Salam Ibu Pengurus Rifka Annisa, saya ingin membagi kesedihan yang saat ini saya alami karena tidak tahu lagi harus bicara dengan siapa. Mengadukan hal ini kepada keluarga besar saya adalah hal yang mustahil. Bukannya dukungan yang saya dapatkan, paling banter hanya omelan dan cemoohan karena saya dianggap tidak mampu mendidik anak dan suami.
Ibu yang baik, saya adalah ibu dari tiga anak yang sedang menginjak remaja. Saat ini saya menikah untuk kedua kalinya dengan seorang duda tanpa anak. Pernikahan kedua saya ini telah berlangsung tiga tahun. Pada awalnya saya merasakan kebahagiaan tiada tara karena melihat suami dan anak saya hidup rukun dan bahkan sangat akrab. Dari ketiga anak saya, yang nomor dua, M, adalah yang paling dekat dengan bapak tirinya. Mereka sering berangkat bareng. Tak jarang suami saya menjemput M di sekolahnya. Bagi saya, suami saya adalah bapak tiri yang sangat sempurna untuk anak-anak saya.
Namun, saya bagai disambar geledek di siang bolong saat bulan lalu anak saya menghilang. Beberapa hari sebelum hilangnya M, kebetulan saya bertengkar hebat dengan M. Saya mencurigai dia tengah hamil. Dia mengelak tuduhan saya dan malah menuduh saya tidak lagi sayang kepada dia. Menghilangnya dia menguatkan dugaan saya. Sungguh Bu, saya kira semula yang melakukannya adalah teman sekolahnya. Ternyata yang melakukan perbuatan bejat itu tak lain adalah suami saya. Saya langsung lemas dan rasanya seperti gila. Saya mengetahuinya dari M sendiri yang beberapa hari lalu memutuskan kembali ke rumah. Suami saya sendiri saat ini menghilang.
Bu, saya bingung apa yang mesti saya lakukan saat suami saya kembali nanti. Saya tidak ingin menerima kembali lagi dia di dalam rumah kami. Tetapi, kalau dia menggugat haknya sebagai suami dan ayah bagaimana? Tambah pusing lagi karena M bersikap sebaliknya. Dia berharap ayah tirinya bisa kembali ke rumah dan apa yang dilakukan ayah tirinya sama sekali tidak menyakitinya. Mohon bantuan betul Bu karena saya rasanya stres dengan masalah ini. Terima kasih.
(Ibu R)
Jawaban:
Ibu R, kami turut prihatin dengan masalah yang sedang Ibu hadapi. Terima kasih atas kepercayaan Ibu dan semoga kami bisa menjadi kawan dalam memecahkan masalah ini.
Kami tahu bagaimana perasaan Ibu saat ini, namun kami harap Ibu tetap tabah dan dapat berpikir jernih di dalam memecahkan masalah ini.
Masalah yang Ibu hadapi adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga di mana korbannya biasanya tidak selalu tunggal. Dalam kasus ini tidak hanya M yang menjadi korban, namun Ibu juga adalah salah satu korbannya. Tetapi, barangkali masalah M saat ini menjadi prioritas mengingat M telah mengalami apa yang disebut dengan inses.
Ibu R, inses adalah hubungan seksual yang dilakukan ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, saudara laki-laki, atau laki-laki lain di dalam keluarga yang tidak memiliki hubungan darah, namun telah diterima dan dipercaya sepenuhnya oleh keluarga.
Pelaku biasanya mempunyai posisi lebih tinggi dan dominan dari korban, namun dipercaya korban. Tak jarang pelaku adalah orang yang disayangi dan dijadikan panutan korban sehingga dalam beberapa kasus, korban cenderung menyerah terhadap inisiatif seksual mereka tanpa melawan.
Dalam kasus lainnya, korban inses merasa takut kepada pelaku karena ia adalah orang yang punya pengaruh penting dalam keluarga, misalnya, sebagai tulang punggung keluarga atau figur yang menjamin keamanan keluarga. Kadang inses juga terjadi dengan menggunakan cara-cara pemaksaan atau ancaman dan tekanan seperti menakut-nakuti, namun bisa juga menggunakan bujukan dengan imbalan tertentu.
Dalam rentang kasus kekerasan seksual, inses ini menempati urutan tertinggi dalam hal dampak yang ditimbulkan pada korban karena biasanya terjadi tindakan seksual yang dilakukan terjadi secara berulang dan dapat berlangsung dalam waktu lama (bertahun-tahun).
