Berbagi Peran, Mulai Sekarang

Written by  Rico Takai Yama Senin, 11 Mei 2020 18:03

Ketika bicara tentang berbagi peran di keluarga, yang terlintas pertama kali biasanya mengenai siapa yang mencari nafkah dan siapa yang melakukan pekerjaan rumah. Dalam hidup berkeluarga memang keduanya telah menjadi hal utama dan harus berjalan bersama. Namun, masih banyak keluarga yang terlalu kaku dalam memberlakukan peran tersebut.

Studi Kuantitatif Pengalaman Hidup Laki-laki oleh Rifka Annisa dan Partners for Prevention di Jakarta, Purworejo, dan Jayapura memperlihatkan bahwa masih ada banyak keluarga dimana perempuan melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Perempuan yang melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga di Jakarta sebesar 62,4%; di Purworejo 47,4%, dan di Jayapura 42,7% dari seluruh responden. Kemudian yang melakukan pekerjaan rumah tangga secara berimbang di Jakarta sebesar 36,2, di Purworejo sebesar 49,8, dan di Jayapura 54,3%. Sedangkan laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak dibandingkan perempuan di Jakarta sebesar 1,5%; di Purworejo 2,8%; di Jayapura 3%. 

Pembagian peran yang kaku antara laki-laki di ranah publik dan perempuan di ranah domestik banyak dipengaruhi oleh nilai di masyarakat yang telah dipraktikkan cukup lama. Nilai tersebut seolah mengatur dan membedakan peran antara laki-laki dengan perempuan. Karena itu masyarakat mewajarkan ketika laki-laki menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah yang utama. Sedangkan perempuan dianggap wajar ketika bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah (domestik) dengan baik.

Pembakuan peran laki-laki dan perempuan ini dapat mempengaruhi pola relasi pasangan maupun keintiman di keluarga. Indiah Wahyu Andari, Konselor Rifka Annisa, menyampaikan bahwa di banyak kasus yang didampingi Rifka Annisa, pembakuan peran ini membuat Istri jadi terbebani terlalu banyak, bahkan menuntut dirinya sendiri dan merasa bersalah ketika tidak bisa memenuhi tugas domestik dengan baik.

Indiah juga mengatakan bahwa ketika ada kasus suami berselingkuh atau melakukan kekerasan, istri merasa dialah yang bersalah, dan wajar suaminya melakukan hal itu.

“Sementara di kasus lain, jika suami tidak bisa memenuhi nafkah, akan dimaklumi, dimaafkan, dan istri dengan sendirinya ikut menanggung beban ekonomi,” tambahnya.

Sebenarnya pembakuan peran ini dapat berdampak buruk bagi laki-laki dan perempuan. Hal itu karena laki-laki maupun perempuan jadi punya tuntutan dari lingkungannya. Seperti ada standar yang harus dipenuhi untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Padahal, pembagian peran itu perlu mempertimbangkan kecakapan dan keahlian setiap orang. Misalnya, bisa jadi kemampuan memasak suami melebihi istri sehingga perihal memasak lebih banyak diperankan oleh suami. Atau istri mempunyai pendapatan tetap sebagai karyawan dan suami menekuni usaha dari rumah, sehingga pencari nafkah banyak diperankan oleh istri. Yang terpenting dan perlu disadari bahwa pembagian peran ini tetaplah bersifat cair dan sangat mungkin dilakukan bergantian atau bahkan bersamaan.

Memang untuk membiasakan berbagi peran tidaklah mudah. Namun dengan memulainya, kemungkinan kita menjadi terbiasa akan jauh lebih nyata. Beberapa keluarga yang ikut serial diskusi bersama Rifka Annisa telah memulainya dan membagikan sedikit cerita perubahan mereka. Erwin Cahyono, seorang suami dan ayah dari Gunungkidul mulai belajar bahwa mencari nafkah adalah tanggung jawab bersama, termasuk pengelolaannya.

Pengalaman Erwin menjadikan kesalingan sebagai modal suami-istri untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, akan sulit jika hanya dibebankan pada suami. Sebuah keluarga perlu menyiapkan jika ada kejadian tidak diinginkan seperti pencari nafkah utama terkena PHK, penghasilannya menurun atau meninggal dunia.

Contoh yang kedua berasal dari salah satu keluarga di Kulon Progo. Dimas Sigit, seorang suami dan ayah mengatakan bahwa pengasuhan anak merupakan tanggung jawab bersama.

“Ayah itu harus membangun chemistry dengan anak-anaknya supaya bisa dekat, bukan ayah yang bisanya hanya menyuruh anaknya saja,” kata Sigit, yang juga fasilitator Kelas Ayah. 

Dari pengalaman Sigit, kita belajar bahwa pengasuhan bukan hanya peran ibu. Perlu dibutuhkan kerja sama antara suami dan istri untuk mengasuh anak. Banyak penelitian yang bisa kita cari menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat berdampak positif terhadap perkembangan anak.

