Selasa, 03 Juli 2018 09:15

Kepada Rifka Annisa Women’s Crisis Center

Saya Laksono, laki-laki yang tinggal di Surabaya. Menarik membaca pengalaman perempuan yang mendapat kekerasan. Saya turut bersimpati dengan semua penderitaan yang terjadi. Meski demikian, saya juga ingin protes kepada Rifka Annisa, kenapa lebih terkonsentrasi mendampingi perempuan?

Laki-laki banyak juga yang mendapat kekerasan. Bukankah ini salah satu bentuk diskriminasi? Barangkali protes saya memang subyektif karena saya merasa menjadi bagian kaum laki-laki. Saya mengakui ada beberapa perempuan yang mendapat perlakuan tidak enak dari suami atau orang lain, tetapi berapa persentasenya? Jangan-jangan suaranya saja yang besar, tetapi faktanya kecil. Apa sebenarnya dampaknya? Jangan terlalu didramatisir ah!

Kasus yang terjadi pada artis kita, misalnya. Saya pikir itu hanya akal-akalan mereka mendapat publisitas gratis guna mendongkrak kepopuleran. Yah, lumayan terkenal menjadi artis infotainment meski enggak dapat order sinetron

Terima kasih!

(Laksono)

 

Jawaban :

Yang terhormat Pak Laksono (jawaban ini juga ditujukan untuk Y dan I di Jakarta, serta S di Bali). Terima kasih atas perhatiannya terhadap kolom kami. Suara Bapak mewakili pandangan serupa di kalangan masyarakat dunia yang juga tidak habis pikir mengapa perempuan mendapat perhatian dan prioritas untuk masalah ini. Di seluruh dunia, setiap kali persoalan kekerasan terhadap perempuan dibahas, maka serta-merta pernyataan dan gugatan itu muncul.

Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan domestik (rumah tangga) terangkat ke permukaan dan menjadi perhatian ilmuwan sosial sejak awal tahun 1970-an. Pada masa itu banyak riset dilakukan untuk melihat apa sebetulnya yang dialami perempuan karena kebutuhan yang terus mendesak untuk adanya rumah aman guna menampung perempuan yang terpaksa lari menyelamatkan diri dari rumahnya akibat perlakuan kasar suami atau pasangan lelakinya.

Ternyata riset menunjukkan banyak perempuan mengalami persoalan berat dalam rumah tangga akibat perlakuan fisik, psikis, maupun seksual yang sifatnya ”menganiaya”, ”meneror”, atau ”menyakitkan” dari suami atau pasangan lelakinya.

Riset terus dikembangkan untuk melihat bagaimana sebetulnya peluang lelaki dan perempuan menjadi pelaku dan korban kekerasan. Beberapa studi pun dilakukan dengan cara mendokumentasikan laporan yang masuk di kantor polisi, rumah sakit, dan pengadilan, untuk melihat laporan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan penganiayaan, keluhan fisik, dan psikis akibat penganiayaan dan gugatan perceraian.

Temuan dari studi di beberapa kota dan negara yang berbeda menunjukkan memang ada fakta lelaki dan perempuan sama-sama dilaporkan sebagai pelaku dan juga korban kekerasan domestik, tetapi persentase lelaki sebagai pelaku jumlahnya 7-8 kali lipat dari jumlah perempuan yang dilaporkan melakukan kekerasan domestik.

Hasil riset ini juga memberi petunjuk, kekerasan yang dilakukan perempuan kepada pasangan lelakinya biasanya dimotivasi upaya pembelaan diri karena mereka telah ditekan selama ini. Jadi, lebih merupakan ”pukulan balik” kepada pasangan lelakinya dan karena ekspresi emosi/kemarahan semata. Sementara, kekerasan oleh lelaki umumya dimotivasi dominasi, maskulinitas, dan ekspresi kekuasaan terhadap istri atau pasangan perempuan.