Ibu mungkin bingung menghadapi sikap anak Ibu. M terkesan "baik- baik" saja, bahkan mengharap ayahnya pulang dan tidak ada keberatan atas apa yang dialaminya. Berdasarkan pengalaman kami di Rifka Annisa dalam mendampingi korban kasus-kasus inses, ini menunjukkan beberapa hal penting.
Pertama, sikap yang ditunjukkan M adalah salah satu efek dari inses yang dialaminya. Apabila anak merasa terlalu sakit atau tekanan emosinya sangat kuat, anak-anak berusaha mengingkari perasaan sakit tersebut (denial). M melakukan hal tersebut sebagai suatu bentuk mekanisme pertahanan dirinya setelah peristiwa yang menyakitinya.
Kedua, kasus inses terjadi karena pelaku (ayah tiri M) lihai memanipulasi M melalui paksaan, ancaman, bujukan, atau penyuapan. Kondisi M yang belum matang secara kognisi, emosi, maupun seksual dimanfaatkan untuk melaksanakan niatnya. Orang dewasa tidak seharusnya melakukan hubungan seksual dengan anak meskipun anak itu sendiri yang menghendakinya. Dalam hal ini, persetujuan anak tidak berlaku.
Inilah yang disebut sebagai statutory rape. Karena bagaimanapun anak belum cukup matang dalam mengambil keputusan semacam ini, maka tanggung jawab untuk mengendalikan agar anak terhindar dari perbuatan tersebut ada pada orang dewasa dan bukannya justru memanfaatkan keluguan anak dalam hal seksualitas itu. Dengan demikian, dalam kasus ini sesungguhnya M tidak bersalah dan ayah tiri M-lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas peristiwa ini.
Ketiga, beberapa korban inses tidak menunjukkan adanya gangguan kejiwaan serius setelah sekian lama mengalami peristiwa itu, namun sangat mungkin mereka mengalami penundaan atas kemunculan gejala itu. Artinya, gejala kejiwaan serius baru muncul setelah mereka dewasa.
Sayangnya Ibu tidak memberitahukan berapa usia M. Tetapi, merujuk pada banyak studi tentang inses dan pengalaman kami sendiri, bisa jadi M belum merasakan dampaknya saat ini karena belum cukup sadar dan tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Meski demikian, Ibu harus mendukung M untuk mempersiapkan diri apabila hal itu terjadi.
Berkaitan dengan suami Ibu, apa yang dilakukannya telah melanggar Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak tentang tindakan pemaksaan melakukan persetubuhan dengan anak. Suami Ibu diancam dengan pidana maksimal 15 tahun penjara. Perbuatan suami Ibu juga melanggar Pasal 294 KUHP tentang Pencabulan serta Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 46,47, dan 48. Ibu dapat melaporkan kepada polisi untuk kemudian memprosesnya.
Ibu R, yang dibutuhkan M saat ini adalah dukungan dan perhatian Ibu. Coba Ibu fokuskan diri pada kebutuhan-kebutuhan M, agar stres yang Ibu alami berkurang. Karena anak tidak bisa memutuskan sendiri atas kekerasan yang dialaminya, maka tidak cukup bagi kita dengan hanya mendengarkan cerita mereka. Kewajiban kita untuk belajar, memberi perhatian, dan mengatakan sesuatu untuk memberi dukungan kepada anak kita. Jika Ibu merasa kesulitan, banyak layanan dari beberapa lembaga yang menyediakan bantuan konseling bagi anak korban kekerasan seksual. Jika domisili Ibu adalah di Jogja, Ibu dapat menghubungi Rifka Annisa.
Demikian jawaban kami, jika ingin berkonsultasi lebih lanjut, dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..
Harian Jogja, 9 Juni 2018
Sudah jatuh tertimpa tangga, ungkapan ini sering kali sangat tepat menggambarkan situasi perempuan korban kekerasan. Mereka adalah korban, tetapi mereka justru dipersalahkan. Apa yang dituturkan K adalah gambaran situasi itu.
Kasus:
"Rifka Annisa yang terhormat,
Saya, K, seorang mahasiswi di sebuah PTS di Kota B. Saya juga aktif di kegiatan kemahasiswaan di kampus, namun sejak setahun terakhir saya menjadi enggan terlibat di dalamnya. Saya mengalami rentetan kejadian tidak menyenangkan dengan salah satu fungsionaris organisasi tersebut.
Salah satu fungsionaris, yang juga dulu saya anggap sebagai sahabat, ternyata tidak lebih dari seorang manusia yang tidak menghargai temannya, dia melecehkan saya. Pertama kali dia lakukan di kantor organisasi kami. Jangankan lapor ke polisi, untuk bercerita dengan teman saja saya tidak berani, saya sangat malu dan terhina. Namun, lebih dari itu, saya tidak ingin mempermalukan nama organisasi kami (terlebih lagi kami dari organisasi keagamaan). Saya hanya mampu menangis, menasihati dia untuk tidak mengulanginya dan berdoa kepada Tuhan untuk menyadarkannya.
