Jumat, 20 Oktober 2017 13:21

Film Spotlight bukan lagi sebuah cerita yang baru didengarkan. Film Spotlight yang merupakan karya Tom Mc Carthy berdasarkan skenario yang juga ditulisnya bersama Josh Singer, menjadi sebuah film yang begitu populer dan menarik hati banyak penonton. Karya Tom Mc Carty dan Josh Singner ini memang benar-benar mengguncang dunia dan membuat orang bertanya-tanya apakah kejadian demikian memang benar-benar ada di kalangan rohaniawan. Namun cerita Spotlight ini menjawab semua pertanyaan penonton dan membuka segala bentuk kejahatan tersebut secara terpampang.

Film ini menceritakan kejahatan yang dilakukan oleh para pastur yang berada dalam sebuah institusi keagamaan. Dalam film ini juga sangat terlihat jelas begitu banyaknya orang yang ingin selalu melindungi pihak agamawan walaupun diketahui kesalahan yang dilakukan begitu jahat bahkan sampai media ternama saja tetap melindungi pelaku kejahatan pelaku. Pada dasarnya kejahatan yang dilakukan sang pastur tersebut telah diketahui banyak orang tetapi sikap yang ditujukan terhadapnya ialah kebebasan dan pembungkaman bagi para korban.

Isu yang berpotensi kontroversial tersebut membuat penyelidikan ini dijegal beberapa tantangan. Tak semua narasumber mau membeberkan apa yang sebenarnya terjadi, seolah-olah ini adalah hal yang tabu dibahas sekalipun sebenarnya mereka tahu itu bentuk kriminalitas. Yang lebih mengejutkan adalah jumlah kasusnya ternyata sangat banyak, terjadi sejak lama dan menyebar ke berbagai kota di AS. Namun, kasus tersebut ditutup-tutupi secara sistematis oleh institusi terkait dan pihak berwajib, tanpa penyelesaian secara hukum. Awalnya, tidak ada seorangpun yang berani melakukan atau melaporkan kejahatan atau skandal yang dilakukan oleh sang pastur itu. Selama bertahun-tahun kejahatannya tetap terkunci dari profesi yang dilakukannya, hingga akhirnya seorang editor baru Boston Globe yang bernama Marty Baron memiliki semangat yang begitu tinggi untuk melakukan investigasi terhadap kasus yang dilihatnya tersebut. Dia pun berhasil menggali kisah pencabulan yang dilakukan sang pastur yang diyakini sebagai pihak rohaniawan dan dipandang mulia atau kudus.

Latar belakang penulisan film Spotlight ialah berangkat dari kisah nyata yang terjadi di gereja Katolik di AS. Apabila melihat dari kenyataan maka tentu masih banyak lagi kasus-kasus yang tersembunyi di kalangan gereja mulai dari kekuasaan yang tinggi, sistem kepemimpinan yang sangat hirarki hingga kasus pelecehan seksual. Kasus-kasus tersebut seakan tersembunyi rapat di bawah karpet. Di sisi lain, film Spotlight tidak hanya ditayangkan untuk menemani hari-hari kita melainkan film ini juga mengajarkan kita untuk menarik makna seperti dalam kehidupan nyata diantaranya:

1.      Sebagai pendorong bagi korban untuk lebih berani mengungkapkan kebenaran

Kehidupan rohaniawan memang sering dianggap sebagai kenyataan yang sangat benar dan tentu tidak ada kekerasan yang dialami atau dilakukan karena diyakini berbau ke-Tuhanan. Namun apakah sebenarnya demikian?, Tidak semua kalangan pihak rohaniawan benar-benar memiliki tanggung jawab akan profesi yang diembannya seperti yang dialami oleh sang Pastur dalam Film Spotlight tersebut. Namun, ketika banyak masyarakat yang mengalami hal demikian dalam institusi agama maka lebih sering dimaklumi karena diyakini bahwa si rohaniawan sedang “khilaf” walaupun sesungguhnya pelaku melakukan kejahatan itu dengan pemikiran yang waras dan sadar. Ketidakmampuan korban untuk bersuara dalam melaporkan kejadian yang dialaminya tentu akan sangat mempersulit diri sendiri untuk membebaskannya dari keterbelengguan. Bahkan jika korban juga telah melakukan pelaporan maka seringnya pihak-pihak media yang menyembunyikannya demi nama baik suatu institusi apalagi jika institusi tersebut sudah merupakan sebuah institusi ternama dan tertua. Maka kecil peluang bagi korban untuk mendapatkan kebebasan yang diharapkannya.

