Kasus EH: Persoalan Etik, Hukum dan Perubahan Perilaku

Written by  Kamis, 16 Jun 2016 12:56

Oleh : Triantono, S.H., M.H1

 

A. Prolog

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan tenaga pendidik kembali mencuat dan cukup menjadi perhatian publik. Kali ini yang menjadi sorotan media adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh EH yang merupakan salah satu staff pendidik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM).

Peristiwa yang menyangkut EH tersebut dibenarkan oleh pihak FISIPOL UGM dengan berdasarkan surat resmi tertanggal 3 Juni 2016 yang menerangkan tentang proses internal yang dilakukan oleh FISIPOL UGM untuk merespon kejadian tersebut. Jika dicermati,  surat tertanggal 3 Juni 2016 pada intinya memiliki paling tidak 3 substansi:2

1. Posisi Etis FISIPOL yang tetap mengedepankan kepentingan penyintas (korban);

2. Ketika kasus tersebut pertama kali diketahui, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 

  1. Pertama, Fisipol melakukan rapat gabungan (Dekanat, Ketua Senat Fakultas, dan Pengurus departemen berkaitan dengan pelanggaran kode etik dosen untuk merespon laporan dari penyintas. Dalam rapat tersebut Fisipol melakukan pemanggilan terhadap EH untuk langsung melakukan klarifikasi, dan yang bersangkutan sudah mengakui perbuatannya;
  2. Kedua, berdasarkan klarifikasi dan pengakuan tersebut, Fisipol kemudian menjatuhkan sanksi: (a) membebastugaskan EH dari kewajiban mengajar serta membimbing skripsi dan tesis. (b) membatalkan usulan EH  sebagai kepala pusat studi. 
  3. Ketiga, Fisipol juga mewajibkan yang bersangkutan mengikuti program konseling dengan Rifka Annisa Women’s Crisis center untuk menangani perilaku negatif  khususnya yang terkait dengan pelecehan seksual.

Dari surat yang dikeluarkan oleh pihak FISIPOL UGM tertanggal 3 Juni 2016 tersebut ada paling tidak 3 fakta  yang terungkap ke publik, yaitu adanya laporan dari penyintas (korban) terkait dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh EH, adanya Pengakuan dari EH terkait dengan pelecehan seksual yang dilakukan kepada penyintas (korban), adanya sanksi etik dan konseling perubahan perilaku bagi EH. Fakta pertama dan kedua proses penanganan dilakukan secara internal FISIPOL UGM. Pada fakta yang ketiga khususnya berkaitan dengan konseling perubahan perilaku FISIPOL UGM melaksanakannya dengan bekerjasama dengan pihak ketiga yakni Rifka Annisa Women’s Crisis Center.

B. Persoalan Etik

Dalam kaitannya dengan persoalan etik maka ada dua pengertian yang relevan yaitu pengertian tentang kode-kode etik (codes of ethics) dan kode perilaku (code of conduct). Jadi pelanggaran terhadap etik dapat berarti pelanggaran terhadap nilai etika dan perilaku.3  Karena persoalan etik ini lazimnya juga diikuti dengan prosedur bagaimana mengungkap pelanggaran etika seseorang, maka persoalan etik juga sekaligus berkaitan dengan pengertian “pengadilan etika” (court of ethics).4  Ketiga konsep yang dikemukakan oleh Ashidiqie ini nampaknya relevan dengan kasus pelanggaran kode etik dan perilaku oleh EH. Namun apakah ukuran prosedur penegakkan etika yang dilaksanakan oleh internal FISIPOL UGM juga dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai sebuah lembaga penegak etika atau dalam hal ini “pengadilan etika” (court of ethics).

Kasus kekerasan sebagaimana diungkapkan dalam surat tertanggal 3 juni 2016 di atas yang juga diakui oleh EH tentu merupakan pelanggaran kode etik kepegawaian sekaligus pelanggaran terhadap pedoman perilaku yang dimiliki sebagai pendidik (dosen). Karena dalam hal ini selain EH berkapasitas sebagai pendidik (dosen), EH juga berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya dalam persoalan etik yang melibatkan EH maka selain ada pelanggaran terhadap kode etik (code of ethic) kepegawaian juga terjadi pelanggaran kode perilaku (code of conduct) atas kapasitasnya sebagai tenaga pendidik (dosen).

