Situasi pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia, terutama dalam hal budaya berinteraksi. Rifka Annisa tengah menjalankan kegiatan dari program Prevention+. Repogramming pun terjadi, dan hal ini terjadi di seluruh lembaga kecuali yang dari awal desain program mereka menggunakan metode online. Hampir semua aktvitas dilakukan dari rumah dan secara online. Beberapa kegiatan online yang dilaksanakan bersama komunitas dampingan diantaranya: diskusi ayah, diskusi ibu, diskusi remaja, pertemuan alumni diskusi, dan seminar online.

Terdapat banyak aplikasi yang digunakan untuk melakukan pertemuan online. Beberapa aplikasi yang familier dan sering digunakan adalah WhatsApp, Zoom Meeting, Skype, Cisco Webex Meeting, dan Google Meet. Namun yang paling sering digunakan adalah WhatsApp dengan fitur group chat-nya. Pertimbangan utama adalah faktor aksesibilitas. “WhatsApp menjadi satu-satunya aplikasi yang ramah bagi kebanyakan orang di komunitas” ungkap Rico, salah satu community organizer dalam program Prevention+. Sementara itu untuk menjangkau komunitas lebih luas, beberapa seminar online menggunakan Zoom Meeting yang ditautkan ke YouTube live.

Dalam prosesnya, tentu menemui beberapa hambatan. Pertama, secara umum sinyal masih menjadi hambatan utama. Beberapa lokasi memang memiliki sinyal yang tidak bersahabat. Baik teman-teman Rifka Annisa maupun peserta dari komunitas dampingan, sinyal menjadi kendala utama. Kedua, kuota yang semakin boros, terutama saat menggunakan Zoom Meeting. Beberapa kegiatan koordinasi dan evaluasi dilakukan sekitar 1-3 jam. Pernah suatu ketika mengecek pemakaian kuota yang digunakan dalam rapat koordinasi dengan aplikasi Zoom Meeting.  Dalam 3 jam pertemuan online menghabiskan 563 Megabyte (MB) atau sekitar 0,5 Gigabyte (GB).

Dari pendamping komunitas, Irma salah satu community organizer menceritakan tantangan aksesibilitas ketika melakukan kegiatan online. “Pernah saya melakukan jajak pendapat dengan bapak-ibu di komunitas. Saya kirimkan beberapa gambar aplikasi chat atau meeting. Dari sekian banyak aplikasi, paling familier adalah Zoom Meeting. Beberapa mengaku mengetahui Zoom Meeting, tapi HP-nya tidak kompatibel, memorinya sudah penuh, sudah nggak bisa install aplikasi itu.  Sejauh ini yang digunakan adalah WhatsApp. Ketika seminar online melalui Zoom, teman-teman menautkan ke YouTube, supaya teman-teman di komunitas juga bisa mengakses melalui YouTube. Kalau YouTube kan di semua HP hampir ada, bahkan menjadi aplikasi bawaan saat membeli HP. Yang penting bagaimana informasinya sampai” jelasnya.

Selain itu, hambatan yang dihadapi yaitu beberapa situasi di rumah yang tidak mendukung untuk fokus menyimak. Pada sesi diskusi kelas ayah, hal ini dialami oleh Pak Herman dalam grup diskusi “Maaf bapak-bapak, saya slow respond dulu, sedang menemani anak belajar”. Ada juga yang waktunya bersamaan dengan tugas lain, Pak Kirdi misalnya, “Mohon maaf belum bisa bergabung karena ada pertemuan di balai desa”. Saat kelas ibu, Mbak Nus dari kelas ibu juga mengalami hal yang sama, “Maaf belum bisa bergabung… (mengirim foto sedang menyuapi anaknya), ini anak kalau belum tidur ngajak ngomong terus, nggak konsen menyimak”. Dan di kelas remaja, ada yang berhalangan ikut karena sedang bekerja dengan shift waktu tertentu.

Pada tahap persiapan, tentu bukan hal yang mudah juga untuk memfasilitasi diskusi secara online. Rico menyebutkan beberapa catatan dari segi persiapan materi. Ia menjelaskan bahwa “Dalam persiapan diskusi online, beberapa tantanganya pertama, materi perlu disesuaikan dengan situasi sekarang, jadi perlu waktu lebih untuk melengkapi dan mengolah dari berbagai sumber. Kedua, mengemas materi menjadi konten dalam bentuk visual dan menarik untuk dikonsumsi. Dalam hal ini  butuh waktu untuk mendesain, sebuah tantangan baru bagi yang tidak terbiasa mendesain. Ketiga, beberapa orang menyayangkan ketika ada konten video yang berukuran agak besar (diatas 10MB). “Mendownload video juga memakan kuota”. Pelajaran yang dapat dipetik dari proses persiapan materi adalah, menyajikan materi dalam satu klik. Artinya, bagaimana menuangkan materi dalam satu gambar yang mudah diakses. Visualisasi juga membantu menarik perhatian untuk membaca dan mengerti materinya.