Ternyata doa saya tidak terkabul, dia kembali mengulangi perbuatannya selama satu tahun. Selama satu tahun itu pula saya hanya dapat menahan tangis dan marah saya. Saya juga takut dengan ancamannya yang akan mengatakan kepada semua teman bahwa kami telah melakukan hubungan seksual, yang sebenarnya fitnah belaka. Saya merasa sangat kotor karena telah membiarkan orang menyentuh saya. Namun, kemarahan saya kalah dengan ketakutan dan dorongan untuk menjaga nama organisasi. Ini yang membuat saya terus diam. Saya tidak ingin mempermalukan organisasi agama saya. Selain itu, saya takut tidak dipercaya oleh orang lain karena dia dikenal alim dan dianggap panutan di kampus dan di organisasi, sedangkan saya hanya mahasiswi biasa.
Hingga akhirnya saya tidak tahan lagi, dia melakukan pelecehan hingga saya mengalami kejang perut. Saya tidak mampu menahan marah lagi dan saya putuskan untuk melapor kepada polisi. Saya memang tidak mengalami banyak kesulitan di kepolisian dan kejaksaan. Namun, yang lebih menyakitkan hati adalah teman-teman memaksa saya untuk berdamai. Mereka memusuhi saya dan menganggap saya sok suci, termasuk teman yang dulu dekat dengan saya. Mereka berkata bahwa bila dia dipenjara, maka saya juga harus dipenjara. Bahkan, untuk meminta teman menjadi saksi saja, saya seolah harus bersujud dan memohon mereka. Itu pun tidak semua kebenaran dikatakan dan masih harus ditambah dengan cacian dari mereka dan keluarga mereka.
Penderitaan saya disempurnakan dengan diusirnya saya oleh ibu kos. Ibu kos berkata bahwa ia mendapat keluhan dari beberapa teman kos saya. Beliau juga menyatakan bahwa saya jahat telah menyusahkan seorang laki-laki muda sehingga hancur masa depannya.
Pengasuh Rifka Annisa, saya tidak bermaksud menyakiti siapa pun atau membalas perlakuan buruknya kepada saya. Saya hanya ingin agar tidak ada seorang pun menyakiti saya, tidak juga dia. Apakah memang apa yang saya lakukan ini salah dan merugikan orang lain? Kalau dia yang salah, kenapa saya yang harus dimusuhi teman dan diusir dari tempat kos? Kenapa teman tidak mau mengerti perasaan saya? Saya tunggu balasan dari Rifka Annisa. Salam"
(K di B)
Jawaban :
SAUDARI K di Kota B yang baik,
Kami dapat merasakan kesedihan dan kemarahanmu. Setelah sekian lama menahan sakit seorang diri, kini justru semakin disingkirkan saat berjuang untuk mempertahankan hakmu. Apa yang K lakukan merupakan perjuangan luar biasa hebat, K berani menantang dunia dan terlebih lagi melawan ketakutan K sendiri untuk kemudian melapor kepada polisi. Memang kalau kita lihat dari kacamata hukum, apa yang K alami termasuk tindak pidana, pelakunya dapat diancam hukuman penjara dan K memang berhak melaporkannya.
Hanya saja, tampaknya apa yang K alami memang rumit. Kita tidak hanya dapat melihatnya dari kacamata hukum dan psikologis, tetapi juga bagaimana lingkungan sosial memandang masalah kekerasan terhadap perempuan pada umumnya. Masyarakat kita yang patriarkis cenderung memberi label negatif kepada perempuan. Dalam konteks kasus K dan banyak kasus lain yang serupa, perempuan sering kali diletakkan sebagai pihak yang patut dipersalahkan dengan asumsi perempuan adalah pencetus terjadinya kasus kekerasan seksual itu. Dengan demikian, K mengalami dua kekerasan: kekerasan pertama dilakukan pelaku dan kekerasan kedua dilakukan masyarakat.
Kekerasan yang dilakukan masyarakat ini sering kali memperparah kondisi korban karena berimplikasi pada sikap korban yang menyalahkan dan menganggap kotor dirinya sendiri sehingga menyumbang pada tingkat trauma yang diderita korban.
Akibat lain dari kecenderungan masyarakat menyalahkan perempuan atas apa yang dialami adalah membuat banyak perempuan takut menyuarakan kekerasan yang ia alami. Tekanan kuat dari masyarakat inilah yang acap membuat perempuan mundur dan memilih diam, menelan sendiri kemarahan dan sakit yang ia rasakan. Inilah yang dapat disebut sebagai secondary traumatized.
