Rabu, 21 Februari 2018 16:41

Sebagai anak-anak, kita tidak dibatasi dalam bermimpi dan mengungkapkan aspirasi tentang masa depan. Kita merasa kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan: astronot, kesatria dengan baju besi yang berkilauan atau penyelam di lautan yang dalam. Namun kemudian terdapat sesuatu yang disebut “pelabelan pada gender” yaitu sebuah gagasan atas apa yang tidak dan dapat dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan secara tradisional. Anak perempuan diharapkan untuk cakap di bidang seni dan humaniora, sementara anak laki-laki diarahkan pada matematika dan sains. Pelabelan ini terpenuhi dalam proses perkembangan sampai anak-anak tersebut mulai membentuk preferensi dan jalur karirnya. Kebanyakan laki-laki bekerja di pekerjaan dengan upah yang lebih baik pada bidang sains, teknik, teknologi dan informatika, sementara perempuan cenderung memilih profesi pengajar dan pekerja sosial.

Pada abad yang lalu slogan dalam Bahasa Jerman "Kinder, Küche, Kirche" yang biasa dikenal masih digunakan dalam percakapan sehari-hari. Slogan tersebut bisa diterjemahkan menjadi "anak-anak, dapur, gereja". Ini memiliki konotasi yang sangat menghina, menggambarkan apa yang dilihat sebagai model peran tradisional perempuan di masyarakat Barat kontemporer. Saat ini terkadang slogan tersebut diganti dengan "Kinder, Küche, Karriere", yang berarti "anak-anak, dapur, karir", yang menunjukkan bahwa seorang perempuan masih dipandang sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas rumah tangga dan merawat anak-anak, sementara dia juga diminta untuk menjadi seorang perempuan karir. Pelabelan dan beban ganda ini mulai berkurang di Jerman, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Namun masih banyak yang harus dilakukan. Mengakui dan mengatasi pelabelan gender ini sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender menjadi kenyataan. [1]

Konteks Jaman Dahulu

Laki-laki yang sudah menikah biasanya memiliki hak untuk menentukan keputusan akhir terkait seluruh masalah keluarga sampai tahun 1957 ketika Undang-Undang Persamaan Hak mulai berlaku. Baru pada tahun 1977, perempuan di bagian barat Jerman berhak memperoleh pekerjaan tanpa izin dari suami mereka. Hak perempuan untuk memilih bahkan tidak sampai seratus tahun di Jerman, karena perempuan baru diperbolehkan memberikan suara pada tanggal 19 Januari 1919. [2]

Situasi Hukum

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dijamin melalui Pasal 3 dalam Undang-Undang Dasar Republik Federal Jerman. Pasal ini menyatakan [3] :

Semua orang harus sama di hadapan hukum. Laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama. Negara harus mempromosikan pelaksanaan yang sebenarnya bagi persamaan hak perempuan dan laki-laki dan mengambil langkah untuk mengeliminasi kerugian-kerugian yang ada saat ini. Tidak ada orang yang harus disukai atau tidak disukai karena jenis kelamin, keturunan, ras, bahasa, tanah air dan asal-usul, kepercayaan, atau agama atau pendapat politik. Tidak ada orang yang harus dibenci karena cacat.

Pada tahun 1994, sebuah pasal baru ditambahkan ke dalam Konstitusi Jerman yang memberikan kewajiban kepada pihak yang berwenang untuk melawan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, sejauh ini negara mempromosikan pelaksanaan faktual dari kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dan berusaha untuk menghilangkan kerugian yang ada. Hukum menjamin hak yang sama dan mencegah diskriminasi di Jerman dan dikembangkan atas dasar hak-hak persamaan [4]. Undang-undang Umum tentang Kesetaraan Perlakuan telah berlaku sejak tanggal 18 Agustus 2006. Undang-Undang ini mencakup empat Petunjuk Anti-Diskriminasi Uni Eropa dalam hukum Jerman. Ujuan dari Undang-undang ini adalah untuk mencegah atau untuk menghentikan diskriminasi atas dasar rasis atau asal etnis, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, kecacatan, usia atau orientasi seksual. Undang-undang Umum tentang Kesetaraan Perlakuan mengatur klaim dan konsekuensi hukum dalam kasus diskriminasi, baik di bidang pekerjaan maupun di bidang hukum perdata [5]. Mengenai pelaporan jenis kelamin, Pemerintah Federal menyampaikan Laporan Kesetaraan Jenis kelamin pertama di tahun 2011 dan dilakukan dengan keputusan Bundestag Jerman (parlemen) untuk terus menyusun laporan tersebut dalam setiap periode pemilihan. [6]

