Selasa, 10 Oktober 2017 05:46

Media memiliki peranan penting dalam menyebarkan informasi dan membangun opini publik terkait isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk salah satunya tentang isu kekerasan seksual. Sehubungan dengan ini, media tidak hanya dituntut untuk menyajikan informasi yang akurat dan terpercaya, lebih dari itu, media perlu menyajikan berita yang lebih berempati pada korban. Sebab, pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang tidak berperspektif korban justru akan membuat korban mengalami ‘kekerasan’ untuk kedua kalinya.

Salah satu contohnya adalah pemberitaan yang dimuat oleh Radar Jogja, 6 September 2017 yang berjudul “Telaah Dulu Motif Pelaku dan Korban”. Tulisan tersebut menyoroti kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru di Gunungkidul terhadap anak didiknya. Berita ini juga tersedia versi online dengan judul “Pencabulan Siswi SMK, Perempuan Harus Berani Menolak” bisa diakses secara melalui http://www.radarjogja.co.id/pencabulan-siswi-smk-perempuan-harus-berani-menolak/. Ada beberapa kontroversi dalam pemberitaan tersebut yang akan dibahas oleh penulis. 

Pertama, mengenai pendapat pengamat yang dikutip dalam berita. Di berita tersebut tertulis, pengamat seksologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro PhD berpendapat, pihak kepolisian tidak boleh asal menjerat pelaku dengan undang-undang pidana, tapi harus menelaah terlebih dahulu motif pelaku dan korbannya. Pengamat juga menyebutkan bahwa tidak bisa kemudian langsung menyalahkan pelaku hanya berdasarkan laporan korban. Ia mengatakan hal tersebut bisa ditelusuri lebih mendalam, apakah mereka berdua sama-sama suka atau ada perasaan, kalau memang ada perasaan cinta tindakan tersebut belum bisa dikatakan kriminal.

Pernyataan diatas, menurut penulis, tidak sejalan dengan amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Tindakan pencabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur oleh oknum guru di Gunungkidul sebagaimana yang diberitakan adalah tindakan kriminal sehingga pelaku bisa dipidanakan. Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan dalam Pasal 9 (1a) bahwa Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Apa yang dilakukan oknum guru tersebut jelas merupakan kejahatan seksual yang melanggar hak anak. Maka pemidanaan sudah menjadi konsekuensi semestinya.

Kedua, pernyataan pakar tersebut juga melanggengkan stigma yang diberikan kepada perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Stigma terhadap perempuan korban masih terus bermunculan. Kutipan pernyataan seperti yang ditulis di Radar Jogja diatas justru melanggengkan stigmatisasi terhadap korban. Sebagaimana tertulis, Prof Koentjoro PhD dari UGM menyatakan: “Yang menjadi permasalahan hanyalah pada status sosial keduanya. Baik guru maupun siswi yang bersangkutan. Padahal, tidak menutup kemungkinan keduanya memang menjalin kasih di sekolah. Wajar saja kalau ada ketertarikan sang guru pada siswinya. Remaja di usia tersebut memang sudah dianggap matang untuk menjalin hubungan orang dewasa.”

Lagi-lagi kutipan pernyataan tersebut menimbulkan masalah. Pernyataan seperti itu tidak berempati pada korban. Seolah memberikan ruang untuk penyangkalan atas tindak kejahatan pelaku dengan melimpahkan kesalahan pada pihak perempuan. Kekerasan seksual yang dilakukan pada anak, termasuk anak didik, adalah mutlak kejahatan yang harus dipidanakan. Semestinya tidak ada ruang atau alasan untuk melihat tentang motif pelaku dan korban, apalagi melakukan pembenaran tindak kejahatan seksual dengan dalih pelaku dan korban ‘menjalin kasih’ atau ‘suka sama suka’. Terlebih jika korban masih berusia anak. Melakukan hubungan seksual dalam bentuk apapun terhadap anak adalah kejahatan. Sehingga consent atau persetujuan anak tidak berlaku sebagai alasan pembenaran atas tindakan pelaku.

