Pandemi COVID-19 menyerang 213 negara di dunia sejak akhir 2019. Data secara global menunjukkan jumlah kasus COVID-19 telah mencapai 1.392.647 kasus dengan total kematian sebanyak 593.209 kasus. Sementara itu, kasus yang terjadi di Indonesia sebanyak 83.130 kasus dengan angka kematian sebanyak 3.957 kasus.
Jumlah pasien COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Terhitung pada minggu pertama dan kedua bulan Juli angka kasus melonjak hingga di atas 1.500 kasus. Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan juga politik. Dampak yang signifikan juga terjadi pada kehidupan perempuan. Perubahan cara hidup dan bekerja selama masa pandemi ini meningkatkan beban kerja pada perempuan.
Dari sisi ekonomi, [2]ketika pekerjaan dilakukan dari rumah bersamaan dengan anak-anak melakukan sekolah dari rumah, tumpuan tanggung jawab mengurus rumah tangga sekaligus menjadi guru bagi anak-anak ada pada perempuan. Hasil survei daringyang dilakukan oleh Komnas Perempuan menemukan mayoritas responden (96% dari 2285 responden), baik laki-laki dan perempuan, menyampaikan bahwa beban pekerjaan rumah tangga semakin banyak. Jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari 3 jam berjumlah dua kali lipat daripada responden laki-laki. Diketahui jika1 dari 3 reponden yang melaporkan bertambahnya pekerjaan rumah tangga menyebutkan bahwa dirinya mengalami stres.[3]
Risiko lain yang dihadapi oleh perempuan adalah terbatasnya akses kesehatan reproduksi dan seksual. Rasa khawatir akan risiko penularan virus dan pembatasan layanan di fasilitas kesehatan menyebabkan perempuan enggan mendatangi puskesmas atau rumah sakit guna mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan seksual, seperti pemeriksaan kehamilan maupun layanan keluarga berencana. BKKBN menyampaikan selama masa pandemi terjadi penurunan pengguna KB aktif sebanyak 10%-15% atau sekitar 10 juta jiwa. Adanya penurunan ini diperkirakan akan memicu terjadinya kehamilan sebanyak 370.000-500.000 kehamilan. [4]
Pandemi ini juga memberikan dampak lain, yaitu peningkatan risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tingkat stres yang tinggi, persoalan ekonomi keluarga, dan juga penerapan kebijakan isolasi serta karantina yang membatasi pergerakan masyarakat, telah memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan adanya tren peningkatakan kasus kekerasan terhadap perempuan selama masa pandemi COVID-19. Di Prancis terjadi peningkatan kasus kekerasan yang terlaporkan sebanyak 30% semenjak penerapan lockdown pada tanggal 17 Maret 2020, di Argentina kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat 25% sejak penerapan lockdown 20 Maret 2020, di Singapura dan Cyprus terjadi peningkatan pelaporan melalui telepon sebesar 33% dan 30%. Permintaan akses layanan shelter atau rumah aman juga dilaporkan terjadi peningkatan di Kanada, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Amerika.[5] Adapun di Yogyakarta, Rifka Annisa mencatat adanya peningkatan perempuan yang mengakses layanan hotline Rifka Annisa dari Januari hingga Mei 2020 sebanyak 140 kasus. Kasus kekerasan seksual berbasis online pun mengalami peningkatan seiring dengan berubahnya cara kerja dan cara hidup masyarakat yang banyak menggunakan media online.
Peningkatan kasus ini tidak dibarengi dengan peningkatan layanan bagi perempuan korban kekerasan. Justru pada situasi pandemi ini, akses layanan bagi perempuan korban kekerasan sangat terbatas. Lembaga layanan, baik milik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat banyak mengubah bentuk layanan, baik dalam hal waktu pelayanan maupun metode pelayanan. Sebagian besar layanan berpindah ke layanan online dengan melalui telepon, surat elektronik, maupun WhatsApp. Pelayanan tatap muka hanya dilakukan pada situasi darurat. Hal ini tentu tidak menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan korban kekerasan yang tidak memiliki akses terhadap teknologi informasi, maupun mereka yang berada di wilayah dengan jangkauan sinyal telepon yang tidak memadai.
