlene Schiappa masih dalam proses menggodok undang-undang ini. [9]

Belgium: Pada tahun 2014, Belgium mengundangkan peraturan yang dapat memberi pidana denda hingga 1,000 Euro untuk orang yang melakukan “(...) Sebuah sikap atau pernyataan yang telah jelas berniat untuk mengekspresikan penghinaan untuk satu atau lebih orang yang berbeda gender dengan dasar gender mereka atau untuk membuat mereka tampak lebih inferior atau merendahkan dimensi seksual mereka dengan cara yang merupakan penyerangan terhadap harga diri mereka”.

Contoh-contoh diatas ditujukan untuk mengakhiri budaya catcalling. Baik usaha kreatif dalam bentuk proyek ataupun langkah-langkah hukum yang tersedia untuk memperbaiki situasi di seluruh dunia. Ini menunjukkan bahwa catcalling sudah ewajarnya dianggap sebagai tindak pidana, dan semua pelakunya juga seharusnya diproses secara hukum sesuai dengan peraturan peradilan pidana yang berlaku pada tiap negara.

Memutarkan Meja

Kenapa itu sangat mengakar dalam struktur masyarakat kita bahwa perempuan seperti tidak bisa melakukan apa pun terhadap catcalling dan laki-laki berfikir biasa saja untuk memperlakukan perempuan seperti itu atau bahkan mewajarkan hal tersebut. Tampaknya salah satu solusi yang mudah akan hal itu adalah pelarangan perempuan untuk pergi sendiri. Tetapi itu sama saja menyalahkan korban dan menyangkal akan hak asasi manusia. Argumen itu sama juga seperti menyalahkan korban perkosaan. Kata-kata seperti “kenapa kamu pakai baju seperti ini”, “kan kamu baik-baik saja”, “kenapa kamu keluar malam-malam adalah cara berpikir yang salah dan menyangkal hak asasi manusia. Semestinya laki-laki yang melakukan kejahatan itulah yang harus diubah, bukan korban. Seorang pencuri akan diminta oleh polisi untuk mengembalikan uang curian, berhenti mencuri di masa depan dan menghadapi konsekuensi perbuatannya. Tak seorangpun akan berfikir orang yang di rumah “mempertanyakan uang yang dicuri” karena uang disimpan di dalam rumah atau perlindungan keamanan tidak bagus.

Akhiri Ketika Itu Bermula

Budaya Catcalling harus diubah dan laki-laki harus menggerti dan mengakui hal yang mereka lakukan salah dan mereka harus menyampaikan itu ke teman-teman, tetangga, keluarga dan rekan. Pendidikan harus mulai sejak dini di di sekolah dan pemerintah harus menyediakan pelatihan. Meskipun hukum yang mengatur tentang catcalling akan sulit ditegakkan, upaya untuk menangani kasus tersebut  bisa menjadi salah satu tanda untuk perubahan. Pelecehan seksual di jalan mungkin masih jauh dibandingkan dengan kejahatan dari perkosaan, tetapi itu akan memulai objektifikasi, lelucon seksis, menekankan pelabelan berbasis gender yang akan mengarah pada pelecehan, ancaman, dan pelecehan verbal.[10] Hal tersebut adalah bentuk kekerasan psikologis dan itu menghalangi perempuan untuk merasakan kehidupan nyaman setiap hari dan memperkuat struktur kekuasaan yang timpang. Berbicara tentang “Budaya Catcalling” sedini mungkin dapat mencegah kejehatan yang lebih berbahasa di masa yang akan datang.

Pesan Penulis : Hai Catcaller, ketika kamu melecehkan perempuan di jalan, dia juga seorang anak, ibu, sepupu, saudara, isteri atau sahabat orang lain. Kalau orang yang kamu cinta mengalami hal seperti ini, bagaimana perasaanmu? Berhentilah melakukan pelecehan.

 

Ditulis oleh oleh Julian Martin, mahasiswa di Fakultas Hukum UGM dan Malin Klinski, mahasiswa di Fakultas Fisipol, UGM.

Ilustrasi gambar oleh Malin Klinski

 

[1]  http://stoptellingwomentosmile.com/About

[2] Hatch, Jenavieve. Moving art project puts men at the receiving end of catcalling. 02.09.2017. Huffington Post.

[3] Thiele, Sarah. Wir müssen das nicht hinnehmen. Süddeutsche Zeitung Magazin. 06.10.2017

[4] Hosie, Rachel. Meet the woman who takes selfies with street harassers. The Independent. 05.10.2017

[5]Brigida, Anna-Cat. “You Can Now Get Fined for Street Harassment in Argentina.” Broadly, 7 Dec. 2016, broadly.vice.com/en_us/article/7xz94z/you-can-now-get-fined-for-street-harassment-in-argentina.

[6] “Sexual Harassment: Cat-Callers Face Fines in Buenos Aires.” BBC News, BBC, 8 Dec. 2016, www.bbc.com/news/world-latin-america-38252462.

[7] Ibid.

[8] Bell, Melissa, and Bryony Jones. “Minister on Catcalling Law: Some Men Still Say 'It's French Culture'.” CNN, Cable News Network, 19 Oct. 2017, edition.cnn.com/2017/10/19/europe/harassment-law-france/index.html.

[9] Lowe, Josh. “France Could Ban Catcalling as It Sets out to Define and Criminalize Street Harassment.” Newsweek, 20 Sept. 2017, www.newsweek.com/street-harassment-catcalling-ban-france-668069.

[10] 11th principle consent, the rape culture pyramid, Versions 3 & 4 created by Ranger Cervix & Jaime Chandra, Based on Version 2 created by Kate Seewald of ActionAid / Safe Cities for Women

Original Concept by Ranger Cervix

46459043
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8694
38715
311288
306641
46459043