Project by: USAID - Rifka Annisa - BPS - UNDP (Agustus, 2016)

Download laporan penelitian disini

 

Seorang penyintas korban KDRT menceritakan alasannya untuk tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan.

"Saya dipukuli, kepala dibenturkan ke kusen jendela depan rumah sampai babak belur, lalu dijongkrokin ke taman sampai jempol kiri patah," kata Ninin Damayanti, penyintas (survivor) kekerasan dalam rumah tangga, menceritakan kejadian saat suaminya melakukan kekerasan padanya beberapa tahun lampau.

Sebelum kejadian itu, Ninin juga pernah mengalami kekerasan yang cukup fatal sampai dia masuk rumah sakit. "Tapi ada pemaafan, saya berpikir dia bisa berubah kok, dia akan menjadi orang baru," kata Ninin kepada BBC News Indonesia.

Namun selama empat tahun Ninin hidup dengan perasaan was-was, "karena saya tahu KDRT itu siklus, saya khawatir itu akan terulang lagi tapi (saya berpikir) jalani saja, jalani saja karena faktor keluarga, anak," kata dia.

Ternyata kekhawatirannya beralasan: kekerasan itu terjadi lagi.

"Badan dilempar-lempar tidak karuan, ditarik, dijambak, dijedotin lagi sampai kena pot. Kira-kira itu yang saya ingat, sampai di rumah adik, baru saya melihat kok badan lebam-lebam biru, kepala berdarah, kaki benjut nggak bisa jalan," ungkapnya.

Saat kejadian, Ninin bisa berlari dan mengunci diri di kamar sambil menelepon adiknya untuk datang menjemputnya, sementara tetangga memanggil satpam untuk menghentikan suaminya (waktu itu) yang berusaha mendobrak pintu.

Kondisi itu yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk keluar dari hubungan dengan kekerasan tersebut .

"Saya memutuskan kalau dulu sudah pernah kejadian, dan ini kejadian lagi maka besok akan terulang lagi karena orang nggak akan berubah. Akhirnya aku memutuskan, cukup ya, tidak mau lagi," kata dia.

Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center, Suharti, menjelaskan bahwa ada banyak perempuan tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan, dengan berbagai alasan.

"Korban kekerasan mengalami dinamika psikologis yang luar biasa sehingga orang kadang heran, kenapa sih dia bisa berulang kali mengalami kekerasan tapi tetap memilih untuk berada dalam hubungan itu?" kata Suharti saat dihubungi oleh BBC News Indonesia.

Rifka Annisa menerima rata-rata 350 laporan kekerasan per tahun. Tapi jumlah ini bukan gambaran kasus kekerasan oleh pasangan yang terjadi di Indonesia.

Hanya sedikit sekali perempuan yang mau melaporkan kekerasan yang dialaminya ke lembaga layanan seperti polisi, pemuka agama, maupun lembaga bantuan hukum dan psikologis.

Menurut penelitian Rifka Annisa, di Papua, misalnya, hanya 7% perempuan korban KDRT yang mau melaporkan pasangannya ke polisi. Di Sleman, Yogyakarta, hanya 2% perempuan yang mencari pertolongan.

"Sisanya diam," kata Suharti.

Ninin misalnya, memilih untuk tidak melaporkan suaminya (kini sudah mantan) ke polisi meskipun sudah mengantongi bukti berupa visum dari dokter.

"Akhirnya tidak ke polisi karena masih kasihan, keluarganya gimana ya, kedua, saya tahu kondisi polisi Indonesia seperti apa. Yang ada saya malah jadi korban kedua kalinya karena akan dihakimi," kata Ninin.

Lapor polisi dan mengikuti seluruh proses hukum bisa menyita banyak waktu dan tenaga. "Siapa yang bisa bantuin saya?" Akhirnya, Ninin memilih perceraian sebagai jalan keluarnya, dengan perwalian anak di tangannya.

Menurut Suharti, berbagai riset menemukan bahwa lembaga layanan seperti polisi dan pemuka agama justru mendorong perempuan untuk kembali dengan pasangannya, masuk kembali dalam lingkaran kekerasan.

Pertimbangan para perempuan untuk tidak melaporkan sangat beragam. "Pertama, ketergantungan ekonomi pada pasangan. Kedua, takut dapat stigma dari masyarakat kalau keluarganya bukan keluarga baik, kalau dia tidak mampu menjadi istri yang baik, bahwa dia tidak mampu menjaga keluarganya," kata Suharti.

Kultur masyarakat yang sangat patriarkis dan menempatkan perempuan pada kelas kedua membuat perempuan korban KDRT juga kerap kali dihakimi oleh masyarakat sebagai penyebab terjadinya kekerasan.

"Misalnya, salahnya sendiri kamu nggak bisa melayani suami dengan baik, kenapa nggak nurut sama suami, dan lain-lain," kata Suharti.