Perbedaan lain adalah dampaknya. Sama-sama mengalami kekerasan domestik, perempuan menderita lebih banyak konsekuensi negatif, mulai dari kesehatan mental, fisik, fungsi reproduksi, hingga kehidupan sosial, dan pekerjaan. Perempuan juga berisiko lebih tinggi untuk terbunuh, mengalami teror, dan ketakutan berkepanjangan, walaupun mereka telah berpisah atau bercerai dari suami atau pasangan lelaki yang menganiayanya. Pola semacam ini hampir tidak dijumpai pada lelaki yang melaporkan diri menjadi korban kekerasan domestik.

Jadi, Pak Laksono, membicarakan kekerasan domestik memang tidak sesederhana yang kita duga. Ini bukan sekadar memanjakan perempuan atau mendiskriminasi lelaki, tetapi memang ada situasi kultural dan struktural yang rumit di banyak tempat yang menjadikan nilai kemanusiaan lelaki dan perempuan menjadi tidak setara.

Rachel Jewkes, dokter asal Afrika Selatan, dalam tulisannya di jurnal internasional Violence Against Women April 2002, menulis teori bahwa kekerasan domestik merupakan fenomena yang kompleks karena faktor penyebabnya berlapis-lapis. Jewkes yang melakukan meta-analisis dari ratusan riset tentang kekerasan domestik di berbagai negara menyebutkan, ada dua penyebab paling dasar, yaitu ideologi superioritas lelaki di masyarakat (rendahnya posisi tawar perempuan), dan kultur kekerasan dalam penyelesaian konflik. Kedua faktor dasar itu dibumbui faktor lain seperti stres, kemiskinan, minum alkohol, peran model dari ayah yang kasar kepada ibu, dan sebagainya, menjadikan kekerasan domestik lebih prevalen dilakukan suami/lelaki terhadap istri/perempuan pasangannya.

Jadi, itu sebabnya prioritas diberikan kepada perempuan. Dikatakan Jewkes, perempuan yang terdidik dan berasal dari budaya tidak merendahkan perempuan terbukti sebagai faktor penting yang menghindarkan perempuan dari tindak kekerasan ini.

Demikian Bapak Laksono, penjelasan kami. Semoga bermanfaat! Salam, Rifka Annisa.

 

Kompas, Sabtu 29 Oktober 2005

Senin, 02 Juli 2018 14:03

Seorang laki-laki saat ini tengah bertekat menghentikan kekerasan yang dia lakukan terhadap istrinya. Dia juga tengah berusaha keras mengubah peri lakunya.

Kasus:

"Saya seorang laki-laki, ingin ikut berbagi dengan Rifka Anissa.

Usia saya 31 tahun, sudah menikah dengan 1 anak laki-laki berumur 4 tahun, saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya tertarik ikut berbagi dengan Rifka karena kok selama ini pembahasan di rubrik ini hanya persoalan perempuan. Sementara persoalan yang dialami laki-laki menurut saya juga tidak kalah berat, seperti pengalaman saya. Hanya saja laki-laki pada umumnya tidak akan mengeluh.

Saya tidak bermaksud mencari simpati karena saya anggap inilah risiko hidup sebagai laki-laki yang harus menjadi pemimpin, pelindung, kuat, dan sebagai panutan dalam keluarga.

Jujur saya jarang mengungkapkan persoalan berat kepada istri karena tidak ingin istri saya justru sedih, lagi pula saya tidak yakin istri bisa memahami. Bukannya saya merendahkan dia, tetapi memang pendidikan dia lebih rendah dari saya. Meskipun begitu, saya tetap menyayanginya karena dia adalah perempuan idaman saya, cantik, tidak banyak membantah, dan ibu yang cukup perhatian bagi anak saya meski secara intelektual saya tidak berharap banyak.

Namun, terkadang dia menjadi emosional sekali kalau sedang marah, malah kesannya terlalu menuntut, kurang bisa melihat situasi sehingga membuat saya cepat marah. Dulu dia tidak begitu, tetapi sejak dia mencurigai saya ada hubungan dengan teman kerja saya di kantor, sikap dia banyak berubah.

Saya menjadi sulit mengontrol emosi. Saya akui beberapa kali menampar dia agar diam. Tentunya dengan pukulan yang ringan saja, tidak bermaksud menyakiti. Saya sebenarnya tidak ingin memukul dia, tetapi rasanya emosi ini cepat naik melihat dia begitu emosional sementara kondisi saya sedang capai.

