Senin, 28 September 2020 23:20

Oleh: Risma Inayah (Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa), Pewawancara: Yulita Tri Anggrahini dan Anita Nur Isnawati

Menjadi korban kekerasan adalah hal yang tidak diinginkan oleh siapapun, termasuk perempuan. Pada 2019 Rifka Annisa mencatat, dari 329 kasus yang ditangani, hanya 38 korban yang menempuh langkah hukum.

Sedikitnya korban yang menempuh jalur hukum dikarenakan proses hukum dapat menjadi proses yang menakutkan bagi sebagian orang karena tidaktahuannya akan gambaran dan proses yang akan dilalui. Menurut Konselor Hukum Rifka Annisa, Nurul Kurniati, S.H.--ketakutan masyarakat, khususnya remaja perempuan korban kekerasan ada dua, yaitu ketakutan akan stigma masyarakat dan ketakutan akan proses hukum itu sendiri. Perempuan yang menjalani proses hukum disebut sebagai perempuan yang berhadapan dengan hukum. Lalu sebenarnya, bagaimana proses hukum yang dilalui perempuan korban kekerasan?

Secara umum, Nurul mengatakan bahwa proses pengajuan hukum pidana terhadap kasus perkosaan, pelecehan seksual, maupun Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) memiliki alur yang sama, perbedaannya terletak pada pasal yang akan diterapkan nantinya. Apabila pelaku berusia di bawah 18 tahun maka landasan yang akan digunakan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak mengenai pencabulan yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Sedangkan bagi pelaku berusia di atas 18 tahun maka akan digunakan KUHP Bab XIV: Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281-199.1

Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan pengajuan hukum pidana. Pertama yaitu korban melaporkan kepada pihak kepolisian. Kepolisian kemudian akan membuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) berdasarkan kronologi yang diceritakan oleh korban. Pada tahap ini juga korban akan didampingi pihak penyidik dari kepolisian untuk memenuhi bukti-bukti yang diperlukan. Bukti terbagi menjadi 2, yaitu hasil visum korban (fisik, psikologikum, dan psikiatrikum) serta bukti berbicara atau saksi minimal 2 orang.

Nurul mengatakan bahwa penting bagi korban untuk segera melaporkan kejadian tepat setelah terjadi. Semakin cepat melapor, semakin mudah untuk menemukan bukti yang kuat. Kekuatan dari bukti akan mempengaruhi kasus yang dibawa korban dapat disidangkan atau tidak.

Kedua yaitu pihak kepolisian akan menentukan pasal yang sesuai dengan kronologi dari korban. Penggunaan pasal ditentukan oleh jaksa penuntut umum. Proses ketiga yaitu, tim penyidik dari pihak kepolisian akan melakukan penetapan tersangka berdasarkan Pasal 14 Angka 1 UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP bahwa, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”2

Setelah proses penetapan tersangka, proses keempat yaitu perintah penangkapan kepada tersangka dengan landasan Pasal 17 KUHAP, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.3” Penyidik menggunakan pasal tersebut sebagai pedoman untuk melakukan penangkapan tersangka.

Proses kelima yaitu memasukkan berkas ke kejaksaan. Setelah semua berkas yang dibutuhkan seperti alat bukti dan saksi sudah lengkap, berkas kemudian dimasukkan ke kejaksaan. Di dalam kejaksaan, berkas–berkas akan diperiksa kembali oleh jaksa. Apabila terdapat berkas yang belum lengkap, berkas akan dikembalikan ke kepolisian. Ketika berkas sudah dilengkapi dan siap untuk dikirimkan kembali ke kejaksaan.

Apabila berkas sudah lengkap, proses keenam yaitu Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuat Surat Dakwaan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik. Surat dakwaan ini berguna bagi Hakim, Penuntut Umum, maupun Terdakwa serta Penasihat Hukum dalam menjalankan perkara tindak pidana. Setelah membuat surat dakwaan, JPU akan mengirimkan berkas yang sudah lengkap tadi ke pengadilan. Proses ketujuh yaitu Hakim menentukan jadwal pelaksanaan sidang.

