TRANSPORTASI PUBLIK DAN KEKERASAN BERBASIS GENDER Featured

Written by  Senin, 12 September 2022 15:21

Ilustrasi Artikel Perempuan Transportasi

  Tulisan ini akan dimulai dengan pertanyaan bagaimana kondisi tranportasi publik setelah adanya pemisahan gerbong untuk perempuan? Sejauh mana efektifitas kebijakan yang dibuat oleh perusahaan pemilik tranportasi umum untuk mencegah kekerasan seksual? Dan, apakah kebijakan transportasi yang sensitif gender akan lebih menjamin rasa aman dan nyaman bagi perempuan?.

Mobilitas masyarakat khususnya di kota-kota besar semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan untuk menjangkau kantong-kantong perekonomian. Akan tetapi tidak semua orang menggunakan kendaraan pribadi. Kemacetan di kota ditambah dengan pertimbangan biaya transportasi, menjadikan banyak orang memilih menggunakan transportasi umum. Terlebih pekerja perempuan yang jumlahnya cukup tinggi banyak yang menggunakan transportasi umum untuk alasan berhemat.

Satu dari dua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Itulah hasil Survei Nasional Koalisi Ruang Publik Aman yang rilis pada 27 November 2019. Data ini memang terhitung sudah sejak 2020 namun kekerasan di transportasi publik semakin meningkat di tahun 2022. Beberapa waktu lalu banyak muncul twitter kekerasan di transportasi umum khususnya di KAI salah satu contohnya adalah peristiwa pelecehan seksual yang viral diunggah dalam sebuah utas di Twitter sejak hari Minggu, 19 Juni 2022 lalu. Dalam Hal ini PT. KAI telah melakukan respon cepat dengan mem-blaclist penumpang yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan diata KA Argo Lawu. Kasus ini kemudian di respon cepat oleh PT. KAI yakni :

Screenshot_59.png

Respon cepat dari PT.KAI sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual hal ini mendapat respon baik dari masyarakat namun perlu kemudian dilihat kembali apakah langkah ini sudah tepat? Apakah ini membuat penyintas lebih nyaman? Langkah yang dilakukan oleh PT. KAI memang sebagai upaya pencegahan namun dalam hal ini belum efesien karena penyintas harus menghubungi petugas di suatu gerbong untuk melaporkan, sedangkan jika mengingat bahwa posisi saat menjadi penyintas adalah posisi yang cukup sulit sebab belum tentu mampu melaporkan karena masih trauma dengan kejadian. Hal ini menjadi PR seluruh penyedia fasilitas umum agar menyediakan ruang aman bagi penyintas tidak hanya pelaporan.

Menurut Catahu Komnas Perempuan yang dirilis pada 2021 banyak kasus kekerasan yang terjadi di ruang publik salah satunya adalah di Transportasi publik. Berangkat dari banyanya keresahan terkait kekerasan skesual di transportasi publik kemudian muncul kebijakan gerbong khusus memang dilatarbelakangi atas ketidak nyamanan dan tidak aman angkutan umum bagi perempuan. Adanya pemisahan bukan lantas dilihat sebagai pemisahan penumpang laki-laki dan perempuan. Sebenarnya tujuannya cukup sederhana yaitu ingin melindungi perempuan. Namun pelaksanaan di lapangan masih saja menemui banyak kendala. Baik ketidaktertiban pengawasan oleh petugas sehingga penumpang laki-laki bisa menyerobot masuk. Atau pula pilihan si perempuan sendiri

Screenshot_57.png

Gambar 0.1 Catahu Komnas Perempuan 2021

Data kasus kekerasan di ruang publik disusul dengan data pelaku kekerasan seksual yang memberikan penjabaran lebih lengkap terkait dengan pelaku kekrasan di tranportasi umum. Dan menurut Catahu Komnas Perempuan pada 2022 menujukan salah satu pelaku terbanyak adalah driver ojek online yang melakukan tindak kekerasan seksual. Semakin banyak jenis tranportasi umum makan semakin beragam pula jenis kekerasan seksual yang akan terjadi.