2.      Mengungkap kejahatan di balik relasi kuasa atas profesi ahli agama

Memiliki profesi sebagai ahli agama membuat banyak masyarakat berpikir bahwa seseorang tersebut benar-benar mulia dan benar-benar baik. Memang setiap latar belakang tidak menjadi suatu acuan untuk menentukan kesuksesaan seseorang dalam mengemban profesi yang dimilikinya. Tetapi jika tidak melupakan segala bentuk masa lalu yang buruk maka akan mempengaruhi kehidupan atau profesi yang diembannya. Pelaku kekerasan bisa berasal dati berbagai profesi dan latar belakang.

Melakukan pencabulan terhadap anak-anak adalah sebuah tindak kejahatan. Hal tersebut akan menjadi sangat kontroversial jika pelakunya berasal dari oknum agamawan. Sebab, masyarakat sudah terlanjur memiliki keyakinan untuk mendidik anak dalam kehidupan relijius yang diyakini dapat mendidik moral sang anak untuk lebih baik. Tetapi ternyata apa yang diharapkan oleh orangtua tidak selamanya sesuai dengan apa yang terjadi. Seorang rohaniawan pun bisa dimungkinkan untuk melakukan kejahatan jika sang rohaniawan tersebut tidak benar-benar  mengabdikan diri dan mengingat janji kesuciannya ketika ia ditahbiskan untuk menjadi seorang rohaniawan.

3.      Kebenaran akan menemukan jalannya

Pepatah mengatakan bahwa ‘kebenaran akan tetap menjadi kebenaran” merupakan pegangan yang baik bagi orang-orang yang memiliki keprihatinan khusus bagi korban-korban pelecehan seksual. Tidak pandang bulu siapa pelaku kejahatan karena prioritas utama dalam kehidupan ialah kebenaran yang nyata. Dalam Alkitab dikatakan “Tuhan menguji orang benar dan orang fasik, dan Ia membenci orang yang melakukan kekerasan” (Mazmur 11:5). Dalam ayat ini jelas terlihat bahwa pertolongan bagi para korban kekerasan tentu ada yaitu melalui orang-orang yang benar-benar memberikan perhatiannya kepada para korban walaupun banyak kalangan yang menolak dan menentang tetapi hal yang perlu diketahui bahwa Allah melihat setiap kekerasan terhadap siapapun dan tidak mengampuni peristiwa itu. Para korabn juga tidak harus diam atau mengubur rasa sakit dan trauma. Tetapi harus mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya.

------------------

Lamtiar D J Tambunan adalah mahasiswa magang di Rifka Annisa. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi "Biblevrouw HKBP" Medan, Sumatera Utara.

*Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan posisi resmi dari Rifka Annisa.

Kamis, 27 Juli 2017 13:00

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kasus di sekolah saya. Begini ceritanya. Ini bukan masalah sepele tapi masalah yang sangat dipastikan dapat merugikan berbagai pihak. Anak muda jaman sekarang beda sekali dengan anak muda jaman dulu. Kata orangtua, anak jaman dulu selalu mempertimbangan resiko yang akan diterima ketika melakukan berbagai tindakan, sedangkan anak jaman sekarang sifatnya maunya muluk-muluk tanpa berikir panjang dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Itu menurut saya, mungkin dari kalian ada yang tidak sependapat.

