Rabu, 23 Mei 2018 08:48

Sudah jatuh tertimpa tangga, ungkapan ini sering kali sangat tepat menggambarkan situasi perempuan korban kekerasan. Mereka adalah korban, tetapi mereka justru dipersalahkan. Apa yang dituturkan K adalah gambaran situasi itu.

Kasus:

"Rifka Annisa yang terhormat,

Saya, K, seorang mahasiswi di sebuah PTS di Kota B. Saya juga aktif di kegiatan kemahasiswaan di kampus, namun sejak setahun terakhir saya menjadi enggan terlibat di dalamnya. Saya mengalami rentetan kejadian tidak menyenangkan dengan salah satu fungsionaris organisasi tersebut.

Salah satu fungsionaris, yang juga dulu saya anggap sebagai sahabat, ternyata tidak lebih dari seorang manusia yang tidak menghargai temannya, dia melecehkan saya. Pertama kali dia lakukan di kantor organisasi kami. Jangankan lapor ke polisi, untuk bercerita dengan teman saja saya tidak berani, saya sangat malu dan terhina. Namun, lebih dari itu, saya tidak ingin mempermalukan nama organisasi kami (terlebih lagi kami dari organisasi keagamaan). Saya hanya mampu menangis, menasihati dia untuk tidak mengulanginya dan berdoa kepada Tuhan untuk menyadarkannya.

Ternyata doa saya tidak terkabul, dia kembali mengulangi perbuatannya selama satu tahun. Selama satu tahun itu pula saya hanya dapat menahan tangis dan marah saya. Saya juga takut dengan ancamannya yang akan mengatakan kepada semua teman bahwa kami telah melakukan hubungan seksual, yang sebenarnya fitnah belaka. Saya merasa sangat kotor karena telah membiarkan orang menyentuh saya. Namun, kemarahan saya kalah dengan ketakutan dan dorongan untuk menjaga nama organisasi. Ini yang membuat saya terus diam. Saya tidak ingin mempermalukan organisasi agama saya. Selain itu, saya takut tidak dipercaya oleh orang lain karena dia dikenal alim dan dianggap panutan di kampus dan di organisasi, sedangkan saya hanya mahasiswi biasa.

Hingga akhirnya saya tidak tahan lagi, dia melakukan pelecehan hingga saya mengalami kejang perut. Saya tidak mampu menahan marah lagi dan saya putuskan untuk melapor kepada polisi. Saya memang tidak mengalami banyak kesulitan di kepolisian dan kejaksaan. Namun, yang lebih menyakitkan hati adalah teman-teman memaksa saya untuk berdamai. Mereka memusuhi saya dan menganggap saya sok suci, termasuk teman yang dulu dekat dengan saya. Mereka berkata bahwa bila dia dipenjara, maka saya juga harus dipenjara. Bahkan, untuk meminta teman menjadi saksi saja, saya seolah harus bersujud dan memohon mereka. Itu pun tidak semua kebenaran dikatakan dan masih harus ditambah dengan cacian dari mereka dan keluarga mereka.

Penderitaan saya disempurnakan dengan diusirnya saya oleh ibu kos. Ibu kos berkata bahwa ia mendapat keluhan dari beberapa teman kos saya. Beliau juga menyatakan bahwa saya jahat telah menyusahkan seorang laki-laki muda sehingga hancur masa depannya.

Pengasuh Rifka Annisa, saya tidak bermaksud menyakiti siapa pun atau membalas perlakuan buruknya kepada saya. Saya hanya ingin agar tidak ada seorang pun menyakiti saya, tidak juga dia. Apakah memang apa yang saya lakukan ini salah dan merugikan orang lain? Kalau dia yang salah, kenapa saya yang harus dimusuhi teman dan diusir dari tempat kos? Kenapa teman tidak mau mengerti perasaan saya? Saya tunggu balasan dari Rifka Annisa. Salam"

(K di B)

Jawaban :

SAUDARI K di Kota B yang baik,

Kami dapat merasakan kesedihan dan kemarahanmu. Setelah sekian lama menahan sakit seorang diri, kini justru semakin disingkirkan saat berjuang untuk mempertahankan hakmu. Apa yang K lakukan merupakan perjuangan luar biasa hebat, K berani menantang dunia dan terlebih lagi melawan ketakutan K sendiri untuk kemudian melapor kepada polisi. Memang kalau kita lihat dari kacamata hukum, apa yang K alami termasuk tindak pidana, pelakunya dapat diancam hukuman penjara dan K memang berhak melaporkannya.