Ada catatan menarik dari Ibu Yuni, fasilitator komunitas pada kelas Ibu. “Menurut saya, diskusi online itu sudah cukup efektif di masa pandemi ini, tapi tantangannya juga pasti ada, seperti terkendala sinyal, dan kalau saya pribadi kadang ketinggalan ‘kereta’ jauh karena loading yang lambat, jadi kurang nyambung dengan materi diskusi. Tapi pada akhir sesi bisa membaca lagi dan menyimpulkan sih, jadi menurut saya juga mudah untuk mengikutinya. Saat membaca lagi jadi nyambung” kata Bu Yuni.

Irma menambahkan, “Memang proses diskusi online ini tidak mudah bagi beberapa orang. Proses pengondisian peserta agak sulit. Beda dengan pertemuan langsung, kami lebih mudah membangun kondisi dalam penyampaian materi. Kalau online, kita harus chat pribadi, dan itupun kadang responnya lama. Ketika bertemu langsung juga ada kedekatan secara emosional, beda dengan online, misal situasinya sedang kalut, bisa jadi di dalam aktivitas online terkesan bahagia”. Dari peserta diskusi, Tuti juga menambahkan sebuah catatan bahwa,”Diskusinya bisa diterima, tetapi kurang puas. Pokoknya beda dengan bertatap muka langsung”. Ada juga peserta yang tidak fokus karena saat pertemuan online berlangsung, peserta juga sedang mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan melakukan aktivitas lain.

Dengan berbagai tantangan itu, ada sebuah refleksi bahwa proses pengorganisasian yang dilakukan secara online barangkali kurang tepat. Dalam proses pengorganisasian, ikatan emosional yang belum terbangun membuat kecanggungan dalam prosesnya. Kemudian, ada satu aspek lagi yang menjadi bahan diskusi selanjutnya terkait keamanan digital. Setiap menggunakan aplikasi, pasti ada data-data yang harus kita isi sebagai registrasi. Beberapa isu digital yang muncul adalah penyalahgunaan data pengguna. Meskipun hal ini masih menjadi perdebatan, tetapi kemungkinan dan kesempatan untuk itu sangat nyata. Hal ini menjadi kewaspadaan bersama, di tengah adanya kebutuhan layanan yang ditawarkan.

Oleh: Nurul Kodriati, M.Med.Sc

Merokok adalah salah satu permasalahan kesehatan yang penting di Indonesia. Di tahun 2015, jumlah total, prevalensi, perokok laki-laki Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia (Eriksen, 2015). Sayangnya, Indonesia adalah satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi perjanjian pengendalian rokok dunia atau yang biasa disebut dengan Framework Convention on Tobacco Control (Tan, 2016).

Merokok juga sesuatu yang banyak dilakukan dan biasa terlihat atau mungkin biasa dilakukan sebagian dari kita. Menurut Global Adults Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, 65,6% laki-laki usia lebih dari 15 tahun di Indonesia adalah perokok. Sedangkan pada perempuan, jumlahnya jauh lebih sedikit yaitu sebesar 2,5% dari total wanita usia dewasa.

Grafik Nurulkod

 

Grafik di atas menunjukkan perbedaan pola merokok antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Pada laki-laki, perilaku merokok dimulai pada usia remaja sekitar usia 12-15 tahun. Jumlah perokok meningkat drastis, tiga kali lipat,  di antara usia 15-20 tahun menjadi sekitar 60%. Jumlah ini relatif stabil dan penurunan baru terlihat di usia sekitar 50 tahun. Sedangkan pada perempuan, prevalensi merokok relatif stabil sampai usia sekitar 40 tahun dan peningkatan terjadi setelah usia tersebut dengan persentase dibawah 20%. Pola merokok berdasar umur seperti yang diuraikan pada grafik diatas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, meningkatnya kemungkinan laki-laki menderita penyakit kronis. Tulisan ini akan mengkhususkan pembahasan terkait dengan status keayahan seseorang.