Saya amati di berbagai berita, remaja masa kini sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Didukung dengan kemajuan teknologi, justru banyak masalah yang ditimbulkan seperti pornografi, bullying, terjebak pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain. Mereka ini kan merupakan masa depan bangsa yang merupakan aset yang paling berharga. Namun mereka malah terjebak dalam suatu situasi yang menghilangkan potensi bahkan tidak ada kualitas untuk menjadi penerus bangsa.

Hamil di luar nikah adalah suatu hal yang mungkin banyak terjadi. Lebih parahnya lagi mereka masih pelajar di bawah umur yang masih jauh untuk memikirkan pernikahan atau berkeluarga. Remaja perempuan yang hamil di luar nikah biasanya selalu mengambil jalan pintas untuk aborsi. Ia tidak memikirkan bayi yang telah mereka ambil hidupnya. Perbuatan yang akan membebani hidupnya nanti. Namun, saya juga paham, bahwa si perempuan pasti berada dalam situasi yang sangat sulit, tidak ada yang mau mengerti atau membantu mencari solusi sehingga mengambil solusi yang beresiko.

Saya adalah seorang pelajar sebuah sekolah menengah di Gunungkidul. Awal mula kasus ini adalah ketika tahun ajaran baru 2016. Dua siswa kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang baru masuk sekolah awal tahun lalu sudah lama menjalin hubungan dari kelas satu. Pada semester dua kelas dua ini ada sebuah kegiatan pembelajaran yang disebut PKL (Praktik Kerja Lapangan). Menurut saya, kegiatan ini adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh para pelajar SMK. Karena apa, dengan mengikuti kegiatan ini bisa menjadi ajang pamer.

Ya betul, pamer. Kegiatan ini adalah kegiatan untuk para siswa agar merasakan langsung kerja di sebuah industri. Pengawasan yang minim dan langsung percaya pada guru atau kepercayaan orang tua pada anaknya di luar sana menjadi salah satu faktor penyebab hal-hal yang sangat merugikan. Lagi pula didukung dengan uang saku yang diberikan orangtua umumnya sangat berlebihan sehingga disalahgunakan untuk hal-hal negatif.

Komunikasi antar kedua siswa ini tidak pernah henti. Suatu saat perempuan dan laki laki mengetahui tempat PKL masing-masing dan saling memberi tahu posisi tempat tersebut. Selanjutnya, perkembangan teknologi dan lemahnya pengawasan orangtua atas handphone anak menjadi faktor berikutnya. Handphone seperti menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan remaja masa kini.

Batas waktu PKL adalah tiga bulan. Dua bulan, hubungan mereka berjalan dengan komunikasi lewat handphone yang sangat lancar dan lemahnya pengawasan dari guru maupun orangtua. Suatu ketika mereka membuat janji untuk bertemu di tempat yang sudah mereka tentukan. Mula-mula mereka bersapa malu seperti orang yang baru kenal. Semakin lama semakin nyaman dan mulai ada keganjalan dan tangan usil mereka. Bukan pertemuan yang menyenangkan, tapi karena nafsu semua terasa menjerumuskan.

Kegiatan PKL telah selesai. Saatnya kembali ke sekolah, terasa seperti kembali lagi menjadi siswa baru di sekolahnya. Hari demi hari terus berjalan, mulai ada tanda-tanda dari siswi perempuan itu. Dia sering kali menyendiri atau murung, bahkan dia juga pernah bolos sekolah. Tak perlu waktu lama, guru menjenguknya. Setelah diselidiki secara detail dan juga hasil tes dokter akhirnya dikatakan bahwa si perempuan ini positif hamil.

Akhirnya guru berunding untuk mengembalikan anak ini kepada orang tuanya kembali. Sedangkan siswa laki laki juga dikeluarkan dari sekolahnya. Sekolah pun sedikit demi sedikit berbenah walaupun berjalan dengan lambat. Mulai mengadakan acara keagamaan, mengundang organisasi anti kekerasan dan lain-lain. Harapannya akan mengurangi kasus-kasus yang menjengkelkan seperti ini.