Saya memang dekat dengan teman kerja perempuan, tetapi saya tidak selingkuh. Dia tidak percaya. Kalau dia begini terus, bisa-bisa saya malah selingkuh beneran.

Bagaimana ya, saya tidak ingin menyakiti istri, tetapi juga ingin dia menghargai kejujuran dan usaha saya menjadi suami yang baik. Apalagi saya baca di media, sekarang sudah ada UU Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sempat jadi perbincangan saya dengan teman-teman sesama suami. Bisa-bisa saya masuk bui hanya karena bertengkar dengan istri.

Terima kasih untuk masukannya..."

( G di Yahoo)

Jawaban:

Hallo Saudara G. Tentu saja kami senang Anda bersedia berbagi pengalaman dengan kami. Tidak sedikit laki-laki yang juga memanfaatkan hotline kami karena merasa menjadi korban kekerasan dan mereka protes karena kami hanya menyediakan konsultasi bagi perempuan korban kekerasan.

Rifka Annisa memang memilih untuk memberi pendampingan untuk perempuan korban kekerasan. Pilihan ini atas dasar fakta bahwa secara statistik perempuan karena keperempuannya lebih banyak dan lebih sering menjadi korban kekerasan daripada laki-laki, meskipun kami tidak mengelak kekerasan dapat menimpa siapa saja tak terkecuali laki-laki.

Selain itu kami melihat perempuan korban kekerasan memiliki pilihan terbatas untuk mendapat pertolongan yang berperspektif perempuan, sementara laki-laki memiliki banyak pilihan untuk mendapat pertolongan atau pendampingan seperti lembaga bantuan hukum, lembaga konsultasi psikologi, dan sebagainya.

Untuk kasus Anda, satu hal yang kami hargai adalah kesadaran Anda bahwa apa yang Anda lakukan terhadap istri adalah sesuatu yang keliru. Seingat kami, hanya sedikit suami yang melakukan pemukulan (atau kekerasan dalam bentuk lain) terhadap istrinya bersedia mengakui hal itu sebenarnya tidak boleh dilakukan.

Saudara G, ungkapan bahwa pemukulan itu tidak keras dan dimaksudkan tidak untuk menyakiti, rasanya itu khas disampaikan para suami yang melakukan pemukulan. Namun perlu Anda ketahui, toleransi terhadap sesuatu hal sering kali bersifat berjenjang. Maksudnya, mungkin memang pukulan Anda ketika itu hanya pelan dan tidak menyakitkan, akan tetapi ketika Anda nanti berkonflik lagi dengan istri dan Anda menggunakan pemukulan lagi, sangat mungkin pukulan itu meningkat intensitasnya tanpa Anda sadari. Sangat mungkin pukulan berikutnya menyebabkan istri Anda menjadi benar-benar kesakitan atau meninggalkan bekas seperti memar. Walaupun Anda katakan pukulan Anda tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas fisik pada istri Anda, kami yakin "luka" yang ditimbulkan lebih bersifat psikologis. Hati istri Anda yang terluka.

Selain itu, penyelesaian masalah yang Anda pilih yakni dengan menampar istri, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda karena sebenarnya Anda memiliki pilihan lain seperti mengajak bicara istri dengan baik-baik atau cara nonkekerasan lainnya. Oleh karena itu, Anda tidak dapat membebankan kesalahan kepada istri dengan mengatakan karena istri Anda emosional atau membuat permakluman bahwa Anda lepas kendali.

Saudara G, memang tidak mudah bagi laki-laki yang dibiasakan untuk menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan perbedaan untuk berubah memilih jalan nonkekerasan dalam menyelesaikan masalah, namun bukan berarti tidak mungkin. Untuk mengubahnya Anda perlu pendampingan dan latihan.

Lalu mengenai keinginan Anda menghentikan pemukulan itu, kami optimistis Anda bisa melakukannya karena Anda sudah punya modal besar yaitu "keinginan untuk menghentikan". Kami menyarankan Anda berdua melakukan konseling yang dapat memediasi Anda berdua mengurai persoalan dan mencari alternatif solusi bagi perbaikan hubungan Anda berdua.