Secara umum, perspektif gender dari perilaku kesehatan mengakui bahwa menjadi laki-laki atau perempuan seringkali mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku terkait dengan kesehatan dan perilaku beresiko. Sayangnya, laki-laki seringkali memiliki resiko lebih tinggi untuk berperilaku yang merugikan kesehatan mereka dibandingkan perempuan seperti merokok, minum minuman keras, atau kriminalitas. Grafik di atas dan tingginya prevalensi merokok pada laki-laki di Indonesia bahkan di dunia adalah beberapa bukti yang harus menjadi renungan kita bersama. Bagaimana dan apa yang membuat data statistik terkait gender pada merokok ini cenderung stabil dalam kurun waktu yang lama. Dan menjadi renungan bersama, kenapa diskusi terkait tentang gender lebih mengangkat isu merokok pada perempuan dibandingkan isu merokok pada laki-laki.

Hubungan antara merokok dan maskulinitas sebenarnya dapat dirunut dari abad 17 dari pengaruh kolonialisme Belanda. Pada saat itu, hanya orang-orang yang memilki kekuasaan dan kekayaan yang mempunyai akses tembakau, sebagian besar dari orang-orang ini adalah laki-laki. Asosiasi antara laki-laki, maskulinitas, dan merokok diperkuat jauh setelah itu melalui iklan-iklan yang mempromosikan merokok sebagai norma yang sangat mudah diterima di masyarakat dan untuk meningkatkan status maskulinitas seseorang. Iklan rokok seringkali memberikan kesan dan karakter yang berkaitan dengan maskulinitas tradisional yang dominan seperti laki-laki itu identik dengan kuat, tangguh dan heroik. Seringkali, iklan juga berkecenderungan untuk mengabaikan bahaya dan resiko dari tembakau dan perilaku merokok terutama di kalangan anak- anak muda atau remaja laki-laki.

Kecenderungan laki-laki untuk berperilaku yang beresiko seperti di atas sebenarnya kurang sesuai dengan kondisi mereka setelah berkeluarga dan apalagi setelah mereka berstatus sebagai seorang ayah. Kenapa hal ini bisa terjadi? Salah satu hal yang bisa dieksplorasi adalah perubahan nilai maskulinitas dari kecenderungan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah seorang yang kuat dan tangguh menjadi seseorang yang bertanggung jawab dan mampu melindungi keluarga mereka. Awal mula menjadi seorang ayah memberikan tanggung jawab baru yang besar pada laki-laki, memerlukan komitmen yang tinggi dan perlunya mempelajari beberapa keterampilan baru terkait perawatan anak mereka dan bagaimana memberikan dukungan kepada istri. Keterlibatan dengan perawatan anak ini menjadi salah satu hal yang paling penting untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kepuasan seorang ayah dan penting agar ayah mau meluangkan waktu lebih untuk perawatan anak.

Waktu yang dihabiskan dengan anak mereka itulah yang menjembatani laki-laki untuk melakukan lebih banyak refleksi dan mengidentifikasi prioritas mereka sehari-hari termasuk untuk berperilaku yang lebih sehat dan mengurangi resiko demi melindungi anak dan keluarga mereka. Laki-laki yang terlibat aktif dalam perawatan anaknya, akan menjadi lebih mungkin untuk berusaha tidak merokok di sekitar anaknya yang masih bayi dan lemah dan tidak ingin memberikan bahaya atau ‘racun’ rokok pasif.

Sayangnya, dukungan terhadap para ayah di masa transisi, ketika mereka baru saja mempunyai anak pertama mereka masih sangat kurang seperti cuti suami untuk menemani istri melahirkan atau dalam Bahasa Inggris disebut paternity leave, selama dua hari dinilai masih sangat minim untuk dapat membantu laki-laki mengembangkan identitas keayahan mereka dan mempelajari keterampilan sebagai ayah yang akan sangat diperlukannya. Hal inilah yang membuat masa transisi ini menjadi masa dengan stres tinggi pada laki-laki dan oleh karena salah satu pengontrol stres yang dimiliki oleh sebagian laki-laki adalah merokok maka para ayah ini dimungkinkan merokok dengan frekuensi dan jumlah rokok yang lebih di masa ini.

Sayangnya, konstruksi sosial yang dibuat di masyarakat kita sering kali lebih mendukung peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Laki-laki (dan perempuan) memiliki tolak ukur kesuksesan berdasarkan status pekerjaan dan kesuksesan karir mereka. Tolak ukur ini yang seringkali membuat laki-laki kurang terlibat dalam pengasuhan anak. Dari sudut pandang kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan, laki-laki di Indonesia memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk dihabiskan bersama anak-anak mereka dan mengembangkan karakteristik ‘keayahan’ dengan bobot pengasuhan anak yang lebih tinggi yang menjadi faktor yang penting untuk menurunkan perilaku yang beresiko pada laki-laki seperti merokok.

