Selasa, 13 Maret 2018 16:12
Beberapa waktu yang lalu kita semua dikejutkan dengan terbongkarnya jaringan kekerasan seksual terhadap anak (pedofilia) yang sudah menjalankan aksinya semenjak tahun 2016. Kejahatan ini dilakukan menggunakan media sosial facebook dengan akun “Official Candy’s Group” yang dijalankan oleh 4 admin asal Indonesia, yaitu Wawan (27) SHDW (16), DS (24), DF (17) . Kasus ini begitu menghebohkan dan menyita perhatian publik lantaran anggora akun facebook yang mencapai 7.479 orang dan telah memiliki jaringan pedofilia di 9 negara. Bisa dikatakan group tersebut merupakan jaringan komunitas pedofil terbesar yang pernah terungkap di negeri ini. Anak-anak yang menjadi korban pedofilia dari jaringan tersebut jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan anak. Selain akun tersebut para pelaku juga menjalankan akun serupa dengan nama “Official Loli Candy’s 18+” dan disinyalir masih banyak akun-akun serupa yang beum terungkap.

Masifnya jumlah korban karena didalam group tersebut terdapat ketentuan bahwa anggota (member) diwajibkan untuk mengirimkan foto atau video tindak pelecehan dan pencabulan terhadap anak. Konten yang dikirimnyapun harus selalu baru dan tidak boleh dari anak yang sama. Anggota yang mengirimkan foto tindak kejahatannya akan diberi upah Rp. 15.000,-tiap kali ada yang mengklik foto tersebut. Dari proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kemudian diketemukan setidaknya ada 500 film dan 100 foto yang memuat kelakuan bejat para pedofil beserta sharing pengalaman dari para predator anak tersebut.

Terbongkarnya jaringan pedofilia yang sudah memakan korban ribuan anak tersebut menjadi fakta yang menambah panjang rentetan kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia. Selain itu apa yang dilakukan oleh para pelaku juga mengindikasikan bahwa jaringan pedofilia telah berkembang meluas dan kian mengkhawatirkan. Mengapa hal tersebut terjadi dan berulang serta bagaimana menyikapi hal tersebut.

Perlu diketahui bahwa dalam konteks kekerasan seksual terhadap anak (pedofilia) merupakan salah satu bentuk penyimpangan perilaku seksual yang tidak saja didorong oleh hasrat seksual melainkan juga sangat dipengaruhi oleh faktor cara pandang (perspektif) pelaku tentang diri dan terhadap orang lain. Dalam pandangan pelaku pedofil, maka anak yang menjadi korbannya merupakan obyek dari penyimpangan seksualnya.  Dengan cara demikian maka dia akan menemukan cara mengekspresikan kuasa dan kendali (kontrol) seksual atas diri korban. Mengapa pelaku merasa harus mengekpresikan kuasa dan kontrol seksualnya kepada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor psikologis salah satunya karena mengalami krisis kepercayaan diri yang kronis, sehingga mereka mencari anak-anak yang dalam banyak hal lebih inferior dibanding mereka, dan untuk mendapatkan kepercayaan dari korban maka rata-rata pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. Melihat dari karakteristik pelaku yang demikian maka tindakan yang hanya meghukum (dipenjara) atau tindakan perampasan kemerdekaan fisik  lainnya tidak banyak berarti jika tidak diikuti upaya rehabilitasi yang serius atas perspektif dalam diri pelaku.

Selain itu pedofilia juga dapat dikatakan sebagai kekerasan yang memiliki kemungkinan sangat besar untuk menjadi bersiklus dan berulang jika tidak tertangani dengan baik. Wawan yang manjadi pemillik akun jaringan pedofilia Official Candy’s Group dan menjadi pelaku pedofilia juga diketahui memiliki riwayat menjadi korban kekerasan seksual diwaktu kecil. Hal ini menjadi linear dengan beberapa kajian yang menyebutkan bahwa orang yang pada masa keiclnya pernah mengalami kekerasan memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku kekerasan ketika mereka sudah dewasa. Bak penyakit menular, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ribuan anak yang menjadi korban jika tidak tertangani dengan baik dan serius maka dapat bermetamorfosis menjadi palaku dengan jumlah yang sangat banyak.  Untuk itulah pemulihan yang tuntas atas korban pedofilia menjadi sangat penting.

Dengan melihat konteks kejahatan dan dampaknya yang begitu mengerikan maka tak berlebihan jika maraknya pedofilia yang mengancam anak-anak di Indonesia merupakan persoalan luar biasa (extra ordinary) sehingga harus ditangani dengan serius dan tuntas.  Atas dasar melindungi segenap bangsa indonesia maka Negara memiliki kewajiban menjawab persoalan tersebut melalui kebijakan yang komprehensif dan bermanfaat. Pengaturan pidana yang sekarang ini ada baru sebatas pada bagaimana pelaku itu dihukum namun belum mampu menyentuh pada aspek rehabiitasi perilaku maupun hak-hak pemulihan bagi korban. Untuk itu Kebijakan terkait kekerasan seksual utamanya terhadap anak (pedofil) harus paling tidak memiliki tiga arah tujuan penting yaitu: Adanya pencegahan, pemulihkan korban, Penghukuman yang mampu memberikan efek jera (diterent effect) dan merehabilitasi perilaku. Nampaknya tujuan tersebut belum nampak dalam politik hukum pengaturan tentang kekerasan seksual di negeri ini. Untuk itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang komprehensif harus segera didorong untuk segera dibahas dan disahkan sebagai salah satu bagian ikhtiar konstitusional dan politik hukum dalam menghapuskan kekerasan seksual (Pedofil) terhadap anak  di Indonesia.
 
 
Rubrik Rifka Annisa, Harian Jogja 9 November 2017
 
-----------------
Tentang penulis:
Triantono SH MH adalah Research and Legal Officer di Lembaga Rifka Annisa
46777303
Today
This Week
This Month
Last Month
All
625
11960
285670
343878
46777303