Selasa, 29 September 2020 00:25

Oleh: Tri Kurnia Revul Andina

Relawan Media Rifka Annisa

 

Isu gender telah lama menjadi perhatian global dan dinamikanya terus dikaji dari waktu ke waktu. Gender bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang dimiliki[1], melainkan lebih kepada sesuatu yang individu atau kelompok lakukan[2].Gender seringkali juga diartikan sebagai sebuah konstruksi sosial dan budaya yang membedakan atribut perempuan dan laki-laki dan mengacu pada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki.[3] Sementara itu, kesetaraan gender mengacu pada persamaan hak dan peluang bagi perempuan maupun laki-laki yang mana bukan berarti perempuan dan laki-laki adalah sama, melainkan tanggung jawab dan peluang mereka tidak ditentukan oleh apakah mereka terlahir sebagai perempuan atau laki-laki.[4]Kesetaraan gender erat pula kaitannya dengan upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mustahil tercapai jika tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat, terlebih jika terdapat ketidakadilan gender khususnya dalam hal akses sumber daya, pengambilan keputusan, pekerjaan, dan pendidikan.[5]

Memastikan penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara inklusif, adil, dan mampu mengakomodir kebutuhan laki-laki maupun perempuan merupakan satu langkah besar untuk melahirkan kesetaraan gender. Lingkungan pendidikan harus mampu menyediakan ruang eksplorasi bagi semua pihak tanpa terkecuali, dengan tetap memperhatikan permasalahan dan pengalaman masing-masing gender. Oleh karenanya, pengarusutamaan gender (PUG) bidang pendidikan penting dilakukan sebagai strategi untuk mengintegrasikan perspektif dan pertimbangan gender ke dalam setiap kegiatan pendidikan serta menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran akan keadilan gender di ranah pendidikan.

Optimalisasi PUG di Indonesia diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan dijabarkan secara terperinci dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan. Pedoman ini bertujuan agar seluruh aspek pembangunan pendidikan, termasuk sekolah menjadi responsif gender dan lebih menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam mengakses pelayanan pendidikan, berpartisipasi aktif, memiliki kontrol atas sumber-sumber pembangunan, dan menikmati manfaat hasil pembangunan pendidikan. Di samping itu lewat pedoman tersebut, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi program pembangunan bidang pendidikan diimbau untuk mengintegrasikan gender di dalamnya.

Regulasi PUG Pendidikan yang telah dirumuskan oleh pemerintah kemudian menghasilkan inisiasi-iniasisi progresif demi menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, salah satunya adalah dengan mempromosikan sekolah responsif gender. Sekolah responsif gender setidaknya berangkat dari kesadaran akan dua hal. Pertama, menempuh pendidikan adalah hak setiap individu, baik berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Tidak ada pihak yang dianggap lebih berhak mengeyam pendidikan daripada pihak lain, apalagi hanya karena faktor lahiriahnya. Setiap individu berhak memaksimalkan potensi diri sesuai dengan apa yang  diinginkan, tidak dibatasi pelabelan gender di masyarakat. Kedua, kesetaraan gender hanya akan terwujud jika hak perempuan dan laki-laki sama-sama terpenuhi, bukan saja hak memperoleh pendidikan, tetapi juga hak bagi perempuan maupun laki-laki untuk mendapatkan rasa aman, nyaman, serta untuk dilindungi dan diperhatikan kebutuhan-kebutuhan spesifiknya sehingga tercipta pola-pola relasi sosial yang mendukung dan menguntungkan bagi perempuan dan laki-laki. Lingkungan pendidikan yang demikian niscaya akan jauh dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan, khususnya kekerasan berbasis gender.

Pencegahan terhadap kekerasan di kawasan pendidikan telah diatur oleh pemerintah Indonesia dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Kebijakan ini menggarisbawahi pentingnya menciptakan proses belajar mengajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan warga sekolah dari segala unsur tindakan kekerasan. Permendikbud ini juga memuat sanksi yang bisa dikenakan pada pelaku tindak kekerasan, atau sanksi terhadap satuan pendidikan dan kepala sekolah apabila ditemukan tindakan kekerasan di lingkungan sekolahnya.

Pengembangan sekolah responsif gender merupakan misi luhur yang dimaksudkan untuk menjamin hak perempuan dan laki-laki serta menghapuskan stigmatisasi, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan di bidang pendidikan. Perempuan dan laki-laki, keduanya sama-sama punya kompetensi dan peran aktif dalam proses pembangunan pendidikan.

Indikator dan Penguatan Sekolah Responsif Gender

Sekolah tidak cukup dipahami sebagai tempat menimba ilmu. Lebih dari itu, sekolah adalah tempat individu untuk mengaktulisasikan diri, membangun karakter, dan membentuk pandangan hidup. Sekolah tidak cukup pula dimaknai sebagai ruang bertukarnya pengetahuan secara formal, melainkan sekolah adalah sarana untuk menggali kompetensi sosial, intelektual, mental, spritual hingga akhirnya menuju kedewasaan. Pengertian pendidikan di sekolah pun sangatlah luas bukan meliputi persoalan angka saja.

Perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak merasakan pendidikan di sekolah sebab sejatinya, pendidikan tak pernah pandang bulu. Hanya saja konstruksi sosial budaya terkadang mengaburkan seolah pendidikan lebih pas diperoleh satu pihak tertentu. Munculnya urgensi sekolah responsif gender diharapkan mampu menipis anggapan demikian, membukakan kesempatan yang selebar-lebarnya kepada perempuan maupun laki-laki untuk berkembang dan bermitra, dan mencetak generasi masa depan yang adil dan tanggap gender.