Kami paham benar apa yang K alami, tapi jangan pernah putus asa. K berhak memperjuangkan hak K untuk hidup tenang tanpa dibayangi ketakutan terhadap orang yang melecehkanmu. Bahkan mungkin K kini dapat lebih memahami pergulatan yang dialami oleh perempuan lain yang mengalami kekerasan seperti K. Di sini kita membutuhkan banyak dukungan untuk perempuan seperti K, dan K dapat memulainya di lingkungan K. Yakini apa yang kau lakukan benar dan lakukanlah.
Apabila K masih merasa butuh bercerita lebih lanjut, silakan menghubungi kami di Rifka Annisa WCC. Terima kasih.
Kompas, Senin 10 Mei 2004
Mohon bantuan ibu Pengasuh Rifka Annisa, saya mempunyai masalah, yang menurut saya sangat rumit karena telah terjadi sepanjang usia perkawinan saya. Saya berusia 40 tahun. Perkawinan saya sebetulnya perkawinan kedua. Sebelumnya saya janda beranak dua yang disebabkan perbedaan pandangan dengan suami sehingga kami memutuskan bercerai.
Perkawinan kedua ini berjalan selama sembilan tahun dan kami memiliki satu anak sehingga saya memiliki tiga anak dari suami berbeda. Prinsip saya semula tidak pernah akan menikah lagi karena saya yakin dapat menjalankan kehidupan dengan anak-anak saya. Saya seorang wanita mandiri yang pada saat itu mempunyai penghasilan dan masa depan baik. Sampai kemudian saya bertemu dengan seorang laki-laki bujangan yang sebelumnya sangat memperhatikan anak-anak saya. Laki-laki itu sebelumnya sudah menjadi teman saya.
Dia tampak baik dan penyayang meski tidak mempunyai pekerjaan tetap. Kedekatannya dengan anak-anaklah yang menjadikan pertimbangan saya untuk menerima dan akhirnya menikah dengan dia. Perlu ibu pengasuh ketahui, setelah berpisah dengan suami yang pertama, praktis anak-anak juga sudah tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya dan semua tanggung jawab terhadap anak-anak sepenuhnya saya yang menanggung.
Menurut pendapat saya, anak-anak pada saat itu sangat membutuhkan "figur ayah". Dengan pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak itu, saya memutuskan menikah dengannya, meskipun pada saat menikah, suami belum mempunyai pekerjaan dan pendapatan tetap.
Dengan berjalannya waktu, suami saya mendapat pekerjaan layak dengan penghasilan cukup. Namun, karena sudah ada kebiasaan sebelumnya kebutuhan rumah tangga adalah saya sepenuhnya yang menanggung, maka penghasilan suami dalam bekerja tidak pernah diberikan kepada saya atau dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga. Suami bilang uangnya untuk tabungan masa depan. Sejalan dengan waktu juga penghasilan saya dalam bekerja sudah tidak seperti dulu lagi. Saya memang menjadi tidak berdaya menghadapi suami, takut kalau suami meninggalkan saya dan anak-anak. Saya wanita bodoh ya, Bu.
…saya merasa keputusan menikah lagi adalah salah. Keadaan ini menjadi rumit karena saya mempunyai beban rasa malu bila harus bercerai lagi karena pasti orang akan menertawakan dan menyalahkan saya. Barang-barang berharga milik saya sudah habis terjual, anak-anak menjadi telantar dan lebih parah lagi tidak dapat melanjutkan kuliah.
Sebetulnya beberapa upaya telah saya lakukan, antara lain meminta gaji suami dengan baik-baik atau meminta bantuannya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Namun, dia hanya membantu sebagian kecil saja dari penghasilannya, dan yang menyakitkan, dia hanya mau memberi sedikit untuk anaknya (anak kami dari hasil perkawinan dengan dia). Saya pernah berusaha mencoba menyelesaikannya melalui instansi tempat suami bekerja, namun manajer kantor bilang gaji adalah hak suami karena yang bekerja adalah suami. Mereka bilang saya dapat menuntut gaji kalau status saya adalah bercerai dari dia.
Adakah jalan keluar yang dapat saya tempuh untuk menuntut nafkah tanpa harus melakukan perceraian. Apakah anak tiri berhak menuntut nafkah kepada ayah tirinya?
(Ny Sisi di Kota S)
Jawaban:
Pertama, mari kita renungkan kembali apakah sebenarnya tujuan perkawinan itu, apakah perkawinan dilakukan hanya sekadar untuk mencari status sosial tanpa mengindahkan kebutuhan batin Ibu? Ataukah demi rasa aman anak-anak semata?