Dalam pelaksanaan sidang, terdapat beberapa tahapan yang dilalui. Tahap–tahap dalam pengadilan untuk kasus pidana adalah sebagai berikut:

1. Membaca Surat Dakwaan. Proses pembacaaan surat dakwaan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

2. Proses selanjutnya yaitu Eksepsi. Dalam tahap ini Terdakwa mempunyai hak untuk mengajukan keberatan kepada Majelis Hakim PN Replik

3. Selanjutnya yaitu Replik. Pada tahapan ini penggugat menegaskan dalil-dalil penggugat setelah ada tergugat menyatakan keberatan.

4. Berikutnya yaitu Duplik. Duplik merupakan proses penegasan dari bantahan atau jawaban tergugat setelah adanya replik dari penggugat.

5. Selanjutnya yaitu Putusan Sela. Proses ini merupakan proses penentuan keputusan apakah eksepsi diterima atau eksepsi ditolak *Namun biasanya dalam proses persidangan seringkali tahap Eksepsi, Replik, Duplik dan Putusan sela dilewati dan langsung menuju tahap pembuktian.

6. Pembuktian. Proses ini merupakan proses untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam persidangan melalui alat bukti (Hakim tidak boleh menjatuhkan pidanan apabila bukti yang ada kurang dari 2).

7. Proses selanjutnya yaitu Tuntutan. Pada tahapan ini JPU akan membacakan tuntutan terhadap terdakwa. JPU juga akan mengutarakan apabila si korban menjalani konseling atau pengobatan sehingga seluruh biaya akan dilimpahkan ke terdakwa.

8. Berikutnya yaitu Nota pembelaan. Pada proses ini terdakwa mempunyai hak untuk melakukan pembelaan terhadap tuntutan yang disampaikan oleh JPU.

9. Proses berikutnya yaitu Replik. Pada proses ini, JPU atau korban memiliki kesempatan untuk mengajukan jawaban atau replik.

10. Tahapan berikutnya yaitu Duplik. Pada tahapan ini terdakwa mendapat kesempatan untuk mengajukan jawaban untuk kedua kali.

11. Tahapan terakhir yaitu Putusan. Pada tahapan ini Hakim memutuskan hukuman pidana apa yang akan diterima oleh terdakwa. Hukuman dapat berupa Pidana Pokok seperti mati, penjara, kurungan, denda. Adapun pidana tambahan adalah pencabutan hak, perampasan barang, pengumuman putusan. (Pasal 10 KUHP)

Meski prosesnya tampak panjang, tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa proses hukum ini sangat penting bagi perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan. Disamping itu proses hukum juga dibutuhkan untuk memberi contoh maupun peringatan di masyarakat luas. Diharapkan sanksi yang didapatkan oleh pelaku dapat memberi efek pembelajaran di lingkungan mengenai kekerasan terhadap perempuan yang tidak bisa diabaikan. Sehubungan dengan proses hukum yang panjang, tentunya akan ada risiko dan kesulitan yang dilalui oleh korban ataupun pendamping ketika menempuh jalur hukum. Lembaga seperti Rifka Annisa tentunya tidak dapat bergerak sendiri dalam upaya mendapatkan keadilan untuk korban melalui proses hukum. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi dan tindakan kooperatif dari berbagai pihak agar dapat memberikan hasil terbaik dan keadilan untuk korban.

 

[1] Hukum Online.com. (2019, 4 Februari). Dapatkah Menjerat Pidana Anak yang Lakukan Pencabulan? Diakses pada 21 September 2020, dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5125d3aaf3911/dapatkah-menjerat-pidana-anak-yang-lakukan-pencabulan/

[2] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2014, 19 Maret). Penetapan Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan Harus Berdasar Minimum Dua Alat Bukti. Diakses pada 21 September 2020, dari https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=9729

[3] Ibid.