Sementara itu, layanan rumah aman banyak yang ditutup dengan alasan keamanan dan keterbatasan sumber daya untuk pengelolaan. Catatan dari diskusi nasional yang diselenggaran Forum Pengada Layanan menunjukkan bahwa layanan rumah aman menjadi paling sulit didapatkan saat pandemi ini. Jikalaupun ada yang menyediakan, seperti di Jakarta dan Yogyakarta, akses terhadap layanan ini sangat sulit dijangkau karena prasyarat yang ditetapkan sangatlah ketat. Penyedia layanan rumah aman mengharuskan calon penghuni yang merupakan korban kekerasan melakukan tes Covid-19 dengan biaya yang ditanggung sendiri.
Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diesease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dan Peraturan Presiden no 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 memandatkan perubahan anggaran di berbagai instansi dan kelembagaan. Konsekuensi dari realokasi anggaran untuk percepatan penanganan pandemi COVID-19 ini adalah berkurangnya anggaran di sektor lain, termasuk untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di lembaga layanan milik pemerintah. Padahal, biaya penanganan kasus kekerasan saat pandemi ini justru meningkat karena keharusan untuk mengadakan alat pelindung diri yang memadai dan pembiayan tambahan untuk layanan online.
Di tengah berbagai tantangan keterbatasan sumber daya tersebut, lembaga layanan wajib terus menghadirkan layanan yang berkualitas, aman, dan inklusif bagi perempuan korban kekerasan dengan berbagai latar belakang identitas. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh lembaga layanan dalam mengupayakan layanan berkualitas antara lain:
1. Mitigasi risiko COVID-19 dan adaptasi layanan
Mitigasi risiko COVID-19 harus dilakukan untuk memetakan potensi risiko dan hambatan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan, keluarga dan staf pendamping sesuai dengan konteks masing-masing wilayah. Keberhasilan melakukan antisipasi terhadap resiko yang mungkin terjadi dalam situasi krisis ini akan berdampak pada keberlangsungan layanan dalam jangka panjang. Adaptasi terhadap layanan harus diberikan berdasarkan temuan mitigasi risiko yang sesuai dengan konteks. Pemilahan antara layanan penting dan darurat (esensial) serta layanan non-esensial perlu dilakukan untuk memandu lembaga layanan dalam melakukan adaptasi layanan yang disediakan.
Adaptasi yang mungkin bisa dilakukan adalah peralihan layanan jarak jauh berbasis online, penundaan pelaksanaan pertemuan yang melibatkan orang banyak, penyusunan mekanisme keamanan pada situasi isolasi, karantina maupun lockdown. Selain itu, lembaga layanan juga perlu untuk mengintegrasikan komponen edukasi COVID-19 dalam setiap tahapan layanannya.
2. Menyediakan protokol penanganan kasus kekerasan dalam situasi krisis
Novel coronavirus (2019-nCoV) menyebar dengan sangat cepat dan pada beberapa orang tidak menunjukkan gejala. Untuk mencegah penularan COVID-19 dalam proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, lembaga layanan harus menerapkan protokol yang ketat. Seyogianya protokol penanganan kasus kekerasan ini tidak saja mengatur langkah-langkah untuk mencegah penularan virus, tapi juga memastikan aspek keamanan bagi perempuan korban kekerasan dan pendamping korban.
