Yth. Rifka Annisa, saya Ibu Emi dari Jogja Utara. Saya ingin mengkonsutasikan masalah rumah tangga saya. Kami punya 2 anak, yang besar sudah kuliah, yang kecil masih SMA. Suami dan saya sama-sama bekerja, dan ekonomi kami cukup baik, bahkan lebih dari cukup. Hanya memang pernah sekali suami saya memperkenalkan saya pada seorang perempuan, dan mereka minta ijin agar suami boleh berpoligami. Hancur hati saya saat itu. Saya tidak sanggup memberi ijin. Saya sempat shock, dan sejak itu hal tersebut tidak pernah dibahas lagi oleh suami. Saya juga tidak berani menanyakan, karena takut mengganggu suasana rumah kami. Tapi hubungan saya dengan suami jadi lebih dingin. Saya diam saja, berusaha menampakkan bahwa tidak terjadi apa-apa, terutama di depan anak-anak. Sampai tiba-tiba saya mendapat surat panggilan dari pengadilan agama, ternyata suami saya menggugat cerai. Jelas saya kaget. Waktu saya tanyakan, dia tidak mau diajak bicara. Katanya, urusannya di pengadilan saja. Apakah ini karena saya tidak memberi ijin poligami pada suami? Saya tidak ingin bercerai karena khawatir psikis anak-anak nanti terganggu. Apakah kalau saya tidak datang ke persidangan bisa menggagalkan upaya suami saya? Apa yang harus saya lakukan?
JAWAB
Salam Ibu Emi,
Kami ikut sedih membaca surat Ibu, namun juga salut dengan ketegaran Ibu menghadapi permasalahan. Dalam hal suami ingin berpoligami, perlu ada penetapan izin poligami dari pengadilan agama. Ada berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Dalam ketentuan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2), disebutkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, keputusan memang ada di tangan Ibu, apakah mau memberi ijin pada suami atau tidak. Ibu menyetujui atau tidak menyetujui permintaan suami adalah hak Ibu, sehingga tidak perlu merasa bersalah dalam hal ini.
Dalam hal suai mengajukan gugatan perceraian, jka ingin memperjuangkan secara hukum, Ibu harus tetap mendatangi persidangan. Sebelum persidangan dimulai, akan dilaksanakan mediasi yang dilakukan oleh mediator yang ditunjuk pengadilan. Jika tetap dilanjutkan ke proses persidangan, Ibu dapat memperjuangkan keinginan Ibu melalui proses jawab-jinawab serta pembuktian dan saksi. Selain itu, Ibu dapat memperjuangkan hak Ibu dan anak-anak. Apabila Ibu tidak hadir, suami tetap dapat melanjutkan persidangan, dan hakim dapat menjatuhkan putusan verstek, yaitu putusan tanpa kehadiran pihak tergugat. Kemungkinan putusan hakim ada dua, yaitu menerima gugatan suami, yang berarti mengabulkan untuk bercerai, atau menolak gugatan suami, yang berarti tetap terikat pernikahan.
Saat ini, ketika suami mengajukan gugatan cerai, adalah momentum untuk merenungkan kembali, apakah suami masih memiliki keinginan memegang komitmen bersama Ibu dalam pernikahan ini. Dalam hal ini, komunikasi memang sangat dibutuhkan. Seandainya komunikasi berdua mengalami kebuntuan, ada baiknya Ibu mulai meminta bantuan pada keluarga, terutapa jika ada figur yang disegani suami, untuk menjembatani komunikasi atupun memediasi. Keterbukaan dalam keluarga ini juga Ibu butuhkan untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi, terutama membangun sistem dukungan baik bagi Ibu maupun anak-anak.
Mengenai proses hukum lebih lanjut, Ibu dapat berkonsultasi ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..
Harian Jogja, 22 Maret 2018