Khusus untuk Anda sebagai suami, seperti yang sudah kami singgung, memerlukan pendampingan dan penanganan tentang komunikasi dan perilaku nonkekerasan, seperti teknik pengendalian emosi dan sebagainya. Sekiranya Anda berdomisili di Yogyakarta, Anda dapat datang ke Rifka Annisa karena kami mulai menawarkan pendampingan untuk laki-laki yang ingin menghentikan perilaku kekerasannya. Dalam program ini Anda akan didampingi konselor laki-laki yang dilatih khusus untuk menangani masalah seperti yang Anda hadapi.

Mengenai Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada tanggal 14 September 2004 lalu memang telah disahkan DPR RI. Jika Anda sudah memiliki tekat untuk menghentikan kekerasan yang Anda lakukan, Anda tidak perlu takut dengan UU itu, justru UU itu dapat memotivasi Anda untuk mengubah perilaku Anda. Kecuali jika Anda tidak memiliki keinginan mengubah perilaku kekerasan Anda, sepatutnya Anda takut dengan UU itu.

Saudara G, semoga masukan ini bermanfaat bagi Anda, dan silakan hubungi kami melalui hotline atau datang langsung bila Anda membutuhkan layanan kami. Salam dari Rifka Annisa.

 

Kompas, 18 Oktober 2004

Jumat, 22 Jun 2018 14:04

Setiap perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak selalu sama dalam merespons kekerasan yang dialami.

Adakalanya kekerasan menjadikan perempuan terpuruk dan menderita, namun adakalanya menjadikan perempuan memilih cara lain, seperti melampiaskan dendam kepada laki-laki dengan cara menggauli setiap laki-laki yang dia sukai untuk kemudian meninggalkannya. Namun, semuanya tetap menjadikan perempuan menderita, seperti penuturan De di bawah ini.

"SAYA seorang perempuan dengan usia seperempat abad lebih, bekerja sebagai karyawan swasta dan berstatus lajang. Saya sadar saya termasuk perempuan dengan penampilan menarik, supel, dalam pekerjaan pun karier saya mantap. Oleh karena itu, teman saya banyak, terutama laki-laki. Bahkan, saya berpacaran dengan mereka. Rifka, saya juga seorang "pelacur". Setidaknya begitulah yang pernah dikatakan seorang perempuan yang suaminya berselingkuh dengan saya. Kalau dipikir-pikir, mungkin benar juga, mengingat entah sudah berapa laki-laki yang pernah tidur dengan saya. Hanya bedanya, saya tidak minta dibayar, tetapi karena dilakukan suka sama suka. Dulu, sama sekali saya tidak punya pikiran akan menjadi seperti ini. Awalnya, beberapa tahun lalu saya berpacaran dengan seorang laki-laki yang begitu saya cintai sehingga saya rela menyerahkan segalanya. Ternyata laki-laki itu mengkhianati saya. Dia meninggalkan saya dan berpacaran dengan perempuan lain. Rasanya begitu menyakitkan sehingga membuat saya ingin sekali membalas apa yang telah dia lakukan terhadap saya. Sejak itu saya mudah berhubungan dengan laki-laki mana pun yang saya sukai dan sebentar kemudian saya tinggalkan untuk beralih pada yang lain. Saya tidak peduli apakah mereka akan patah hati atau sakit hati. Salah satu di antara laki-laki itu ternyata benar-benar mencintai saya, bahkan ingin menikah. Ketika saya ceritakan siapa saya sebenarnya dan bagaimana kelakuan saya, dia mau menerima asal saya mau berubah. Bahkan, saat ini kami sedang merencanakan pernikahan. Masalahnya, saat ini saya juga berhubungan dengan seorang laki-laki yang sudah beristri. Dengan dia (sebut saja X), saya memiliki pengalaman yang betul-betul berbeda. Hanya dengan dia saya benar-benar mendapatkan kepuasan saat berhubungan badan. Entah, mungkin karena dia sudah lama berumah tangga sehingga lebih berpengalaman. Saya merasa jatuh cinta kepadanya. Sehari saja tidak bertemu, rasanya saya gelisah terus. Tetapi, sejak istrinya mengetahui hubungan kami, X mulai menghindar sehingga membuat saya sering uring-uringan. Dia bahkan menginginkan untuk putus hubungan, padahal dulu dia mengatakan akan bercerai dari istrinya karena perkawinannya bermasalah. Terus terang saya marah melihat sikapnya yang begitu pengecut. Pada awalnya saya hanya ingin berhubungan tanpa komitmen dengan X. Tetapi, karena saya akhirnya benar-benar jatuh cinta, terus terang saya menjadi punya harapan untuk dapat hidup bersama X. Rifka, saya betul-betul bingung, marah, tidak tahu mesti bagaimana. Tolong kasih saya masukan. Perlu Rifka ketahui, saya menyadari apa yang saya lakukan selama ini adalah salah. Dalam hati kecil saya sebenarnya ingin berubah, tetapi saya bingung dan tidak yakin dengan diri sendiri. Terima kasih sebelumnya." (De di Kota J)

