Pada hari Selasa, 3 November 2020, telah terselenggara webinar hasil kerja sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), UNFPA, Ubuntu Symposium dan Aliansi Laki-Laki Baru, serta didukung oleh WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, PKBI Kepulauan Riau, Yayasan Pulih, Rifka Annisa, dan CIS Timor.
Webinar ini dimoderatori oleh Syafirah Hardani dan diisi oleh Feby R. Ramadhan S.Sos., Elizabeth Windy S.I.Kom., dan Ira Larasati S.I.P. sebagai pembicara, serta Ita F. Nadia sebagai penanggap. Webinar dibuka oleh Dodi M. Hidayat, Ketua Bidang Partisipasi Organisasi Keagamaan dari KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
Dalam pembukaannya, Dodi menyebut bahwa pengintegrasian pendekatan pelibatan laki-laki dalam upaya penyetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang penting karena kekerasan berbasis gender memiliki kaitan dengan norma dan praktik maskulinitas. Ketidaksetaraan membawa dampak negatif bagi kehidupan perempuan dan laki-laki itu sendiri. Selain itu, laki-laki dapat berperan positif dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender. Laki-laki juga memiliki posisi strategis di berbagai level, serta memiliki kontrol atau sumber daya yang diperlukan perempuan untuk mendapatkan keadilan. Meskipun laki-laki cukup strategis sebagai mitra perempuan untuk mendapatkan keadilan, langkah pelibatan laki-laki memiliki beberapa resiko diantaranya bila tidak diterapkan dengan tepat justru dapat memperlemah upaya pemberdayaan perempuan. Pelibatan laki-laki dalam upaya penyetaraan harus dipandu dengan prinsip yang sesuai untuk menciptakan kesetaraan gender yang hakiki.
Feby dalam penelitiannya tentang “Resistensi terhadap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial Aliansi Laki-laki Baru” menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan berada di atas pondasi budaya patriarki yang berdiri kokoh dalam masyarakat. Maskulinitas hegemonik yang lahir karena adanya budaya patriarki dan mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan perlu ditelaah kembali. Aliansi Laki-laki Baru dapat menjadi alternatif bagi laki-laki untuk sama-sama belajar dan turut serta dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Pandangan lain dari penelitian Elizabeth Windy yang berjudul Representasi Male Feminist di Media Sosial Twitter @lakilakibaru (Studi Etnografi Virtual) menunjukkan bahwa representasi akun @lakilakibaru dapat memperlihatkan sisi lain laki-laki seperti; laki-laki dapat menjadi sensitif, gentle, takut, penuh kasih sayang, serta dapat pula berdandan. Laki-laki dapat berbagi peran di luar peran biologis dengan perempuan, seperti berbagai pekerjaan domestik dan pencarian nafkah. Laki-laki sebaiknya menghindari candaan seksis untuk menghindari normalisasi. Laki-laki tidak mendominasi dalam relasi dengan pasangan. Laki-laki tidak menyelesaikan masalah dengan kekerasan, baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun emosional.
Dalam wawancara dengan Shera, Manajer Media Sosial ALB, konten-konten yang diunggah di akun twitter @lakilakibaru telah melalui perencanaan strategi. Konten harus inline, mulai dari bahasa serta keteraturan postingan. Menurut Elizabeth, bagi laki-laki yang tertarik dalam kesetaraan gender dapat mengaplikasikan kiat-kiat menjadi male feminist sesuai citra ALB dalam kehidupan sehari-hari.
Selaian Elizabeth, Ira Larasati lulusan Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro memaparkan hasil penelitiannya berjudul Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru dalam Membongkar Konstruksi Maskulinitas. Penelitian yang dilakukan tahun 2019 ini meninjau gerakan ALB melalui konsep Two Logics of Action (konsep gerakan yang menggabungkan gerakan aksi kolektif tatap muka dengan gerakan aksi konektif media online). Hasil penelitian disimpulkan bahwa konsep gerakan ALB adalah hybrid, yaitu menggabungkan aksi-aksi kolektif yang dilakukan bersama dengan gerakan perempuan dan aksi-aksi konektif yang dilakukan melalui pemanfaatan media online. Ciri konsep hybrid yang sesuai dengan Gerakan yang dilakukan ALB antara lain; koordinasi organisasi yang longgar, organisasi menyediakan pengeluaran untuk teknologi sosial, konten komunikasi berpusat pada kerangka tindakan pribadi yang inklusif yang dihasilkan organisasi, gerakan terhubung dalam jaringan yang longgar. Ira juga menyebut bahwa terdapat keterbatasan penelitian ini, yaitu terletak pada kurangnya pembahasan mengenai tingkat keterlibatan publik dalam kerangka connective action yang dilakukan ALB, sehingga tidak dapat menjelaskan dampak gerakan ALB secara parsial. Penelitian ini juga menghasilkan rekomendasi yang menyebut bahwa inisiasi untuk membentuk jaringan volunteer perlu untuk terus dilakukan secara berkala agar transfer ide dan gerakan dapat lebih menyeluruh. Volunteer juga dapat dikelola untuk memperluas jaringan gerakan yang dilakukan dalam rangka connective action.