Pendidikan

Sama seperti di seluruh negara Eropa, dulu perempuan memiliki banyak kekurangan dibandingkan dengan laki-laki dalam perjalanan pendidikan mereka. Perempuan dan laki-laki mungkin bisa memiliki nilai yang sama atau bahkan lebih baik ketika di sekolah menengah, tetapi ketika mereka melanjutkan ke universitas, para laki-laki lebih mendominasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin sulit bagi seorang perempuan untuk naik ke puncak. Pada bidang akademik, untuk waktu yang sangat lama kebanyakan yang melanjutkan pendidikan hingga PhD dan menjadi profesor adalah laki-laki. Dalam dekade terakhir negara-negara Eropa telah melakukan upaya signifikan untuk memperbaiki situasi akses pendidikan yang setara. Di Jerman pada tahun 1990, jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan mmulai meningkat dari 29-37% [7]. Sejak itu semua perbedaan dalam persentase belajar telah lenyap sampai hari ini. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa dengan adanya kesempatan yang sama untuk mengakses, lebih banyak perempuan yang memperoleh hasil pendidikan yang lebih baik dan lebih baik dalam belajar daripada laki-laki. Di bidang obat-obatan terdapat 9% pelajar perempuan dan 4% pelajar laki-laki. Karena ini adalah perkembangan terkhir yang meningkat pada tahun-tahun sebelumnya, maka laki-laki masih memperoleh posisi yang lebih tinggi di universitas [8].

Pekerjaan

Sebelumnya Jerman telah berkomitmen bahwa pada tahun 2016, perusahaan yang ditentukan dan terdaftar sebagai saham akan diminta untuk mencadangkan setidaknya 30% kursi pengawas untuk perempuan dalam jajaran dewan mereka.  [9]  Sejak 1 Januari 2016, kuota jenis kelamin sebesar 30% telah diterapkan untuk dewan pengawas usaha yang terdaftar dan patuh pada penentuan tujuan berbasis paritas. Bayaran diskriminasi telah dilarang, namun Pemerintah Federal juga berencana untuk memperkenalkan peraturan transparansi baru. Dibandingkan denga proporsinya di masyarakat, perempuan yang berada dalam posisi pengambil keputusan kurang terwakili di Jerman, baik di bidang politik maupun ekonomi – meskipun hak yang sama untuk perempuan dan laki-laki dijamin oleh Undang-Undang Dasar, oleh Federal Equal Treatment Act dan oleh undang-undang yang berlaku di negara bagian Federal (Lander) dan terlepas dari kenyataan bahwa kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan merupakan tujuan penting dari kebijakan kesetaraan. Partisipasi perempuan di posisi teratas perusahaan adalah isu yang berlaku, berbeda dengan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik. [10]

Kesenjangan Gaji Jenis kelamin

Untuk kesenjangan gaji jenis kelamin, perempuan di Jerman masih mengalami perbedaan pembayaran dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung mempelajari lebih banyak ilmu sosial dan humaniora sedangkan laki-laki lebih banyak mempelajari hard science. Karena pilihan tersebut, kemudian berdampak pada pendapatan kedua kelompok  pekerjaan karena pekerjaan yang terkait dengan ilmu sosial dan humaniora cenderung mendapatkan upah yang lebih sedikit. Pemerintah Federal telah meluncurkan sebuah program yang mendorong perempuan untuk mempelajari ilmu teknik, teknologi, atau ilmu yang berhubungan denngan sains untuk melawan kecenderungan ini [11]. Upaya yang dilakukan untuk merubah stereotip jenis kelamin adalah adanya Hari Anak Perempuan dan Hari Anak Laki-Laki, yang juga disebut sebagai Hari Masa Depan Siswa. Program ini memungkinkan perempuan untuk melihat lingkungan yang didominasi oleh laki-laki seperti ilmuwan komputer atau sebagai tukang kayu dan laki-laki juga dapat menghabiskan satu hari di sekolah dasar atau di tempat perawatan lansia. [12]