Alasan lain yang membuat para perempuan tetap bertahan -kata Suharti- adalah ketakutan ditinggal suami dan menjadi janda. "Status janda di budaya kita punya label negatif dan mereka tidak siap menerimanya."

Tapi alasan yang paling sering dijumpai oleh Suharti adalah tetap bertahan demi anak, "Ada yang takut anaknya tidak memiliki sosok ayah lagi, takut melukai hati anaknya, dan segala pertimbangan tentang anak."

Ninin adalah salah satu yang mencoba bertahan karena anak.

"Dari pengalaman aku kenapa mau bertahan, pertama faktornya kalau sudah berkeluarga itu anak. Jalani saja karena anak. Ada pemaafan, ada excuse, dia bisa berubah kok," kata Ninin.

Kekerasan tak hanya terjadi dalam rumah tangga tapi juga bisa terjadi dalam hubungan pacaran.

"Saat pacaran konteksnya berbeda. Kebanyakan diam karena mereka mendapatkan ancaman," kata Suharti, yang pernah melakukan dua riset mengenai kenapa remaja tidak mau meninggalkan pacarnya yang suka melakukan kekerasan.

"Misalnya mereka pernah berhubungan seks, pacarnya mengancam kalau tidak menurut, itu akan dibocorkan. Bisa dibayangkan di dalam kultur budaya kita yang masih berharap perempuan suci, harus menjaga moralnya, sehingga dia memilih diam," kata Suharti.

Dalam banyak kasus, perempuan baru bicara ketika sudah ada dalam "situasi ambang batas".

"Situasi ambang batas ini yang membuat perempuan berani meninggalkan hubungannya yang penuh kekerasan, misalnya lukanya serius karena kekerasan pasangannya," kata dia.

Dukungan dari teman dan keluarga

Belajar dari pengalamannya, Ninin menjelaskan bahwa hal yang paling dia butuhkan saat menjadi korban KDRT adalah dukungan dari orang-orang di sekitarnya.

"Ketika itu adik mendukung, ibu mendukung saya dan tidak menyalahkan. Kan tidak semua keluarga bisa menerima itu ya, bisa saja memberi nasihat, 'sudah nikah, jalani saja," kenang Ninin.

Untuk membantu perempuan korban KDRT, lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman-teman harus mampu memberikan support positif.

"Memang tidak mudah, tapi kalau dia punya orang yang mendukung dan memahami kejadian yang diterimanya, akan lebih mudah keluar dari situasi itu," jelas Suharti.

Sebagai korban, Ninin merasakan sekali pentingnya dukungan orang-orang di sekitarnya, "Saat dalam fase pemulihan, saya trauma sekitar 6 bulan. Namun saat itu ada teman yg benar-benar mendukung sehingga saya merasa ada dalam lingkungan yang membuat nyaman, sehingga saya yakin bisa melalui ini."

Selain dukungan moral, perempuan juga perlu dukungan ekonomi.

"Dulu saya cukup berdaya karena saya bekerja, tidak terlalu susah mengambil keputusan karena merasa mampu menghidupi anak sendirian. Tapi ketika korban tidak punya penghasilan apapun, akan sulit bagi mereka untuk keluar," jelas Ninin.

Pada akhirnya, Ninin tidak menyalahkan mereka yang memilih untuk bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Dia yakin, mereka yang bertahan punya alasan kuat untuk melakukannya.

"Pilihan mereka harus dihargai. Memangnya kamu mau menanggung hidup dia? Kan nggak bisa, setiap orang punya pertimbangannya," kata Ninin.

Namun jika korban memutuskan bertahan, Ninin menyarankan mereka untuk melakukan persiapan dan tetap berani mengambil keputusan, "Dia harus siap jika suatu hari dia harus mengalami kejadian seperti saya, harus pergi dari rumah dengan keadaan terpaksa."

Persiapan itu termasuk punya tabungan rahasia, punya tempat evakuasi, menyimpan surat-surat penting seperti surat nikah, akta lahir anak sampai sertifikat rumah.

Anda tidak sendiri

Ninin Damayanti membentuk Break the Silence Indonesia, komunitas yang membantu korban KDRT. "Sekarang target saya adalah pemberdayaan. Kalau ada korban yang ingin bertanya soal KDRT, silakan, saya terbuka," kata dia.

Ninin dapat dihubungi melalui WhatsApp di 0813 8102 9206

Sedangkan Rifka Annisa punya nomor yang dapat dihubungi 24 jam: 085799057765 dan 085100431298.

 

Sumber artikel: BBC Indonesia

Senin, 23 Juli 2018 16:15

Terpapar HIV Dari Suami

Salam Rifka Annisa

Saya Ibu Aminah, pekerjaan saya pegawai negeri dan menikah sudah 18 tahun. Orang tua saya dulu pendatang, sedangkan keluarga suami adalah penduduk setempat. Sehingga bisa dikatakan bahwa saya tinggal di wilayah keluarga suami. Suami saya sendiri cukup ditakuti di sini, karena pembawaannya yang agak preman. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi mendapatkan warisan tanah yang cukup luas dari orang tuanya, apalagi dia anak tunggal.