Jawab:

Ketika kami menulis di rubrik ini pada edisi Agustus 2003, ada salah satu tanggapan melalui surat elektronik dari seorang pembaca laki-laki yang secara terus terang membeberkan pengalamannya berhubungan bebas dengan beberapa perempuan dalam kurun waktu tertentu di luar perkawinannya. Tetapi, pada akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan "petualangannya" karena tersentuh oleh kebaikan sang istri yang mau memaafkan dan menerimanya kembali. Selanjutnya, laki-laki itu justru menjadi "konselor" bagi rekan-rekannya yang masih terjebak pada masalah serupa untuk dapat keluar dari masalah tersebut.

Kasus Anda dapat dikatakan serupa, tetapi tidak sama dengan apa yang dialami laki-laki tersebut. Dia mengawalinya untuk mendapat kesenangan, tetapi Anda mengawali karena semangat balas dendam (yang mungkin tidak Anda sadari). Meskipun begitu, hati kita akan bertanya, sesungguhnya apakah mantan pacar yang telah membuat Anda sakit itu merasakan pembalasan Anda? Atau, adakah hubungan antara mantan pacar yang berkhianat itu dan para laki-laki yang berhubungan dengan Anda selama ini? Tentu Anda tahu jawabannya bukan?

Saudari De, apa yang terjadi pada Anda merupakan salah satu contoh dinamika psikologis dari perempuan korban kekerasan, mengingat Anda menyadari perubahan perilaku Anda terjadi setelah pacar Anda mengkhianati Anda. Dalam kasus Anda, kami menggolongkan sebagai kekerasan dalam pacaran.

Sekilas banyak orang sulit menerima apa yang dilakukan pacar Anda sebagai bentuk kekerasan, tetapi bila melihat pola hubungan pacaran yang menempatkan laki-laki sebagai subyek dan pasangan perempuan sebagai obyek, maka akan tampak bahwa sering kali pasangan perempuan tidak memiliki pilihan, kecuali menuruti keinginan pasangan laki-laki, entah karena bujuk rayu atau janji menikahi. Bujuk rayu dan janji-janji adalah manifestasi dari pemaksaan (psikis) dan pemaksaan adalah salah satu bentuk kekerasan.

Kasus Anda dapat dijadikan cermin bagi Anda sendiri maupun perempuan lain yang memiliki kasus serupa, juga pembaca pada umumnya. Bahwa kekerasan terhadap perempuan selain menimbulkan dampak bagi perempuan itu sendiri juga sangat mungkin berimbas kepada orang lain.

Saudari De, bila kita tengok ke belakang, cara Anda beradaptasi dengan kekecewaan yang mendalam itu adalah dengan menggeneralisasi subyek penyebab masalah. Maksudnya, Anda telah dikhianati laki-laki, maka kemudian Anda memperlakukan semua laki-laki secara tidak baik.

Anda, sebagai perempuan, mengambil peran bahwa Anda juga dapat berlaku sebagaimana seorang laki-laki yang dapat dengan mudah mencampakkan perempuan. Situasi ini kemudian Anda sadari belakangan bahwa ternyata semua itu tiada berujung pada penyelesaian persoalan yang membuat "hati Anda tenteram", melainkan justru semakin memperburuk hidup Anda.