Uang Anak-Anak

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah fereal yang berbeda dengan mayoritas politik lainnya berfokus pada kebijakan keluarga. Jumlah fasilitas penitan anak meningkat, all-day school  didirikan sebagian dan skema penggantian pendapatan baru telah diebentuk. [13] Penduduk wajib pajak Jerman berhak atas TK jika mereka memiliki anak. Itu semua adalah tunjangan (juga disebut Child Benefit) dari pemerintah Jerman untuk membantu membiayai sebagian biaya untuk membesarkan anak-anak. Besar biaya tersebut antara  € 192 sampai € 223 per anak setiap bulannya. Orang tua menerima uang anak-anak ini dari pemerintah sampai anak-anak berusia 18 tahun, meskipun bisa berlanjut sampai usia 25 tahun jika mereka masih bersekolah atau memenuhi persyaratan lain untuk melakukan perpanjangan. Mulai bulan Januari 2017 keuntungan telah dinaikkan menjadi € 192 per bulan per anak untuk dua anak pertama, € 198 untuk anak ketiga dan € 223 untuk masing-masing anak berikutnya. [14]

Uang Orang Tua

Elterngeld atau "Uang Orangtua" dibatasi pada 12 atau 14 bulan pertama setelah kelahiran anak tersebut. Jumlah Elterngeld didasarkan pada pendapatan setelah pajak dari orang tua yang didedikasikan untuk merawat bayi yang baru lahir dan dipandang sebagai subsidi pendapatan terbatas. Hal ini memungkinkan kedua orang tua untuk menggunakan hak mereka untuk cuti dalam rangka kelahiran baru anak mereka dan juga untuk menerima Elterngeld - dengan membagikan jangka waktu "Elterngeld" yang dialokasikan (total 12-14 bulan). Hal ini menjelaskan bahwa ibu (atau ayah yang tinggal di rumah) adalah orang yang "dipekerjakan" dan mendorong ayah untuk berkontribusi lebih aktif terhadap perawatan anak-anak. [15] Eltergeld telah memberi kontribusi pada lebih banyak "ayah aktif". 34% ayah di Jerman mengambil cuti orang tua dengan rata-rata pengeluaran 3,1 bulan di rumah dengan anak mereka. [16] Aturan cuti orang tua, yang mencakup tiga tahun, tetap berlaku. Orangtua mungkin tetap bekerja tapi saat cuti mereka tidak menerima upah atau tunjangan. Sejak 2013 semua keluarga memiliki hak untuk memberi anak mereka perawatan anak yang disediakan oleh negara. [17]

Orang Tua Tunggal

Di Jerman, peraturan baru akan memperbaiki situasi keuangan orang tua tunggal. Karena orang tua tunggal sering tidak menerima dukungan finansial untuk anak-anak mereka dari ayah (atau, dalam kasus yang jarang terjadi, dari ibu), pemerintah federal membayar subsidi uang muka untuk memastikan stabilitas ekonomi mereka. Pada tanggal 16 November 2016, Kabinet Federal menyetujui sebuah peraturan baru mengenai pembayaran pemeliharaan uang muka federal (Unterhaltsvorschusszahlung). Dari bulan Juli 2017 dan seterusnya, pembayaran ini akan diberikan sampai anak berusia 18 tahun, sedangkan menurut peraturan yang berlaku sampai Juni 2017, diberikan sampai anak berusia 12 tahun dan paling lama 72 bulan. [18]

Abortus

Setiap perempuan di Jerman dapat memiliki kontrasepsi dan mereka berusia  20 tahun alat kontrasepsi itu dibagikan secara gratis. Menurut undang-undang Penal § 218  yang kontroversial, aborsi ilegal di Jerman, namun tidak dihukum ketika seorang perempuan mencari konseling sebelumnya. Tingkat aborsi terus menurun. Sehari setelah pil tersedia tanpa resep dokter. Rasio kematian ibu di Jerman termasuk yang terendah di dunia.

