11 Korban Kekerasan Terhadap PRT Setiap Harinya, RUU PRT Harus Segera Disahkan Featured

Written by  Firda Ainun Ula Jumat, 09 Februari 2024 14:54

Wacana Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) berjalan hampir dua dekade sejak Sejak 2004 RUU PRT telah masuk daftar pembahasan di DPR dan bahkan beberapa kali masuk dalam Program Prioritas Legislasi Nasional. Namun, hingga kini belum juga disahkan.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) bisa dikatakan adalah salah satu jenis profesi tertua di dunia. Dalam struktur masyarakat yang patriarkis jenis pekerjaan ini dianggap sebagai bagian dari tugas alamiah perempuan yang bersifat pelengkap dan karenanya tidak bernilai ekonomis. Pada perkembangannya, seiring dengan kebutuhan dan permintaan tenaga kerja perempuan di ruang publik, terjadi pergeseran pekerjaan rumah tangga menjadi bagian dari pekerjaan sektor jasa yang berbayar. Namun, pergeseran ini tidak serta merta mengubah persepsi tentang pekerjaan ini, apalagi terkait standar kerja layak dan perlindungan bagi pekerjanya.

Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012-2019 terdapat lebih dari 3.219 kasus yang dialami oleh PRT dengan bentuk-bentuk antara lain: kekerasan psikis (isolasi dan penyekapan), fisik, ekonomi (penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, gaji karena sakit, tidak dibayar THR), dan perdagangan orang. Artinya setiap harinya ada 10-11 PRT yang berpeluang mengalami kekerasan, artinya jika sehari saja penundaan terhadap pengesahan UU PRT akan membiarkan 10-11 PRT mengalami kekerasan.

Kekosongan payung hukum PRT semakin rentan mendapatkan ancaman dan diskriminasi dalam pekerjaannya terutama bagi PRT perempuan. Ancaman dan perlakuan seperti kekerasan baik psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia banyak menimpa PRT Indonesia. Salah satu kasus kekerasan PRT yang menyita perhatian ialah kasus Maryati yang dibunuh majikan karena dituduh mencuri roti. Mayatnya pun dikubur di halaman rumah majikan tersebut. Belum lagi kasus mengenaskan dari PRT lainnya.

PRT memiliki kerentanan mulai dari kerentanan terhadap diskriminasi dan kekerasan sekaligus keadaan PRT yang tidak memiliki jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan serta terabaikan dari skema bantuan nasional, tidak memiliki akses Pendidikan, ditambah lagi lapis kerentanan PRT bertambah dengan ancaman kehilangan pekerjaan tanpa gaji dan pesangon yang membuat PRT semakin sengsara. PRT tidak mampu melarikan diri dari berbagai tindak kekerasan karena posisi mereka yang rentan, tidak terlindungi hukum secara penuh, dihantui rasa malu atau takut, tidak memiliki uang dan tidak mengenali lingkungan tempat tinggal kerja sehingga mereka tidak mendapatkan kebebasan dan terpinggirkan sebagai pekerja di dalam rumah tangga. Selain itu, kasus-kasus PRT yang terjadi di Indonesia menunjukkan kelalaian pemerintah dalam memenuhi hak-hak warga negara khususnya hak-hak para PRT yang dapat mengakui dan melindungi mereka sebagai pekerja dalam sektor informal yakni dalam rumah tangga.

Selama ini PRT tidak dipayungi secara hukum dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja. Di masyarakat Indonesia, PRT jarang disebut pekerja, namun seringkali disebut pembantu. Hal ini terjadi karena banyak anggapan bahwa PRT berada di sektor informal sehingga para PRT ini enggan secara formal meminta relasi kerja dengan majikannya. Oleh karenanya pengesahan RUU Perlindungan PRT memiliki urgensi yang besar agar dapat memberikan payung hukum secara optimal. Hal ini menjadi penting untuk bersama-sama kita respon dan dukung untuk mengupayakan pada langkah-langkah hukum untuk melindungi, melakukan penyadaran hukum dan aksi untuk melindungi PRT dari segala tekanan dan juga peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh pemberi kerja, serta pembentukan Pusat-Pusat Pelayanan seperti serikat pekerja sebagai wadah dalam memfasilitasi PRT agar dapat memenuhi hak-hak sebagaimana mestinya.

Read 3893 times
46412599
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1369
86407
264844
306641
46412599