Minggu, 24 Jun 2018 13:35

Biasanya kita membayangkan kekerasan adalah sebentuk pemukulan atau penganiayaan. Bagaimana dengan umpatan, hinaan, ataupun sikap merendahkan? Apalagi jika itu dilakukan seorang yang kita cintai, kekasih atau pacar kita. Pacar yang hanya ingin kita menjadi boneka-nya?

Kasus:

"Saya Uli, mahasiswa semester IV sebuah PTN di Jawa Barat. Saya ingin menyampaikan persoalan kakak saya, mahasiswa di kampus yang sama dengan saya.

Kakak saya berpacaran dengan dosen muda. Rasa tertarik itu karena dosen tersebut cerdas, akrab dengan mahasiswa, dan terkenal sebagai aktivis demokrasi. Ternyata dalam proses pacaran, kakak saya diperlakukan tak lebih sebagai budak, pemanis. Maaf kalau kata-kata saya kasar. Kakak saya dipaksa berdandan mencolok dan berpakaian sangat seksi dengan alasan biar orang tahu pacar dosen tersebut cantik dan seksi. Saat sedang berkumpul dengan teman-temannya, kakak saya disuruh menunggui, tetapi tidak boleh ikut dalam diskusi dan mesti duduk manis. Persis seperti Barbie.

Pernah suatu ketika kakak saya protes dan nekat ikut dalam obrolan itu. Pak dosen mukanya ditekuk sepanjang acara dan saat pulang, kakak saya dicaci. Sering kakak direndahkan sebagai cewek enggak bermutu, cuma modal cantik tetapi otak bego, seperti tong kosong, dan sebagainya. Yang keterlaluan adalah pernyataannya bahwa kakak saya mendapat nilai bagus karena berpacaran dengan dosen itu. Padahal, saya tahu pasti sejak SD hingga SMA nilai kakak saya selalu bagus.

Saya makin kesal saat melihat kakak saya hanya diam. Ketika saya minta melawan, malah dia menangis. Kakak jadi seperti orang lain, berubah pendiam, sensitif, dan gampang menangis. Hari-hari hanya diisi kuliah dan pergi bersama dosen itu. Dia seperti kehilangan kepercayaan diri. Apa yang harus saya lakukan? Terima kasih."

(Uli,Bandung)

Jawaban:

  • Dear Uli, dari ceritamu kami menyimpulkan, kakakmu terjebak dalam hubungan cinta (pacaran) yang diwarnai kekerasan psikologis.

Kami yakin kakakmu merasakan ketidaknyamanan, tetapi karena sifat kekerasan psikologis laten atau tidak tampak, maka terasa relatif sulit mengidentifikasi secara gamblang hubungan itu tidak sehat. Hal itu membuat kekerasan psikologis berbahaya karena perlahan tetapi pasti merusak kondisi psikologis sasarannya, seperti yang kamu lihat pada kakakmu.

Bahwa kejadian itu berlangsung terus, memang demikian dinamikanya, yaitu kekerasan dalam hubungan cinta bersiklus. Jadi, apabila siklus kekerasan tidak diputuskan, bukan tidak mungkin akibatnya semakin parah. Kami tidak bermaksud menakutimu, tetapi fakta menunjukkan banyak korban kekerasan psikologis berakhir penderitaannya di rumah sakit jiwa atau meninggal dunia.

