OTORITAS TUBUH DAN STIGMA NEGATIF YANG MELEKAT PADA PEREMPUAN

Written by  Abdul Karim Amirullah Rabu, 21 Oktober 2020 20:53

Melalui diskusi internal Rifka Annisa pada Jum’at 21 Agustus 2020, perbincangan tentang otoritas tubuh perempuan sangatlah komplek dan memiliki banyak perdebatan di dalamnya. Pendapat paling umum didengar saat ini adalah pendapat yang menggunakan istilah pro-life dan pro-choice. Jika diartikan secara sederhana, Pro life bisa dikatakan sebagai pro kehidupan, sedangkan pro choice adalah pendapat yang lebih setuju ke pilihan masing-masing individu. Istilah ini seringkali disangkutpautkan dengan praktek aborsi yang masih marak dilakukan.

Dikutip dari portal berita Jakarta.tribunnews.com (2020), Sitty Hikmawati-komisioner KPAI bidang Kesehatan, Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), menuturkan bahwa kasus aborsi ilegal di dunia pada tahun 2018. Berdasarkan data American Library Association angka kasus pada tahun 2018 mencapai 42 juta kasus. Meskipun trendnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya, namun angka 42 juta merupakan angka yang tidak sedikit untuk “sebuah” kasus aborsi.

Banyak pendapat bermunculan untuk menihilkan bahkan menghilangkan otoritas perempuan terhadap tubuhnya. Nilai moral dan agama adalah dua hal yang seringkali dijadikan “kambing hitam”. Berbagai stereotip negatif muncul saat perempuan berani mengambil keputusan yang dianggap masyarakat beresiko tinggi, misalnya saat terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki dan mengarah ke tindakan aborsi, perempuan akan dikecam habis-habisan oleh masyarakat.  

Menurut Dwi Lestari, ketika mendengar kata aborsi, kebanyakan dari kita akan mengarah pada hal yang berkonotasi negatif. Pemikiran ini kemudian tersamaratakan, sehingga tidak hanya perilaku saja yang di-sterotipkan negatif, tapi perempuan yang melakukan bahkan pemberi jasa aborsi juga ikut terseret. Padahal pemerintah sudah menjamin akses aborsi yang aman bagi perempuan yang ingin melakukannya dengan alasan yang jelas. Hal ini tertuang dalam hukum aborsi yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kesehatan dan reproduksi Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa aborsi dilarang, kecuali dengan alasan kedaruratan medis ibu dan bayi serta bagi korban pemerkosaan.

Kesulitan mengakses layanan aborsi aman serta meminimalisir anggapan banyak orang, akhirnya membuat sebagian perempuan menempuh aborsi yang tidak aman dan membahayakan tubuh perempuan. Lebih lanjut, Dwi Lestari menjelaskan bahwa ketika ingin menjadi perempuan yang otonom, perempuan tersebut harus membekali  dirinya akan pengetahuan tentang tubuhnya. Dengan demikian, memahami seluk beluk tubuh akan memunculkan kesadaran untuk menghargai tubuh sendiri. Perempuan akan memiliki pemikiran tentang batasan apa yang harus dilakukan dan dijaga saat berada di lingkungan sosial. Meskipun otoritas tubuh adalah hal yang mustahil dimiliki oleh siapapun sepenuhnya, pemahaman tentang otoritas tubuh penting bagi setiap individu terutama perempuan.

Melalui riset pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduski di Yogyakarta,  PKBI DIY dan relawan dari Australia menemukan bahwa remaja di Yogyakarta hanya tahu bagaimana menjaga tubuh, misalnya ketika menstruasi atau mimpi basah, namun kurang memahami mengenai konsep otonomi tubuh. Fakta lain yang di dapatkan dari riset tersebut adalah ketika menjalin hubungan pacaran, laki-laki lah yang mengambil banyak peran di dalamnya. Contohnya ketika pasangan perempuan mengalami kehamilan, maka laki-laki yang akan mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan sudut pandang pihak perempuannya.

Tidak hanya soal aborsi stigma negatif yang lekat dengan otoritas tubuh perempuan adalah sunat perempuan. Dwi lestari mengungkapkan bahwa sunat perempuan yang ada di beberapa daerah sangat merugikan perempuan.  Sunat perempuan adalah tindakan memotong klitoris perempuan yang berimbas pada berkurangnya hasrat seksual seorang perempuan. Tindakan ini merupakan pelanggaran prinsip dari kesehatan reproduksi yang diyakini di IPPF.

Budaya lain yang menurut Dwi Lestari merugikan perempuan adalah konsep perjaka dan keperawanan. Konotasi perawan selalu identik dengan perempuan baik dan buruk, sedangkan laki-laki yang sudah melakukan hubungan seksual tidak memiliki konotasi negatif tentang status keperjakaanya. Konsep keperawanan memang sebuah budaya yang cukup merugikan perempuan dan mengontrol tubuh perempuan itu sendiri.

Senada dengan pandangan Dwi Lestari, Katrin Bandel seorang dosen Sanatha Darma mengungkapkan prespektifnya dalam melihat otoritas tubuh perempuan. Dalam kajian pascakolonial, otoritas tubuh perempuan dimulai dari slogan yang cukup terkenal oleh seniman perempuan Amerika dalam rangka demokrasi pro-choice tahun 1989. Slogan itu berbunyi “your body is a battleground”, jika diartikan tubuhmu adalah medan pertarungan. Slogan ini dibuat untuk menyoroti isu tentang tubuh perempuan yang menjadi medan perdebatan politis saat itu.