Masalah seperti ini sering terjadi berawal mula dari pacaran. Pacaran menurut saya hanyalah pengungkapan suatu gengsi atau pamor melalui hubungan antar lawan jenis. Tapi apa hasilnya? Mereka hanya membuang waktu yang seharusnya menjadi sebuah petaka yang mengincar secara pelan. Kadang orang terdekat malah menjadi salah satu bahaya yang mengintai. ‘Mendekap erat agar menancapkan pisau sedalam mungkin’. Buat apa pacaran jika pada akhirnya malah menyakitkan dan menimbulkan kerugian? Ini bukan hanya tentang mereka, tapi juga sebuah renungan bagi saya, kalian dan kita semua. Kita, anak muda harus bisa berpikir tentang baik buruknya.

Jadi pada dasarnya kita sebagai pemuda penurus bangsa harus selalu berpikiran positif, Jangan selalu mengutamakan gengsi dan meningkatkan pamor dengan hal-hal yang negatif. Katakan tidak pada kekerasan anak, kejahatan seksual dan narkoba dan lain-lainya. Sudah sepantasnya kita sebagai pemuda bangsa mengisi keseharian kita dengan hal hal yang bemanfaat dan meraih prestasi dengan baik dan memuaskan. Kita pasti bisa! []

Oleh Hima Beng2 (Pelajar di Gunungkidul)

 

*Hima Beng2 adalah nama inisial dari penulis yang disamarkan untuk melindungi privasi dan kerahasiaan karena menceritakan kasus yang sensitif.

**Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya merupakan sudut pandang dan tanggung jawab penulis.

Selasa, 25 Juli 2017 22:50

WATES - Kasus kekerasan seksual pada anak di Kulonprogo setiap tahun terus meningkat. Beberapa hal ditengarai menjadi penyebabnya, seperti budaya yang menganggap perempuan sebagai objek seksual, kesepian, sampai penetrasi internet yang semakin masif sehingga akses ke pornografi semakin terbuka.

Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kulonprogo mencatat, pada 2015 terjadi 15 kasus kekerasan seksual, meningkat menjadi 23 kasus pada 2016. Sedangkan sampai Juni 2017 telah terjadi 16 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual bahkan menduduki peringkat pertama untuk segala macam jenis kekerasan di Bumi Menoreh.

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinsos P3A Kulonprogo, Woro Kandini menyatakan, pelaku kekerasan seksual pada anak cukup beragam. Begitu pun jenis dan umur anak yang menjadi korban. "Jenisnya cukup mengerikan untuk diceritakan. Pada 2017, di Kulonprogo telah terjadi empat kasus ayah kandung yang memperkosa anaknya sendiri. Belum lagi kasus lain seperti seseorang yang memperkosa anak tetangga atau yang mencabuli temannya sendiri. Bahkan pada Maret lalu, ada anak usia tiga tahun yang menjadi korban," ucap Woro Kandini, Jumat (21/7).

Woro Kandini menyebut, ada berbagai hal yang membuat kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat, salah satunya pandangan sebagian masyarakat yang menganggap perempuan sebagai objek seksual. "Tayangan konten porno di internet juga menjadi satu penyebab, karena sangat memengaruhi perilaku seseorang. Tapi ada juga penyebab lain seperti kesepian dan lainnya. Penyebabnya memang cukup beragam tapi internet yang paling keras pengaruhnya," ujar Woro Kandini menambahkan.

Untuk menekan tingginya kasus ini, Dinas Sosial P3A Kulonprogo terus berupaya untuk menyosialisasikan Perda No.7/2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Sosialisasi dilakukan agar masyarakat tidak lagi bertindak sewenang-wenang terhadap anak, karena sudah ada peraturan yang bisa menjatuhkan sanksi terhadap pelaku.

Konselor psikologi Rifka Annisa, Budi Wulandari menyampaikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung akan mengalami tindakan yang sama secara berulang, karena takut ancaman dari pelaku. Ancaman tersebut seperti kekerasan dalam bentuk lain atau penyebarluasan aib.