Kesimpulan

Kesetaraan jenis kelamin belum tercapai di Jerman dan akan ada lebih banyak perubahan yang diperlukan di masa depan untuk mencapainya. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika melihat kembali sejarah dan meyadari, bahwa ini adalah perjalanan panjang yang telah dicapai perempuan. Setiap perubahan kecil dalam kebijakan dan setiap perempuan yang mencapai sesuatu adalah hal penting yang perlu diperhatikan karena mereka mengangkat semua perempuan ke depan. Negara anggota Uni Eropa yang berbeda berada pada tingkat kemajuan yang sangat berbeda, sementara harus diperhatikan bahwa negara-negara Skandinavia seperti Swedia memiliki kebijakan cuti parental yang lebih baik lagi, dan perusahaan dengan perbedaan besar bagi setiap jenis kelamin berisiko membayar denda, jika mereka tidak menanggapinya. [19] Penting untuk dicatat, bahwa cara Swedia atau Jerman menganjurkan kesetaraan jenis kelamin tidak dapat diberikan dengan cara yang sama ke negara lain seperti di Indonesia. Perlu diperhatikan kebutuhan setiap negara untuk melihat kemana arah yang ingin dituju oleh negara tersebut. Proses menuju masyarakat yang setara sama sekali tidak dapat dicapai dalam waktu satu tahun. Mungkin butuh waktu lama, tapi baik dan perlu untuk didiskusikan dan menginspirasi satu sama lain dalam prosesnya.

 

About the author: Malin Klinski is a student at Universitas Gadjah Mada where she studies at the Insitute for Social and Political Sciences.

Photo credit: @UN_Women

Referensi:

[1] European Institute for Gender Equality. 17. August 2017

[2] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 7

[3] Basic Law for the Federal Republic of Germany

[4] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 26

[5] Federal Anti-Discrimination Agency. The General Equal Treatment Act. Act Implementing European Directives Putting Into Effect the Principle of Equal Treatment. 2006.

[6] 2011 Annual Report on Gender Equality: Germany.

[7] studienwahl.de

[8] Bildungsbeteiligung und Bildungschancen. In: Bundeszentrale für Politische Bildung (31.05.2012).

[9] UN Women Report Germany. 2015

[10] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 11

[11] Kleinhubbert, Guido. Sciences Struggle to Attract Young Women. In: Der Spiegel (24.09.2013).

[12] Girls-day.de/Boys-day.de

[13] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 8

[14] www.kindergeld.org

[15] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 19

[16] Report on Equality between men and women in the EU 2017

[17] www.bmfsfj.de

[18] Report on Equality between men and women in the EU. P.26

[19] Weller, Chris. Sweden is the best country in the world for women. In: The Nordic Business Insider (17.03.2017).

Selasa, 25 Juli 2017 12:30

Oleh: Lutviah (Staf Humas dan Media Rifka Annisa)

 

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah diskusi tentang hukum dan permasalahan perempuan di sebuah universitas. Dari diskusi tersebut, saya mendapatkan informasi dan pemahaman baru tentang isu perempuan dan hukum, khususnya perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan. Namun dalam diskusi tersebut ada satu hal mengejutkan yang saya termui, yaitu ujaran seksisme berupa guyonan yang mengobjektifikasi perempuan oleh salah satu narasumber. Kenapa hal ini mengejutkan bagi saya, tak lain karena ujaran seksis itu diucapkan oleh seorang akademisi, disampaikan di ruang diskusi akademis, dan ujaran seksis tersebut disambut gelak tawa oleh para peserta diskusi. Artinya, ujaran seksis dianggap sesuatu yang wajar bahkan dianggap sebagai bahan candaan.

Mengacu pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary, seksisme didefinisikan sebagai perlakukan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan, karena jenis kelaminnya.Seksisme dapat berupa ucapan atau perilaku yang secara sadar maupun tidak sadar mendiskriminasi perempuan. Ucapan seksis misalnya paling banyak kita temui di jalan berupa cat calling, dimana seorang perempuan digoda di jalan dengan siulan atau perkataan tertentu seperti “hey cantik” atau bahkan mengucapkan “Assalamualaikum” dengan nada menggoda. Sementara itu, bentuk perilaku yang seksis dapat kita temukan pada perlakuan-perlakuan yang mendiskriminasi dan membatasi perempuan. Misalnya perempuan dilarang untuk keluar malam, perempuan diharuskan mengurus pekerjaan rumah tangga, perempuan dilarang bekerja, dan lain-lain. Perlakuan-perlakuan yang seksis ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat umum dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dialami oleh perempuan. Bahkan di level negara, pemerintah juga berlaku seksis dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang tidak ramah perempuan.