Permasalahan rumah tangga sebenarnya sudah saya alami sejak awal menikah. Suami saya awalnya baik, namun lambat laun temperamennya kasar. Saya sering dipukul, dihajar, dicaci maki, itu sudah menjadi santapan sehari-hari saya. Terlebih suami sering judi, pergi lama dengan teman-temannya, dengan alasan mancing, ada proyek, dan lain sebagainya, ataupun sesekali pulang dalam keadaan mabuk.

Untungnya saya bekerja dan memiliki gaji. Kebutuhan sehari-hari, saya mengandalkan dari gaji. Satu lagi yang membuat saya sakit hati. Suami saya sering berselingkuh. Suatu saat, ada seorang Ibu yang memiliki anak, mengontrak salah satu rumah mertua yang bersebelahan dengan rumah saya. Suami saya sering ke rumah tersebut, bahkan pernah bermalam di sana. Lokasi rumah kami agak tersembunyi sehingga tidak begitu mencolok dilihat warga.

Saya malu kalau sampai hal itu diketahui orang. Diam-diam saya melaporkan pada mertua, yang akhirnya mereka menegur suami dan minta supaya Ibu yang mengontrak rumah itu pindah. Tapi akibatnya saya dibentak dan dipukuli suami. Anak saya 3 orang dan sudah lumayan besar. Yang paling kecil sekarang kelas 2 SMP, yang tengah kelas 1 SMA, dan yang paling besar kemarin sudah lulus SMK langsung kerja. Mereka tahu masalah tersebut tapi tidak mau ikut campur.

Semua kejadian demi kejadian saya terima dengan ikhlas, saya tutup-tutupi demi menjaga nama baik keluarga. Hingga kemarin suami saya sakit, dan kondisi kesehatannya terus menurun. Akhirnya dia mengaku pada saya bahwa dia sebenarnya sudah lama terinfeksi HIV. Mendengar itu saya sangat kecewa dan sedih. Saya lalu memberanikan diri untuk tes, dan ternyata saya juga positif HIV.

Sekarang saya merasa sudah tidak ada gunanya lagi. Semua sudah saya korbankan untuk keluarga ini, kenapa saya juga harus kena penyakit ini? Mohon sarannya saya harus bagaimana?

JAWABAN

Salam Ibu Aminah,

Kami ikut sedih membaca cerita yang Ibu sampaikan, dan terimakasih telah berbagi pengalaman hidup dengan kami. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Sebagian besar ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tidak tahu bahwa ada virus di dalam tubuhnya pada masa awal, karena tidak ada gejala khusus. Masa ini disebut masa tanpa gejala, dan ini bisa terjadi bertahun-tahun lamanya.

HIV membunuh satu jenis sel darah putih yang disebut CD4, yang berfungsi melawan infeksi. Jumlah CD4 pada orang normal sehat berkisar antara 500 sampai 1.500. Saat terinfeksi HIV jumlah ini biasanya turun terus. Jika jumlah CD4 turun di bawah 200, ini menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh kita cukup rusak sehingga infeksi oportunistik dapat menyerang tubuh. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan karena tubuh kita tidak mampu melawan kuman penyakit yang masuk ke tubuh. Itu berarti sudah sampai masa AIDS. Tes penunjang yang lain adalah TLC (Total Lymphocyte Count), tes ini murah dan dapat dilaksanakan di hampir semua laboratorium. Pada orang sehat, TLC normal kurang lebih 2.000, sedangkan jika kadarnya 1.000-1.250 biasanya serupa dengan jumlah CD4 kurang lebih 200.

Namun, kabar baiknya adalah Ibu mendeteksi adanya virus tersebut sejak dini. Karena, ada banyak upaya dapat dilakukan untuk memperpanjang masa tanpa gejala, bahkan tidak perlu mengalami fase AIDS. Salah satunya adalah menahan sistem kekebalan tubuh agar tetap sehat dengan memakai obat antiretroviral (ARV). Menjalani cara hidup yang baik dan seimbang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan memperpanjang masa tanpa gejala, termasuk makan makanan bergizi, kerja dan istirahat seimbang, olahraga teratur, serta tidur yang cukup. Sebaiknya juga hindari perilaku yang beresiko bagi kesehatan seperti merokok, mengkonsumsi narkoba maupun alkohol.

Untuk layanan perawatan HIV lebih lengkap, Ibu bisa ke Rumah Sakit tempat Ibu melakukan tes, ataupun Puskesmas. Umumnya jika menyediakan layanan tes HIV yang disebut VCT (Voluntary Counseling Testing), juga dilengkapi dengan layanan CST (Care Support Treatment), yang di dalamnya akan ada pendamping yang memberi keterangan lebih lengkap tentang terapi dan perawatan HIV serta memberi dukungan agar Ibu dapat hidup bersama dengan virus HIV.