Nah, contoh yang disebutkan di atas tadi adalah sedikit kisah perubahan yang dialami dua lelaki, ayah sekaligus suami. Mereka membuktikan sebagai suami dan ayah yang bisa berbagi peran dengan pasangan. Meski demikian, pada praktiknya memulai berbagi peran mungkin tidak mudah. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar kita lebih mantap untuk memulai berbagi peran dengan pasangan atau dalam keluarga:

1. Pekerjaan Rumah Nyatanya Tidaklah Mudah

Banyak dari kita yang kurang menghargai pekerjaan rumah. Alasan paling besar karena pekerjaan rumah tidak menghasilkan uang. Memang benar pekerjaan rumah tidak menghasilkan uang, tapi kita bisa menghabiskan uang jika mempekerjakan asisten rumah tangga. Kita perlu membenahi penilaian kita terhadap pekerjaan rumah. Jangan-jangan kita bilang mudah karena kita belum pernah melakukannya. Sekarang coba kita bayangkan, melakukan pekerjaan yang sama, berulang kali, di tempat yang sama, waktu istirahat tidak menentu dan bahkan tidak ada hari libur. Masih menganggapnya mudah?

2. Ibu Memang Menghasilkan ASI, Tetapi Dukungan Ayah Juga Sangat Penting

Kita menyadari bahwa ASI sangat penting untuk diberikan pada anak di masa awal pertumbuhan. Di masa ini, peran ibu sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan anak akan ASI. Akan tetapi, bukan berarti ayah bisa dengan santai menyerahkan peran ini seutuhnya kepada ibu.

Dalam penelitian yang dilakukan Rudzik (2010) menunjukkan bahwa tingkat stres yang dialami ibu bisa berdampak pada menurunnya produksi ASI. Oleh karena itu, di saat ibu melakukan pekerjaan reproduksinya, ayah perlu memberikan dukungan seperti meringankan pekerjaan rumah atau memberikan kesempatan bagi ibu untuk relaksasi. Di kondisi tertentu dengan alasan medis di mana ibu tidak bisa memberikan ASI secara langsung, ayah juga bisa memberikan ASI perah dari Ibu atau sufor. Jadi, apa masih kita membakukan peran di saat anak atau keluarga sedang membutuhkan?

3. Setiap Anggota Keluarga Adalah Bagian Dari Rumah

Kita tinggal di dalam rumah. kita bisa beristirahat di rumah dengan nyaman dan aman. Kita adalah bagian dari rumah. Tapi seringkali kita lupa tanggung jawab kita sebagai bagian dari rumah. Membiarkan rumah dirawat oleh satu orang tidaklah menunjukkan rasa kepedulian. Tidak ada salahnya kita mencuci peralatan makan yang baru saja kita pakai. Bukan sekedar ditumpuk karena merasa itu peran istri/ibu. Atau, bisa saja kita menyapu lantai rumah yang setiap hari kita lewati. Semua kita lakukan untuk tujuan bersama, untuk keluarga dan rumah kita. Lagian, dengan cepat selesainya pekerjaan rumah berarti menambah banyak waktu untuk bisa bersama kan?

Sekali lagi, berbagi peran memang tidaklah mudah. Tapi dengan berbagi peran, setidaknya kita bisa lebih mudah menghadapi berbagai persoalan di kehidupan. Jika laki-laki terlalu dituntut dan menuntut dirinya untuk selalu menjadi pencari nafkah, penentu keputusan, dan banyak berperan di ranah publik, maka bisa berpotensi laki-laki mengalami stres jika ia tidak bisa melakukannya dengan baik. Atau bisa jadi ia akan bersedih ketika tidak pernah bisa merasa dekat dengan anaknya. Jika perempuan terlalu dituntut dan menuntut dirinya mengurusi semua urusan rumah maka bisa berpotensi mengalami stres karena terlalu berat, kurang waktu mengaktualisasi diri dan bisa jadi menyia-nyiakan kemampuan yang ia tekuni selama di sekolah.

“Profil Perempuan Indonesia 2019” yang dipublikasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlndungan Anak menunjukkan bahwa angka partisipasi murni perempuan di perguruan tinggi mencapai 19,89%, sedangkan Laki-laki berada di 17,33%. Jangan sampai pembakuan peran yang ada dimasyarakat berdampak pada pembatasan perempuan mengembangkan dirinya.

Jadi, berbagi peran bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan bersama, tetapi juga menyentuh kebutuhan diri sendiri. Mulai sekarang, kita berbagi peran. Ciptakan keluarga nyaman dengan kesalingan.

Referensi:

Elli Nur Hayati et al. (2012). Studi Kuantitatif Pengalaman Hidup Laki-laki di Jakarta, Purworejo dan Jayapura. Rifka Annisa, Partners for Prevention.

Hasyim, N. & Wulan, N.A. (2017). Belajar Mencintai dari Rumah. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC

Pratama, Aditya. (2018). Banyak Manfaatnya Yuk Mulai Sekarang Kita Berbagi Peran. (Artikel) Diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/banyak-manfaatnya-yuk-mulai-sekarang-kita-berbagi-peran/

Rudzik, Alanna. (2010). Breastfeeding and the Individual: The Impact of Everyday Stressful Experience and Hormonal Change on Breastfeeding Duration Among Women in Sao Paulo, Brazil. (Disertasi). University of Massachusets: Department of Anthropology.

Wahyuningrum, Enjang. (2011). Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.

Kemenpppa. (2019). “Profil Perempuan Indonesia 2019”. Diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Read 14147 times Last modified on Rabu, 26 Agustus 2020 14:14
46429629
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2503
9301
281874
306641
46429629