Adanya perspektif yang seksis ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Sebelum kesetaraan gender ini terwujud dalam bentuk perilaku dan aturan yang adil gender, baik masyarakat maupun pemerintah harus terlebih dahulu memiliki perspektif gender yang setara dan terbebas dari pandangan-pandangan yang seksis. Meskipun, menghapus pemikiran yang seksis dalam diri masyarakat bukanlah hal yang mudah mengingat sejak lahir kita sudah dibentuk dengan norma dan budaya yang cenderung patriarkis dan merendahkan perempuan.

Tantangan seksisme ini tentunya perlu kita hadapi bersama-sama secara terus menerus, mengingat seksisme ini muncul dalam bentuk-bentuk kecil di kehidupan kita sehari-hari. Cara paling sederhana yang mungkin bisa kita lakukan adalah dengan merespon dengan cepat ketika seksisme itu terjadi, misalnya memberi tahu bahwa ucapan atau perilaku itu tidak pantas untuk dilakukan. Respon sederhana ini meskipun wujudnya kecil tapi sedikit demi sedikit diharapkan dapat membantu merubah perspektif masyarakat menjadi lebih adil gender. Karena dalam banyak kasus, orang-orang yang berperilaku seksis tidak menyadari bahwa hal itu tidak baik dan merugikan perempuan.

Seksisme juga dapat dikatakan sebagai salah satu akar masalah ketidaksetaraan gender karena ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang tidak setara dalam melihat posisi perempuan dan laki-laki. Pemahaman-pemahaman inilah yang kemudian terwujud dalam bentuk ucapan, perlakuan dan aturan yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Salah satu dampak yang bisa kita lihat adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Survei terbaru yang dilakukan Badan Pusat Statistik tentang pengalaman hidup perempuan menunjukkan satu dari tiga orang perempuan di Indonesia mengalami kekerasan. Kemudian, sepanjang Januari hingga Maret 2017 saja ada 77 kasus kekerasan terhadap perempuan yang di laporkan ke Rifka Annisa. Ini berarti, dampak seksisme berupa kekerasan terhadap perempuan sangat serius dan mengganggu keharmonisan dan keamanan masyarakat.

Karenanya, sudah saatnya masalah seksisme ini kita berikan perhatian yang khusus. Sudah saatnya kita tidak lagi abai ketika menemukan ucapan dan perlakuan yang seksis terjadi di masyarakat. Perspektif gender yang setara harus secara masif disebarkan untuk menghadang seksisme  yang mengakar di masyarakat.

 

Selasa, 25 Oktober 2016 19:26

IMG20161003163342.jpg

Pada 3 Oktober sebelas perempuan dari Australia mengunjungi Rifka Annisa sebagai bagian dari kelompok perempuan bernama ‘Women and Power’. Mereka sedang berada di Indonesia selama dua minggu. Mereka mulai di Bali untuk konferensi, dimana masing-masing orang mempresentasikan keahlian mereka. Perempuan-perempuan ini berasal dari latar belakang yang berbeda, antara lain: dokter, terapis, dosen, pekerja sosial dan pengusaha.

Perwakilan Rifka Annisa, Defirentia One, mempresentasikan visi, misi dan program Rifka Annisa yang sangat informatif dan mendalam bagi tamu dari Australia tersebut. Sebagai bagian dari kunjungan, mereka mengunjungi organisasi perempuan. Mereka sangat senang dengan apa yang mereka temui serta mendukung program-program Rifka Annisa. Women and Power telah melaksanakan perjalanan seperti ini selama duabelas tahun dan sudah mengunjungi berbagai tempat seperti Kamboja dan Indonesia.

Setelah sesi presentasi, perempuan yang akrab disapa One ini, membuka sesi tanya jawab. Para pengunjung dari Australia memberikan beberapa pertanyaan yang sangat bagus. Pertama, pertanyaan tentang apakah alkohol dan obat di Indonesia berpengaruh pada kekerasan berbasis gender seperti halnya di Australia. Pertanyaan ini memulai diskusi yang menghasilkan final agreement bahwa relasi kekuasaan merupakan faktor utama penyebab kekerasan berbabis gender di  Australia dan Indonesia tetapi relasi kekuasaan ini distimulasi oleh konteks yang berbeda. Contohnya di Australia alkohol berperan dalam relasi kuasa sementara di Indonesia tradisi dan budaya yang menyebabkan terbentuknya relasi kuasa.