Ibu tetap bisa hidup normal dan beraktifitas seperti biasa, karena virus ini tidak mudah menular. Dia hanya menular melaui pertukaran cairan tubuh seperti darah, air mani, vagina, maupun ASI. Sedangkan aktifitas hidup yang lain seperti bersalaman, berpelukan, batuk, bersin, memakai peralatan rumah tangga bersama, gigitan nyamuk memakai fasilitas umum bersama, tetap aman untuk dilakukan. Jadi tetaplah berpikir positif dan tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Memang pada umumnya masyarakat masih memandang negatif dan memberi stigma pada Odha, namun jika Ibu menemukan orang yang dapat dipercaya, ada baiknya berbagi cerita tentang situasi tersebut agar memperoleh reaksi positif dan dukungan yang bermanfaat bagi pemulihan kondisi psikologis Ibu.

Ini juga merupakan momentum yang tepat untuk mendiskusikan tentang kondisi rumah tangga Ibu dengan suami. Ibu memiliki hak untuk membuat keputusan juga dalam rumah tangga. Apalagi dalam situasi ini, Ibu dan suami perlu bekerja sama dan saling mendukung untuk dapat hidup bersama dengan virus ini. Termasuk, merencanakan masa depan anak-anak. Suami perlu mengambil bagian untuk bertanggung jawab pada keluarga. Jika pembicaraan tersebut tidak dapat mencapai kesepakatan, Ibu dapat meminta bantuan dimediasi oleh pihak ke tiga. Misalnya, keluarga besar, teman, ataupun konselor keluarga. Kami di Rifka Annisa memiliki layanan untuk konseling laki-laki dan konseling pasangan.

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu dan semoga Ibu tetap sehat dan menjalani kehidupan dengan bahagia.

 

Sumber: Harian Jogja, 21 Juli 2018

Kampus menutupi kasus pelecehan seksual dan lebih memilih solusi "kekeluargaan."
 
 
tirto.id - “Mbak, sedang di kampus, enggak?” Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat di Universitas Indonesia, mengisahkan ulang satu cerita dari mantan mahasiswinya. Siang itu ia tiba-tiba ditelepon.

“Ini di kampus. Eh, kamu apa kabar?” Upi, panggilan sehari-harinya, kebetulan sudah lama tak mendengar kabar si mahasiswi itu, yang memang sudah lulus.

“Boleh jemput aku di depan, enggak?” 

Upi heran saat ditanya begitu, tapi tak terkejut.

Bekas mahasiswinya itu lanjut bertanya tentang beberapa nama. “Ada orang ini, enggak? Ada orang ini, enggak?” 

Upi enggan menyebut nama-nama tersebut, “Terus aku bilang, enggak ada, enggak ada. Tapi dia tetap enggak berani turun dari taksi. Sampai aku samperin."

Mahasiswi yang identitasnya dirahasiakan Upi itu adalah korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsi pada 2008. Meski sudah lama terjadi, trauma itu masih menghantuinya. Efek trauma ini yang akhirnya menjadi alasan penting untuk merahasiakan identitas sang mahasiswi.

Upi termasuk salah satu dosen UI yang punya perhatian pada masalah pelecehan seksual di kampus. Selain mengajar, ia menggagas Komunitas Ungu di kampus yang berfokus pada isu-isu feminisme, salah satu mata kuliah yang diampunya. Ia dekat dengan para mahasiswa dan tak jarang menerima sejumlah aduan kasus pelecehan seksual.

Pelakunya beragam: dosen, asisten dosen, sesama mahasiswa, hingga orang luar kampus seperti pacar.

Kebanyakan mahasiswa memang cuma ingin bercerita. Sedikit sekali yang berani menyebut nama atau bahkan berniat melaporkan pelaku. Kebanyakan dari korban takut dianggap "lebay", meski sebenarnya rikuh dan trauma.

“Ada juga yang bilang, 'Kalau sampai dilaporkan, kasihan mahasiswa yang ambil skripsi jadi enggak ada pembimbingnya.' Karena sebagian prodi memang punya dosen terbatas. Mindset mereka masih di sana: 'Kasihan dosennya, kasihan mahasiswa lain.' Bahkan kebanyakan berpandangan berlebihan aja kalau sampai melapor,” ujar Upi.

Cerita Upi serumpun dengan temuan kami. Para korban pelecehan seksual di kampus yang kami wawancarai punya alasan serupa. Sebagian besar tak pernah melaporkan pengalamannya karena melindungi identitas diri dari stigma.

Yasmin—bukan nama sebenarnya—yang berkuliah di salah satu kampus di Medan, menuturkan bahwa ia mendapatkan perlakuan mesum oleh dosen pembimbingnya. Tapi ia merahasiakan ceritanya karena enggan dianggap "lebay." 

Menurutnya, orang-orang belum tentu percaya dengan ceritanya, dan justru bisa jadi menyerang balik dirinya. “Nanti saya pula yang disebut gatal (ganjen). Orang-orang Indonesia memang masih suka menyalahkan perempuan kalau dalam kasus-kasus gitu,” kata Yasmin.

