Gerakan Sosial Baru dan Rifka Annisa: Sebuah Refleksi

Written by  Wakhit Hasim Minggu, 24 April 2016 14:43

Semula Rifka Annisa dicibir orang. Organisasi macam apa yang mengumpulkan beberapa perempuan campur baur mulai aktifis buruh, akademisi, seniman, sampai ibu rumah tangga ini? Apa yang mau dilakukan dalam gerakan perempuan?

Konteks Sosial

Agustus 1993, 5 tahun menjelang tumbangnya penguasa Orde Baru, Presiden Suharto, dia berdiri dan menempati sebuah gang di kompleks Sospol UGM: Blimbing Sari. Krisis moneter tahun 1997 belum terasa benar, namun rezim sudah mulai merasa lemah. Kekuatan Indonesia sebagai penghasil migas mulai menurun. Para mahasiswa yang semula ke luar negeri sudah banyak yang pulang, dan membawa ide-ide tidak hanya "pembangunanisme" tapi juga "kritisisme atas pembangunan". Beberapa mulai bersuara lantang sejak pertengahan tahun 70an: Mangun mendukung korban waduk Kedungombo; Arif Budiman cs mulai membangun wacana kiri; HJ Princen, Buyung Nasution, dan kawan-kawan mendirikan YLBHI melawan kesewenangan penguasa; gerakan mahasiswa se-iya sekata tanpa pandang agama melawan rezim melalui pers dan menguatkan diri dengan sembunyi-sembunyi kurusus Madilog dan Gersos Tan Malaka dan mendirikan SMID, Skephi, KMPD, dll; dan sayap buruh mulai diorganisir. Pers pun semakin kritis dan melawan pembredelan-pembredelan, untuk itu Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) berdiri. Para tetua mereka mendirikan INFID, khusus untuk memonitor apakah pembangunan on the track atau tidak, secara internasional.

Tahun 1980-an Gerakan Perempuan pun lahir: Yasanti sebagai sayap buruh di Jogja-Semarang, Kalyanamitra sebagai sayap wacana di Jakarta; PKBI menelisir dari isu yang besahabat tentang kesehatan reproduksi dan akhirnya hak reproduksi; LSPPA berdiri oleh aktivis mahasiswa Jogja yang sering nongkrong di perpus Hatta untuk memperkarakan pelanggaran-pelanggaran hak anak. Feminisme berdiri gagah melalui aktivis perempuan diantara gerakan sosial melawan rezim!

Pemerintah geram. Presiden mendekati kekuatan muslim karena modal kapital migas menipis. Kemarin mengejar-ngejar aktivis Islam, kini mendekati dan merayu. Sayap hijau militer didirikan. Ikatan Cndekiawan Muda Indonesia (ICMI) sebagai jalan cendekiawan untuk jadi menteri difasilitasi, ketua pertamanya adalah Menristek terbaik Indonesia yang muslim dan taat. Partai politik sudah lama difusikan dan dibersihkan dari anasir kritis, dia adalah mesin birokrasi, dengan gerbong lokomotif Golkar. Ormas diseragamkan, baik basis agama, masyarakat, mahasiswa, komunitas, di semua bidang.

Lalu bagaimana dengan Rifka Annisa? Mau membuka layanan konsultasi perempuan yang terkena masalah! Di telinga aktivis masa Suharto, ini terdengar seperti Darma Wanita dan PKK. Tidak keren sama sekali. Tidak feminis!!!!

Menjadi Sahabat Perempuan

Namun sebaliknya, pekerjaan menemani perempuan korban ini pada awal abad-21 terdengar akrab sebagai pusat alasan utama. Semua jenis kekerasan struktural dari berbagai arah analisis bertemu pada satu pusat : tubuh perempuan. Dan Rifka Annisa persis berurusan sejak awal dengan jantung feminisme.

Mulanya hanya konseling psikologis, ini ketika masih di kantor Blimbing Sari. Lalu ke penyadaran hukum, lalu ke support group antar korban, lalu ke jaringan penanganan: jurnalis dan media untuk pemberitaan dan rubrik konsultasi, polisi untuk penyidikan, jaksa untuk penuntutan, hakim untuk pemutusan, LSM untuk advokasi, rumah sakit untuk mengobati korban yang parah secara fisik. Ini ketika tinggal di Demangan, di lingkungan kampus IKIP, Atmajaya, Sanatha Darma dan IAIN Jogja. Rifka Annisa masih fokus pada soal Layanan Korban Langsung.