Komponen yang penting dalam protokol penanganan kasus kekerasan ini adalah panduan khusus tentang layanan melalui media online, WhatsApp atau telepon, protokol khusus untuk penyediaan rumah aman, dan juga protokol khusus tentang layanan tatap muka dan pendampingan korban. Hal ini penting mengingat selama masa pandemi, perempuan korban kekerasan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama dengan pasangan. Situasi seperti ini berisiko menempatkan korban dalam situasi bahaya ketika melakukan pendampingan melalui telepon karena pasangan bisa lebih mudah menemukan jejak
3. Menguatkan layanan berbasis komunitas
Keterbatasan mobilitas lembaga layanan untuk bisa menjangkau korban secara langsung menjadi tantangan dalam menyediakan layanan yang berkualitas dan inklusif. Kegiatan penjangkauan dan home visit yang selama ini disediakan lembaga layanan menjadi sangat terbatas, bahkan banyak yang meniadakan layanan ini. Lembaga layanan berbasis komunitas yang memiliki akses lebih dekat dan mudah dengan korban memiliki peran penting untuk mengatasi situasi ini. Untuk itu, lembaga layanan harus terus-menerus dikuatkan dengan melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas seperti pelatihan, maupun supervisi jarak jauh. Selain berfungsi untuk memberikan pendampingan kasus yang ditemui di komunitas, lembaga layanan berbasis komunitas juga memiliki peran penting dalam melakukan edukasi kepada masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan dan pandemi COVID-19.
4. Berjejaring dengan Gugus Tugas dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di asing-masing wilayah
Pemerintah telah berupaya untuk menangani COVID-19, dengan membentuk gugus tugas penanganan dan satuan tugas penanganan COVID-19. Satuan tugas penanganan COVID-19 (satgas) ini dibentuk sampai level terendah (RT/RW) untuk melakukan upaya pencegahan penularan COVID-19, distribusi bansos, melakukan edukasi ke masyarakat, dan juga menjaga keamanan kampung. Lembaga layanan perlu membangun jejaring dengan satgas dan gugus tugas penanganan COVID-19 untuk membantu penanganan kasus dan merujukkan kasus yang teridentifikasi berisiko tinggi terpapar COVID-19. Selain itu, jejaring ini juga penting untuk mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan terhadap layanan bantuan sosial dan kesehatan selama masa pandemi.
5. Memastikan kesejahteraan para pendamping perempuan korban kekerasan
Kualitas layanan bagi korban kekerasan sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas pendamping perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu, well-being (kesejahteraan) jiwa pendamping korban perlu mendapat perhatian khusus dari lembaga penyedia layanan. Tren kasus yang meningkat selama masa pandemi berpotensi meningkatkan beban kerja pendamping korban. Kelelahan karena beban kerja yang berlebih ini dapat memicu burnout yang sangat mempengaruhi kondisi mental pendamping korban. Apalagi dalam situasi pandemi ini, pendamping korban juga rentan mengalami stres karena ketidakpastian dalam banyak hal, juga kekhawatiran yang muncul akan keselamatan jiwa mereka selama masa pandemi.
Lembaga layanan harus membuat mekanisme untuk pemulihan kelelahan atau stres yang dialami oleh pendamping korban, baik dengan menyediakan mekanisme self-care maupun healing bagi para pendamping.
[1] https://www.bing.com/search?q=Coronavirus+statistics+in+Indonesia&tf=U2VydmljZT1HZW5lcmljQW5zd2VycyBTY2VuYXJpbz1Db3JvbmFWaXJ1c01MIFBvc2l0aW9uPVRPUCBSYW5raW5nRGF0YT1UcnVlIEZvcmNlUGxhY2U9VHJ1ZSBQYWlycz1zY246Q29yb25hVmlydXNNTDtjb3VudHJ5Q29kZTpJRE47aW50ZW50OkNoZWNrQ29yb25hU3RhdHM7YWJvdmVuZXdzOlRydWU7IHw%3d&hs=mGuOwRaD93JDsPLeTMpwDB6QOt%2f8f%2fmzJXHb0knxRYs%3d&FORM=COVIDR
[2] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Kuartal II Ekonomi Indonesia -4,3 Persen", https://money.kompas.com/read/2020/07/15/204000926/sri-mulyani--kuartal-ii-ekonomi-indonesia-4-3-persen?page=all.