Hanya saja, tampaknya apa yang K alami memang rumit. Kita tidak hanya dapat melihatnya dari kacamata hukum dan psikologis, tetapi juga bagaimana lingkungan sosial memandang masalah kekerasan terhadap perempuan pada umumnya. Masyarakat kita yang patriarkis cenderung memberi label negatif kepada perempuan. Dalam konteks kasus K dan banyak kasus lain yang serupa, perempuan sering kali diletakkan sebagai pihak yang patut dipersalahkan dengan asumsi perempuan adalah pencetus terjadinya kasus kekerasan seksual itu. Dengan demikian, K mengalami dua kekerasan: kekerasan pertama dilakukan pelaku dan kekerasan kedua dilakukan masyarakat.

Kekerasan yang dilakukan masyarakat ini sering kali memperparah kondisi korban karena berimplikasi pada sikap korban yang menyalahkan dan menganggap kotor dirinya sendiri sehingga menyumbang pada tingkat trauma yang diderita korban.

Akibat lain dari kecenderungan masyarakat menyalahkan perempuan atas apa yang dialami adalah membuat banyak perempuan takut menyuarakan kekerasan yang ia alami. Tekanan kuat dari masyarakat inilah yang acap membuat perempuan mundur dan memilih diam, menelan sendiri kemarahan dan sakit yang ia rasakan. Inilah yang dapat disebut sebagai secondary traumatized.

Kami paham benar apa yang K alami, tapi jangan pernah putus asa. K berhak memperjuangkan hak K untuk hidup tenang tanpa dibayangi ketakutan terhadap orang yang melecehkanmu. Bahkan mungkin K kini dapat lebih memahami pergulatan yang dialami oleh perempuan lain yang mengalami kekerasan seperti K. Di sini kita membutuhkan banyak dukungan untuk perempuan seperti K, dan K dapat memulainya di lingkungan K. Yakini apa yang kau lakukan benar dan lakukanlah.

Apabila K masih merasa butuh bercerita lebih lanjut, silakan menghubungi kami di Rifka Annisa WCC. Terima kasih.

 

Kompas, Senin 10 Mei 2004

Jumat, 20 Oktober 2017 13:59

Oleh Lamtiar D J Tambunan

 

Istilah ruang penggembalaan/pastoral/konseling Kristen merupakan suatu wadah atau tempat yang seharusnya dimiliki oleh gereja. Penggembalaan dalam istilah Bahasa Inggris ialah Pastoral care, pastoral Work, Bahasa Belanda Zielsorg; bahasa Jerman, Seelsorge. Penggembalaan dan konseling pastoral sering keduanya saling timpang tindih dalam praktek. Penggembalaan adalah pelayanan penggembalaan umum yang mencakup kehadiran, mendengarkan, kehangatan, dan dukungan praktis oleh gembala (pendeta, pastoral) sebagai pendamping. Mereka juga dapat dibantu oleh pelayan kristen lainnya, termasuk warga jemaat yang sudah terlatih dalam bidang pendampingan pastoral. Di dalam penggembalaan diadakan perkunjungan-perkunjungan gembala kepada rumah-rumah jemaat sakit fisiknya, dan para penggembala haruslah mengetahui dan memiliki pengetahuan yang umum mengenai hidup keluarganya.[1]

Program mengadakan penggembalaan/pastoral atau konseling memang sangat mempengaruhi tumbuhnya suatu jemaat dalam gereja. Karena dengan adanya penggembalaan maka masyarakat akan merasa bahwa mereka benar-benar mendapatkan perhatian yang penuh dari kalangan gereja. Penggembalaan dan konseling pastoral itu memang merupakan tugas pendeta (pimpinan jemaat), perlu dipahami bahwa penggembalaan itu bukan hanya tugas pendeta. Semua orang percaya harus juga dilibatkan dalam mengimplementasikan imamat am orang percaya, bahwa semua orang percaya harus saling menggembalakan dalam komunitas mereka. (Mat 18:15-20, 1 Pet 2:9). 