Katrin melihat bahwa pertarungan yang menjadikan tubuh perempuan sebagai medannya membuat kita sulit untuk bergerak. Isu yang menyangkut tubuh perempuan sangat rumit dan kompleks, membuat usaha yang dilakukan aktivis untuk menuju perubahan yang baik sulit untuk direalisasikan. Banyak hal yang dibenturkan kepada aktivis pembela isu ini, identitas kebangsaan, etnis, agama, wacana barat dan timur adalah sedikit diantaranya. Sesuatu yang kelihatannya sangat lokal punya kaitan dengan relasi kuasa Global. Contoh sederhana perbenturan antar isu adalah cara berpakaian. Pakaian tertentu yang berkaitan dengan tubuh perempuan dikatakan dengan ketidakcocokan budaya, baik budaya timur dan barat.

Kajian pascakolonial berangkat dari kesadaran bahwa kolonialisme yang terjadi di seluruh dunia meninggalkan bekas yang bisa kita temui sampai saat ini.  Dalam arti tertentu kolonialisme itu masih berlanjut sampai saat ini, meskipun secara resmi negara-negara yang dulu dijajah termasuk Indonesiaa menjadi negara merdeka, tapi relasi kuasa global tetap “ikut campur tangan” di negara-negara bekas jajahan. Kajian pascakolonial melihat bagaimana pembentukan budaya di negara-negara yang pernah dijajah atau masih dijajah, khususnya budaya yang berkaitan dengan feminisme, relasi gender, persoalan perempuan, konsep maskulinitas dan femininitas serta isu-isu lainnya.

Salah satu pemikiran feminis pascakolonial yang paling terkenal berasal dari India. Pemikiran ini menyindir laki-laki kulit putih yang menyelamatkan perempuan kulit coklat dari laki-laki kulit coklat. Pemikiran ini menyoroti anggapan bahwa perlu laki-laki kulit putih untuk menyelamatkan perempuan kulit coklat sedangkan laki-laki lokal diposisikan sebagai penindas. Dari hal tersebut bisa dilihat bahwa isu terkait gender terutama tubuh Perempuan dimanfaatkan sebagai legitimasi kolonial, dengan argumen bahwa pihak kolonial perlu melibatkan diri untuk menghentikan praktik yang merugikan perempuan. Banyak budaya di seluruh dunia kemudian dimanfaatkan sebagai bentuk legitimasi kolonial di negara atau budaya tertentu. Namun sayangnya, yang menjadi korban dari legitimasi ini adalah perempuan itu sendiri.

Dikarenakan kebanyakan fokus wacana kolonialis adalah isu-isu terkait tubuh perempuan maka kemudian banyak menimbulkan reaksi dari masyarakat pribumi. Praktik yang merugikan perempuan seakan-akan perlu dipertahankan sebagai bagian dari jati diri bangsa, agama, identitas diri, demi menjaga diri dari intervensi orang lain. Pribumi jelas tidak senang dengan perlakuan tersebut. Pihak pribumi kemudian memunculkan pertahanan secara emosional, kemarahan, dan ketersinggungan, karena merasa direndahkan secara terus-menerus.

Di Indonesia isu ini sudah sering digaungkan. Karya sastra masa kolonial yang menyinggung isu ini adalah novel karya dari Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dalam karya tersebut terdapat salah satu adegan yang menggambarkan tokoh perempuan bernama Hayati yang dipersoalkan gaya berpakaiann. Jadi hayati ini adalah seorang perempuan Minang yang asalnya dari kampung Lalu suatu saat ia ke kota. Di kota temannya sesama perempuan itu mempersoalkan mengenai pakaiannya yang dianggap kolot yaitu menggunakan pakaian kurung--temannya meminta hayati untuk mengganti pakaiannya menjadi yang lebih modern. Hayati berpakaian yang lebih terbuka, kekasihnya Zainudin kemudian marah dan mengatakan untuk apa hayati berpakaian seperti itu. Sedangkan ia sebenarnya adalah orang kampung dan seharusnya mempertahankan identitasnya tersebut.

Isu seputar tubuh perempuan memang menarik perhatian masyarakat yang kemudian tercermin dalam karya sastra. Katrin menjelaskan bahwa belum pernah ia menemukan pertarungan atau adegan serupa yang mempersoalkan otoritas tubuh laki-laki. Jadi dapat dilihat bahwa ada wacana yang dapat menjebak dan otomatis menjadi sangat emosional jika secara tradisional dilempar ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Lalu yang menjadi pertanyaan untuk kita “bagaimana menyikapi wacana yang rumit dan emosional ini?”. Salah satu strategi yang diberikan Katrin adalah mereproduksi wacana kolonial menjadi budaya lokal lewat media atau tulisan. Wacana-wacana kolonial ditulis dengan memperhatikan urgensi dan budaya lokal setempat.

Read 14018 times Last modified on Rabu, 21 Oktober 2020 20:58
46819234
Today
This Week
This Month
Last Month
All
447
53891
327601
343878
46819234