Kalaupun saat ini Anda mulai menyadari dan diikuti penyesalan, itu indikasi yang bagus karena berarti Anda sudah memiliki modal untuk berubah. Nah, bagaimana mewujudkan perubahan itu, barangkali pertimbangan berikut ini dapat Anda pikirkan:

Pertama, cobalah kenali lagi diri dengan menggali kapasitas positif dan negatif Anda. Jika perlu, mintalah bantuan orang lain atau profesional untuk mendorong dan memberi pertimbangan. Dengan mengetahui potensi diri, kita akan memiliki rasa percaya diri dan berani menghadapi masa depan.

Kedua, jangan takut untuk "membongkar" kebiasaan Anda selama ini. Kemungkinan Anda akan mengalami gejolak emosi seperti ragu dan takut karena keluar dari kebiasaan membuat seseorang tidak nyaman. Tetapi, yakinilah bahwa situasi ini akan membawa Anda pada situasi baru yang lebih baik.

Coba Anda pertimbangkan seperti apa dampak psikologis, sosial, hukum, juga kesehatan (reproduksi) bagi diri Anda sendiri jika kebiasaan tersebut tetap dipertahankan. Anda juga dapat mengkajinya secara spiritual, apa sesungguhnya yang Anda cari dalam hidup ini.

Ketiga, coba gunakan kontak sosial Anda untuk membangun komunikasi baru yang dapat mendukung perubahan Anda. Putuskan hubungan dengan komunitas atau pribadi-pribadi yang memungkinkan Anda tetap berada dalam gaya hidup seperti yang sekarang ini. Fokuskanlah saat ini guna menerapi diri sendiri untuk menjadi sosok yang baru, yang konstruktif dan produktif.

Keempat, ketika Anda sudah mulai menjadi "orang baru", Anda dapat mengenali berbagai peran dan tingkah laku yang baru serta menghayatinya. Pada tahap ini, Anda akan merasakan sensasi baru tentang bagaimana menjadi pribadi yang lebih konstruktif dan produktif dari sebelumnya, sebagaimana yang Anda inginkan. Tidak ada lagi kecemasan serta kemarahan yang membelenggu seperti yang sudah-sudah sehingga Anda dapat menikmati hidup dengan lebih nyaman dan tenteram.

Nah, Mbak De, ingatlah bahwa yang Anda butuhkan adalah semangat dan keberanian untuk berubah. Kami yakin Anda mampu! Selamat menjalani proses untuk menjadi sosok baru.

 

Kompas, 16 Februari 2004

Kamis, 05 Oktober 2017 15:51

Yogyakarta - Berbicara mengenai perdamaian, sebagian orang biasanya mengaitkan dengan sebuah situasi dimana tidak ada perang atau tidak ada konflik. Namun, perdamaian ternyata bisa dimaknai secara berbeda sesuai dengan pengalaman masing-masing. Pemaknaan ulang akan perdamaian ini salah satunya disampaikan oleh Rannisakustik dalam Dialog Khusus program kerjasama Rifka Annisa dan ADI TV yang bertema “Musik untuk Promosi Perdamaian dan Anti Kekerasan”, Selasa (19/9).

Dialog ini menghadirkan dua narasumber dari Rannisakustik, sebuah komunitas seni yang aktif menyerukan kampanye anti kekerasan, yaitu Ramses dan Ahmad Jalidu. Menurut Ramses, perdamaian adalah menahan diri. “Perdamaian tidak mungkin ada kalau tidak ada keadilan. Keadilan bisa dirusak dengan berbagai alasan yang dibenarkan dengan berbagai macam cara,” imbuhnya.

Menurut laki-laki yang juga berprofesi sebagai seniman tersebut, keadilan sendiri bukan sesuatu yang jadi tapi proses yang harus dipelajari. Ia mencoba melihat perdamaian dari hal yang kecil, dari konteks manusiawi misalnya ketika kita belajar dari keakraban hubungan bermasyarakat, dengan keluarga atau tetangga. Untuk melihat perdamaian tidak harus dari sesuatu yang besar tapi dari komunitas kecil. Sebab, menurut ia, perdamaian yang besar akan tercipta dari hal-hal yang kecil.