Sesungguhnya, seiring dengan pertumbuhan anak mereka, para ayah ini telah belajar bagaimana menjadi ayah. Sebagian dari mereka mungkin mampu berinteraksi dan berkontribusi lebih dengan anak semisal dengan bermain bersama, memberikan saran, kedisiplinan, mengajari hal-hal terkait dengan praktik keagamaan, mencontohkan bagaimana menjadi laki-laki yang baik. Dalam kondisi yang seperti itu, jumlah waktu yang dihabiskan oleh ayah bersama anaknya meningkat dan diharapkan perubahan perilaku ke arah yang lebih sehat menjadi lebih dimungkinkan.

Widi—bukan nama sebenarnya, tengah kebingungan. Sudah tiga tahun lamanya ia mengalami KDRT berulang. Kini, perempuan paruh baya dan anaknya itu tak lagi tinggal serumah bersama suaminya. Perempuan yang sehari-hari berjualan online itu harus berpindah-pindah rumah dari rumah teman atau saudara. Kini, situasi pandemi membuat bebannya bertambah. “Tidak enak dalam suasana corona seperti ini harus menumpang di rumah saudara,” jelasnya. Hal itu ditambah lagi minimnya pendapatan selama pandemi yang pada akhirnya tak cukup untuk mengidupi diri dan anaknya.

Meskipun data yang tersedia masih jarang ditemui, laporan dari China, Inggris, Amerika, dan negara lain menandakan adanya kenaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga sejak awal penyebaran COVID-19. Jumlah angka kekerasan dalam rumah tangga yang terlapor di Kantor Polisi di Kota Jingzhou, Provinsi Hubei, meningkat tiga kalinya di Februari 2020, apabila dibandingkan di periode yang sama tahun lalu. (COVID-19 and Violence Against Women What the Health Sector/System Can Do. Dokumen WHO. 7 April 2020).

Sedangkan dari data kasus Rifka Annisa Januari—Mei 2020, terjadi peningkatan jumlah klien yang mengakses layanan. Lonjakan terjadi pada bulan April dan Mei, yakni sebanyak 67—98 aduan; dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang berkisar 33—41 aduan. Dari jumlah aduan tersebut, paling banyak diakses oleh klien yang berusia 18—45 tahun.

Pandemi dari Kacamata Gender

Jika dilihat dari aspek gender, pandemi ini memberikan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Hilangnya sekat-sekat kerja domestik dan kerja publik pada saat masa karantina #dirumahaja, tanpa diikuti oleh perubahan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, memberikan beban yang berlipat-lipat bagi perempuan. Perubahan ini dapat menimbulkan situasi krisis dalam sebuah keluarga. Masa krisis dapat menjadikan sebuah keluarga kuat, namun juga bisa membuat keluarga lemah dan berkonflik.

Peran gender yang baku membuat perempuan rentan mengalami beban ganda dalam situasi pandemi. Perempuan yang bekerja di publik, kini mau tidak mau mengerjakan pekerjaannya di rumah, menggantikan peran guru menjadi pengajar di rumah, mengasuh anak, serta melakukan pekerjaan domestik. Bagi sebagian laki-laki, anjuran untuk #dirumahaja dengan peran gender yang kaku, membuat laki-laki merasa kehilangan sosok idealnya dan kehilangan kontrolnya atas perempuan. Penghasilan berkurang bahkan terancam atau kehilangan pekerjaan menjadi salah satu pemicunya.

“Ketika suami mengalami PHK, suami istri serta anak lebih sering berkonflik. Ada juga klien kekerasan terhadap istri yang sebelumnya sudah mengalami peristiwa kekerasan, dalam kondisi bekerja di rumah frekuensi kekerasan dari suami semakin sering terjadi,” jelas Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Menurutnya, ‘reunifikasi’ yang diakibatkan oleh WFH membuat perempuan korban kekerasan juga cenderung menunda penyelesaian masalahnya.