Selanjutnya, sebagaimana diutarakan diatas bahwa berbicara mengenai persoalan etik juga akan terkait dengan proses formal penegakkan etika. Proses penegakkan etika itu berkaitan dengan persoalan prosedur (acara) pengungkapan pelanggaran etik yang dilakukan sampai pada penjatuhan sanksi. Prosedur yang demikian layaknya “pengadilan etik” (court of ethic). Proses internal melalui dewan etik lembaga (FISIPOL UGM) merupakan bagian dari proses penyelesaian kasus. Sikap lembaga yang segera merespon laporan korban dan menjatuhkan sanksi etik kepada EH merupakan tindakan yang patut diapresiasi dan perlu dikembangkan.

Selain apresiasi yang tinggi atas sikap lembaga (FISIPOL UGM) untuk segera merespon kasus EH, nampaknya dalam proses tersebut juga terdapat catatan. Proses yang dilakukan oleh internal FISIPOL UGM diatas tak ubahnya seperti pengadilan etik (court of ethic) karena selain melakukan pemeriksaan dan klarifikasi juga diikuti oleh pemberian sanksi etik. Dalam pengertian pengadilan etik (court of ethic) tersebut maka ada prinsip pengadilan modern yang sepatutnya menjadi perhatian agar proses dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara publik. Prinsip-prinsip tersebut adalah peradilan modern yang bersifat objektif, imparsial, profesional, terbuka, transparan dan akuntabel.5

Mekanisme penegakan kode etik yang dilakukan oleh Dewan Etik FISIPOL telah dilakukan secara tertutup. Makna tertutup disini berkaitan dengan proses, pihak-pihak yang terlibat dalam dewan etik, sampai pada implementasi atas sanksi etik yang tidak bias dipertanggung jawabkan secara publik. Mekanisme ini mendasarkan pada paradigma lama tentang penegakkan etika bahwa sistem etika pada dasarnya menyangkut hubungan-hubungan yang bersifat pribadi atau privat. Karena itu, proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik biasanya dilakukan secara tertutup. Sebagian pengertian lama tentang etika yang bersifat pribadi yang bersumber dari dorongan kesadaran internal tiap-tiap pribadi atau ‘imposed from within’, masih melekat dalam mekanisme pengelolaan kelembagaan penegak kode etik.6

Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, jaminan kendali mutu terhadap proses penegakan etika yang bersifat independen, jujur, dan adil tidak mungkin terpenuhi. Jika proses pemeriksaan dan peradilan dilakukan secara tertutup, derajat objektivitas, integritas, dan independensinya tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selama proses penegakan kode etik tidak terbuka, tidak dapat diharapkan adanya akuntabilitas publik yang memberikan jaminan objektifitas, imparsialitas, profesionalitas, integritas, dan kredibilitas. Pada gilirannya, siapa yang dapat diyakinkan bahwa proses penegakan kode etik itu sungguh-sungguh terpercaya. Jika prosesnya tidak dapat dipercaya, bagaimana mungkin hasilnya akan dapat dipercaya oleh masyarakat (public). Proses dewan etik yang sangat tertutup dapat menimbulkan spekulasi bahwa patut diduga pertimbangan pertemanan ataupun dipengaruhi oleh pertimbangan ewuh-pekewuh dan politik nama baik institusi. Kemunculan spekulasi publik yang demikian menandakan proses dewan etik internal yang tertutup memiliki celah untuk tidak dipercaya (distrust) oleh publik.

C. Penegakan Hukum

Sampai dengan saat ini meskipun kabar tentang pelecehan seksual sudah tersebar luas di media dan menjadi sorotan publik namun kasus tersebut belum masuk pada proses hukum. Mekanisme penyelesaian kasus yang sudah dilakukan adalah melalui penegakkan etik secara internal dan melalui proses etik ini konon kabarnya EH telah mendapatkan sanksi berupa dibebaskannya EH dari kewajiban mengajar, membimbing mahasiswa serta dicopot dari jabatan struktural.