Tujuan perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin bagi kedua belah pihak, dan untuk mencapai kebahagiaan tersebut, suami-istri harus saling menghargai, menghormati, memberi kasih sayang, dan tidak saling menguasai.
Ibu, berusaha mempertahankan perkawinan adalah baik, tetapi kalau hanya untuk alasan agar tidak menjadi janda kedua kalinya, rasanya alasan tersebut patut dipertimbangkan ulang. Janganlah perkawinan yang kedua ini menjadikan ibu kehilangan daya nalar sehingga harus mempertahankan, meskipun ibu memikul beban batin amat berat.
Kenyataan seperti itu juga sangat tidak baik untuk perkembangan jiwa anak-anak karena dalam situasi Ibu yang tertekan sangat mungkin endapan rasa jengkel dan amarah Anda terhadap suami terlampiaskan kepada anak-anak. Yang jelas, tanpa disadari sebetulnya sudah ada tanda-tanda terjadinya diskriminasi perlakuan suami kedua Anda terhadap anak kandung dan anak tirinya.
Memang tidak ada kewajiban hukum seorang ayah tiri mencukupi nafkah pada anak tirinya, hal ini hanya mengikat secara moral saja. Melihat usaha yang telah ibu lakukan, tampaknya tidak ada iktikad baik dari suami membina rumah tangga. Coba Ibu bicarakan kembali kepada suami sebetulnya apa keinginan suami terhadap rumah tangganya, jangan hanya keinginan sepihak dari Ibu untuk membina rumah tangga. Tanyakan dan tegaskan kepada suami Anda, apa alasannya sehingga ia tidak bersedia memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rumah tangga, serta pendidikan anak-anak, sementara ia memiliki penghasilan cukup?
Alasan suami ia harus menabung untuk masa depan anak-anak rasanya menjadi tidak relevan lagi mengingat ada kebutuhan lain yang lebih mendesak sifatnya yang diperlukan bagi kelangsungan hidup anggota keluarga.
Mengenai keinginan ibu menuntut nafkah tanpa melakukan perceraian pada dasarnya secara hukum dapat dilakukan. Apakah alternatif ini merupakan jalan keluar paling tepat? Tentu Ibu dapat mempertimbangkan segala kekurangan dan kekuatan dari setiap pilihan jalan keluar yang akan Anda ambil.
Menuntut nafkah suami melalui pengadilan sangat mungkin akan menimbulkan sakit hati suami atau mungkin kemarahan, namun pengadilan menjadi unsur penekan bagi suami agar bersedia menafkahi keluarganya. Artinya, semua keputusan itu memiliki risiko, namun yang terpenting adalah Anda siap dengan segala risiko yang akan Anda hadapi.
Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Ibu dan anak-anak telah mengalami kekerasan ekonomi atau penelantaran dalam rumah tangga. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 itu, pihak suami dapat dikenai sanksi hukum.
Yang dimaksud penelantaran dalam lingkup rumah tangga, sebagaimana Pasal 9 UU PKDRT, adalah "melakukan penelantaran kepada orang yang menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut". Kepadanya akan dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 49 UU PKDRT, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas sebetulnya suami mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak, bahkan terhadap anak tirinya karena terjadi dalam lingkup rumah tangga yang karena perkawinannya dengan ibu menjadikan anak tirinya itu tanggung jawabnya pula.
Suami juga sudah melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Prinsip Umum Hak Asasi Anak telah dilanggar, antara lain hak untuk mendapatkan yang terbaik, hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang, serta hak untuk tidak mendapat perlakuan yang diskriminasi terhadap anak.
Apabila Ibu ingin mengajukan gugatan nafkah melalui pengadilan agama juga dapat dilakukan. Ibu dapat menuntut nafkah untuk Ibu sendiri dan anak kandung dari suami Ibu yang merupakan kewajiban suami. Nah, demikian beberapa tawaran alternatif yang dapat Ibu tempuh. Semoga Ibu dapat segera menemukan titik terang atas persoalan ini.
Kompas, 22 November 2004
Relasi suami-istri selalu dibayangkan sebagai relasi yang didasari perasaan cinta kasih. Demikian pula dalam relasi seksual. Tetapi, penuturan Ny Ana di bawah ini adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa tidak semua relasi seksual di dalam rumah itu selalu dikehendaki masing-masing pasangan.
Kasus:
"Pengasuh Rifka Anissa yang baik. Saya ibu rumah tangga berusia 33 tahun, memiliki tiga orang anak. Saya telah menikah selama sembilan tahun dengan laki-laki pilihan saya sendiri.