Jadi inti dan rumusan dari setiap rumusan-rumusan para ahli tadi ialah “Penggembalaan adalah pemberitaan firman Allah yang dibedakan dengan khotbah”. Dengan tujuan supaya orang yang digembalakan ia mendapat manfaat dari firman Tuhan yang diberitakan kepadanya sehingga kepribadiannya dipengaruhi oleh firman Tuhan. Program konseling pada dasarnya tentu sangat baik untuk diterapkan di dalam wadah gereja, karena dengan adanya program penggembalaan atau konseling maka jemaat dapat terbuka kepada pihak gereja untuk meningkatkan kehidupan spiritual jemaat dan tujuan lainnya tugas pelayan atau pemimpin jemaat selaku pemimpin spiritual sudah sesungguhnya membantu jemaat dalam menangani kasus atau persoalan hidup yang dilakukan, karena dengan tindakan yang demikian maka nyatalah juga Firman yang disampaikan setiap minggunya.

Dalam program penggembalaan/pastoral yang dilakukan sangat memungkinkan untuk menjalin sebuah komunikasi yang intens antara jemaat dengan pemimpin jemaat. Komunikasi yang intens yang terjadi jika tidak menjaga jarak maka akan sangat besar peluangnya untuk menjadikan terjadinya kasus pelecehan seksual. Banyak jemaat memang meyakini bahwa seorang pemimpin spiritual atau pemimpin jemaat tentu tidak akan melakukan hal demikian karena diyakini telah memiliki spiritual yang tinggi sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Namun pemikiran jemaat demikian akan membuat jemaat rentan menjadi korban kekerasan jika tidak memiliki sikap yang waspada. Kepercayaan penuh yang diberikan jemaat kepada pemimpin gereja (Pendeta, dll) akan sangat menjauhkan jemaat memikirkan hal-hal yang tak mungkin terjadi.

Buku Carolyn Haggen yang berjudul Pelecehan Seksual Dalam Keluarga dan Gereja (edisi terjemahan), dapat menjadi referensi yang bagus mengenai kasus pelecehan seksual dalam lingkup penggembalaan. Dalam buku tersebut, penulis menyebutkan bahwa dalam program penggembalaan sering terjadi kekerasan seksual. Tetapi banyak jemaat menyangkal kalau hal itu terjadi diantara para pelayan. Seorang hamba Tuhan yang diyakini benar-benar paham akan Firman Allah tentu akan memiliki penguasaan yang tinggi tetapi dalam buku tersebut dikatakan bahwa menjadi seorang pelayan tidak memungkinkan dirinya untuk tidak melakukan pelecehan seksual terhadap jemaatnya karena pendeta atau pemimpin jemaat juga merupakan manusia biasa.

Seperti kasus yang diceritakan dalam buku Haggen tersebut, seorang perempuan guru sekolah minggu meminta untuk mengadakan pastoral dengan pendetanya dengan tujuan untuk meningkatkan spritualitasnya. Tetapi hubungan yang intens tersebut membuat pendeta terbawa oleh suasana dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada perempuan sang kliennya itu. Berbagai cara dilakukan oleh perempuan itu termasuk membatalkan janji yang telah disepakatinya dengan pimpinannya tersebut, karena ia menyadari bahwa hubungan penggembalaan tersebut telah mengarah kepada pergaulan seks terutama ketika sang pendeta mengatakan salam perpisahan dengan menciumnya dan memeluknya dengan erat. Tetapi sikap yang ditunjukkan oleh sang pendeta benar-benar mengecewakan hingga ia mendatangi apartemen perempuan itu. Sementara sikap yang ditunjukkan sang perempuan semakin menjauhkan diri dari pendeta tersebut karena perempuan itu malu terhadap dirinya dan malu melihat istri pendeta dan anak-anaknya. Hingga ia memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak menjalin hubungan komunikasi.[2]