Lonjakan kasus yang terjadi terjadi pada bulan kedua setelah diterapkannya layanan online di Rifka Annisa. Hal itu mengindikasikan dua hal. Pertama, layanan online memang medium yang tepat dan memudahkan akses perempuan korban sehingga memberikan dampak positif. Namun, disisi lain ada kemungkinan bahwa klien usia di atas 45 tahun kesulitan mengakses layanan akibat keterbatasan alat, kuota/pulsa serta dan kekurangterampilan terhadap teknologi internet. Dengan kata lain, layanan online juga dapat membuat perempuan lebih sulit mengakses layanan.

Berkaca dari kasus Widi di atas, keterbatasan sumber pemasukan ekonomi di tengah pandemi juga merupakan ‘tembok tebal’ bagi perempuan korban dalam mengakses layanan. Meski lembaga layanan baik LSM maupun pemerintah menyediakan layanan gratis untuk mengakses layanan konseling, konsultasi hukum, maupun shelter, tetapi masih banyak biaya yang ditanggung oleh perempuan korban, seperti transportasi, biaya hidup sehari-hari apabila ia tidak mempunyai penghasilan dan tergantung dari pasangan.

Tantangan Lembaga Layanan

Tidak hanya klien yang harus beradaptasi, lembaga layanan pun mengalami adaptasi yang cukup kompleks dalam menyediakan layanan di masa pandemi. Di awal adanya kebijakan bekerja di rumah, Rifka Annisa menerapkan layanan konseling online. Menurut pengalaman Rifka Annisa, ada beberapa tantangan dalam mengaplikasikan layanan oline. Pertama, bagaimana menyediakan layanan yang aman bagi klien maupun pemberi layanan. Kedua, menyediakan layanan yang efektif, efisien, serta mudah dijangkau oleh klien. Ketiga, bagaimana menyikapi peningkatan jumlah aduan dengan tenaga pendamping yang terbatas, serta mampu memeratakan beban dari pendamping. Keempat, menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk kebutuhan layanan online pendamping. Kelima, mempersiapkan keterampilan pendamping selama melakukan layanan online. Keenam, persiapan dan penerapan protokol kesehatan pada kerja-kerja pendampingan yang tidak bisa dilakukan melalui online seperti pembuatan HPP, pemeriksaan di kepolisian, atau layanan penjangkauan bagi dalam situasi kedaruratan.

Terkait protokol kesehatan, Rifka Annisa membuat panduan pencegahan di masa pandemi. Namun, tantangan lainnya adalah membiasakan penerapan protokol kesehatan serta menyediakan sarana pra sarananya. “Pandemi membuat perubahan kebiasaan, termasuk dalam konseling. Misal tidak berjabat tangan dan berpelukan, atau menyentuh klien ketika klien menangis.”

Selain itu hal lain yang perlu pembiasaan adalah pemakaian alat pelindung diri, serta konsistensi dalam menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan atau penggunaan hand sanitizer serta disinfektan pada kerja-kerja yang mengharuskan offline. Selain itu persiapan lainnya adalah cek suhu badan serta penyediaan form assessment yang harus diisi klien pada situasi tertentu yang mengharuskan klien mendatangi kantor.

“Di awal penerapan layanan online, Rifka Annisa awalnya hanya mempunyai satu nomor hotline. Kemudian agar beban tidak bertumpuk, satu nomor hotline akhirnya dihubungkan ke beberapa nomor hotline yang dipegang konselor,” jelas Indiah. Keterampilan konselor dalam memberikan tanggapan dalam layanan online juga krusial untuk dipersiapkan. Berbeda dengan layanan konseling tatap muka, layanan konseling melalui telepon berarti tidak bisa melihat ekspresi wajah, sehingga butuh keterampilan untuk membaca ekspresi melalui suara. Belum lagi, satu konselor yang rata-rata mendengarkan telepon kurang lebih 7 jam per hari memerlukan perlu penyesuaian. Belum lagi layanan pemulihan yang berupa terapi juga sulit untuk dilakukan secara online.

Tantangan lain yang cukup serius dihadapi oleh lembaga layanan adalah layanan shelter. Di awal masa pandemi, hampir semua lembaga yang mempunyai layanan shelter belum mempunyai kesiapan sehingga tidak membuka layanannya. Bisa dibayangkan, ketika situasi pandemi dimana kasus tidak berkurang, kebutuhan klien akan shelter tetap mungkin terjadi. Selanjutnya, adanya diskusi di Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY memutuskan bahwa negara harus tetap hadir memberikan layanan, sehingga terbit surat edaran Forum Perlindungan Korban Kekerasan di DIY, yang prinsipnya memberikan himbauan agar layanan harus tetap dibuka, dengan catatan memastikan layanan tersebut aman. Pada umumnya, setiap lembaga layanan shelter milik pemerintah mensyaratkan adanya surat keterangan tidak terpapar COVID-19, di mana pembiayaan dari surat keterangan tersebut masih belum diketahui sumber pendanannya. Meski demikian, Beberapa rumah sakit terutama RSUD sudah bersedia untuk menjadi tempat test dan biaya akan diklaimkan ke Kementerian Kesehatan. Apabila hasilnya positif, maka korban akan mengikuti protokol pasien COVID-19, dan apabila hasilnya negatif akan dikembalikan ke lembaga layanan.