Ia mengatakan kekerasan seksual pada anak tidak akan langsung diketahui sampai muncul dampaknya bagi korban, misalnya anak yang biasanya ceria menjadi pendiam, sering cemas, ketakutan dan lainnya. "Kalau keluarganya peka pasti akan langsung menggali untuk mencari tahu apa yang terjadi," ujar Budi Wulandari.

Untuk menekan kasus ini, harus ada sinergi antara Pemkab Kulonprogo, aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemerintah harus menghimbau masyarakat agar melaporkan semua tindak kekerasan pada anak, dan sebaliknya masyarakat harus aktif melaporkan.

 

I Ketut Sawitra Mustika

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

Sumber: Harian Jogja, Sabtu 22 Juli 2017

Selasa, 25 Oktober 2016 14:51

Oleh: R. Andadari Raya Hanantari

Sunat Perempuan (Female Genital Mutilation)

Mutilasi alat kelamin wanita atau female genital mutilation merupakan “segala prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian atau secara keseluruhan alat kelamin bagian luar wanita atau melukai alat kelamin wanita untuk alasan non-medis”[1] Istilah yang familiar yang sering digunakan di Indonesia adalah sunat perempuan. Praktik sunat perempuan merupakan tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap perempuan. Praktik ini telah dilarang oleh berbagai organisasi internasional, Namun  sunat perempuan tetap dilakukan oleh berbagai negara didunia. Sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis atau dukun. Namun karena kedekatannya dengan nilai-nilai agama dan budaya, pada umumnya sunat perempuan dilakukan oleh dukun yang tidak memiliki pendidikan medis. Hal ini menyebabkan alat-alat yang digunakan tidak steril dan seringkali menyebabkan infeksi alat kelamin. Berdasarkan data pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh WHO, terdapat 200 juta wanita dan perempuan dari 30 negara di dunia yang mengalami mutilasi alat kelamin atau sunat perempuan.[2]

Tabel 1. Persentase Praktik Mutilasi Alat Kelamin atau Sunat Perempuan di Dunia[3]

Negara Persentasi Wanita dan Perempuan yang Mengalami Sunat atau Mutilasi Alat Kelamin
Somalia 98%
Djibouti 93%
Mesir 91%
Sudan 88%
Yaman 23%
Iraq 8%
Republik Afrika Tengah 24%
Ethiopia 74%

Sunat Perempuan menyebabkan kerusakan pada alat kelamin, namun praktiknya terbagi menjadi empat tipe, yaitu:[4]

  • Tipe I: dikenal sebagai Clitoridectomy; merupakan praktik pemotongan secara keseluruhan atau sebagian dari klitoris dan/atau kulitnya
  • Tipe II: dikenal sebagai excision; merupakan praktik pemotongan secara keseluruhan atau sebagian dari klitoris and labia minora, yang terkadang sering disertai dengan pemotongan labia majora
  • Tipe III: dikenal sebagai Infibulation; Praktik ini merupakan tipe sunat yang paling menyebabkan kerusakan pada alat kelamin wanita. Prosedur yang dilakukan antara lain dengan mempersempit vagina dengan memotong, memposisikan, dan menjahit labia minora dan labia majora, Tipe ini sering kali disertai dengan pemotongan klitoris. Sedangkan jahitan pada alat kelamin tersebut hanya bisa dibuka melalui operasi atau hubungan seksual.
  • Tipe IV: merupakan tipe sunat yang melibatkan prosedur-prosedur yang merusak dan membahayakan alat kelamin wanita untuk alasan non-medis, antara lain penusukan, penggoresan piercing, pengirisan, dan cauterizing pada alat kelamin wanita.