Keyakinan masyarakat umum akan seorang pemimpin gereja menjadi sebuah perlindungan yang kuat bagi seorang pemimpin gereja dalam menutupi segala kelakuan buruknya. Menurut pandangan para jemaat seorang pelayan Tuhan tidak mungkin melakukan hal demikian karena ia bertugas dalam pemberitaan menyampaikan Firman Tuhan yang diyakini sebagai suatu Firman yang suci. Dengan perlindungan dari jemaat tersebut maka kecil kemungkinan untuk mendengarkan cerita korban yang mengalami kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta. Tidak hanya sulit untuk bercerita bahkan jika korban mengatakan kebenarannya maka akan semakin menambahkan beban bagi sang korban karena bisa jadi dikatakan korban menipulasi dan sang korban juga besar peluagnya menjadi dibenci banyak kalangan jemaat.

Kehidupan jemaat Kristen yang sangat yakin dan menghormati pelayan Tuhan terkadang menjadi faktor penghambat manakala ada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum. Adanya hubungan kekuasaan ini sangat menyulitkan para korban untuk tertolong. Pihak gereja diyakini sebagai kumpulan orang-orang suci yang memiliki iman dan penguasaan diri yang penuh. Walaupun sesungguhnya kasus pelecehan seksual merupakan sebuah kasus yang sudah sering didengarkan namun masih sulit bagi para korban untuk bercerita. Karena hal itu dianggap akan merugikan pendeta sendiri dan juga gereja tersebut. Tindakan yang sering dilakukan oleh pihak gereja sendiri jika mengetahui hal demikian terjadi, maka keputusan pengurus gereja lebih memilih diam dan memindahkan sang pendeta ke gereja lainnya tanpa menghukumnya atau membeberkan kasusnya.

Pemilihan tindakan demikian tanpa disadari akan sangat memungkinkan terjadinya kasus yang berikutnya dan akan merugikan yang lain. Karena dalam menyelesaikan sebuah kasus maka sangat diperlukan sebuah keterbukaan atau kesedian dari pihak korban dalam memperjelas sebuah kejadian yang dialami. Dalam penyelesaian kasus pelecehan seksual seharusnya tindakan yang dilakukan gereja ialah sebagai pendukung dalam penyelesaian kasus karena penyangkalan yang dilakukan oleh institusi dan individu akan semakin mempersulit penyelesaian kasus yang ditangani. Hal ini juga menambah kesulitan bagi para korban yang mengalami kasus pelecehan dalam lingkup pastoral karena mereka meyakini tidak ada perlindungan atau pertolongan yang layak bagi mereka. Sehingga pilihan lain yang lebih sering terjadi dan dilakukan para korban yaitu bunuh diri karena dengan demikian korban berpikir bahwa perkaranya akan selesai. []

Lamtiar D J Tambunan adalah mahasiswa magang di Rifka Annisa. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi “Biblevrouw HKPB” Medan, Sumatera Utara.

*Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan posisi resmi dari Rifka Annisa.

 


[1] Dr. M. Bons-Strorm, Apakah penggembalaan itu?, Jakarta : Gunung Mulia, 2012. Hal. 1

[2] Carolyn Holderread Haggen, Retnowati (penerjemah), Pelecehan Seksual dalam Keluarga dan Gereja, Jakarta : BPK : Gunung Mulia, 2008, hal. 103-132.

Selasa, 25 Juli 2017 12:30

Oleh: Lutviah (Staf Humas dan Media Rifka Annisa)

 

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah diskusi tentang hukum dan permasalahan perempuan di sebuah universitas. Dari diskusi tersebut, saya mendapatkan informasi dan pemahaman baru tentang isu perempuan dan hukum, khususnya perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan. Namun dalam diskusi tersebut ada satu hal mengejutkan yang saya termui, yaitu ujaran seksisme berupa guyonan yang mengobjektifikasi perempuan oleh salah satu narasumber. Kenapa hal ini mengejutkan bagi saya, tak lain karena ujaran seksis itu diucapkan oleh seorang akademisi, disampaikan di ruang diskusi akademis, dan ujaran seksis tersebut disambut gelak tawa oleh para peserta diskusi. Artinya, ujaran seksis dianggap sesuatu yang wajar bahkan dianggap sebagai bahan candaan.