[3] https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-hasil-kajian-komnas-perempuan-tentang-perubahan-dinamika-rumah-tangga-dalam-masa-pandemi-covid-19-3-juni-2020
[4] https://kesehatan.kontan.co.id/news/wow-bkkbn-menghitung-potensi-kehamilan-di-masa-pandemi-covid-19-capai-500000
[5] https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/04/issue-brief-covid-19-and-ending-violence-against-women-and-girls
Perubahan kebijakan berupa Work from Home akibat wabah virus corona yang terjadi secara mendadak pada akhir Maret 2020 lalu tentunya cukup membuat para konselor Rifka Annisa kewalahan. Akan tetapi, respon yang cepat dan adaptif dari para konselor membuat layanan konseling online ini banyak diakses, terutama dari usia muda dan kalangan yang akrab dengan teknologi. “Kami cukup kaget karena di bulan pertama kami membuka keseluruhan layanan yang berbasis online, jumlah pengakses mencapai sekitar 53 orang per harinya. Jumlah aduan ini berbeda dibanding hari-hari biasanya yang hanya sekitar 40 orang ketika kami membuka layanan tatap muka di kantor,” kata Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Bahkan, menurut salah satu konselor yang memegang hotline utama lembaga, jumlah aduan di tanggal 2 Juni 2020 mencapai 16 kasus baru.
Mengantisipasi jumlah aduan yang terus meningkat selama masa pandemi, skema akses layanan daring pun dirubah dengan dua pintu utama; layanan telepon dan layanan pos elektronik (e-mail). Layanan telepon sebagai hotline utama berfungsi menerima laporan masuk dari para pengakses yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan registrasi. Klien yang ingin mengakses layanan Rifka akan mendapatkan formulir dalam bentuk online google form, dan hotline utama akan melanjutkan hasil pengisian data klien ini ke para konselor. Asesmen dari pengisian data inilah yang menjadi pedoman bagi hotline utama dalam mengarahkan klien ke konselor yang dibutuhkan; baik itu konselor psikologis atau konselor hukum.
Sedangkan layanan pos elektronik dikhususkan bagi klien yang berada di luar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Indiah, sejak diberlakukannya layanan konseling online lembaga, banyak pengakses ke hotline utama yang ternyata berasal dari luar daerah. Hal ini kemudian disiasati dengan mengarahkan klien untuk mengakses layanan e-mail yang nantinya menjadi rujukan bagi klien dalam mengakses lembaga layanan terdekat di daerahnya. Rifka Annisa pun membantu dengan membuat surat resmi rujukan serta meneruskan data klien dan kronologi yang disampaikan oleh klien melalui pesan e-mail. Layanan pos elektronik ini juga digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan hukum klien maupun dari jejaring layanan.
Prinsip Layanan dalam Situasi Pandemi
“Safety, Respon Cepat, Efektif, dan Pemerataan Beban Kerja” merupakan prinsip yang dipegang oleh lembaga layanan Rifka Annisa sejak awal masa pandemi COVID-19 ini. Prinsip “Safety” ini dimaksudkan sebagai upaya layanan lembaga dalam mengedapankan keamanan individu termasuk dari segi kesehatan. Oleh karena itu, Rifka Annisa belum kembali membuka layanan tatap muka langsung sampai sudah ada protokol kesehatan yang ketat dan menyeluruh baik bagi klien maupun konselor.
Sedangkan, prinsip “Respon Cepat” berarti mengupayakan pengakses layanan mendapatkan respon yang tanggap dari hotline utama. Prinsip “Efektif” juga berusaha mengupayakan kebutuhan klien yang tepat sasaran. “Pemerataan Beban Kerja” merupakan tanggung jawab dari pemegang hotline utama dengan memperhatikan beban kerja dan tanggung jawab masing-masing konselor. Semisal, satu konselor memegang 10 klien dengan kasus yang sedang dan tidak menyita banyak energi. Di sisi lain, ada konselor yang menangani 3 kasus tetapi membutuhkan lebih banyak tenaga, semisal perlu berkoordinasi dengan jejaring layanan. Pembagian ini bertujuan agar konselor tetap bisa menjaga kesehatan jiwa dan raganya serta tidak ada yang mengalami burnout ataupun pekerjaan yang overload.