Hubungan kakakmu dengan sang dosen adalah salah satu bentuk relasi tidak sehat. Tandanya, tidak ada penghargaan, ketakutan, kecemburuan, dan sifat posesif (mengekang). Pelaku menggunakan hal-hal itu untuk menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Pada titik inilah terjadi kekerasan emosional yang menurut Pamela Brewer, MSW, PhD adalah keadaan emosi yang sengaja dibuat untuk mengendalikan pasangan. Paling tidak, ada tiga elemen yang biasanya terjadi. Pertama, tekanan yang bentuknya mulai dari banyak mengkritik, berkata kasar, teriak-teriak, intimidasi, hingga cemoohan. Kedua, kekerasan berupa penyerangan baik secara fisik dan seksual. Ketiga, rayuan berupa permintaan maaf berulang serta janji tak mengulangi.

Pelaku biasanya menyalahkan korban sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas banyak hal dalam hubungan itu. Jika terjadi pertengkaran dan kemudian pelaku menghina serta merendahkan korban, biasanya pelaku akan menyalahkan korban atas pertengkaran itu dan kemudian mengatakan korbanlah yang menstimulasi pelaku melakukan (penghinaan) itu. Akibatnya, korban melihat dirinya sebagai orang pertama yang mesti bertanggung jawab atas pertengkaran dan penghinaan pacarnya, walaupun jelas bukan korban penyebabnya.

Dengan demikian, mereka akan terus menyalahkan dirinya dan semakin tergantung secara psikologis kepada pasangannya. Situasi ini membuat seseorang merasa tidak berdaya jika tidak bersama pasangannya. Maka, seperti kakak Uli, meski dia merasa sakit dihina terus dan menyadari lambat laun kehilangan dirinya, tetapi sulit putus dari pacarnya karena dikondisikan pelaku untuk tergantung secara psikologis.

Tentang pelaku, tidak jarang mereka memang berpenampilan charming, punya kedudukan, dan dihormati di komunitasnya. Dengan demikian, memutus lingkar kekerasan adalah jalan satu-satunya. Pertama, menyadarkan kakak Uli atas situasi ini. Jika dibutuhkan, minta bantuan psikolog untuk bersama-sama mengajak kakak melihat dirinya secara gamblang. Atau minta bantuan women’s crisis center di tempat Uli tinggal. Uli juga perlu minta bantuan anggota keluarga lain untuk mendukung langkah terbaik bagi kakak karena akan sangat membantu proses ini. Intinya, bantu kakak Uli dengan membangun sistem yang memberi dukungan bagi upaya memutus lingkaran kekerasan ini.

Yang mesti dihindari, jangan menyalahkan dan memaksa korban membuat keputusan yang bukan dari kesadaran dirinya karena hanya akan membuat korban semakin terpuruk.

Kompas, 27 Agustus 2005

Kamis, 27 Juli 2017 13:00

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kasus di sekolah saya. Begini ceritanya. Ini bukan masalah sepele tapi masalah yang sangat dipastikan dapat merugikan berbagai pihak. Anak muda jaman sekarang beda sekali dengan anak muda jaman dulu. Kata orangtua, anak jaman dulu selalu mempertimbangan resiko yang akan diterima ketika melakukan berbagai tindakan, sedangkan anak jaman sekarang sifatnya maunya muluk-muluk tanpa berikir panjang dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Itu menurut saya, mungkin dari kalian ada yang tidak sependapat.

Saya amati di berbagai berita, remaja masa kini sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Didukung dengan kemajuan teknologi, justru banyak masalah yang ditimbulkan seperti pornografi, bullying, terjebak pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain. Mereka ini kan merupakan masa depan bangsa yang merupakan aset yang paling berharga. Namun mereka malah terjebak dalam suatu situasi yang menghilangkan potensi bahkan tidak ada kualitas untuk menjadi penerus bangsa.

Hamil di luar nikah adalah suatu hal yang mungkin banyak terjadi. Lebih parahnya lagi mereka masih pelajar di bawah umur yang masih jauh untuk memikirkan pernikahan atau berkeluarga. Remaja perempuan yang hamil di luar nikah biasanya selalu mengambil jalan pintas untuk aborsi. Ia tidak memikirkan bayi yang telah mereka ambil hidupnya. Perbuatan yang akan membebani hidupnya nanti. Namun, saya juga paham, bahwa si perempuan pasti berada dalam situasi yang sangat sulit, tidak ada yang mau mengerti atau membantu mencari solusi sehingga mengambil solusi yang beresiko.