Menyinggung tentang keterlibatannya dalam promosi perdamaian ini, Ramses mengatakan bahwa Rannisakutik mengajak para musisi dan seniman untuk berkolaborasi dengan aktivis anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Selama ini kan persoalan perempuan dan anak selalu dikumandangkan dengan cara yang formal, dengan jargon yang terkadang malah diplesetkan dan ditertawakan. Kita tidak menggurui tapi mengajak orang untuk melihat persoalan keseharian,” kata Ramses.

Setiap orang pernah terlibat kekerasan sebagai korban, pelaku atau saksi. Artinya di sekitar kita banyak sekali masalah. Rannisakustik mencoba memperluas jaringan dengan menggandeng seniman-seniman kampung. Pendekatan tersebut berbeda dengan grup musik kebanyakan. Mereka tidak masuk ke media-media besar, tapi justru membuat workshop di kampung-kampung bersama remaja untuk bercerita tentang kekerasan.

Ketika ditanya alasan kenapa memilih strategi seperti itu, Ramses menjelaskan bahwa yang mereka sentuh adalah persoalan yang menyangkut individu, tentang hal pribadinya bukan gagasan yang begitu besar. “Kalau kampanye pelestarian orang hutan, kita menunjuk jauh seolah-olah kita tidak punya persoalan tentang itu. Kalau soal kekerasan siapa sih yang tidak pernah menyakiti orang lain,” jelasnya.

Bekerja Lewat Seni

Rannisakustik sangat jeli melihat peluang seni untuk media promosi. Bagi mereka, seni bekerja secara santun dan menyenangkan. Sebagian besar masyarakat menyukai seni dan mendekati seni dengan perasaan senang dan terhibur. Seni menjadi semacam tirai untuk mempengaruhi dan meningkatkan kesadaran tidak hanya orang lain tapi juga kesadaran diri sendiri.

Meski demikian, ada tantangan tersendiri bagi pemusik untuk teribat dalam kampanye ini. Ada orang yang terkadang menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang justru mengarah pada kekerasan, penahlukan, dominasi, dan sebagainya. “Mungkin motif dia belajar seni untuk menahlukan perempuan, itu jadi modus. Ini tantangan besar, menjadi seniman sendiri bukan persoalan mudah. Dalam seni bisa jadi kita juga mengalami persoalan kekerasan,” jelas Ramses.

Ahmad Jalidu yang juga aktif di seni teater, menyoroti persoalan perdamaian berdasarakan pengalamannya. Menurut dia, perdamaian adalah ada perbedaan tetapi tidak ada konflik. Selama ini dia mengamati sangat sulit untuk memastikan bahwa ada perbedaan tapi tidak ada konflik. Terlebih tentang bagaimana mengelola konflik dan mencegah peristiwa kekerasan dalam bentuk fisik.

“Meskipun tidak secara lugas mengatakan jangan ini jangan itu, tapi kita menggambarkan bahwa ini peristiwa yang seharusnya tidak terjadi sehingga kita bisa mencegah dengan cara masing-masing,” ungkap Jali, sapaan akrab Ahmad Jalidu.

Jali mengatakan bahwa refleksi atas pengalaman pribadi menjadi penting. Komunitas mereka mengutamakan membuat lagu dari pengalaman pribadi. Meskipun ada peserta yang mengatakan bahwa ia beruntung karena hidupnya tidak pernah mengalami konflik atau kekerasan, namun ia juga harus menengok kanan kiri. Semua lagu yang dihasilkan Rannisakustik adalah berasal dari peristiwa nyata.

Jali memberikan contoh salah satu lagu yang inspirasinya dari perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), kemudian memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri dan tidak menikah dengan pelaku. Mungkin di masyarakat hal seperti itu dianggap kasihan. Padahal kalau menikah, si perempuan belum tentu bahagia karena dia menikah dengan pelaku kekerasan.

Menurut Ramses, mereka banyak dibantu teman-teman aktivis untuk masuk ke masyarakat. Dengan membawakan tema-tema yang akrab dengan keseharian, mereka mengajak masyarakat untuk bicara tentang diri sendiri. Selain itu, mereka juga mengadakan tour ke sekolah-sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) dan sekolah menengah (SMP dan SMA). Mereka juga menghelat kampanye di kampus-kampus misalnya dalam bentuk diskusi musikal.