Jika kita melihat kasus yang dilakukan oleh EH yakni soal pelecehan seksual, maka persoalannya bukan saja pada persoalan etik namun juga dapat masuk dalam kualifikasi persoalan hukum (legal). Meskipun KUHP sampai dengan saat ini belum mengatur secara eksplisit mengenai “pelecehan seksual”, namun apa yang dilakukan oleh EH paling tidak dapat masuk dalam kualifikasi delik kesusilaan. Proses penyelesaian etik sepatutnya juga diikuti dengan mekanisme hukum. Agar proses dan hasil bisa lebih dipertanggung jawabkan secara publik. 

Dalam konstruksi hukum sebagaimana KUHP apa yang dilakukan oleh EH dapat masuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap kesusilaan dan dalam hal ini masuk dalam kualifikasi pada pasal 281 KUHP. Pasal 281 KUHP menjelaskan hal demikian:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan

2. Barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Menurut R. Soesilo Yang dimaksud dengan kesusilaan disini adalah kesusilaan dalam arti umum. Sehingga makna terbuka dalam ketentuan pasal 281 adalah di muka umum. Kriteria dapat dihukumnya perbuatan asusila adalah bahwa orang tersebut dengan sengaja merusak kesopanan/kesusilaan dimuka umum, artinya perbuatan tersebut merusak kesopanan/kesusilaan itu harus dilakukan ditempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak.7  Dengan demikian maka syarat dimuka umum itu ada dua hal yaitu tempat yang dapat dilihat orang secara pada umumnya atau secara peruntukannya memang tempat tersebut diperuntukan untuk kepentingan umum.

Penafsiran atas frase “dimuka umum” nampaknya juga terjadi pada putusan-putusan hogeraad antara tahun 1902-1931. Tafsiran-tafsiran sebagaimana pertimbangan hukum hogeraad itu bekisar antara perbuatan kesusliaan itu dilakukan ditempat umum dan dapat dilihat secara umum oleh khalayak; perbuatan itu dilakukan meskipun tidak ditempat umum namun dapat dilihat oleh umum; perbuatan tersebut meskipun tidak dilihat umum namun perbuatan tersebut dilakukan di tempat yang peruntukannya untuk kepentingan umum.

Berkaitan dengan unsur sengaja maka dalam melakukan kejahatan kesusilaan maka maknanya perbuatan tersebut harus diketahui dan dikehendaki oleh pelaku. Untuk membuktikan adanya kesengajaan ini putusan hogeraad tahun 1930 yang memberi pertimbangan bahwa kesengajaan tidak perlu ditunjukan kepada perbuatan-pebuatan asusila yang menimbulkan kecemasan. Adalah cukup bahwa perbuatan-perbuatan itu dilakukan ditempat yang terbuka untuk umum. Nampaknya putusan ini ingin menegaskan bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan asusila ditempat umum secara nalar normal tidak mungkin jika hal itu dilakukan atas dasar ketidaksadaran. Tentulah pelaku mengerti betul akan perbuatan yang dilakukan dan dikehendaki.  Perbuatan asusila yang dilakukan oleh pelaku kejahatan paling tidak sudah disadari dan dikehendaki sebelumnya.

Meskipun penulis tidak memiliki kronologis peristiwa yang terjadi secara lengkap namun dapat dipastikan bahwa locus delicti masih berada sekurang-kurangnya masih masuk pada wilayah kampus UGM yang merupakan tempat yang terbuka untuk umum dan bukan kawasan tertutup/pribadi. Dengan melihat locus delicti yang ada dalam peristiwa tersebut dan mempetimbangkan terkait dengan unsur dimuka umum, nampaknya unsur tersebut dapat terpenuhi. Dan untuk membuktikan adanya kesengajaan berdasarkan kronologis cerita dari korban bahwa perbuatan asusila yang dilakukan oleh EH juga diawali dari rangkaian perbuatan yang secara sadar dan dikehendaki oleh pelaku untuk dilakukan (seperti pemilihan korban, tempat, waktu dan alasan pertemuan) sehingga memungkinkan pelaku melakukan perbuaan asusila tersebut.

