Selasa, 07 Agustus 2018 15:47

Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Sedangkan menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Kemenkes, 2014).

Salahuddin dalam (Fitria, 2016) menjelaskan bahwa menurut pandangan behaviorisme, sifat-sifat manusia tidak ada yang turun temurun. Semua aspek individu bisa diatur dan bisa dikondisikan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak. Artinya cara anak beradaptasi dan hidup dalam sebuah lingkunganlah yang menentukan sikap dan sifat anak. Keluarga adalah lingkungan pertama yang memberikan anak pondasi untuk menuju kehidupan yang sesungguhnya. Keluarga sebagai tempat pertama kali anak diberikan sosialisasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak secara tidak langsung mempengaruhi perilaku anak terhadap orang lain.

Mastumoto dalam (Fitria, 2016) pola asuh adalah budaya yang dipandang sebagai kebiasaan, sikap atau perilaku, budaya sendiri merupakan sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap keluarga mempunyai pola asuh anak yang berbeda-beda. Bahkan seringkali, ada perbedaan pola asuh antara anak laki-laki dan perempuan. Pada anak perempuan lebih ditekankan pada penanaman norma-norma kesopanan dan susila serta kepantasan dalam bergaul. Pada anak laki-laki lebih pada etika pergaulan sosial yang berhubungan dengan loyalitas pada kelompok dan nilai-nilai masulinitas yaitu kekuatan fisik dan persaingan. Jika anak laki-laki mempunyai permasalahan dengan temannya yang berjenis laki-laki maka alternatifnya adalah melakukan perlawanan fisik (Hasyim, dkk, 2007). Hal ini yang kemudian terbawa hingga dewasa.

Dengan dalih melindungi, anak perempuan seringkali tidak diperbolehkan untuk keluar sendirian dan harus ditemani karena rentan terhadap kejahatan. Sebaliknya anak laki-laki lebih dibebaskan ketika pergi keluar karena dianggap bisa menjaga dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan beberapa anak merasa tidak adil. Bahkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Fitria, 2016) karena kebebasan yang diberikan, anak laki-laki cenderung memiliki egosentrisme yang menyebabkan mereka menjadi lebih individualis.

Dalam hal ini, keseimbangan sifat feminim dan maskulin dalam pengasuhan harus dipahami oleh orang tua, agar anak laki-laki tidak tumbuh menjadi anak yang hanya mengandalkan kekuatan fisik dan anak perempuan tidak selalu merasa lemah dan rendah diri. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Meliputi sifat kemandirian, kekuasaan, kerja dll (Demartoto, 2010). Sedangkan feminim menurut Nauly (2003) merupakan ciri-ciri atau trait yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan, seperti keibuan, lemah lembut, penyayang dll.  Berikut solusi untuk menyeimbangkan konsep maskulin dan feminim kepada anak (Sujadi, 2010).

  1. Memberikan kesempatan anak untuk melakukan tugas di rumah, baik yang biasanya dilakukan oleh ibu dan biasa yang dilakukan oleh ayah, tetapi dengan tetap memperhatikan minat dan kemampuan masing-masing
  2. Tidak harus bertukar peran misalnya perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki dan sebaliknya, namun berbagi peran, saling bantu dan saling dukung dalam keharmonisan
  3. Memberikan contoh pemecahan masalah tidak harus dengan emosi yang negatif

 

Referensi

Demartoto, A. (2010, 08 10). Konsep Maskulinitas dari jaman ke jaman dan citranya oleh media. Retrieved from http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/maskulinitas-ind1.pdf

Fitria, N. (2016). Pola Asuh Orang Tua Dalam Mendidik Anak Usia Prasekolah Ditinjau Dari Aspek Budaya Lampung . Jurnal Fokus Konseling Volume 2 No. 2, Agustus 2016 Hlm. 99-115.

Hasyim, N., Kurniawan , A. P., & Hayati, E. N. (2007). Menjadi Laki-Laki ; Pandangan Laki-Laki Jawa Tentang Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Rifka Annisa.

Kemenkes. (2014). Kondisi Pencapaan Program Anak Indonesia .

Sujadi, E. (2010). Gender Harmony. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

--------------------------

Ditulis oleh Muflikhah dan Dwi Utami, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

Disclaimer: Opini dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merepresentasikan sudut pandang Rifka Annisa secara keseluruhan.

46836782
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5192
10790
345149
343878
46836782