Sekolah responsif gender memiliki indikator pengukuran perencanaan yang terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain indikator berdasarkan standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian, peserta didik, dan partisipasi masyarakat. Tiap kategori memiliki tujuan yang berbeda-beda namun masih berkelindan satu sama lain. Secara garis besar, sekolah responsif gender berhasil diterapkan apabila, pertama, terdapat integrasi gender dalam sumber dan panduan belajar seperti silabus dan RPP, bahan ajar, dan media pembelajaran. Kedua, perempuan dan laki-laki sama-sama didorong untuk mengembangkan pencapaian akademik dan non-akademik secara optimal. Ketiga, metode pembelajaran, model pembelajaran, dan pengelolaan kelas telah responsif gender dan tidak membeda-bedakan. Keempat, jumlah pendidik dan tenaga pendidikan perempuan dan laki-laki sudah proposional, begitu pun dengan tugas yang dibebankan. Kelima, sarana prasarana, pembiayaan, penilaian, pengelolaan telah memperhatikan kebutuhan khas gender, memperhatikan perbedaan kodrat perempuan dan laki-laki, dan mengikutsertakan secara setara perempuan dan laki-laki dalam struktur dan aktivitas organisasi termasuk saat pengambilan keputusan. Keenam, jumlah peserta didik perempuan dan laki-laki seimbang dan sekolah jadi lingkungan belajar bersosialisasi yang aman dan sehat. Terakhir, komposisi komite sekolah terdiri dari perempuan dan laki-laki secara berimbang dan terjalin hubungan baik antar sekolah dan masyarakat serta antar sekolah dan orang tua murid.

Indikator sekolah responsif gender tentunya akan lebih mudah diraih jika ada penguatan kelembagaan sekolah responsif gender melalui berbagai strategi, misalnya pendampingan, advokasi dan fasilitasi, pemetaan potensi dan kelompok kerja gender, pengembangan materi da dan media komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender (KKG), pengembangan sistem informasi, dan pengembangan sistem evaluasi. Materi penguatan juga harus mencakup Konsep Dasar Gender, Kebijakan Pengarusutamaan Gender pada Satuan Pendidikan, Isu-isu Gender di Lingkungan Satuan Pendidikan, Implementasi Pengarusutamaan Gender pada Satuan Pendidikan, dan Mitra dalam Penguatan Kelembagaan sekolah responsif gender.

Sekolah responsif gender adalah harapan perempuan maupun laki-laki untuk bisa belajar, mengenal, dan menemukan diri tanpa takut dihakimi karena jenis kelamin yang bahkan tak bisa dipilih sejak lahir. Sekolah responsif gender adalah harapan untuk mengasah diri sehingga dapat memperbaiki taraf hidup dan memberi kebermanfaatan bagi orang lain tanpa khawatir akan didiskrisminasi. Sekolah responsif gender merupakan harapan yang telah bertransformasi menjadi misi untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan gender dan melahirkan kesetaraan gender di lingkungan pendidikan. Sekolah responsif gender merupakan misi pemenuhan hak perempuan dan laki-laki atas rasa aman, tentram, dan atas peluang, perlindungan, partisipasi yang berimbang dalam pembangunan pendidikan sehingga relasi yang terbina bukanlah relasi yang mendatangkan kerugian seperti kekerasan, melainkan relasi kemitraan yang menyejukkan.

Daftar Pustaka

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (2013). Kajian Ulang Satu Dekade Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan di Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta.

Butler, Judith (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York and London: Routledge

Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Mas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014). Indikator Sekolah Responsif Gender: Pengarusutamaan Gender Buku 5. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Jakarta.

OSAGI (Office of the Special Advisor on Gender Issues and Advancement of Women) (2001). Gender Mainstreaming: Strategy for Promoting Gender Equality. Factsheet. http://www.un.org/womenwatch/osagi/pdf/factsheet1.pdf, diakses pada tanggal 18 September 2020.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.

UNICEF (2017). Gender Equality: Glossary of Terms and Concepts. https://www.unicef.org/rosa/media/1761/file/Gender%20glossary%20of%20terms%20and%20concepts%20.pdf.

West, Candace& Don Zimmerman (1987). Doing gender. Gender and Society, 1:125–151.

 

[1] Candace West & Don Zimmerman (1987). Doing gender. Gender and Society, 1:125–151.

[2] Judith Butler (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York and London: Routledge

[3] UNICEF (2017). Gender Equality: Glossary of Terms and Concepts. https://www.unicef.org/rosa/media/1761/file/Gender%20glossary%20of%20terms%20and%20concepts%20.pdf. Hal: 2. Diakses pada tanggal 18 September 2020 pukul 16:28 WIB.

[4] OSAGI (Office of the Special Advisor on Gender Issues and Advancement of Women) (2001). Gender Mainstreaming: Strategy for Promoting Gender Equality. Factsheet. http://www.un.org/womenwatch/osagi/pdf/factsheet1.pdf.

[5] Esuna Dugarova (2018). Gender Equality As An Accelerator For Achieving The Sustainable Development Goals. Discussion Paper. www.undp.org. Hal: 9. Diakses pada tanggal 18 September 2020 pukul 16:28 WIB.

46414334
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3104
88142
266579
306641
46414334