Selain layanan shelter, tantangan lainnya yang dihadapi perempuan koran adalah akses hukum. Tantangan terkait akses layanan hukum yang pernah ditemui di awal pandemi adalah berkaitan dengan respon kepolisian terhadap laporan KDRT. Saat itu, terdapat klien yang mengalami kekerasan yang cukup parah, kemudian lapor ke kantor polisi. Saat di awal-awal masa pandemi, petugas tidak berani mengantarkan visum ke rumah sakit, sehingga klien diminta untuk datang langsung ke rumah sakit. Di saat situasi normal pun, kasus-kasus KDRT masih mendapatkan perhatian yang kurang, terlebih di masa pandemi. Pada akhirnya, kasus tersebut didamaikan di kepolisian, dan klien kembali bersama suami.

Selain kepolisian, hal lain yang berkaitan adalah layanan pengadilan yang berupa layanan online, baik pengadilan pidana maupun perdata. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan yang tidak akrab dengan teknologi, karena mulai proses komunikasi dan pendaftaran melalui email pribadi klien. Dalam kondisi klien tidak ada yang membantu, maka proses pendaftaran ini biasa dibantu oleh pendamping. Namun, proses pendampingan itu sendiri juga bukan hal yang mudah, karena baik klien maupun pendamping harus beradaptasi berkomunikasi secara tidak langsung menggunakan ponsel serta internet. 

Dari berbagai tantangan tersebut, ternyata pandemi tidak hanya membuat perempuan lebih rentan di dalam keluarganya, tetapi ketika ia mengalami kekerasan, ia menghadapi tantangan kembali dalam meraih keadilan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah penyadaran serta peningkatan keterampilan bagi perempuan yang mengakses layanan. Selain itu, di sisi lain laki-laki pun perlu diberikan edukasi cara-cara menghadapi berbagai perubahan situasi di masa pandemi, agar tidak memicu konflik dengan pasangan. Selain itu, untuk tantangan yang menyangkut layanan, perlu kerjasama dan koordinasi berbagai pihak, pemerintah seperti dinas dan rumah sakit daerah, rumah sakit swasta, aparat penegak hukum, serta lembaga pendamping.  

Selasa, 30 Jun 2020 23:39

Keluarga Beradaptasi di Tengah Krisis

Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi virus Covid-19. Kita semua sama-sama tidak tahu kapan pandemi ini berakhir. Upaya pencegahan dengan penerapan physical distancing digemakan di seluruh dunia. Situasi ini membuat hampir semua orang lebih banyak berada di rumah. Implementasi dari physical distancing (menjaga jarak fisik) yang dianjurkan oleh pemerintah itu salah satunya adalah kebiasaan baru untuk #dirumahaja, sehingga Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH) menjadi aktivitas baru bagi sebagian besar orang.

Sekarang mari kita amati bersama pada konteks keluarga, institusi terkecil dari masyarakat. Bulan April lalu kami, Rifka Annisa, mendiskusikan hal ini bersama para fasilitator kelas ayah. Kelas ayah merupakan salah satu kegiatan dalam Program Prevention+ yang dilaksanakan oleh Rifka Annisa. Para fasilitator kelas ayah tersebut berbagi cerita tentang ketidaksiapan keluarga menghadapi perubahan tatanan hidup yang berubah sangat cepat. Anak yang bertanya, “Kok bapak di rumah saja, kok bapak tidak bekerja?” menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab dengan santai. Memang tidak sedikit orang yang kehilangan mata pencahariannya akibat pandemi ini. Lebih peliknya lagi, upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, cicilan, dan kebutuhan belanja rumah tangga yang semakin sulit dipenuhi ini tentu potensial memicu konflik apabila tidak dikomunikasikan dengan baik.