Saya adalah seorang pelajar sebuah sekolah menengah di Gunungkidul. Awal mula kasus ini adalah ketika tahun ajaran baru 2016. Dua siswa kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang baru masuk sekolah awal tahun lalu sudah lama menjalin hubungan dari kelas satu. Pada semester dua kelas dua ini ada sebuah kegiatan pembelajaran yang disebut PKL (Praktik Kerja Lapangan). Menurut saya, kegiatan ini adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh para pelajar SMK. Karena apa, dengan mengikuti kegiatan ini bisa menjadi ajang pamer.

Ya betul, pamer. Kegiatan ini adalah kegiatan untuk para siswa agar merasakan langsung kerja di sebuah industri. Pengawasan yang minim dan langsung percaya pada guru atau kepercayaan orang tua pada anaknya di luar sana menjadi salah satu faktor penyebab hal-hal yang sangat merugikan. Lagi pula didukung dengan uang saku yang diberikan orangtua umumnya sangat berlebihan sehingga disalahgunakan untuk hal-hal negatif.

Komunikasi antar kedua siswa ini tidak pernah henti. Suatu saat perempuan dan laki laki mengetahui tempat PKL masing-masing dan saling memberi tahu posisi tempat tersebut. Selanjutnya, perkembangan teknologi dan lemahnya pengawasan orangtua atas handphone anak menjadi faktor berikutnya. Handphone seperti menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan remaja masa kini.

Batas waktu PKL adalah tiga bulan. Dua bulan, hubungan mereka berjalan dengan komunikasi lewat handphone yang sangat lancar dan lemahnya pengawasan dari guru maupun orangtua. Suatu ketika mereka membuat janji untuk bertemu di tempat yang sudah mereka tentukan. Mula-mula mereka bersapa malu seperti orang yang baru kenal. Semakin lama semakin nyaman dan mulai ada keganjalan dan tangan usil mereka. Bukan pertemuan yang menyenangkan, tapi karena nafsu semua terasa menjerumuskan.

Kegiatan PKL telah selesai. Saatnya kembali ke sekolah, terasa seperti kembali lagi menjadi siswa baru di sekolahnya. Hari demi hari terus berjalan, mulai ada tanda-tanda dari siswi perempuan itu. Dia sering kali menyendiri atau murung, bahkan dia juga pernah bolos sekolah. Tak perlu waktu lama, guru menjenguknya. Setelah diselidiki secara detail dan juga hasil tes dokter akhirnya dikatakan bahwa si perempuan ini positif hamil.

Akhirnya guru berunding untuk mengembalikan anak ini kepada orang tuanya kembali. Sedangkan siswa laki laki juga dikeluarkan dari sekolahnya. Sekolah pun sedikit demi sedikit berbenah walaupun berjalan dengan lambat. Mulai mengadakan acara keagamaan, mengundang organisasi anti kekerasan dan lain-lain. Harapannya akan mengurangi kasus-kasus yang menjengkelkan seperti ini.

Masalah seperti ini sering terjadi berawal mula dari pacaran. Pacaran menurut saya hanyalah pengungkapan suatu gengsi atau pamor melalui hubungan antar lawan jenis. Tapi apa hasilnya? Mereka hanya membuang waktu yang seharusnya menjadi sebuah petaka yang mengincar secara pelan. Kadang orang terdekat malah menjadi salah satu bahaya yang mengintai. ‘Mendekap erat agar menancapkan pisau sedalam mungkin’. Buat apa pacaran jika pada akhirnya malah menyakitkan dan menimbulkan kerugian? Ini bukan hanya tentang mereka, tapi juga sebuah renungan bagi saya, kalian dan kita semua. Kita, anak muda harus bisa berpikir tentang baik buruknya.

