Haruskah Aib itu Disembunyikan?

Written by  Rabu, 11 April 2018 13:35

Aib menjadi kata yang begitu menakutkan banyak perempuan. Untuk menutupinya, banyak perempuan harus rela bertahan dalam kehidupan yang serba menyesakkan.

Kasus:

Dear Rifka Annisa, nama saya N (21). Saya saat ini sedang bingung dan butuh masukan dari Rifka Annisa. Saat saya kelas satu SMP usia saya waktu itu 12 tahun, saya dipaksa berhubungan seksual oleh kakak kandung saya sendiri. Saya sangat ketakutan dan tidak berani mengutarakannya kepada orangtua saya. Saya pikir pasti mereka tidak akan percaya dengan kejadian itu. Kejadian tersebut terus berulang selama satu tahun, dan kemudian berhenti karena kakak saya memiliki pacar. Selama sembilan tahun rahasia tersebut saya tutup rapat. Saya benci kakak saya yang membuat saya seperti ini. Saya juga menjadi takut bergaul dengan laki-laki, saya berkembang menjadi penyendiri dan tomboi. Masalahnya, saat ini saya memiliki pacar dan berniat untuk melangsungkan pernikahan. Pacar saya adalah teman kakak saya juga. Ini yang membuat saya sangat bingung. Saya takut karena saya sudah tidak perawan lagi, dan penyebabnya adalah kakak saya sendiri yang tidak lain teman pacar saya itu. Apakah dia bersedia menerima saya seperti adanya? Kebingungan ini membuat saya akhirnya berterus terang kepada orangtua tentang keadaan diri saya. Mereka sangat terkejut. Ibu sempat syok karena tidak menyangka kalau anak lelaki kebanggaan mereka ternyata tega melakukan hal terkutuk kepada adiknya sendiri. Mereka hanya dapat menangis, namun tidak mampu melakukan apa pun. Sebetulnya, saya ingin kakak mendapat hukuman setimpal, namun hal tersebut akan mencoreng nama keluarga kami. Akhirnya, orangtua saya menyarankan untuk menutup lembaran masa lalu, dan mengusulkan untuk melakukan operasi selaput dara. Hal ini, menurut orang tua, adalah untuk menghindarkan pertanyaan suami saya kelak dan untuk menjaga nama baik keluarga. Sebetulnya, saya tidak menginginkan hal ini, saya merasa ini sama dengan membohongi calon suami. Saya sangat mencintainya sehingga saya ingin berlaku jujur kepadanya. Saya tidak sanggup kalau masih harus menanggung kebohongan lagi seumur hidup. Saya hanya ingin hidup yang tenang tanpa menutupi apa pun kepada pasangan saya. Rasanya tidak adil sekali, saya sudah menutupi kebejatan kakak selama ini, menjaganya agar tidak terjrnat hukuman apa pun, dan berbuat seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara kami, lalu membohongi calon suami tentang masa kecil saya yang pahit.... Apakah menurut Rifka Annisa memang sebaiknya saya menuruti keinginan orangtua saya dan menutupi semuanya untuk menghindari masalah? Terima kasih atas masukan dan perhatiannya.

Jawaban:

Dear Dik N,

     Pemerkosaan faktanya justru banyak dilakukan oleh orang yang dikenal dan tidak terjadi spontan, tetapi terencana.

Apa yang terjadi pada dirimu biasa disebut incest, yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang masih memiliki pertalian darah dengan korban.

Banyak kasus incest terjadi secara berulang dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Hal ini, disebabkan karena korban biasanya takut untuk mengutarakan kejadian yang dialaminya, dan di sisi lain pelaku biasanya juga mengancam korban. Selain itu, apabila korban menceritakan pengalamannya, seringkali orangtua atau pengasuh tidak mempercayai karena pelaku adalah orang yang demikian dipercaya atau setidaknya dipandang tidak mungkin melakukan perbuatan yang hina itu. Akibatnya, dampak psikologis bagi korban incest lebih kronis daripada bentuk pemerkosaan lainnya karena korban tidak hanya memendam kemarahan kepada pelaku, tapi juga kepada orangtua dan lingkungan.