Sementara itu, beberapa ayah mengaku memetik hikmah di masa pandemi ini, terutama pada proses mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Hal yang mungkin jarang dilakukan sebelum adanya pandemi. “Sekarang jadi lebih sering dekat sama anak saya, ngajarin belajar bareng, sholat bareng, ngaji bareng, dan jadi tambah banyak ngumpul-ngumpul bareng sama keluarga. Selama tidak ada kesibukan seperti sebelumnya yang nggak pernah bisa bercengkerama atau bersenda gurau bersama keluarga seperti saat ini,” kata Ngajiyo, salah satu fasilitator kelas ayah. Di sisi lain, beberapa ayah juga menyadari pentingnya berbagi peran. Karena banyak di rumah, mereka jadi ikut merasakan beratnya pekerjaan ibu rumah tangga di rumah.

Beberapa hari di rumah saja mungkin menyenangkan, tetapi belum tentu jika itu untuk waktu yang lama. Kejenuhan, kecemasan, ketakutan, dan berbagai rasa lainnya tentu saling bersilang sengkarut di pikiran. Beberapa ayah memberikan tips-tipsnya untuk beradaptasi di situasi krisis akibat pandemi ini dalam lingkup keluarga.

Pertama, membangun komunikasi dalam keluarga. Ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain harus satu persepsi. Samakan pemahaman tentang virus ini, apa bahayanya, dan seperti apa upaya pencegahannya. Setelah pemahamannya sama, buatlah kesepakatan di dalam keluarga. Misalnya untuk tidak bepergian apabila tidak penting, menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak aman dengan orang lain. Perlu juga untuk saling menanyakan perasaan antar-anggota keluarga. Situasi pandemi yang rumit ini tentu juga rentan menimbulkan tekanan psikis, sehingga butuh komunikasi yang baik untuk mengatasinya. Komunikasi itu gampang tapi rumit. Terkadang, komunikasi memang harus diciptakan dan dibangun momennya.

Kedua, menghadapi tantangan ekonomi. Menurunkan ego dan gengsi menjadi kunci di sini. Mengutip Nur Hasyim dalam webinar bertajuk “Keluarga Beradaptasi dengan Krisis”, disebutkan bahwa: “Ada persoalan laki-laki ketika melakukan kebijakan isolasi sosial. Normalnya mereka bekerja di luar rumah, lalu tiba-tiba mereka harus di dalam rumah, itu tekanan sendiri bagi laki-laki.” Menurunkan ego dan gengsi bukanlah hal yang mudah bagi laki-laki, tetapi juga bukan hal yang mustahil.

Saat berdiskusi dengan para fasilitator komunitas kelas ayah, para ayah ini saling menguatkan di tengah ekonomi yang sulit akibat pandemi. Kehilangan pekerjaan tidak masalah, banyak temannya. “Ya pelan-pelan, nyatanya kalau kayak saya serabutan gitu, kalau nggak entuk seka kene (dapat dari sini), yo entuk seko kono (ya dapat dari sana), semoga teman-teman juga begitu,” kata Pak Jatmiko, fasilitator kelas ayah dari Semin. Dalam menghadapi tantangan ekonomi ini, tentunya para ayah harus mencari alternatif-alternatif solusi bersama dengan pasangannya, seperti misalnya mencari sumber-sumber penghasilan baru yang kreatif.

Ketiga, membangun kerja sama. Walaupun banyak di rumah, bukan berarti pasrah menjadi kaum rebahan. Banyak pekerjaan rumah yang bisa dikerjakan. Memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, mengasuh anak, menemani anak belajar, dan lain-lain. Kesalingan menjadi tantangan di sini. Bisa dibayangkan apabila tidak ada saling peduli dan saling kerja sama? Berat tentu! Belum lagi emosi marah, kecewa, hingga berburuk sangka, dapatmemicu konflik-konflik kecil. Apabila tidak diselesaikan akan menjadi bumerang di kemudian hari.

Pada akhirnya, kita juga melihat bahwa tantangan di masing-masing keluarga tidaklah sama. Beda persoalan bukan berarti tidak ada penyelesaian. Kita semua tidak ada yang mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir, sehingga mau tidak mau kita yang harus beradaptasi. Beradaptasi di situasi krisis itu pilihan, dan pilihannya ada di tangan kita: Larut dalam situasi kesedihan atau bangkit untuk bertahan!

Selasa, 30 Jun 2020 23:13

Pentingnya Pengasuhan Oleh Ayah

 

Banyak dari kita paham bahwa pengasuhan bukan menjadi peran ibu atau perempuan saja. Ayah atau laki-laki juga bisa terlibat dalam dan tentunya memiliki peran penting dalam pengasuhan. Tapi perlu dipahami bahwa keterlibatan pengasuhan oleh ayah tidak terbatas pada pemberi nasihat, mengantar ke sekolah atau menemani bermain. Pengasuhan oleh ayah bisa lebih luas ranahnya selayaknya yang dilakukan oleh ibu.