Tantangan dan Hambatan
Indiah mengakui bahwa layanan serba daring ini ternyata cukup melelahkan dibanding layanan bertatap muka. “Jika sudah selesai menerima klien, biasanya kami sesama konselor banyak ngobrol dan bercerita sebagai ajang katarsis bersama. Tetapi Work from Home membuat kami para konselor harus pintar-pintar mencari katarsis atau pelampiasan stres walaupun tidak bisa bertatap muka secara langsung. Kami pun akhirnya menyepakati jadwal setiap hari Sabtu untuk koordinasi secara online. Tak hanya sebagai agenda rutin untuk evaluasi layanan, pertemuan ini juga biasanya hanya untuk sekedar bercerita dan berkeluh kesah,” terang Indiah.
Selain itu, tantangan yang dihadapi adalah konselor perlu untuk selalu berbicara atau sekedar mengeluarkan suara. Hal ini karena rata-rata klien lebih nyaman bercerita melalui telepon atau pesan teks, sedangkan masih jarang klien yang memilih untuk melakukan panggilan video. Berbeda dengan konseling offline atau tatap muka langsung, para konselor bisa menanggapi dengan gestur sebagai bentuk simpati, sedangkan di layanan daring klien tidak bisa melihat gerakan atau gestur yang ditunjukkan oleh konselor.
Sedangkan, pengakses layanan konseling laki-laki pada masa pandemi ini terbilang sedikit dibandingkan jumlah pengakses layanan offline terdahulu. Ada beberapa faktor yang kemungkinan membuat para laki-laki tidak nyaman mengakses layanan daring, salah satunya adalah karena laki-laki tidak terbiasa dengan bahasa verbal dan lebih bisa mengutarakan melalui gestur tubuh. Adapun rata-rata klien laki-laki lebih memilih untuk melakukan konseling dengan pesan teks ketimbang telepon. Penjangkauan klien laki-laki yang dinilai belum efektif selama konseling online kemudian menjadi tinjauan bagi kebijakan setelah ini, yaitu ketika sudah memasuki situasi new normal.
Hambatan pun hadir dalam layanan online ketika konselor berupaya melakukan sesi pemulihan bagi klien. Konseling dengan tujuan pemulihan memerlukan pertemuan yang intensif dan beragam metode yang sesuai dengan situasi klien. Pemulihan juga membutuhkan waktu cukup panjang, oleh karenanya dirasa sangat terbatas jika hanya dilakukan tanpa bertatap muka langsung.
Peluang
Walaupun dengan berbagai tantangan yang dihadapi, penanganan kasus dengan skema online seperti kasus hukum dan strategi pendampingan serta koordinasi jejaring layanan tetap berjalan sesuai target. Dari klien pun ada perkembangan seperti bisa melakukan terminasi kasus secara online. Terminasi berarti mengakhiri layanan dengan klien karena kasus sudah diselesaikan secara tuntas.
Sehingga, menurut Indiah, layanan online ini lebih cocok untuk layanan-layanan non-esensial berupa psiko-edukasi bagi pengakses layanan, pemberian informasi-informasi dasar terkait layanan yang tersedia, pemberian konseling dasar, dan pendampingan hukum dan psikososial yang bekerjasama dengan jaringan layanan di Provinsi DIY.
“Skema layanan online ini sebetulnya bisa diterapkan terus untuk jangka waktu ke depan, karena cukup efisien bagi klien dan konselor dalam membuat jadwal konseling. Mungkin selanjutnya konseling bisa berjalan dengan kedua skema baik online dan tatap muka, tentunya dengan mempertimbangkan urgensi kasus dan kebutuhan klien,” tutup Indiah.