Screenshot_58.png

Gambar 0.2 Catahu Komnas Perempuan 2022

Tahun 2020 ini pelaku kekerasan seksual tertinggi adalah teman (330 kasus), yang kedua adalah tetangga (209 kasus) dan orang tidak dikenal (138 kasus) serta yang tidak teridentifikasi/tidak menjawab (120 kasus). Untukdata pelaku juga terlihat ada kenaikan dimana pelaku atasan kerja sebanyak 91 kasus dimana pada tahun sebelumnya55 kasus, kenaikan di dunia kerja ini menunjukkan meningkatnya keberanian korban untuk melaporkan atasan kerjanya sebagai pelaku kekerasan seksual. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa salah satu pelaku yang presentasenya tinggi adalah driver online.

`           Ketika kebijakan untuk pencegahan kekerasan seksual sudah dilangsungkan terlebih dalam segmen transportasi sudah disusun sedemikian rupa agar memperhatikan kepentingan perempuan, maka yang menjadi catatan penting perihal pelecehan seksual maupun kasus perkosaan dapat dicegah dengan mengonstruksi pola berpikir masyarakat sendiri. Perlu pelibatan kesadaran dan kemauan masing-masing individu untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak dan integritas tubuh orang lain khususnya perempuan. Memang upayapemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih sensitif gender telah banyak dilakukan. Namun, masih ada tugas besar ke depannya.

Pertama, meskipun telah ada inovasidalam kebijakan transportasi publik dengan penyediaan ruang untuk melindungi perempuan dan mengakomodasi kepentingan perempuan dalam kaitannya dengan peran gender yang diembannya, bukan berarti pemerintah tidak perlu meninjau kembali kebijakan-kebijakan lainnya. Kebijakan publik tidak sebatas penyediaan ruang publik, tetapi juga harus menyangkut manajemen proses dan struktur lain penunjangnya.

Kedua, menyoal gender bukan hanya mempersoalkan laki-laki dan perempuan tetapi juga perlu melihat kelompok-kelompok rentan seperti orang tua, anak-anak, dan difable. Dalam kaitannya dengan transportasi, inisiasi transportasi sensitif gender juga perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi kebutuhan kelompok-kelompok ini. Sebab, segala upaya pemerintah Indonesia selama ini untuk membuat kereta ataubus khusus perempuan agaknya kurang efektif jika tanpa dilengkapi dengan fasilitas untuk mereka yang berkebutuhan khusus seperti kemudahan akses untuk difable, fasilitas yang diutamakan untuk ibu hamil dan orang tua, pun ruang transportasi yang nyaman untukanak-anak.

Ketiga, jika kebijakan sudah dibuat tapi belum juga efektif maka perlu didukung dengan penyadaran masyarakat dari aspek kultural. Sebagai refleksi,maraknya pelecehan seksual dan perkosaan yang terjadi di tempat umum dapat dianggap sebagai sesat pikir persepsi masyarakat akan tubuh perempuan. Banyak oknum yang masih melihat perempuan dalam konteks seksualitas. Bagi pelaku, ini dapat menimbulkan hasrat untuk melakukan kejahatan seksual sedangkan bagi masyarakat lainnya dapat pula menimbulkan stigma negatif yang mengaitkan kejahatan dengan cara perempuan berpakaian. Perlu adanya penyadaran kepada masing-masing individu untuk menghormati dan memelihara hak-hak orang lain. Yang terpenting adalah selain kebijakannya juga masyarakatnya yang harus sensitif gender yaitu dengan menghargai dan peduli akan kepentingan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya.

Sumber :  Catahu Komnas Perempuan 2021

                 Rifka Media tahun Edisi 49

Read 8628 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:48
46397487
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2973
71295
249732
306641
46397487