Kekerasan seksual bukan hanya masalah perempuan, melainkan juga masalah laki-laki. Kekerasan seksual terjadi dalam sebuah budaya yang masih melanggengkan toxic masculinity atau karakteristik maskulinitas yang bermasalah. Meskipun tidak semua laki-laki berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual, namun praktik-praktik maskulinitas yang berlebihan membuat laki-laki lebih beresiko terlibat dalam budaya yang melanggengkan kekerasan seksual.
Dalam buku Sexual Assault in Context: Teaching College Men about Gender, Christopher Kilmartin (2001) menjelaskan karakteristik yang cenderung dimiliki oleh pelaku kekerasan seksual, sebagai berikut:
Pertama, penerimaan dan internalisasi ideologi maskulinitas secara berlebihan dan melihat perempuan sebagai pihak yang dimusuhi atau dikuasai. Namun bukan berarti semua laki-laki yang bersikap seperti itu adalah pelaku, namun kebanyakan pelaku kekerasan seksual cenderung seperti itu.
Kedua, meskipun tidak selalu, beberapa kasus kekerasan seksual memiliki motif untuk balas dendam dan pembuktian bahwa posisi pelaku tidak terkalahkan. Dalam pengalaman Rifka Annisa menangani kasus-kasus kekerasan seksual, motif balas dendam ini tidak begitu terlihat pada pelaku. Kekerasan seksual dapat terjadi karena pelaku merasa inferior atau rendah diri sehingga untuk pembuktian superioritasnya ia melakukan pemaksaan secara seksual kepada perempuan. Dalam konsep maskulinitas, laki-laki itu harus superior, kondisis inferioritas dianggap sebagai sebuah ancaman bagi laki-laki. Sementara serangan secara seksual dipilih karena dianggap hal tersebut adalah cara paling mudah untuk menjatuhkan dan menguasai perempuan.
Ketiga, pelaku kekerasan seksual umumnya mempercayai mitos-mitos tentang perkosaan (rape myth) atau keyakinan tertentu terkait seksualitas. Misalnya, sebagaimana dijelaskan di http://rapecrisis.org.uk, perempuan pantas diperkosa karena ia dianggap menggoda atau memakai pakaian yang mengundang pelaku untuk memperkosa. Pelaku juga menyimpulkan, ketika seorang perempuan tidak menghindar atau melawan ketika terjadi pemaksaan untuk berhubungan seksual, berarti ia menikmatinya. Selain itu, ia juga menganggap bahwa jika dua orang, laki-laki dan perempuan, sekali pernah melakukan hubungan seksual maka tidak apa-apa untuk selalu berhubungan seksual lagi.
Keempat, pelaku pernah mengalami kekerasan fisik, psikologis dan seksual di masa kecilnya. Pengalaman kekerasan di masa kecil semakin memperbesar resiko seseorang untuk melakukan kekerasan di masa mendatang.
Kelima, pelaku merasa berhak untuk berhubungan seksual atau melampiaskan hasrat seksual ke perempuan karena mereka melihat perempuan sebagai objek seksual.
Keenam, pelaku mengikuti norma-norma sosial yang berkembang dalam kelompok laki-laki. Misalnya, laki-laki yang pernah berhubungan seksual dengan banyak perempuan akan mendapatkan status yang lebih dibandingkan teman-temannya. Laki-laki akan dituntut untuk selalu siap berhubungan seksual kapan pun dan perempuan harus selalu memenuhi keinginan itu tanpa berkata “tidak”. Bagi laki-laki melakukan hubungan seks dengan perempuan adalah juga membuktikan bahwa mereka bukan gay atau homoseksual. Laki-laki melihat hubungan seks sebagai serangkaian tugas dan teknik semata daripada hubungan perilaku antara dua orang.
Meskipun adanya maskulinitas yang berlebihan, budaya seksis dan tekanan kelompok, sebenarnya tidak semua laki-laki rentan menjadi pelaku. Kebanyakan laki-laki justru tidak melakukan kekerasan seksual, tetapi mereka juga tidak melakukan apa-apa ketika sebagian kelompoknya masih terjebak dalam perilaku kekerasan seksual.
Laki-laki Bisa Cegah Kekerasan Seksual
Namun demikian masih sedikit sekali laki-laki yang menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang mereka hadapi. Laki-laki seringkali mengabaikannya, mengecilkannya dan bahkan mengindarinya. Kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai masalah perempuan, sehingga keterlibatan laki-laki dalam masalah ini masih sangat kecil.
Masih rendahnya keterlibatan laki-laki dalam upaya penyelesaian maupun pencegahan kekerasan terhadap perempuan ini, juga terkait dengan masalah bagaimana kekerasan terhadap perempuan itu dipahami sebagai persoalan di masyarakat. Misalnya tentang bagaimana kekerasan terhadap perempuan itu diselesaikan, siapa yang harus bertanggung jawab, bagaimana kekerasan dipandang sebagai hal yang lumrah dan bagaimana masyarakat memisahkan ruang publik dan domestik itu sebagai urusan laki-laki dan perempuan. Semua itu berpengaruh pada sejauh mana laki-laki akan terlibat dalam upaya-upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat.
Bagaimana laki-laki bisa terlibat mencegah kekerasan seksual? Laki-laki bisa mengubah situasi sosial mulai dari diri sendiri dan kelompoknya dengan berperilaku respect pada perempuan, tidak melakukan perilaku atau candaan yang seksis, tidak menonton/menyebarkan pornografi dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan budaya yang melanggengkan maskulinitas negatif, mengobjektivikasi perempuan dan mempertontonkan kekerasan.
Selain itu, laki-laki juga harus menyadari bahwa maskulinitas berlebihan akan berdampak negatif bagi diri mereka. Jika begitu, laki-laki tidak akan dengan mudah bertindak yang membuat orang lain tidak nyaman atau membahayakan orang lain. Mereka harus berani berkata tidak atau mengintervensi jika menyaksikan ada perempuan mengalami kekerasan.
Laki-laki perlu memiliki skill untuk bisa mempengaruhi dan mengajak kelompok laki-laki lain untuk tidak melakukan kekerasan seksual pada siapa pun termasuk perempuan. Laki-laki dapat mengedukasi sesama laki-laki tentang gender dan maskulinitas positif. Dengan berlaku sebagai peer educator, laki-laki dapat membuat perubahan di dalam kelompoknya dan menyebarkan perubahan lebih luas ke masyarakat.
-----------------------
*Tulisan ini pernah dimuat di Rifka Media edisi 67 November 2016-Januari 2017
Penulis:
Defirentia One M
Program Development Officer - Rifka Annisa