Sikap Kampus Lamban

Sebagaimana terjadi di lingkungan lain seperti transportasi publik, taman, sekolah, tempat kerja, rumah—lingkungan kampus tak lepas dari tempat kejadian pelecehan seksual. 

Hierarki dan sistem birokrat dalam dunia akademik menciptakan "relasi kuasa" yang bisa dimanipulasi sehingga rentan dipakai untuk hal-hal negatif, termasuk kesempatan melecehkan dan melakukan kekerasan seksual.

Hal itu diutarakan Lidwina Inge Nurtjahyo, pengajar di Fakultas Hukum UI, yang berfokus pada kasus-kasus pelecehan seksual di kampus. 

Menurutnya, mengapa kasus-kasus ini belum bisa diatasi dengan hasil memuaskan karena isu pelecehan seksual di kampus "belum jadi prioritas universitas, dan belum dianggap serius." Tak ada lembaga khusus yang dibikin universitas atau fakultas untuk setidaknya jadi wadah konseling atau penerimaan aduan, ujarnya.

“Di UI, cuma ada wadah konseling untuk semua kasus. Enggak ada yang spesifik tentang pelecehan atau kekerasan seksual. Setahu saya juga di universitas-universitas besar lain belum ada,” kata Lidwina.

Hal sama didapati dalam temuan Rifka Annisa, organisasi nirlaba yang konsen pada hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta. Belum ada kampus di Yogyakarta yang punya aturan soal pelecehan seksual, termasuk mengatur sanksi bagi pelaku. Kebanyakan kasus-kasus yang terungkap cuma diselesaikan lewat jalur damai, tanpa sanksi yang jelas.

Berdasarkan pengalaman Ikhaputri Widiantini, dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di kampus, kira-kira hanya 1 dari 10 laporan yang berhasil mendapatkan perhatian, dan pelaku dikenakan sanksi.

Ia mencontohkan salah satu kejadian di UI pada 2016. Sebut saja Lila, seorang mahasiswi yang dirahasiakan namanya, mendatangi dosen pembimbing sendiri. Ternyata dosen itu memang punya reputasi mesum. 

Lila sama sekali tak menyangka bakal menghadapi hal buruk. “Seharusnya enggak ada masalah. Tapi terjadi tindak pelecehan lagi. Anak ini langsung lapor ke kaprodi,” ujar Upi, panggilan akrab Ikhaputri.

Dosen itu akhirnya dihukum skorsing karena kasus tersebut jadi perhatian himpunan mahasiswa satu prodi. Mereka kompak bikin petisi menolak diajar dosen tersebut.

“Karena ada kekuatan mahasiswa, dekanat jadi turun tangan. Akhirnya dihukumlah. Tapi hukumnya cuma skorsing. Cuma enggak boleh ngajar di departemen, tapi boleh di jurusan lain. Dia tuh sekarang jadi ngajar di mata kuliah umum. Sekarang se-universitas ada,” cerita Upi. 

Padahal dampak terhadap si mahasiswi tak main-main. “Skripsinya sampai sekarang belum selesai. Berantakan, sampai ganti judul.”

Pendekatan 'Kekeluargaan'

Ketiadaan peraturan standar tentang pencegahan dan penanganan kasus kejahatan seksual di kampus sering berakhir lewat jalur “kekeluargaan”. 

Pendekatan "damai" macam ini lebih banyak merugikan korban dan membebaskan pelaku. Tak banyak kasus yang akhirnya terkuak, atau bahkan jadi tuntutan mahasiswa seperti kasus Lila. Meski sering terdengar di kampus, faktanya kita jarang mendengar kasus-kasus ini disantap media.

Cuma ada dua kasus paling besar yang sempat jadi berita nasional: kasus Sitok Srengenge pada 2013 dan kasus EH pada 2016.

Srengenge dituduh memperkosa RW, seorang mahasiswi, sampai hamil. Sempat ditetapkan sebagai tersangka, perkenalan Srengenge dengan RW bermula dari kegiatan kampus yang mengundangnya sebagai juri. Kasus ini berlarut-larut lantaran kepolisian menyatakan "kekurangan bukti." Pada April 2014, kasus ini diwartakan tetap berlanjut, dengan tuduhan pasal berlapis sekalipun pelaku tidak ditahan. Namun, kasus ini masih berjalan di tempat. 

EH, pengajar di Universitas Gadjah Mada, diberitakan oleh The Jakarta Post pada Juni 2016 sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap mahasiswi bernama Maria. Dalam sesi konsultasi pada malam hari, Maria dikejutkan EH yang menggerayangi payudaranya dan menempelkan penis ke tubuhnya. 

Korban EH bukan cuma Maria. Dalam surat pembaca ke The Jakarta Post, Margaretta Sagala, mantan mahasiswi EH, juga menceritakan pengalaman buruk.