Praktik sunat perempuan terbukti tidak memiliki manfaat apapun terhadap kesehatan seksual dan fisik wanita. Sebaliknya, sunat perempuan justru merusak dan mengganggu fungsi dasar organ seksual dan reproduksi wanita. Dampak dari sunat wanita juga sangat buruk bagi kesehatan fisik, psikis, dan seksual, diantaranya adalah rasa sakit, pendarahan, pembengkakan dan merusak jaringan alat kelamin, demam, infeksi, permasalahan ketika buang air, permasalahan dalam menstruasi, trauma, permasalahan seksual, meningkatkan resiko dalam komplikasi ketika melahirkan, dan kematian.[5]

 Budaya dan Sunat Perempuan di Indonesia

Diantara negara-negara yang masih menjalankan praktik sunat perempuan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka suat perempuan tertinggi, dimana dari tahun 2010-2015 49% perempuan Indonesia berumur 0-11 telah disunat dengan tipe pengirisan atau Tipe I, sementara 28% perempuan Indonesia disunat secara ‘simbolis’ melalui Tipe IV.[6] Tipe I dan Tipe IV adalah tipe sunat yang paling umum dilakukan di Indonesia, namun di beberapa daerah di Indonesia, seperti Madura, masih melakukan praktik sunat Tipe II dan Tipe III yang merupakan tipe sunat yang paling berbahaya.[7] Sunat perempuan dapat dilakukan oleh tenaga medis professional atau dukun. Dalam proses sunat, dukun terkait menggunakan pisau, silet, bambu yang diruncingkan, atau pisau dapur untuk memotong atau mengiris bagian dari klitoris dan setelah proses selesai luka potongan tersebut diberikan obat antiseptic.

 Pada tahun 2006, Indonesia telah membuat kemajuan dalam mengakhiri sunat perempuan, dengan membuat pelarangan praktik sunat perempuan oleh tenaga medis professional.[8] Namun pada tahun 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa yang menentang pelarang sunat perempuan oleh pemerintah. MUI menyatakan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari hukum syariah, sehingga tenaga medis professional harus menyediakan jasa sunat perempuan apabila diminta oleh keluarga, orang tua, dan masyarakat.[9] Fatwa tersebut juga meregulasi proses sunat perempuan, sehingga ‘aman’ bagi kesehatan fisik dan psikis perempuan. Tekanan dari MUI kemudian mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan regulasi PMK No. 1636/2010 yang memperbolehkan rumah sakit dan klinik ibu dan anak untuk terus menyediakan jasa sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga professional dan melarang prosedur sunat perempuan yang berbahaya.[10] Bahkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menawarkan sunat perempuat sebagai paket kelahiran bersama vaksin dan imunisasi. Komisi Nasional Antri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komite Perlindungan Anak telah melakukan advokasi untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut, namun ditolak pada tahun 2014. Fenomena ini menjadikan sunat perempuan yang merupakan kekerasan terhadap perempuan di justifikasi  pemerintah.

 Praktik sunat perempuan di Indonesia berakar dari nilai budaya dan agama di Indonesia. Sunat perempuan bahkan dianggap sebagai kewajiban dioleh banyak pemeluk agama islam. Hal ini menyebabkan tekanan sosial akan pentingnya sunat perempuan. Bahkan di beberapa kelompok masyarakat, apabila perempuan tidak disunat maka, kewajibannya dalam islam seperti, sholat, puasa, sedekah, dan lainnya tidak akan diterima oleh Tuhan. Hubungan yang kuat antara sunat perempuan dengan budaya dan agama tercermin dari prosesi yang dilakukan oleh dukun dan doa-doa yang diucapkan selama prosesnya. Masyarakat Indonesia mempercayai bahya sunat perempuan dilakukan untuk menyelamatkan wanita dari hiperseksual. Sehingga perempuan yang tidak disunat akan dilabeli sebagai perempuan ‘nakal’, ‘liar’, ‘binal’, ‘genit’, dan ‘kotor’. Perempuan yang tidak disunat juga dianggap tidak akan mampu menjaga kesuciannya sampai menikah. Stigma-stigma negatif tersebut kemudian merendahkan perempuan yang tidak disunat di masyarakat dan komunitasnya sendiri. Faktor-faktor tersebut kemudian menekan orangtua untuk melaksanakan sunat kepada anak perempuannya.