Sebelum menikah kami berdua sudah bekerja di kantor swasta. Setelah menikah kami tinggal di rumah mertua saya. Karena ingin "mandiri" kami memutuskan kontrak rumah dan jadilah kami sebagai "kontraktor", berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain.
Awal perkawinan sampai menginjak tahun kedua perkawinan sikap suami masih terlihat baik dan belum kelihatan sebagai pemarah. Namun, sejak kelahiran putri kami yang pertama suami mulai menunjukkan kebiasaan buruknya: pemarah, pemukul, dan merusak barang-barang rumah tangga bila sedang marah. Saat kejadian pertama saya memang terkejut karena ternyata suami saya menyimpan kebiasaan buruk. Namun, saya bersabar dengan pikiran mungkin suami kelelahan dan pekerjaannya menuntut konsentrasi penuh. Karena saya juga punya pekerjaan maka kejadian itu segera terlupakan.
Dalam kenyataan kejadian tersebut berulang dan karena tidak tahan dengan situasi seperti itu, saya pernah menyampaikan kepada suami untuk mengakhiri perkawinan. Selalu suami minta waktu sampai betul-betul siap untuk berpisah, karena setiap saya membulatkan keinginan untuk berpisah setiap waktu itu juga suami memaksa saya untuk "berhubungan badan". Pernah saya loncat dari jendela karena suami memaksa melakukan hubungan seksual. Terakhir saya sadar itu cara suami agar saya hamil lagi.
Gugatan cerai saya tidak dapat berlanjut karena dalam perjalanan sidang perceraian ternyata saya hamil. Hakim meminta saya menunda sidang perkara sampai anak kami lahir. Suami juga tidak segan-segan memukul anak-anak dan menyekap mereka bila menurutnya bersalah. Ibu pengasuh yang baik, apakah saya dapat berpisah dengan suami karena dia selalu mengatakan ’hanya kematian yang dapat memisahkan kita’..."
(Ny Ana di Kota J)
Jawaban:
Kalau Ny Ana sempat membaca pemberitaan di beberapa surat kabar terakhir ini akan Anda temukan banyak berita tentang masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Mengapa? Karena pada saat yang sama sedang dilakukan pembahasan RUU Penghapusan KDRT di Dewan Perwakilan Rakyat (Undang-undang Penghapusan KDRT telah disahkan pada hari Selasa (14/9) pekan lalu).
Salah satu aspek penting yang diperdebatkan adalah kekerasan seksual dalam rumah tangga. Ada sekelompok orang yang menolak ada kekerasan seksual dalam rumah tangga, tetapi apa yang Ny Ana tuturkan adalah fakta yang tak terbantah tentang bentuk kekerasan itu.
Fakta lain pun banyak kami temukan seperti dalam kesempatan sebelumnya rubrik konsultasi ini pernah membahas masalah yang sama. Dalam surat konsultasi yang lain juga ada pertanyaan dari ibu rumah tangga yang pada saat melakukan hubungan seksual alat kelaminnya dimasuki jagung oleh suaminya. Beberapa kasus lain yang kami terima juga menunjukkan ada istri yang menuturkan mengalami pemaksaan hubungan seksual dari suaminya pada saat "menstruasi".
Kekerasan seksual terhadap istri merupakan fenomena yang sering kali muncul, namun hal ini tidak mudah bagi perempuan atau istri untuk mengungkapkannya. Karenanya adalah hal yang patut dihargai ketika Ny Ana memiliki keberanian untuk mengungkap persoalan ini.
Pengalaman kami menunjukkan kekerasan seksual yang dialami istri akan terungkap setelah beberapa kali dilakukan konseling. Selain itu, kekerasan seksual juga tidak pernah dijadikan sebagai suatu alasan oleh para istri dalam melakukan perceraian. Biasanya yang terungkap pada saat sidang di pengadilan perceraian terjadi cukup dengan satu alasan "tidak adanya kecocokan". Padahal terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan untuk perceraian.
Ny Ana, apa yang Anda tuturkan secara gamblang menunjukkan Anda telah menjadi korban kekerasan seksual dari suami, yaitu suatu bentuk kekerasan yang berupa pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan; karena pada saat itu Anda tidak menghendakinya.
Kekerasan seksual yang dilakukan suami memang sulit dibuktikan selama ketentuan hukum acara di negara kita masih menganggap saksi korban bukan "saksi penting". Mencari saksi-saksi dari orang lain yang berada di luar lingkup keluarga juga sangat sulit karena masyarakat kita cenderung memprivatkan persoalan KDRT sehingga tidak mudah bagi orang lain untuk bersaksi terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang sebenarnya dicari jalan keluarnya melalui UU Penghapusan KDRT.