“Ironisnya, EH adalah orang yang mengajari saya teori-teori feminis. EH tahu bahwa kebanyakan korban pelecehan seksual tidak akan melapor,” tulis Margaretta. 

Ironisnya, menurut sejumlah mahasiswa yang kami tanyakan di lingkungan UGM, EH masih bekerja dan hadir di kampus. Menurut Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto, EH cuma diberi sanksi pemberhentian mengajar sementara dan tak diizinkan membimbing skripsi.

'Lebih Mementingkan Nama Baik Kampus'

Lidwina Inge Nurtjahyo berpandangan bahwa status PNS dosen memang sering kali jadi alasan kampus memberi sanksi melempem. Padahal penting bagi korban agar dijauhkan dari pelaku selama masa pemulihan diri. Sikap kampus yang lamban mengatasi kasus-kasus pelecehan seksual menjadi cermin kampus masih lebih mementingkan nama baik institusi ketimbang nasib mahasiswanya, terang Lidwina.

Seorang PNS memang cuma bisa dipecat secara tidak hormat jika yang bersangkutan telah sah terbukti melakukan pelanggaran pidana oleh pengadilan. Sementara hukum Indonesia sering tumpul dalam kasus perkosaan. Apalagi untuk kasus-kasus pelecehan seksual yang pembuktiannya rumit.

Erwan Agus Purwanto berkata "tidak bisa" melakukan pemecatan kepada dosen yang melakukan kekerasan seksual sebab kewenangan itu ada pada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ristekdikti dan Badan Kepegawaian Negara. 

“Bisa saja rekomendasi sampai ke sana tapi ada tahapannya, dari penonaktifan sampai konseling ke lembaga, yang bisa konseling untuk memperbaiki sikap,” ujar Erwan.

Menurut Sofia dari Rifka Annisa, tanggung jawab universitas adalah melindungi para mahasiswanya. Birokrat kampus seharusnya paham posisi sebagai penjamin keamanan civitas akademika. Namun, kampus lebih mementingkan citra baik, sehingga mengungkapkan secara terbuka kasus-kasus pelecehan seksual ini dianggap "aib." 

Lidwina mengatakan institusi kampus belum homogon untuk "zero tolerance" mengatasi endemi pelecehan seksual. “Kampus juga seperti dunia luar. Isinya tidak homogen. Terutama tentang isu ini,” katanya. Menurutnya, masih banyak orang yang sulit paham bahwa pelecehan ini berdampak parah sebab menyerang psikologi korban. 

Rifka Annisa menyarankan semua kampus punya pusat krisis, semacam tempat pengaduan bagi mahasiswa korban pelecehan seksual, baik oleh dosen maupun sesama mahasiswa. 

Ikhaputri Widiantini mengusulkan kampus setidaknya harus menyelipkan klausul khusus pelecehan seksual sebagai sebuah kebijakan, yang faktanya tak dimiliki kebanyakan kampus. 

UI dan UGM, misalnya, menangani aduan-aduan pelecehan seksual hanya lewat Dewan Etik, yang akhirnya tak bisa memberi sanksi tegas terhadap para pelaku.

“Baiknya bukan cuma klausul. Tapi juga ada pelatihan. Dosen, kan, sering ada pelatihan penulisan. Kenapa enggak ada pelatihan etika, misalnya tentang pelecehan seksual?” ujar Ikhaputri.



 
Sumber artikel: Tirto.id

Reporter: Dipna Videlia Putsanra & Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam

Ada budaya terstruktur yang bikin pelecehan seksual di kampus langgeng dan susah dilawan.
 
tirto.id - Nyaris tak ada institusi yang merekam secara khusus tentang kejahatan seksual di kampus-kampus di Indonesia. Informasinya sporadis, muncul saat kasus itu menjadi sorotan media, atau mencuat dari sejumlah testimoni lewat blog-blog pribadi, dengan kerahasiaan yang rapat.

Hal macam itu juga jadi kekurangan dalam artikel kami: minim data yang komprehensif mengenai kasus ini membuat kami kesulitan mengidentifikasi seberapa sering prevalensi kasus-kasus kejahatan seksual di kampus, siapa para pelakunya, dan siapa para korbannya. Data macam ini sangat penting bagi kami untuk mengelaborasi dan menguatkan ungkapan yang sering kami dengar saat menulis subjek ini: bahwa pelecehan seksual di kampus terjadi "marak", bahwa kasus ini sudah jadi "rahasia umum kampus".

Meski begitu, ada sejumlah individu dan beberapa lembaga nirlaba yang punya perhatian atas subjek yang sama. Saya bertemu Putri Salsa, koordinator utama HopeHelps—organisasi nirlaba yang dibentuk para mahasiswa Universitas Indonesia yang berfokus pada isu kekerasan seksual di kampus. 

Penggiat organisasi ini tak cuma sering melakukan sosialisasi tentang isu tersebut, tapi juga membuka diri sebagai wadah penerima aduan, bahkan menyediakan jasa advokasi bagi para korban. Namun, pendataan HopeHelps juga masih belum rapi. Mereka memang merekam semua laporan yang datang, tapi belum diolah tertib.

