Perubahan kebijakan berupa Work from Home akibat wabah virus corona yang terjadi secara mendadak pada akhir Maret 2020 lalu tentunya cukup membuat para konselor Rifka Annisa kewalahan. Akan tetapi, respon yang cepat dan adaptif dari para konselor membuat layanan konseling online ini banyak diakses, terutama dari usia muda dan kalangan yang akrab dengan teknologi. “Kami cukup kaget karena di bulan pertama kami membuka keseluruhan layanan yang berbasis online, jumlah pengakses mencapai sekitar 53 orang per harinya. Jumlah aduan ini berbeda dibanding hari-hari biasanya yang hanya sekitar 40 orang ketika kami membuka layanan tatap muka di kantor,” kata Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Bahkan, menurut salah satu konselor yang memegang hotline utama lembaga, jumlah aduan di tanggal 2 Juni 2020 mencapai 16 kasus baru.
Mengantisipasi jumlah aduan yang terus meningkat selama masa pandemi, skema akses layanan daring pun dirubah dengan dua pintu utama; layanan telepon dan layanan pos elektronik (e-mail). Layanan telepon sebagai hotline utama berfungsi menerima laporan masuk dari para pengakses yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan registrasi. Klien yang ingin mengakses layanan Rifka akan mendapatkan formulir dalam bentuk online google form, dan hotline utama akan melanjutkan hasil pengisian data klien ini ke para konselor. Asesmen dari pengisian data inilah yang menjadi pedoman bagi hotline utama dalam mengarahkan klien ke konselor yang dibutuhkan; baik itu konselor psikologis atau konselor hukum.
Sedangkan layanan pos elektronik dikhususkan bagi klien yang berada di luar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Indiah, sejak diberlakukannya layanan konseling online lembaga, banyak pengakses ke hotline utama yang ternyata berasal dari luar daerah. Hal ini kemudian disiasati dengan mengarahkan klien untuk mengakses layanan e-mail yang nantinya menjadi rujukan bagi klien dalam mengakses lembaga layanan terdekat di daerahnya. Rifka Annisa pun membantu dengan membuat surat resmi rujukan serta meneruskan data klien dan kronologi yang disampaikan oleh klien melalui pesan e-mail. Layanan pos elektronik ini juga digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan hukum klien maupun dari jejaring layanan.
Prinsip Layanan dalam Situasi Pandemi
“Safety, Respon Cepat, Efektif, dan Pemerataan Beban Kerja” merupakan prinsip yang dipegang oleh lembaga layanan Rifka Annisa sejak awal masa pandemi COVID-19 ini. Prinsip “Safety” ini dimaksudkan sebagai upaya layanan lembaga dalam mengedapankan keamanan individu termasuk dari segi kesehatan. Oleh karena itu, Rifka Annisa belum kembali membuka layanan tatap muka langsung sampai sudah ada protokol kesehatan yang ketat dan menyeluruh baik bagi klien maupun konselor.
Sedangkan, prinsip “Respon Cepat” berarti mengupayakan pengakses layanan mendapatkan respon yang tanggap dari hotline utama. Prinsip “Efektif” juga berusaha mengupayakan kebutuhan klien yang tepat sasaran. “Pemerataan Beban Kerja” merupakan tanggung jawab dari pemegang hotline utama dengan memperhatikan beban kerja dan tanggung jawab masing-masing konselor. Semisal, satu konselor memegang 10 klien dengan kasus yang sedang dan tidak menyita banyak energi. Di sisi lain, ada konselor yang menangani 3 kasus tetapi membutuhkan lebih banyak tenaga, semisal perlu berkoordinasi dengan jejaring layanan. Pembagian ini bertujuan agar konselor tetap bisa menjaga kesehatan jiwa dan raganya serta tidak ada yang mengalami burnout ataupun pekerjaan yang overload.
Tantangan dan Hambatan
Indiah mengakui bahwa layanan serba daring ini ternyata cukup melelahkan dibanding layanan bertatap muka. “Jika sudah selesai menerima klien, biasanya kami sesama konselor banyak ngobrol dan bercerita sebagai ajang katarsis bersama. Tetapi Work from Home membuat kami para konselor harus pintar-pintar mencari katarsis atau pelampiasan stres walaupun tidak bisa bertatap muka secara langsung. Kami pun akhirnya menyepakati jadwal setiap hari Sabtu untuk koordinasi secara online. Tak hanya sebagai agenda rutin untuk evaluasi layanan, pertemuan ini juga biasanya hanya untuk sekedar bercerita dan berkeluh kesah,” terang Indiah.
Selain itu, tantangan yang dihadapi adalah konselor perlu untuk selalu berbicara atau sekedar mengeluarkan suara. Hal ini karena rata-rata klien lebih nyaman bercerita melalui telepon atau pesan teks, sedangkan masih jarang klien yang memilih untuk melakukan panggilan video. Berbeda dengan konseling offline atau tatap muka langsung, para konselor bisa menanggapi dengan gestur sebagai bentuk simpati, sedangkan di layanan daring klien tidak bisa melihat gerakan atau gestur yang ditunjukkan oleh konselor.
Sedangkan, pengakses layanan konseling laki-laki pada masa pandemi ini terbilang sedikit dibandingkan jumlah pengakses layanan offline terdahulu. Ada beberapa faktor yang kemungkinan membuat para laki-laki tidak nyaman mengakses layanan daring, salah satunya adalah karena laki-laki tidak terbiasa dengan bahasa verbal dan lebih bisa mengutarakan melalui gestur tubuh. Adapun rata-rata klien laki-laki lebih memilih untuk melakukan konseling dengan pesan teks ketimbang telepon. Penjangkauan klien laki-laki yang dinilai belum efektif selama konseling online kemudian menjadi tinjauan bagi kebijakan setelah ini, yaitu ketika sudah memasuki situasi new normal.
Hambatan pun hadir dalam layanan online ketika konselor berupaya melakukan sesi pemulihan bagi klien. Konseling dengan tujuan pemulihan memerlukan pertemuan yang intensif dan beragam metode yang sesuai dengan situasi klien. Pemulihan juga membutuhkan waktu cukup panjang, oleh karenanya dirasa sangat terbatas jika hanya dilakukan tanpa bertatap muka langsung.
Peluang
Walaupun dengan berbagai tantangan yang dihadapi, penanganan kasus dengan skema online seperti kasus hukum dan strategi pendampingan serta koordinasi jejaring layanan tetap berjalan sesuai target. Dari klien pun ada perkembangan seperti bisa melakukan terminasi kasus secara online. Terminasi berarti mengakhiri layanan dengan klien karena kasus sudah diselesaikan secara tuntas.
Sehingga, menurut Indiah, layanan online ini lebih cocok untuk layanan-layanan non-esensial berupa psiko-edukasi bagi pengakses layanan, pemberian informasi-informasi dasar terkait layanan yang tersedia, pemberian konseling dasar, dan pendampingan hukum dan psikososial yang bekerjasama dengan jaringan layanan di Provinsi DIY.
“Skema layanan online ini sebetulnya bisa diterapkan terus untuk jangka waktu ke depan, karena cukup efisien bagi klien dan konselor dalam membuat jadwal konseling. Mungkin selanjutnya konseling bisa berjalan dengan kedua skema baik online dan tatap muka, tentunya dengan mempertimbangkan urgensi kasus dan kebutuhan klien,” tutup Indiah.