Pertanyaan-pertanyaan menarik lainnya tentang Rifka Annisa antara lain isu kekerasan berbasis gender, pendanaan Rifka Annisa, program ‘Rifka Goest to School,  layanan dukungan untuk perempuan korban kekerasan rumah tangga, dan tentang hubungan antara Rifka Annisa dan organisasi international seperti DFAT di Australia dan UNICEF. Salah seorang peserta yang bekerja di organisasi yang sama dengan Rifka Annisa menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan Rifka Annisa di masa depan. Ekspresi seperti ini menunjukan kerberhasilan reputasi dan metode yang digunakan untuk memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. []

IMG20161003163304.jpg

 

Penulis: Emma Hardy, Mahasiswa Magang dari Universitas Monash Australia, Jurusan International Studies

Selasa, 25 Oktober 2016 15:29

IMG_1529.jpeg

 Rabu 19 Oktober, ‘He For She goes to Campus’ diadakan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Grup music dari Jakarta bernama Simponi yang mengkoordinasikan acara tersebut; yang menampilkan campuran musik mereka sendiri dan mencakup kesetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Masing-masing dari empat anggota band berbicara tentang fakta-fakta dan angka sekitarnya tentang ketidaksetaraan gender di Indonesia dan global. Ada beberapa orang berbicara tentang pengalaman pribadi, seperti salah satu anggota band yang pernah menyaksikan ketidakadilan gender dalam masyarakat Indonesia yang datang dari keluarga orang tua tunggal. Dia menyaksikan ibunya yang terpinggirkan dan diejek untuk posisinya.

Semua acara disampaikan dalam bahasa Indonesia sehingga sedikit sulit untuk saya mengherti. Powerpoints lebih mudah untuk saya tetapi percakapan biasa lebih sulit dan saya tidak mengherti semua. Untungnya ada Rara, mahasiswa magang dari Universitas Brawijaya, yang membantu saya dan itu fantastis ketika Rara menerjemahkan bagi saya segmen yang sangat menarik di mana mereka meminta lima perempuan dan lima relawan laki-laki dari penonton. Mereka datang ke depan dan diminta untuk membaca daftar pernyataan untuk diri mereka sendiri dan jika mereka setuju mereka akan tetap berdiri di depan dan membaca pernyataan keras kepada penonton dan jika mereka tidak setuju mereka diminta untuk duduk kembali.

Tujuh orang duduk dan satu perempuan dan dua laki-laki tetap berdiri. Ketiga kemudian membaca laporan keras untuk penonton. Dari apa yang saya mengerti dan apa yang diterjemahkan untuk saya, semua mendukung gerakan menuju masyarakat yang adil gender melalui kerja sama dari kedua perempuan dan laki-laki. Termasuk kerjasama untuk menghindari menyalahkan korban ketika terjadi perkosaan. Misalnya, dengan pernyataan bahwa perempuan harus berpakaian sopan dan pantas untuk melindungi dirinya dari penilaian maupun kekerasan berbasis gender. Dari perspektif pribadi, ide ini menyalahkan korban, dan membalikkan malu dan menyalahkan seorang wanita yang diperkosa misalnya, mengatakan karena dia mengenakan item pakaian tertentu itu salahnya sehingga dia diperkosa.

Namun, saya pikir itu fantastis bahwa kegiatan kampanye ‘He For She’ pergi ke Kampus adalah tempat di mana individu bisa datang, berbagi ide dan perspektif, memetakan dan bersama-sama memahami apa artinya bagi Indonesia untuk terus mencapai tujuan masyarakat yang adil gender, yang tidak mentolerir kekerasan terhadap perempuan dan satu yang memberdayakan laki-laki dan perempuan untuk mengetahui nilai kesetaraan.

Sebagai peserta asing, acara ini sangat bermanfaat bagi saya untuk melihat seperti apa bangunan momentum positif bagi kesetaraan gender di Indonesia. Untuk mendengarkan aksi penolakan dari banyak orang dan fakta tentang tingkat kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dan semangat tinggi mereka untuk benar-benar membuat perubahan di komunitas mereka, universitas mereka, negara mereka, itu luar biasa.

 

Penulis: Emma Hardy, Mahasiswa magang dari Universitas Monash, Australia, Fakultas Ilmu Budaya

46815314
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6354
49971
323681
343878
46815314