Seingat Salsa, ada 30 kasus pelecehan seksual yang terekam terjadi di UI selama 2015-2016. Sementara setahun terakhir jumlahnya lebih dari 10 kasus. “Tapi, belum diklasifikasikan: mana laporan yang memang datang dari UI, mana yang datang dari orang luar,” ujarnya.

Laporan-laporan itu bersifat rahasia. Dari total belasan pengurus utama, tak semua anggota HopeHelps bisa mengakses laporan pengaduan tersebut. Hal ini dilakukan karena identitas korban sangat dilindungi, terang Salsa. Tak semua yang datang ke mereka menuntut advokasi. Kebanyakan justru hanya ingin bercerita, dan enggan menyebut nama pelaku.

“Dan itu harus dihormati banget. Siapa kita untuk maksa korban harus berbuat apa? Dia tetap orang yang paling harus dihormati keputusannya,” terang Salsa.

Data-data itu amat penting. Sebab banyak kampus menyimpan fenomena "bungkam". 

Dari penelusuran Tirto di beberapa kampus terkenal di Indonesia, setidaknya ada lebih dari selusin mahasiswa yang bercerita pernah jadi korban pelecehan oleh dosen mereka. Ini tidak termasuk beberapa orang yang menolak berbagi kisahnya. 

Kampus-kampus itu secara terpisah punya tabiat buruk yang terendus sebagai sebuah pola, yakni memelihara dosen-dosen mesum sebagai rahasia umum. Tak heran, kasus kejahatan seksual di kampus memang lebih jarang terdengar beredar di media ketimbang kasus kejahatan seksual kepada anak.

“Di negara kita, kekerasan seksual sering dikaitkan dengan moralitas, apalagi kalau terjadi pada perempuan dewasa. Kalau pada anak-anak, jelas semua orang pasti mengutuk pelaku. Tapi, kalau perempuan dewasa biasanya sangat erat dengan konteks moral dan agama,” ujar Sophia Hage, salah satu pendiri Yayasan Lentera Sintas Indonesia, organisasi nirlaba yang fokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

'Takut Disalahkan'

Berdasarkan survei yang pernah dilakukan Lentera, sebanyak 1.636 orang dari 25 ribu responden (lebih dari 6 persen), mengatakan pernah dipaksa, diintimidasi, dan diancam melakukan aktivitas seksual atau pemerkosaan. Dari jumlah itu, sekitar 93 persen korban pemerkosaan memutuskan tak melaporkan kasus. Bahkan, para penyintas mengaku mengisi survei Lentera sebagai pengakuan pertama mereka sebagai korban kekerasan seksual.

Survei yang dilakukan Lentera itu bekerja sama dengan Magdalene dan Change.org adalah satu-satunya data yang mengungkap alasan para penyintas enggan melapor.

Kekerasan seksual, ujar Sophia Hage, kerap terjadi karena ada ketimpangan kuasa. Di kampus, peristiwa ini biasa terjadi antara dosen dan mahasiswa. Dengan mudah dosen akan mengintimidasi mahasiswa lewat otoritasnya. Semisal menahan skripsi, menolak jadi pembimbing studi akhir dan sebagainya. Apalagi jika dosen tersebut punya prestasi dan ternama di kampus.

“Jadi, jika orang punya pilihan untuk membela, orang lebih akan mendengar si dosen atau publik figur ini daripada korban,” ujar Sophia, yang juga seorang dokter.

Namun, selain jebakan relasi kuasa yang kuat dalam birokrasi kampus, "takut disalahkan" menjadi alasan paling tinggi bagi penyintas untuk memilih bungkam. Hal ini terjadi karena “sistem victim-blaming” yang masih tinggi di lingkungan manapun, termasuk kampus.

Komentar seperti "makanya jangan keluar malam", "siapa suruh meeting sama dosen itu di hotel," atau "makanya pakai baju yang sopan"—adalah contoh respons yang sering datang jika seorang perempuan bercerita tentang pengalaman pelecehan yang ia terima. Alasan lain, penyintas takut minim dukungan dari keluarga, dan malah dianggap sebagai "aib." Belum lagi jika ada ancaman dan intimidasi dari pelaku.

'Budaya Perkosaan'

Masih marak budaya menyalahkan korban, menurut Zerlina Maxwell, seorang kolumnis, feminis, dan analisis politik, dalam tulisannya bertajuk "Rape Culture is Real" di Time, adalah salah satu ciri sebuah masyarakat yang masih melanggengkan budaya perkosaan.

Rape culture alias budaya perkosaan merujuk pada fenomena ketika perkosaan dan kekerasan seksual sering terjadi dan dinormalkan atau dianggap biasa. Teori ini berkembang pada 1970-an di Amerika Serikat. Dalam buku Against Our Will: Men, Women, and Rape (1975), Susan Brownmiller menggambarkan pemerkosaan sebagai proses intimidasi secara sadar oleh laki-laki kepada perempuan, lewat peran penting mereka yang ditopang patriarki. Tujuannya, agar perempuan terus berada dalam ketakutan.

