Friday, 31 July 2020 22:00

 

Situasi pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia, terutama dalam hal budaya berinteraksi. Rifka Annisa tengah menjalankan kegiatan dari program Prevention+. Repogramming pun terjadi, dan hal ini terjadi di seluruh lembaga kecuali yang dari awal desain program mereka menggunakan metode online. Hampir semua aktvitas dilakukan dari rumah dan secara online. Beberapa kegiatan online yang dilaksanakan bersama komunitas dampingan diantaranya: diskusi ayah, diskusi ibu, diskusi remaja, pertemuan alumni diskusi, dan seminar online.

Terdapat banyak aplikasi yang digunakan untuk melakukan pertemuan online. Beberapa aplikasi yang familier dan sering digunakan adalah WhatsApp, Zoom Meeting, Skype, Cisco Webex Meeting, dan Google Meet. Namun yang paling sering digunakan adalah WhatsApp dengan fitur group chat-nya. Pertimbangan utama adalah faktor aksesibilitas. “WhatsApp menjadi satu-satunya aplikasi yang ramah bagi kebanyakan orang di komunitas” ungkap Rico, salah satu community organizer dalam program Prevention+. Sementara itu untuk menjangkau komunitas lebih luas, beberapa seminar online menggunakan Zoom Meeting yang ditautkan ke YouTube live.

Dalam prosesnya, tentu menemui beberapa hambatan. Pertama, secara umum sinyal masih menjadi hambatan utama. Beberapa lokasi memang memiliki sinyal yang tidak bersahabat. Baik teman-teman Rifka Annisa maupun peserta dari komunitas dampingan, sinyal menjadi kendala utama. Kedua, kuota yang semakin boros, terutama saat menggunakan Zoom Meeting. Beberapa kegiatan koordinasi dan evaluasi dilakukan sekitar 1-3 jam. Pernah suatu ketika mengecek pemakaian kuota yang digunakan dalam rapat koordinasi dengan aplikasi Zoom Meeting.  Dalam 3 jam pertemuan online menghabiskan 563 Megabyte (MB) atau sekitar 0,5 Gigabyte (GB).

Dari pendamping komunitas, Irma salah satu community organizer menceritakan tantangan aksesibilitas ketika melakukan kegiatan online. “Pernah saya melakukan jajak pendapat dengan bapak-ibu di komunitas. Saya kirimkan beberapa gambar aplikasi chat atau meeting. Dari sekian banyak aplikasi, paling familier adalah Zoom Meeting. Beberapa mengaku mengetahui Zoom Meeting, tapi HP-nya tidak kompatibel, memorinya sudah penuh, sudah nggak bisa install aplikasi itu.  Sejauh ini yang digunakan adalah WhatsApp. Ketika seminar online melalui Zoom, teman-teman menautkan ke YouTube, supaya teman-teman di komunitas juga bisa mengakses melalui YouTube. Kalau YouTube kan di semua HP hampir ada, bahkan menjadi aplikasi bawaan saat membeli HP. Yang penting bagaimana informasinya sampai” jelasnya.

Selain itu, hambatan yang dihadapi yaitu beberapa situasi di rumah yang tidak mendukung untuk fokus menyimak. Pada sesi diskusi kelas ayah, hal ini dialami oleh Pak Herman dalam grup diskusi “Maaf bapak-bapak, saya slow respond dulu, sedang menemani anak belajar”. Ada juga yang waktunya bersamaan dengan tugas lain, Pak Kirdi misalnya, “Mohon maaf belum bisa bergabung karena ada pertemuan di balai desa”. Saat kelas ibu, Mbak Nus dari kelas ibu juga mengalami hal yang sama, “Maaf belum bisa bergabung… (mengirim foto sedang menyuapi anaknya), ini anak kalau belum tidur ngajak ngomong terus, nggak konsen menyimak”. Dan di kelas remaja, ada yang berhalangan ikut karena sedang bekerja dengan shift waktu tertentu.

Pada tahap persiapan, tentu bukan hal yang mudah juga untuk memfasilitasi diskusi secara online. Rico menyebutkan beberapa catatan dari segi persiapan materi. Ia menjelaskan bahwa “Dalam persiapan diskusi online, beberapa tantanganya pertama, materi perlu disesuaikan dengan situasi sekarang, jadi perlu waktu lebih untuk melengkapi dan mengolah dari berbagai sumber. Kedua, mengemas materi menjadi konten dalam bentuk visual dan menarik untuk dikonsumsi. Dalam hal ini  butuh waktu untuk mendesain, sebuah tantangan baru bagi yang tidak terbiasa mendesain. Ketiga, beberapa orang menyayangkan ketika ada konten video yang berukuran agak besar (diatas 10MB). “Mendownload video juga memakan kuota”. Pelajaran yang dapat dipetik dari proses persiapan materi adalah, menyajikan materi dalam satu klik. Artinya, bagaimana menuangkan materi dalam satu gambar yang mudah diakses. Visualisasi juga membantu menarik perhatian untuk membaca dan mengerti materinya.