Frekuensi pertemuan yang tinggi dengan pelaku karena sesama anggota keluarga, menjadi teror yang tak berkesudahan. Pertemuan dengan pelaku juga memaksa korban untuk selalu mengingat peristiwa yang sebenarnya ingin dia lupakan.

Dik N, incest sesungguhnya dapat dilaporkan sebagai tindak pidana sehingga kakakmu dimungkinkan untuk mendapat sanksi pidana. Namun, persoalannya apa yang kamu alami telah berlalu sembilan tahun sehingga dengan sistem hukum yang berlaku di negara kita saat ini, proses hukumnya akan menemukan banyak kendala, khususnya berkaitan dengan pemenuhan minimum alat bukti.

Sebaiknya memang pelaporan kepada aparat hukum dilakukan sesegera mungkin sehingga aspek pembuktian mudah dipenuhi, di antaranya bukti visum et repertum yang biasanya menjadi andalan pembuktian kasus kekerasan seksual di samping keterangan saksi korban. Namun, menempuh jalur hukum biasanya tidak mudah bagi perempuan, lebih-lebih untuk korban yang masih berusia di bawah umur seperti saat kamu mengalami peristiwa ini. Di sinilah sebetulnya diperlukan kesadaran dan kepekaan dari orangtua, pengasuh, atau orang dewasa lainnya yang melihat adanya perubahan perilaku dan emosi anak-anak perempuan, atau mendengar laporan, atau keluhan mereka tentang tindakan tak senonoh yang dilakukan anggota keluarga atau orang-orang dekat mereka.

Nah Dik N, apa yang sembilan tahun lalu kamu alami memang bukan hal yang dapat dengan mudah segera dilupakan. Untuk itu, ada baiknya kamu mencoba mengunjungi psikolog atau lembaga yang mendampingi perempuan korban kekerasan seksual yang ada di kotamu. Mereka akan membantumu untuk mengatasi tumpukan kemarahan, tekanan, dan kekecewaan yang kamu pendam selama ini.

Soal keputusan akan menjalani operasi selaput dara, itu semua kembali kepada dirimu sendiri. Masing-masing pilihan mengandung risiko, tinggal dirimu yang mempertimbangkan saja. Kira-kira pilihan mana yang kamu rasakan paling mungkin untuk dijalani dengan kekuatan yang kamu miliki. Jika selama ini dirimu sudah tertekan dan menderita karena menutupi perbuatan kakak dan mengabaikan kemarahanmu, mungkin kini saatnya untuk berpikin tentang apa yang membuatmu merasa paling nyaman dan tepat untuk kamu lakukan bagi dirimu sendiri.

Dik N, "harga" seorang perempuan sesungguhnya tidak terletak pada selaput daranya, melainkan integritas kepribadian, potensi, dan jati dirinya. Keluarga memang segala-galanya, hormat kepada orangtua memang sudah seharusnya dilakukan oleh anak. Namun, hati nurani adalah landasan berpijak kita. Jadi, peganglah kata-kata dalam hati nuranimu.

Nah Dik N, segeralah mencari dukungan psikologis dan setelah situasi emosimu stabil, cobalah renungkan masa depanmu dengan sungguh-sungguh serta ambillah keputusan yang terbaik untuk menjalani masa depanmu itu. Bukankah dirimu ingin merajut hidup ke depan dengan tenang dan damai? Kami percaya, dirimu mampu mengambil keputusan yang terbaik! Salam.

Kompas, Senin 28 Juli 2003

Read 13723 times Last modified on Rabu, 11 April 2018 14:48
46415169
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3939
88977
267414
306641
46415169