Gerakan perempuan mulai menerima kehadirannya. Juga masih sedikit memberi catatan "tidak feminis", karena tidak ada demo, tidak ada advokasi keras di depan militer dan kantor pemerintah. Penyedia Layanan itu pameo kuno dalam gerakan sosial: jebakan pada aktivisme praktis kurang strategis.

Melibatkan Keluarga dan Masyarakat

Masih di Demangan, ketika gagasan reveral system untuk layanan dirumuskan. Suwarni Angesti Rahayu sebagai direktur pertama (yang juga salah satu pendiri) memimpin delegasi ke Filipina untuk mempelajarinya. Program MoU dengan rumah sakit (Unit Pelayanan Perempuan - Panti Rapih) dan kepolisian (Ruang Pelayanan Khusus - 5 Polsek di Jogja) dibangun. Masyarakat mulai dilibatkan dengan mendirikan CBCC (Community Based Crisis Center) sebagai kepanjangan tangan Rifka. Jika ada banyak korban dalam sebuah masyarakat, maka keluarga mereka diundang untuk turut menyelesaikan (man/family involvement). Jika kasus mulai banyak maka diinisiasi membangun layanan bersama, untuk ditangani segera dan dilaporkan ke Rifka dan jaringan UPP-RS dan RPK-Polsek. Seputar Orde baru runtuh tahun 1998, bukan main ramainya aktifitas Rfka Annisa untuk melayani korban. Rifka Annisa relatif aman dari ancaman negara dan militer, karena isunya tidak terlalu ditengarai "runyam"; tapi tidak dengan kelompok agama. Rifka pernah digruduk oleh kelompok radikal yang curiga meracuni Islam dari dalam. Secara nama Rifka itu kelihatan islami.

Meniti Gerakan Sosial

Tahun 2004, Rifka Annisa sudah lama pindah ke gedung baru, Jl. Jambon Jatimulyo Jogja. Hal tersebut sudah 10 tahun sejak isu layanan langsung dan sistem rujukan dilakukan. Pengorganisasian sudah dilakukan untuk membangun crisis center kepanjangan tangan Rifka. Sampai di sini, Rifka Annisa berefleksi tentang siapa aktor dan siapa yang diuntungkan. Perempuan korban menjadi pokok analisis, layanan menjadi pokok respon tanggungjawab, kerjasama menjadi pokok strategi. Kurang apa?

Rifka Annisa sadar, aktor utama gerakan ini adalah ia sendiri. Maka, gerakan tidak menjadi gerakan, jika hanya kita sendiri yang melakukan. Perubahan yang diancangkan, yaitu masyarakat tanpa kekerasan, jauh tungku dari api. Capek ngurus korban, korban datang terus menerus. Ibarat memungut selamatkan bayi di sungai, pembuang bayi di hulu masih terus beraktifitas tanpa dapat dicegah. Dan korban semakin banyak, terutama setelah tahun 2005. Dua ratus persen lebih angka perempuan korban kekerasan meningkat. Pada waktu itu Rifka Annisa belum menggerakkan masyarakat, hanya membuat rumah sakit, menunggu korban datang. Sosialisasi dan pendidikan kritis masyarakat masih belum cukup. Talkshow radio dan televisi, ceramah di masjid dan gereja, sebaran leaflet, rubrik di media massa hanya memberi informasi akurat atas satu hal: Korban berduyun-duyun ke Rifka Annisa minta tolong. Apakah pelaku kekerasan bertaubat? Tidak. Bahkan ketika Rifka sudah membuat program khusus untuk laki-laki (man's program) dan bersama aktivis lain mendirikan Aliansi Laki-laki Baru.

