Jumat, 22 Jun 2018 14:18

Suami mendapat promosi jabatan tak selalu membawa perubahan ke arah yang lebih baik, seperti kasus Ny Tini, promosi jabatan suami justru menjadi awal persoalan.

Kasus:

"Dear pengasuh rubrik konsultasi Rifka Annisa,

Saya perempuan sudah tidak muda lagi, umur 40 tahun. Ketika menikah usia saya 22 tahun dan saat ini dikaruniai dua gadis, keduanya sekarang sekolah di SLTA.

Keluarga saya tidak kaya sehingga setelah lulus SMA saya kursus untuk menjadi baby sitter, dan pekerjaan itu pula yang saya lakukan sampai saat ini. Sedangkan suami saya bekerja sebagai tenaga pemasaran barang kebutuhan rumah tangga dan telah berganti pekerjaan tiga kali sebelum menekuni pekerjaannya yang sekarang sebagai manajer pemasaran produk makanan.

Kami menumpang hidup di rumah mertua yang kondisi ekonominya juga pas-pasan. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan uang dan dapat membangun rumah mungil di halaman rumah mertua. Keadaan ini saya syukuri meskipun tetap harus hidup berhemat. Suami saya seorang pekerja keras dan jujur sehingga sejak dua tahun lalu pimpinan di kantornya mempromosikannya untuk menduduki jabatan lebih penting.

Awalnya saya dan anak-anak menyambut lega, tetapi akhirnya kami sangat kecewa karena enam bulan setelah dia naik pangkat dia sering sekali pulang terlambat karena, katanya, harus lembur, melakukan perjalanan ke luar kota, dan sebagainya.

Saya menyadari ini semua sebagai risiko dari pekerjaannya, namun yang saya tidak bisa mengerti, mengapa nafkah lahir yang diberikannya justru makin lama makin tidak tentu sampai akhirnya berhenti sama sekali. Saya berusaha mencari tahu sebabnya, rupanya dia telah berselingkuh dengan perempuan lain.

Saya mengajaknya bicara, kemudian dia menjadi sedikit membaik, meskipun hanya selama tiga bulan. Hingga saat ini keadaan terus memburuk. Semua upaya yang saya mampu sudah saya lakukan: bicara dengannya, minta tolong mertua untuk berbicara dengannya, dan mengadu ke tempat kerjanya. Hasilnya adalah saya ditampar dan dicaci maki oleh suami, dipersalahkan mertua, dan pimpinan suami saya mengatakan, semua perbuatan suami adalah masalah pribadi, tidak ada hubungan dengan pekerjaan.

Sekarang saya bekerja sendirian dari pagi sampai malam supaya dapat memberi makan anak-anak. Setiap saat dibayangi rasa cemas kalau mereka sampai tidak dapat menamatkan pendidikan SLTA-nya, sementara saya dengar suami malahan telah menikah lagi dan hanya sesekali menengok orangtuanya lalu pergi lagi. Anak-anak sampai harus bertengkar dengannya untuk memperoleh uang sekolah.

Apa yang dapat saya perbuat? Saya berharap pimpinan suami saya dapat menolong agar suami lebih bertanggung jawab terhadap anak-anak. Masih dapatkah saya menuntut hak saya dan anak-anak? Apakah benar tidak ada aturan yang dapat menekan suami atau kantornya untuk memenuhi kewajibannya?"

Jawaban:

Hormat, Ny Tini

Ibu Tini, beberapa tahun lalu kami pernah mendengarkan seorang kepala bagian personalia dari sebuah perusahaan yang cukup terkenal di Indonesia yang mengatakan ada kesepakatan kerja bersama antara pihak perusahaan tersebut dan calon karyawannya. Salah satu pasalnya menyebutkan larangan untuk berpoligami.

Pasal ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan bagi kami yang mendengarnya, namun penjelasan perusahaan tersebut membuat kami manggut-manggut: Perusahaan merasa perlu membuat rambu tentang hidup berumah tangga karyawannya karena seorang karyawan tidak mungkin memisahkan diri sepenuhnya antara identitas dirinya ketika berperan sebagai pekerja dan sebagai pribadi yang hidup di masyarakat dan keluarga. Ketika ada masalah dalam keluarga sedikit banyak tentunya akan berimbas pada kinerjanya. Sedangkan masalah poligami dianggap sangat potensial untuk menimbulkan berbagai masalah yang akan berimbas pada kinerja karyawan tersebut.