“Kita pilih tema yang cocok dengan mereka misal kekerasan dalam pacaran, relasi sehat, dan lain-lain. Yang dikampanyekan adalah nilai-nilai universal tentang perdamaian dan berbagi. Selain itu bergaul sehat, dan mencegah kekerasan seksual. Dan bagaimana menanggulangi ancaman kekerasan seksual,” imbuh Ramses.

Setiap anggota Rannisakustik menulis lirik lagu. Ini adalah sebuah statement atau pernyataan sikap atas isu tertentu. Lalu mereka berbagi pengalaman masing-masing. Seperti satu hal yang diceritakan oleh Jali tentang mengapa kekerasan itu sering dilakukan oleh laki-laki?

Menurut dia, laki-laki itu banyak tekanan, baik dari budaya maupun dari pemahaman agama. Laki-laki itu kepala rumah tangga, harus mencari nafkah, dan harus kuat. Kalau ada genteng bocor ya laki-laki harus bisa memperbaiki. Motor rusak juga. Setiap laki-laki dituntut jadi Superman. Laki-laki dituntut harus menjadi kuat, sehingga ia berusaha menunjukkan itu.

Menanggapi tentang perempuan yang sering dikambinghitamkan dalam kasus perkosaan lantaran dianggap memakai pakaian seksi, Ramses menanggapi bahwa masyarakat kita masih sering melemparkan kesalahan pada pihak korban. Menyalahkan korban (victim blaming) masih kerap dilakukan sebagai pembenaran atas pelaku kekerasan.

“Bahkan kambing pun bisa jadi korban kekerasan seksual. Jadi ini bukan soal pakaian. Sehingga persepsi semacam itu dibentuk,” jelas Ramses.

Membangun Budaya Anti Kekerasan

Kekerasan terjadi di segala tingkat masyarakat, bisa terjadi pada siapapun dan kapan pun. Rannisakustik belajar dari Rifka Annisa bahwa kasus kekerasan dari dulu sampai sekarang sama banyaknya. Bedanya, sekarang lebih banyak yang berani melawan dan melaporkan. Bukan hanya di kota besar, tapi juga di pelosok.

Berbicara lebih luas tentang tantangan perdamaian di negeri ini, Ramses melihat euforia demokrasi di sisi lain dikutuk, tapi di sisi lain juga dirayakan. Sebagai contoh tentang kebebasan di media sosial. Banyak praktik yang justru memperkeruh perdamaian. Provokasi kekerasan, ancaman dan tindakan perundungan sarat dilakukan melalui media ini.

Selain itu, yang  tidak boleh dilupakan juga dalam bencana alam dan konflik sosial misalnya, pihak yang paling banyak dirugikan adalah perempuan dan anak. Ketika perempuan dan anak mendapat ancaman sosial, seringkali kita sebagai individu abai apalagi negara.

Jali menambahkan bahwa seringkali ketika yang dikampanyekan perdamaian, tidak ada yang menolak. Tapi kalau tentang kekerasan terhadap perempuan, itu menjadi sangat sulit. Banyak sekali orang yang tidak setuju. “Kami mengajak masyarakat memahami bahwa kekerasan tidak kita inginkan terjadi pada diri kita dan orang terdekat kita. Kita bisa cegah dengan cara masing-masing,” kata Jali.

Dalam membuat lagu bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rannisakustik tidak menentukan target tertentu seperti penjualan dan sebagainya. Bagi Ramses yang penting lagu-lagu tersebut bisa tersebar dan dinyanyikan oleh banyak orang. Mereka membuat lagu, mengunggah di blog, You Tube, dan media sosial lain. Lagu-lagu Rannisakustik bebas diunduh, diganti atau disesuaikan liriknya dengan pengalaman masing-masing, diubah bahkan dibajak. Mereka ingin lagu tersebut dimainkan dimanapun, oleh siapapun dan bisa disebarluaskan.

“Saya sih pengennya lagu-lagu Rannisakustik bisa dinyanyikan di bus-bus kota oleh pengamen,” pungkasnya.

46305531
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6480
51219
157776
306641
46305531