Rifka Annisa lantas memploklamasikan diri "naik kelas”, dari Organisasi Pemberi Layanan, menjadi Organisasi Gerakan Sosial. Maka alat analisis diperbarui. Analisis politik ekonomi dikenalkan. Analisis gender diperluas menjadi "analisis ekologis" atas perempuan. CBCC dperluas dan diubah menjadi mandiri. Advokasi diperkuat dan bersama-sama dengan NGO lain melahirkan: (1) UUP - KDRT (2004); (2) UUP-TPPO (2007); (3) UU PA (2002); (4) Gender Mainstreaming (2001); (5) P2TP2A (2013); dan lain-lain.

Apakah korban kekerasan berkurang? TIDAK. Terus naik. Mengapa demikian?

Mengganti Strategi Sektoral Menjadi Strategi Geo Spasial

Tahun 2016. Dua hari lalu. Rifka Annisa tersadar secara kolektif, paling tidak dalam keputusan politik Rapat Umum Anggota mereka. Setelah 10 tahun evaluasi dan memproklamasikan gerakan perempuan, Rifka Annisa disadarkan atas kekeliruan analisis masalahnya. Analisis memahami masalah seperti analisis gender, analisis ekologis, tidaklah sama dengan analisis praksis yang lebih kompleks. Masyarakat bukanlah subyek yang dapat digerakkan dalam satu tarikan tali pengikat, masyarakat terdiri dari kompleksitas kelas yang berbeda-beda, dalam ruang geo kultur yang berbeda-beda. Program dengan isu tertentu hasil kerjasama dengan lembaga donor, bahkan dengan keaktifan partisipasi masyarakat yang baik selama ini, bukanlah satu jaminan "perubahan sosial" yang teguh. Karena masalah sosial terkait antara masalah satu dengan masalah lain, maka tidak bisa menyelesaikan "kekerasan terhadap perempuan" hanya dengan "membangun sistem layanan atasnya", bahkan ketika ditambah dengan "pendidikan kesadaran gender".

Itu tidak cukup. Praksis haruslah berpijak pada ruang masyarakat yang saling terkait ini. Analisis tidak dapat bersifat sektoral, tapi spasial. Pendekatan tidak dapat bersifat partisipatif semu, tapi harus partisipatoris melalui aksi pemetaan bersama. Undang-undang Desa dapat menjadi kekuatan untuk mendukung aksi partisipatoris untuk menguasai ruang-spasial ini. Laki-laki dan perempuan berbagi dalam sifat publik, untuk membangun masyarakat yang bebas dari kekerasan, dengan menyentuh aspek terdalam dari "kemungkinan yang menimbulkan kekerasan" bekerja dengan baik.

Maka secara manajemen ini butuh banyak perubahan. Masyarakat berubah dari target group menjadi subyek bersama. Masyarakat dari subyek pemberi layanan menjadi konstituen gerakan. Organisasi Rifka Annisa dari unitaris menjadi federative. Desa dari locus of program menjadi "political-cultural" sphere. Program dari bersifat sektoral dengan isu tertentu menjadi spasial struktural. Pendekatan dari pendampingan menjadi pengorganisasian. Positioning Rifka secara kelas sosial juga diperjelas: kelas menengah yang berpihak pada korban kekerasan. Analisis kelas dipertajam, memobilisasi kelas bawah dan menengah untuk perubahan sosial. Tanpa positioning yang jelas, gerakan sosial akan tidak jelas jluntrungnya: pijakan, arah, dan efektifitas kerjanya.

Saya bahagia dengan capaian ini, walaupun masih menunggu apakah Rifka Annisa dapat mengemban apa yang telah diputuskan kedepan. Walaupun untuk gerakan sosial secara umum telah ada yang melakukan strategi ini, terutama adalah INSIST - Yogyakarta yang menjadi guru, termasuk untuk institut kecil di Cirebon ISIF - Fahmina, saya belum mendengar gerakan perempuan yang melakukan ke arah sistematika gerakan model ini kecuali PEKKA yang sedang berbenah. Rifka Annisa dan PEKKA bisa saling berlajar.

Selamat untuk Pengurus dan Direktur Baru Rifka Annisa periode 2016-2018. Semoga menginspirasi gerakan sosial lain di Indonesia.

Cirebon, 15 Maret 2016

 

Wakhit Hasim,

Anggota Perkumpulan Rifka Annisa Jogja

Read 14622 times Last modified on Selasa, 25 Juli 2017 17:22
46780924
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4246
15581
289291
343878
46780924