Sunat Perempuan Sebagai Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia

Dampak dari Sunat perempuan sangat berbahaya, namun masih banyak orang yang belum menyadari bahwa sunat perempuan adalah bentuk kekerasan terhadap wanita yang di justifikasi oleh pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sunat perempuan telah di larang, hal ini disampaikan dalam pasal 5, yaitu “Tak Seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”[11] Selain dalam DUHAM, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada pasal 1 menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap wanita, yaitu, “Setiap tindakan yang membedakan, pengecualian, atau pembatasan yang berdasarkan oleh perbedaan jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk merusak atau meniadakan pengakuan, kebahagiaan, kenikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan, terlepas dari status pernikahan mereka, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang lainnya.”[12] Praktik sunat perempuan secara jelas meruakan bentuk penyiksaan terhadap wanita yang merusak kebahagiaan dan kenikmatan sebagai wanita. Praktik ini pada umumnya dilakukan setelah kelahiran. Pada posisi tersebut orangtua dari anak perempuan bertanggung jawab untuk menentukan tindakan yang terbaik bagi anak, namun sunat perempuan dilakukan tidak didasari untuk kebaikan anak tersebut, sebaliknya sunat perempuan justru banyak mengakibatkan konsekuensi dan dampak yang berbahaya bagi anak secara fisik, psikis, dan seksual.

Selain melanggar konvensi-konvensi internasional, stigma-stigma yang berkaitan dengan praktik sunat peremuan juga merupakan bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang tidak disunat dianggap sebagai ‘genit’ dan ‘binal’. Stigma tersebut sering kali menyebabkan wanita yang tidak menjali sunat kesulitan untuk mendapatkan pasangan untuk menikah dan pekerjaan di beberapa daerah di Indonesia.[13] Walaupun belum ada bukti medis yang terpercaya yang dapat membuktikan stigma tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa stigma-stigma terhadap wanita tersebut merupakan kekerasan berbasis gender secara structural yang tertanam di dalam sistem masyarakat yang patriarki yang di justifikasi oleh pemerintah. Sehingga pemerintah seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu imi melalui edukasi dan penyuluhan mengenai dampak merusak dari sunat perempuan di daerah urban dan rural di Indonesia. Tindakan tersebut diharapkan mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap sunat perempuan dan mampu melarang sunat perempuan sepenuhnya.



[1]World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet,  Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].

[2] World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet, Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].

[3] United Nations Children’s Emergency Fund, July 2013, New UNICEF Report on Female Genital Mutilation/ Cutting: Turning Opposition into Action, Available from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_pdfs/corecode/FGMC_Lo _res_Final_26.pdf [14 June 2016].

[4] Burrage, H, 2015, Eradicating Female Genital Mutilation: A UK Perspective, Henry Ling Limited, Dorchester, pp.27 – 30.

[5] Moseley, W.G., 2008, Taking Sides: Clashing Views on African Issues, McGraw-Hill Higher Education, Colombus, p. 223

[6] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from:  http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/  [14 Juni 2016]

[7] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13

[8] Belluck, P., Cochrane, J., 2016, ‘UNICEF Reports Finds Female Genital Cutting to be Common in Indonesia’, New York Times, 4 February, Available From: http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/ [ 15 June 2016]

[9] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from:  http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/  [14 Juni 2016]

[10] United Nations Children’s Emergency Fund, 2016, Division of Data, Research, and Policy – Indonesia, February 2016, Avaiable from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_country_profiles/corecode/222/Countries/FGMC_IDN.pdf [14 Juni 2016]

[11] United Nations, December 1948, Universal Declaration of Human Rights, Available from: http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/ [ 15 June 2016]

[12] United Nations, 1979, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Available from: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/ [ 15 June 2016]

[13] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13

46607684
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7679
18433
116051
343878
46607684