Jadi pada dasarnya kita sebagai pemuda penurus bangsa harus selalu berpikiran positif, Jangan selalu mengutamakan gengsi dan meningkatkan pamor dengan hal-hal yang negatif. Katakan tidak pada kekerasan anak, kejahatan seksual dan narkoba dan lain-lainya. Sudah sepantasnya kita sebagai pemuda bangsa mengisi keseharian kita dengan hal hal yang bemanfaat dan meraih prestasi dengan baik dan memuaskan. Kita pasti bisa! []

Oleh Hima Beng2 (Pelajar di Gunungkidul)

 

*Hima Beng2 adalah nama inisial dari penulis yang disamarkan untuk melindungi privasi dan kerahasiaan karena menceritakan kasus yang sensitif.

**Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya merupakan sudut pandang dan tanggung jawab penulis.

Selasa, 25 Juli 2017 22:09

GUNUNGKIDUL - Kasus kejahatan melibatkan anak masih tinggi. Berdasarkan data dari kepolisian setempat, dalam kurun waktu 2015 hingga 2017 ada puluhan anak berurusan dengan hukum.

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Gunungkidul mencatat pada 2015 jumlah kasus 16. Setahun kemudian naik menjadi 27 kasus. Tahun ini sampai 1 Mei tercatat delapan anak terimpit kasus hukum. "Anak-anak menjadi korban sekaligus pelaku kejahatan," kata Panit Humas Polres Gunungkidul, Iptu Ngadino kemarin (1/5).

Jumlah kasus bervariasi, mulai pencurian dengan kekerasan hingga pencabulan. Jumlah korban didominasi anak perempuan. Maraknya tindak kejahatan melibatkan anak harus menjadi perhatian bersama. Selain itu, idealnya ada upaya pencegahan. "Pencegahan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tapi semua pihak harus terlibat. Sehingga kasus yang muncul dapat ditekan," ujar Ngadino.

Selama 2015 hingga 2017 tercatat 35 kasus kejahatan yang melibatkan anak. Pada 2017 unit PPA menangani delapan perkara. Satu anak terlibat pencurian dengan kekerasan, enam kasus persetubuhan dan pencurian satu kasus.

Kami berharap orangtua lebih waspada. Menjaga anak terutama yang mulai tumbuh dewasa karena rentan menjadi korban dan pelaku kejahatan. Pengawasan intensif mendesak dilakukan. "Bagaimana pun kesibukan orangtua, perhatian dan pengawasan terhadap anak harus diutamakan," kata Ngadino.

Manajer Humas dan Media LSM Rifka Annisa, Defirentia One, prihatin dengan tingginya kasus kejahatan melibatkan anak. Dari data yang dimiliki Rifka Annisa, selama 2016 terdapat 43 anak menjadi korban kekerasan. "Kasusnya meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, perdagangan anak serta kekerasan dalam pacaran," kata Defirentia.

Sebanyak 70 persen merupakan perkara kekerasan seksual, 16 diantaranya telah memiliki putusan hukum tetap. Rata-rata untuk kasus seksual anak, hukuman bagi pelaku tujuh tahun penjara.

Namun ada juga kasus yang dihentikan penyidikannya. Korban merupakan anak 12 tahun sementara pelaku dewasa. Penyidikan dihentikan karena hasil pemeriksaan kejiwaan menunjukkan pelaku terganggu jiwanya.

"Ada juga perkara dicabut karena ada kesepakatan damai kedua pihak. Laporan dicabut karena dinikahkan dengan pelaku," kata Defirentia. (gun/iwa/er)

 

Sumber: Jawa Pos Radar Jogja, Selasa 2 Mei 2017

46815080
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6120
49737
323447
343878
46815080