Ada catatan menarik dari Ibu Yuni, fasilitator komunitas pada kelas Ibu. “Menurut saya, diskusi online itu sudah cukup efektif di masa pandemi ini, tapi tantangannya juga pasti ada, seperti terkendala sinyal, dan kalau saya pribadi kadang ketinggalan ‘kereta’ jauh karena loading yang lambat, jadi kurang nyambung dengan materi diskusi. Tapi pada akhir sesi bisa membaca lagi dan menyimpulkan sih, jadi menurut saya juga mudah untuk mengikutinya. Saat membaca lagi jadi nyambung” kata Bu Yuni.

Irma menambahkan, “Memang proses diskusi online ini tidak mudah bagi beberapa orang. Proses pengondisian peserta agak sulit. Beda dengan pertemuan langsung, kami lebih mudah membangun kondisi dalam penyampaian materi. Kalau online, kita harus chat pribadi, dan itupun kadang responnya lama. Ketika bertemu langsung juga ada kedekatan secara emosional, beda dengan online, misal situasinya sedang kalut, bisa jadi di dalam aktivitas online terkesan bahagia”. Dari peserta diskusi, Tuti juga menambahkan sebuah catatan bahwa,”Diskusinya bisa diterima, tetapi kurang puas. Pokoknya beda dengan bertatap muka langsung”. Ada juga peserta yang tidak fokus karena saat pertemuan online berlangsung, peserta juga sedang mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan melakukan aktivitas lain.

Dengan berbagai tantangan itu, ada sebuah refleksi bahwa proses pengorganisasian yang dilakukan secara online barangkali kurang tepat. Dalam proses pengorganisasian, ikatan emosional yang belum terbangun membuat kecanggungan dalam prosesnya. Kemudian, ada satu aspek lagi yang menjadi bahan diskusi selanjutnya terkait keamanan digital. Setiap menggunakan aplikasi, pasti ada data-data yang harus kita isi sebagai registrasi. Beberapa isu digital yang muncul adalah penyalahgunaan data pengguna. Meskipun hal ini masih menjadi perdebatan, tetapi kemungkinan dan kesempatan untuk itu sangat nyata. Hal ini menjadi kewaspadaan bersama, di tengah adanya kebutuhan layanan yang ditawarkan.

Tuesday, 30 June 2020 23:13

 

Banyak dari kita paham bahwa pengasuhan bukan menjadi peran ibu atau perempuan saja. Ayah atau laki-laki juga bisa terlibat dalam dan tentunya memiliki peran penting dalam pengasuhan. Tapi perlu dipahami bahwa keterlibatan pengasuhan oleh ayah tidak terbatas pada pemberi nasihat, mengantar ke sekolah atau menemani bermain. Pengasuhan oleh ayah bisa lebih luas ranahnya selayaknya yang dilakukan oleh ibu.

Ayah bisa dengan mudah menyusui anaknya karena ada teknologi yang bisa menyimpan ASI. Sekarang, ibu atau perempuan punya banyak ruang dan kesempatan untuk berkarir maupun bersosialisasi. Sehingga sudah sewajarnya keluarga melakukan kesalingan dalam pekerjaan rumah termasuk pengasuhan.

Jane B. Brooks (dalam Nefrijanti, 2018) berpendapat bahwa pengasuhan merupakan proses interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Ketika pengasuhan dipahami sebagai interaksi, maka hubungannya tidak satu arah saja. Dalam pengasuhan, anak maupun orang tua sama-sama belajar hal baru dan saling menerima dampaknya. Menariknya, ketika ayah terlibat dalam pengasuhan secara penuh, banyak dampak positif bagi anak, ibu maupun ayah itu sendiri.

Bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental seorang anak (Wahyuningrum, 2011). Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan, anak laki-laki akan memiliki pemahaman tentang nilai kesetaraan gender. Sedangkan anak perempuan akan memiliki pandangan tentang laki-laki yang peduli dan supportif. Pengalaman bersama sosok ayah dan ibu dalam pengasuhan tentunya bisa menjadi bekal positif bagi anak ketika mereka dewasa dan bersosialisasi atau menjalin hubungan.