Terlepas dari masalah larangan poligami tersebut, sikap perusahaan yang sepintas lalu tampak terlalu membatasi hak karyawannya, kalau dicermati akan terlihat bahwa aturan perusahaan tersebut mencerminkan karyawan bukan hanya dianggap sebagai mesin pencetak uang atau keuntungan bagi perusahaan. Keberadaan mereka diakui sebagai manusia yang memiliki dimensi kehidupan yang lebih luas: sebagai karyawan, pekerja, pribadi, anggota masyarakat, dan anggota keluarga. Semua peran dalam kehidupan tersebut dapat dimainkan semua manusia, tanpa pembedaan yang tegas kapan masing-masing peran harus dimainkan.

Sikap pimpinan suami Ibu memang sulit diperkarakan karena di Indonesia memang tidak ada keharusan bagi perusahaan swasta untuk bersikap seperti perusahaan yang kami contohkan di depan. Sementara untuk pegawai negeri ada aturan lebih tegas tentang hal ini. Kepedulian pihak manajemen di sebuah perusahaan memainkan peran sangat menentukan apakah masalah kekerasan seperti yang ibu alami akan dipandang sebagai masalah bersama atau masih tetap dianggap sebagai masalah pribadi.

Dalam KUHP Pasal 304 diatur tentang larangan meninggalkan orang yang seharusnya mendapat penghidupan, perawatan, dan pemeliharaan. Namun, pada kenyataannya pasal ini sangat jarang digunakan dalam konteks hubungan dalam keluarga.

Dengan disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) melalui lembaran negara Nomor 23 Tahun 2004, sebenarnya peluang Ibu untuk menyelesaikan masalah ini lebih terbuka. Pada UU PKDRT Bab III Pasal 9 telah diatur tentang larangan untuk menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga. Oleh karena itu, perbuatan seperti yang suami Ibu lakukan tersebut dapat dikatakan melanggar undang-undang dan tentunya pelanggaran tersebut ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya sebagaimana yang tertulis pada Pasal 49 Ayat (a) dan (b) UU PKDRT.

Dengan dasar dan alasan ini pula, seharusnya pihak perusahaan di mana suami bekerja akan lebih menaruh perhatian pada masalah yang Ibu Tini alami. Dengan disahkannya UU PKDRT tersebut, masalah kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi dianggap sebagai masalah privat. Karena itu, kalau Ibu ingin menyelesaikan masalah ini melalui kantor suami, maka Ibu dapat mencoba kembali menghubungi pihak perusahaan, baik langsung atau menulis surat yang ditujukan kepada pimpinan dan dapat disertai tembusan untuk kantor pusat di mana perusahaan berada, dilengkapi dengan informasi tentang UU PKDRT.

Ibu juga dapat menyelesaikan masalah ini secara hukum. Namun, apa pun langkah yang Ibu ambil ada risiko yang mungkin akan dihadapi suami Ibu. Misalnya, perusahaan akan memberi sanksi kepada suami ibu dari yang ringan sampai yang terberat, seperti pemecatan apabila memang suami dinyatakan bersalah secara hukum.

Sebelum Ibu membuka kembali kasus ini, alangkah baiknya bila Ibu melengkapi dengan bukti-bukti yang dapat ditunjukkan kepada pimpinan suami ataupun kepada pihak yang berwenang memproses laporan Ibu. Termasuk di antaranya bukti tentang adanya pernikahan yang dilakukan diam-diam sehingga melanggar ketentuan yang telah diatur dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan Pasal: 3, 4, 5 yang mengatur tentang pernikahan poligami yang antara lain mensyaratkan izin dari istri sah.

Anda sudah menunjukkan kekuatan luar biasa dalam menghadapi masalah ini seorang diri, mengambil tanggung jawab atas kedua putri ibu tanpa dukungan keluarga. Semoga kekuatan ini akan membawa Ibu keluar dari masalah ini. Kutipan lengkap pasal-pasal yang kami sebutkan di atas akan kami kirimkan ke alamat Ibu, namun apabila Ibu memerlukan informasi atau pendampingan lebih lanjut Ibu dapat menghubungi kami kembali atau lembaga yang melakukan pendampingan bagi perempuan di kota di mana Ibu tinggal.

 

Kompas, 7 Februari 2005

46305827
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6776
51515
158072
306641
46305827