Ayah bisa dengan mudah menyusui anaknya karena ada teknologi yang bisa menyimpan ASI. Sekarang, ibu atau perempuan punya banyak ruang dan kesempatan untuk berkarir maupun bersosialisasi. Sehingga sudah sewajarnya keluarga melakukan kesalingan dalam pekerjaan rumah termasuk pengasuhan.

Jane B. Brooks (dalam Nefrijanti, 2018) berpendapat bahwa pengasuhan merupakan proses interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Ketika pengasuhan dipahami sebagai interaksi, maka hubungannya tidak satu arah saja. Dalam pengasuhan, anak maupun orang tua sama-sama belajar hal baru dan saling menerima dampaknya. Menariknya, ketika ayah terlibat dalam pengasuhan secara penuh, banyak dampak positif bagi anak, ibu maupun ayah itu sendiri.

Bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental seorang anak (Wahyuningrum, 2011). Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan, anak laki-laki akan memiliki pemahaman tentang nilai kesetaraan gender. Sedangkan anak perempuan akan memiliki pandangan tentang laki-laki yang peduli dan supportif. Pengalaman bersama sosok ayah dan ibu dalam pengasuhan tentunya bisa menjadi bekal positif bagi anak ketika mereka dewasa dan bersosialisasi atau menjalin hubungan.

Bagi perempuan/ibu, peran suami bekerja sama melakukan pengasuhan dapat meringankan beban berlebih yang biasanya terjadi. Studi dari berbagai negara menemukan bahwa ketika suami hadir mendampingi proses pra-kelahiran hingga waktu kelahiran, istri mengalami persalinan yang lebih aman dan mengurangi risiko depresi pasca-persalinan. Selain itu, para perempuan di berbagai negara mengaku lebih puas dalam hubungan mereka ketika pasangan atau suami banyak terlibat di rumah (Heilman, et al., 2016:47).

Bagi laki-laki/ayah, ketika ikut terlibat pengasuhan maka akan ada kecenderungan memiliki  pola hidup yang lebih sehat. Banyak laki-laki merasa lebih puas dengan kehidupan mereka ketika bisa terlibat penuh dalam pengasuhan (Heilman, et al., 2016:47). Semakin banyak momen dilakukan bersama anak, semakin banyak pula laki-laki akan melakukan hal-hal positif seperti bergerak atau tidak merokok. Bahkan tingkah laku anak seringkali membuahkan tawa dan menjadi pelepas penat dari hari yang berat.

Bagi kualitas hubungan, melakukan pengasuhan tentunya bisa menambah momen bersama anak maupun pasangan. Ketika orang tua bisa dekat dengan anak, maka akan menumbuhkan kedekatan dan kepercayaan anak. Sehingga anak akan memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan orang tua ketika ada persoalan di dalam hidupnya. Bukan menggunakan internet atau lingkungan pergaulannya yang bisa jadi kurang tepat untuk membantu menyikapi.

Banyak orang tua mengharapkan yang terbaik bagi anaknya namun tidak sedikit dari mereka yang kurang tepat memilih cara. Sekarang kita menyadari bahwa dalam keluarga perlu ada kerja sama dan saling peduli. Sebagai sebuah keutuhan, setiap anggota mempunyai peran. Ayah bukan hanya pencari nafkah. Ayah bukan lagi sosok yang suka marah-marah demi menjaga “wibawa”. Ayah juga punya peran di rumah. Karena ayah sama pentingnya dengan Ibu dan anak sebagai sebuah keluarga. Selamat belajar menjadi keluarga yang penuh cinta.

Referensi:

Heilman, B., Cole, G., Matos, K., Hassink, A., Mincy, R., Barker, G. (2016). State of America’s Fathers: A MenCare Advocacy Publication. Washington, DC: Promundo-US.

Nefrijanti. (2018). Definisi dan Pendapat Para Ahli tentang Pengasuhan (Parenting). Diakses pada 20 Juni 2020, dari https://pusatkemandiriananak.com/definisi-dan-pendapat-para-ahli-tentang-pengasuhan-parenting/

Wahyuningrum, Enjang. (2011). Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.

46412042
Today
This Week
This Month
Last Month
All
812
85850
264287
306641
46412042