Bagi perempuan/ibu, peran suami bekerja sama melakukan pengasuhan dapat meringankan beban berlebih yang biasanya terjadi. Studi dari berbagai negara menemukan bahwa ketika suami hadir mendampingi proses pra-kelahiran hingga waktu kelahiran, istri mengalami persalinan yang lebih aman dan mengurangi risiko depresi pasca-persalinan. Selain itu, para perempuan di berbagai negara mengaku lebih puas dalam hubungan mereka ketika pasangan atau suami banyak terlibat di rumah (Heilman, et al., 2016:47).

Bagi laki-laki/ayah, ketika ikut terlibat pengasuhan maka akan ada kecenderungan memiliki  pola hidup yang lebih sehat. Banyak laki-laki merasa lebih puas dengan kehidupan mereka ketika bisa terlibat penuh dalam pengasuhan (Heilman, et al., 2016:47). Semakin banyak momen dilakukan bersama anak, semakin banyak pula laki-laki akan melakukan hal-hal positif seperti bergerak atau tidak merokok. Bahkan tingkah laku anak seringkali membuahkan tawa dan menjadi pelepas penat dari hari yang berat.

Bagi kualitas hubungan, melakukan pengasuhan tentunya bisa menambah momen bersama anak maupun pasangan. Ketika orang tua bisa dekat dengan anak, maka akan menumbuhkan kedekatan dan kepercayaan anak. Sehingga anak akan memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan orang tua ketika ada persoalan di dalam hidupnya. Bukan menggunakan internet atau lingkungan pergaulannya yang bisa jadi kurang tepat untuk membantu menyikapi.

Banyak orang tua mengharapkan yang terbaik bagi anaknya namun tidak sedikit dari mereka yang kurang tepat memilih cara. Sekarang kita menyadari bahwa dalam keluarga perlu ada kerja sama dan saling peduli. Sebagai sebuah keutuhan, setiap anggota mempunyai peran. Ayah bukan hanya pencari nafkah. Ayah bukan lagi sosok yang suka marah-marah demi menjaga “wibawa”. Ayah juga punya peran di rumah. Karena ayah sama pentingnya dengan Ibu dan anak sebagai sebuah keluarga. Selamat belajar menjadi keluarga yang penuh cinta.

Referensi:

Heilman, B., Cole, G., Matos, K., Hassink, A., Mincy, R., Barker, G. (2016). State of America’s Fathers: A MenCare Advocacy Publication. Washington, DC: Promundo-US.

Nefrijanti. (2018). Definisi dan Pendapat Para Ahli tentang Pengasuhan (Parenting). Diakses pada 20 Juni 2020, dari https://pusatkemandiriananak.com/definisi-dan-pendapat-para-ahli-tentang-pengasuhan-parenting/

Wahyuningrum, Enjang. (2011). Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.

Wednesday, 26 October 2016 11:03

Sunday, May 15, 2016, Rifka Annisa was invited by the Social Services Agency, Manpower and Transmigration organisation to provide information on family resilience in Wisma Melati, Umbulharjo, Yogyakarta. The activities took place from 1:00 until 3:00pm and invited 42 participants who were parents of children who would benefit from such activities of Reduction of Child Labour (Family Hope Program PPAPKH) Social Services Agency, Manpower and Transmigration Organisation. The event opened with an introduction from each participant with name, address, and one thing that they are proud of their child for. A number of the participants said that their children were hard working and loyal to them.

The event was filled with sharing and story telling by each of the participants, related to what the causes of why the children were not attending school. Ten participants reported that the reason children do not want to attend school is because of a negative environment experienced by the child when at school, two participants said the reason was because the distance between school and home is too far away so the difficulty in accessing transportation was a barrier for getting their child to school, and other participants said that the biggest reason the child does not want school is because they (the children) are more interested in working than in attending school.

In the next session participants were divided into 6 groups, then they were asked to discuss and write down their expectations of their children. The average participant wrote that the parents wanted their children to attend school and receive a better education in order for the parents to become prosperous and proud parents.

Towards the end of the event, the facilitator explained the importance of the resilience in the family including various forms and examples of good parenting. Community Organization Division staff member, Nurmawati from Rifka Annisa WCC, was the facilitator and explained that the role and support of the family, especially parents, play a huge role in child development. Children who grow up in a harmonious family and avoid violence will be much more comfortable to stay home and spend time with family than play with their friends. Forms of communication, both built by the parents tend to make children more open and trusting to the parents. With the full support of the parents, the child will be more motivated to continue their education.[]

 

Translated by: Emma Hardy

46311691
Today
This Week
This Month
Last Month
All
600
57379
163936
306641
46311691