Ny Ana yang baik, berkaitan dengan proses perceraian Anda, saran pengadilan atau hakim untuk menunda persidangan sangatlah merugikan karena tidak ada dasar hukum yang jelas untuk menghentikan jalannya persidangan dikarenakan kehamilan. Menurut Kompilasi Hukum Islam yang diatur adalah berkaitan dengan masa tunggu (iddah) ketika pihak mantan istri nantinya ingin menikah lagi yakni setelah anak dilahirkan.
Dengan demikian menunggu kelahiran anak tidak berkaitan dengan proses perceraian. Untuk itu ada baiknya Anda didampingi penasihat hukum yang mengerti atau setidaknya mempunyai perspektif perempuan untuk memberikan pengertian kepada hakim bahwa perkawinan tidak ada manfaatnya dilanjutkan.
Lalu apa yang dapat Ny Ana lakukan selagi proses hukum berjalan?
Untuk sementara barangkali Anda perlu mencari "tempat aman" untuk diri Anda dan anak-anak sehubungan dengan ancaman suami. Hal yang dapat dilakukan adalah Anda dapat melibatkan keluarga dekat yang menurut Anda dapat membantu Anda atau cobalah menghubungi lembaga layanan pendampingan perempuan korban kekerasan yang ada di kota Anda. Bila Anda belum menemukan jalan keluar selama menunggu proses hukum, Anda dapat menghubungi kami. Salam.*
Kompas, Selasa 21 September 2004
Dianggap bersalah, ditolak oleh lingkungan, merasa tidak berhak menikmati hidup yang lebih baik, dan seterusnya. Siapa yang salah bila perempuan korban pemerkosaan memutuskan terjun ke dunia prostitusi?
Kasus:
Rifka Annisa, lama sekali aku merenung sebelum akhirnya memutuskan untuk menulis surat ini. Peristiwa ini kualami tiga tahun lalu saat aku berusia 15 tahun, saat itu aku duduk di kelas satu SMA. Kata teman-teman aku anak yang cerdas, aku juga senang bergaul dan termasuk supel. Makanya aku punya banyak teman termasuk teman-teman yang suka nge-drug, tapi bukan berarti aku pengguna. Suatu saat aku mengantar sahabatku A menemui Dio, teman laki-lakiku, karena A sedang butuh ganja dan Dio memang dikenal punya stok untuk dijual. Dio mengajakku dan A ke tempat kosnya karena barang itu ada di sana. Setelah dapat barang yang dibutuhkan, A segera pulang, tapi Dio menahanku untuk mengobrol dulu sambil minum-minum. Dio memberiku pil dan memaksaku meminumnya, aku pun menelannya tanpa curiga. Setelah itu aku berada dalam kondisi bingung, meskipun agak samar. Aku tahu apa yang terjadi padaku, tetapi aku tak kuasa mengatasi. Selama dua hari kondisi tersebut kualami, aku dibawa pergi ke beberapa tempat oleh Dio dan kedua teman kosnya dan selama itu pula aku dipaksa untuk minum pil itu lagi. Yang lebih menyakitkan aku dipaksa melakukan hubungan seks. Aku dilepas di suatu tempat setelah hari ketiga, dan disuruh pulang sendiri. Sampai di rumah aku dimarahi Bapak, lalu aku cerita apa adanya. Bapak marah besar dan memutuskan untuk lapor ke polisi. Memang Dio dan teman-temannya sempat ditangkap polisi, tapi kasusku tidak dapat dibawa ke pengadilan karena katanya tidak cukup bukti. Rifka Annisa, aku tidak bisa cerita lengkap bagaimana penderitaan yang kualami. Pokoknya aku kehilangan segalanya, keluarga dan lingkunganku menyalahkanku, aku merasa ditolak di mana-mana. Pendek kata, orangtuaku tak lagi percaya kepadaku makanya aku dipindahkan ke sekolah berasrama di kota lain setelah peristiwa itu. Namun, di sana aku cuma bertahan tiga bulan. Aku memutuskan untuk tinggal bersama teman-teman lain yang mungkin sama keadaannya denganku, aku tinggal di rumah seorang ibu yang oleh orang-orang sering disebut sebagai germo. Jadi, Rifka Annisa dapat menyimpulkan sendiri apa pekerjaanku saat ini. Karena aku sudah rusak, jadi sekalian saja kan? Aku masih muda dan cukup cantik karenanya aku cukup mudah untuk mendapatkan uang dan bersenang-senang. Terus terang setelah membaca rubrik ini aku jadi sering merenungi hidupku, apakah masih ada masa depan untuk orang-orang sepertiku ini? Banyak sekali teman kerjaku yang memiliki pengalaman menyakitkan seperti aku. Menurut pengalaman Rifka Annisa apakah korban pemerkosaan selalu menjadi seperti aku? Atau aku yang tidak normal? Kalau kasusku tidak layak untuk dimuat, ya, anggap saja ini sebuah curhat dan lupakan saja, aku tidak sakit hati. Terima kasih atas perhatiannya.