Jika kita lihat kembali fakta dalam surat keterangan resmi dari FISIPOL UGM tertanggal 3 Juni 2016, maka selain fakta pelaporan dari penyintas, fakta kedua dari surat tersebut tersirat dengan jelas bahwa pelaku dalam sidang komisi etik telah mengakui akan perbuatan melakukan perbuatan pelecehan seksual. Kedua fakta dalam surat ketarangan resmi tersebut cukuplah memenuhi syarat sebagai bukti permulaan yang cukup.8  Dengan bukti permulaan tersebut maka sudah memenuhi syarat bahwa patut diduga telah terjadi perbuatan pidana, dan dalam hal ini aparat penegak hukum dapat memulai proses pro justisia. Kepolisian dapat memulai proses penyelidikan dan penyidikan dengan mengumpulkan informasi termasuk keterangan-keterangan berbagai pihak yang terlibat termasuk pihak-pihak dalam sidang etik di FISIPOL UGM.

D. Perubahan Perilaku

Barangkali penulis tidak akan terlampau jauh dalam membincangkan soal perubahan perilaku dalam pengertian psikologis. Yang menurut penulis relevan diungkap disini adalah apa yang menjadi dasar proses perubahan perilaku dari pelaku yang melakukan pelanggaran etik dan hukum. Proses tindakan berupa konseling perubahan perilaku memiliki tempat yang penting dalam penyelesaian kasus seperti halnya pemberian hukuman yang memberikan efek jera (deterent effect).

Pada dasarnya menurut penulis dengan menggunakan pendekatan etik dan hukum, maka proses perubahan perilaku senantiasa bersifat acessoir. Artinya perubahan perilaku melalui konseling perubahan perilaku merupakan tindakan yang tidak dapat berdiri sendiri. Tindakan tersebut harus didahului dengan pernyataan atau putusan tentang kejahatan dan sanksi pokok atas kejahatan yang dilakukan.

Dengan parameter diatas maka tindakan konseling perubaan perilaku dapat diberlakukan pasca proses etik. Apalagi proses penegakkan etika yang sudah selayaknya memiliki makna pengadilan etik (court of ethic). Jika melihat proses etik yang sudah selayaknya dilihat sebagai pengadilan etik (court of ethic) seperti diungkap diatas, maka putusan atas dewan etik harus tetap dihormati dan dijalankan. Dengan demikian tindakan konseling perubahan perilaku yang didasarkan atas putusan dewan etik memiliki dasar meskipun dewan etik tidak memberikan kriteria atau batasan perubahan perilaku yang dimaksud. Tinggal sekarang bagaimana melakukan pengawasan dan memastikan proses konseling perubahan perilaku itu dijalankan dan menjamin bahwa dengan tindakan tersebut pelaku tidak melakukan kejahatan lagi.

Dikaitkan dengan penegakkan hukum maka perubahan perilaku bagi pelaku kejahatan sudah memiliki konsepnya sejak abad ke 19. Berangkat dari pendekatan Herbert L Parker yang memperkenalkan pendekatan  medical model selain crime control model maupun due proses model, maka sudah sejak lama diperkenalkan bahwa memperlakukan pelaku kejahatan tidak cukup hanya sekedar melakukan penghukuman, namun yang lebih penting adalah melakukan perbaikan perilaku sehingga pelaku tidak mengulangi kejahatannya. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia ketiga pendekatan tersebut dipakai meskipun tidak bersifat strik.

Etika dan hukum dapat difungsikan secara sinergis dan saling menopang dalam rangka membina, mengarahkan, dan mengendalikan kualitas dan integritas perilaku manusia tak terkecuali pelaku kejahatan.***

 

------------------------------------

1 Penulis adalah Research Officer di Rifka Annisa Annisa, Yogyakarta. 

2 Surat dari FISIPOL ini merupakan respon dari berita yang mencuat di media yaitu The Jakarta Post tertanggal 2 Juni 2016 dengan judul berita “Sexually harassed and Abused on Campus” yang memaparkan terjadinya pelecehan seksual khususnya di FISIPOL UGM.

3 Jimly Ashidiqie, 2015, Dinamika Sistem Norma dan Peradilan Etika, Makalah, Disampaikan dalam Penataan Hakim Agung di Jakarta,hlm. 21

4 Ibid 

Ashidiqie..., Op.Cit., hlm. 30

JimlyAshidiqie, Op. Cit., hlm. 32

7 R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, hlm. 205

8 Berdasarkan Putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011 terkait bukti permulaan yang cukup maka harus dimaknai minimal dua alat bukti.

Read 13289 times Last modified on Selasa, 25 Juli 2017 17:16
43884685
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3847
37705
225382
221312
43884685