Mengacu pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary, seksisme didefinisikan sebagai perlakukan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan, karena jenis kelaminnya.Seksisme dapat berupa ucapan atau perilaku yang secara sadar maupun tidak sadar mendiskriminasi perempuan. Ucapan seksis misalnya paling banyak kita temui di jalan berupa cat calling, dimana seorang perempuan digoda di jalan dengan siulan atau perkataan tertentu seperti “hey cantik” atau bahkan mengucapkan “Assalamualaikum” dengan nada menggoda. Sementara itu, bentuk perilaku yang seksis dapat kita temukan pada perlakuan-perlakuan yang mendiskriminasi dan membatasi perempuan. Misalnya perempuan dilarang untuk keluar malam, perempuan diharuskan mengurus pekerjaan rumah tangga, perempuan dilarang bekerja, dan lain-lain. Perlakuan-perlakuan yang seksis ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat umum dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dialami oleh perempuan. Bahkan di level negara, pemerintah juga berlaku seksis dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang tidak ramah perempuan.

Adanya perspektif yang seksis ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Sebelum kesetaraan gender ini terwujud dalam bentuk perilaku dan aturan yang adil gender, baik masyarakat maupun pemerintah harus terlebih dahulu memiliki perspektif gender yang setara dan terbebas dari pandangan-pandangan yang seksis. Meskipun, menghapus pemikiran yang seksis dalam diri masyarakat bukanlah hal yang mudah mengingat sejak lahir kita sudah dibentuk dengan norma dan budaya yang cenderung patriarkis dan merendahkan perempuan.

Tantangan seksisme ini tentunya perlu kita hadapi bersama-sama secara terus menerus, mengingat seksisme ini muncul dalam bentuk-bentuk kecil di kehidupan kita sehari-hari. Cara paling sederhana yang mungkin bisa kita lakukan adalah dengan merespon dengan cepat ketika seksisme itu terjadi, misalnya memberi tahu bahwa ucapan atau perilaku itu tidak pantas untuk dilakukan. Respon sederhana ini meskipun wujudnya kecil tapi sedikit demi sedikit diharapkan dapat membantu merubah perspektif masyarakat menjadi lebih adil gender. Karena dalam banyak kasus, orang-orang yang berperilaku seksis tidak menyadari bahwa hal itu tidak baik dan merugikan perempuan.

Seksisme juga dapat dikatakan sebagai salah satu akar masalah ketidaksetaraan gender karena ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang tidak setara dalam melihat posisi perempuan dan laki-laki. Pemahaman-pemahaman inilah yang kemudian terwujud dalam bentuk ucapan, perlakuan dan aturan yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Salah satu dampak yang bisa kita lihat adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Survei terbaru yang dilakukan Badan Pusat Statistik tentang pengalaman hidup perempuan menunjukkan satu dari tiga orang perempuan di Indonesia mengalami kekerasan. Kemudian, sepanjang Januari hingga Maret 2017 saja ada 77 kasus kekerasan terhadap perempuan yang di laporkan ke Rifka Annisa. Ini berarti, dampak seksisme berupa kekerasan terhadap perempuan sangat serius dan mengganggu keharmonisan dan keamanan masyarakat.

Karenanya, sudah saatnya masalah seksisme ini kita berikan perhatian yang khusus. Sudah saatnya kita tidak lagi abai ketika menemukan ucapan dan perlakuan yang seksis terjadi di masyarakat. Perspektif gender yang setara harus secara masif disebarkan untuk menghadang seksisme  yang mengakar di masyarakat.

 

46414334
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3104
88142
266579
306641
46414334