Teori budaya perkosaan melihat pemerkosaan sebagai gejala yang sudah dianggap umum dan normal dalam masyarakat, dibentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis, buah dari ideologi patriarki. Dalam ideologi itu, perempuan dan segala yang feminin ditempatkan di bawah kepentingan pria dan apa pun yang dianggap mewakili maskulinitas.

Maka, dalam kasus pelecehan, seringkali ada stigma lebih besar kepada para korban (mayoritas perempuan) ketimbang kepada para pelaku (mayoritas laki-laki).

“Semacam standar ganda, yang anehnya cuma berat di korban,” kata Ikhaputri Widiantini, pengajar di Universitas Indonesia yang fokus pada masalah pelecehan seksual di kampus. 

“Lebih sering korban yang disuruh membuktikan dia diapain aja, bukannya pelaku yang dituntut membuktikan kalau dia memang beneran enggak salah,” tambah dosen yang biasa dipanggil Upi.

Stigma-stigma yang melekat pada korban pelecehan memang seringkali berat. Maka, wajar jika banyak dari mereka yang akhirnya takut bercerita. Perempuan, sebagai kelompok korban paling besar, akhirnya memilih diam dan memaklumi pelecehan yang mereka alami.

Tambahan lagi, menurut Putri Salsa, masih banyak perempuan yang misoginis dan gagal paham bila mereka adalah korban.

Keputusan Korban Harus Dihormati

Putri Salsa berkata dari pengalamannya di HopeHelps, lebih banyak korban enggan memperpanjang perkara karena takut dianggap "lebay" atau pencari masalah. Keputusan ini tak bisa dikucilkan. Sebab, dampak trauma yang mereka rasakan tak bisa diremehkan. 

“Kadang, tanggapan orang-orang bisa bikin dampak yang lebih traumatis daripada pengalaman (pelecehan) yang dia (korban) rasakan,” kata Salsa. Sehingga ketakutan para korban untuk menceritakan pengalamannya sangat perlu dihargai.

“Kirim pesan yang benar dulu, bahwa korban diposisikan sebagai korban. Dan pelaku harus sadar bahwa perlakuannya tidak benar,” tambahnya.

Sophia Hage dari Lentera menekankan bahwa keputusan korban yang menolak menceritakan kejadian yang dialaminya harus dihormati, sebab memaksa korban bercerita sama halnya melakukan kekerasan juga kepada mereka.

“Ketika kita memaksa korban berbicara, kita kembali mengambil kontrol terhadap korban atas peristiwa yang terjadi pada dirinya, padahal yang kita inginkan adalah mengembalikan kontrol tersebut," ujar Sophie. "Jadi, kalau kita memaksa korban melapor, siklus kekerasannya tidak putus.” 

Itu sebabnya, menurut Sophia, pendekatan kepada korban kekerasan seksual bukan memaksa, melainkan memberdayakan korban untuk bicara. Dan keputusan itu tetap ada di tangan korban.

“Ketika korban memutuskan untuk bicara, dia merasa bahwa dia tidak terancam dan terpaksa. Keputusan yang diambil memang dengan penuh kesadaran, tahu konsekuensi dan menjalani itu karena dia ingin,” ujar Sophia.

Sofia Rahmawati, konselor dari Rifka Annisa, sebuah pusat krisis dan lembaga nirlaba yang berfokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan berbasis di Yogyakarta, menyarankan agar korban mendatangi lembaga-lembaga nirlaba seperti mereka atau lembaga serupa. 

Lembaga-lembaga ini memiliki terapis dan konselor yang sudah terlatih. Korban akan dipulihkan secara psikologis dengan jaminan kerahasiaan identitas. Namun, keputusan untuk ingin atau tidak konseling tetap tergantung penyintas. Lembaga seperti Rifka tidak bisa memaksa.

Menurut Sophia Hage, kampus perlu membuat campus crisis center atau tempat pengaduan bagi mahasiswa yang jadi korban pelecehan seksual. Organisasi-organisasi macam HopeHelps setidaknya harus disediakan di tiap fakultas, dengan dukungan kebijakan yang kuat. 

“Sampai terwujudnya campus crisis center itu masih panjang, masih banyak PR yang harus dikerjakan," ujar Sophia. Sembari menunggu itu, tambahnya, kampus harus punya aturan soal pelecehan seksual. 

"Jadi, yang diatur itu bukan perempuan saja, tapi juga laki-lakinya, bahwa pelecehan seksual itu salah dan menimbulkan trauma berkepanjangan untuk korban."

Namun, sebelum itu, kampus perlu terus mendidik diri dan paling penting: mengakui budaya perkosaan itu memang ada dan perlu ditangani segera.

========

Sumber artikel: Tirto.id

Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam

46435017
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1340
14689
287262
306641
46435017