(Nona di B)
Jawaban:
Terima kasih atas kepercayaanmu kepada kami sehingga kamu berani mengungkapkan pengalaman pahitmu.
Perlakuan kawanmu, Dio, tanggapan orangtua yang kurang simpatik atas penderitaanmu, lalu tanggapan aparat atas pelaporan kasusmu, semua itu merupakan cerminan dari masyarakat yang kurang berpihak pada nasib perempuan. Dengan caranya masing-masing, orang-orang di sekitarmu yang sesungguhnya kamu harapkan bisa menjadi pelindung ternyata justru gagal memberimu rasa aman.
Keputusanmu menjalani hidup sebagaimana sekarang ini memang bukan sebuah pilihan yang tanpa alasan. Dalam wacana perempuan dikenal secara luas tentang berbagai bentuk akibat pemerkosaan.
Salah satu akibat jangka panjang pemerkosaan adalah negative health behavior atau gaya hidup tidak sehat seperti misalnya merokok, alkoholik, perilaku seks yang tidak aman (misalnya prostitusi dan berganti-ganti pasangan intim), dan makan secara berlebihan.
Gaya hidup yang tidak sehat itu merupakan perwujudan dari pengatasan masalah seseorang atas persoalan yang menimpanya. Malu, terhina, merasa kotor, dan sebagainya, merupakan indikasi akan penurunan harga diri. Dengan keadaan emosi yang seperti itu, seharusnya ada tindakan tertentu yang menopang, mengangkat kembali, dan mengawal untuk sementara waktu, agar harga diri terbangun kembali.
Apabila tindakan konstruktif itu tidak muncul, atau setidaknya kurang memadai, perasaan tersebut lambat laun akan mempengaruhi pola pikir korban pemerkosaan dan merusak, yaitu mengantarkan perempuan pada keadaan apatis. Artinya, tidak ada lagi masa depan, tidak ada harapan lagi untuk sebuah keceriaan, kegemilangan.
Nona, barangkali uraian di atas merupakan jawaban atas kecamuk yang ada dalam dirimu selama ini. Anda sama sekali tidak sendirian karena banyak perempuan lain yang mengalami situasi semacam itu, yaitu menjerumuskan diri dalam gaya hidup yang tidak sehat karena mengalami kekerasan seksual pada masa lalu.
Mengenai masa depan, masa depan adalah masa yang yang belum datang kepada kita karena kita hidup pada masa sekarang. Tiap orang tentu memiliki masa depan dan itu terkemas dalam apa yang kita sebut sebagai "harapan". Masa depan bukan ditentukan masa lalu kita, tetapi oleh bagaimana kita sekarang.
Masa lalu merupakan wahana belajar kita pada masa sekarang untuk menuju ke masa depan. Jadi, intinya adalah bagaimana kita sekarang ini hidup dan mengolah masa lalu menjadi pedoman, panduan, rambu-rambu dan sekaligus semangat meraih hidup yang cerah ke depan.
Nona, tentu kami bisa memahami penderitaanmu pada masa lalu itu, tetapi percayalah sesungguhnya keadaanmu saat ini merupakan kumpulan dari perasaan dan pikiran "tidak berdaya" yang terus-menerus terpupuk dalam dirimu karena memang orang-orang di sekitarmu setelah kejadian itu tidak memberimu kesempatan membangun kembali harga dirimu yang dirusak kawan laki-lakimu itu.
Kalau kamu tanyakan apakah masih ada masa depan untukmu, maka rajutlah masa depanmu mulai dari sekarang dengan menetapkan pilihan sekali lagi jalan mana yang akan kamu ambil. Tetap di jalan yang sekarang ini dengan segala yang kamu sebut sebagai "kesenangan"-tetapi jangan lupa, pertimbangkan risiko yang kamu hadapi dengan menjalani gaya hidup ini-atau memutuskan mengambil jalan kehidupan yang lain, gaya hidup yang lain, yang merupakan hasil belajarmu sebagai orang yang berdaya merajut masa depan gemilang. Kami percaya kepadamu, pada kekuatanmu meraih masa depan yang gemilang! *
Kompas, Rabu 24 September 2003