Apapun alasan yang digunakan untuk melakukan penyangkalan atau pewajaran atas segala bentuk tindakan kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak berempati pada korban. Anggapan tentang ‘suka sama suka’ adalah sebuah gagal paham dan tidak berpengetahuan. Dalam hal ini hubungan atau perbedaan kekuasaan antara korban dan pelaku penting untuk lebih diperhatikan. Hubungan pelaku sebagai ‘guru dan murid’ sekaligus ‘orang dewasa dan anak-anak’ telah memberikan efek kekuasaan yang berbeda. Hal ini dapat dijadikan celah bagi pelaku untuk melakukan kejahatan seksual dengan atau tanpa memperlihatkan unsur kekerasan. Adanya ancaman, kekerasan atau pun yang berupa bujuk rayu dapat menjadi alat pelaku untuk mengontrol korban agar mengikuti keinginannya. Hal ini jelas menandakan adanya kekuasaan (power) yang timpang sehingga tindakan kejahatan seksual dilakukan.

Selama 24 tahun pengalaman Rifka Annisa mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan, faktor relasi kuasa ini sangat berpengaruh pada terjadinya kekerasan dan memberikan dampak yang tidak bisa disepelekan pada korban. Bagi korban dampaknya adalah perasaan takut, cemas, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa sehingga terpaksa menuruti keinginan pelaku atau pun seolah membiarkan pelaku melakukan kejahatan atas dirinya. Padahal sebenarnya korban berada dalam situasi yang tidak berdaya.

Situasi ketidakberdayaan ini yang kemudian menyebabkan perempuan dan anak terkadang tidak tahu harus berbuat apa atau bahkan cenderung memendam sendiri peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Sayangnya, ketika mereka sudah berani bicara atau melapor meskipun dalam tenggat waktu yang cukup lama, masyarakat justru melontarkan pernyataan yang menyudutkan korban seperti “Kenapa baru melapor?”, “Kamu melapor karena dipaksa ya?”, atau pernyataan lain yang menyalahkan dan semakin menambah beban psikologis pada korban. Respon tidak percaya pada korban, menganggap remeh kejadian kekerasan seksual, tidak adanya dukungan dari orang terdekat, dan kebiasaan menyalahkan korban menyebabkan tidak banyak perempuan dan anak serta merta bisa angkat bicara atas peristiwa kekerasan yang dialaminya. Korban kekerasan seksual pada akhirnya tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk pemulihan. 

Ketiga, mengajarkan asertivitas dan keberanian bagi perempuan dan anak memang penting untuk menolak perlakuan yang membuat tidak nyaman misalnya dengan berani berkata TIDAK dan berani meminta pertolongan ketika ada orang yang menunjukkan gelagat bahaya pada diri kita. Hal ini penting sebab merupakan bagian dari meningkatkan konsep diri, penghargaan atas diri, dan upaya pertahanan diri. Namun, hal yang tak kalah pentingnya adalah mencegah diri untuk tidak melakukan kekerasan pada orang lain. Terlebih jika seseorang dianggap sebagai figur yang semestinya menjadi panutan orang lain, maka yang penting adalah bagaimana menjadi role model yang memang patut digugu lan ditiru. Apa yang dilakukan oleh oknum guru pada kasus diatas jelas-jelas melanggar etika profesi dan melanggar hukum. Selain itu, penting juga memberikan pendampingan dan perlindungan korban. Bersamaan dengan itu, penegakan hukum dan proses pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak tetap harus dilakukan untuk menjamin hak korban, memberikan efek jera pada pelaku dan menjamin agar kejahatan seksual tidak berulang.

Keempat, penulis mengapresiasi bahwa media turut mengedukasi masyarakat melalui pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual. Namun, edukasi kepada masyarakat tidak cukup hanya dengan memberitakan kasus kekerasan seksual.  Menyajikan informasi yang edukatif, berdasarkan etika pemberitaan, dan berperspektif korban jauh lebih penting. Hal ini akan memberikan keuntungan bagi media supaya lebih berintegritas dan dipercaya oleh masyarakat. Media akan menjadi rujukan yang bisa berdampak pada perubahan di masyarakat bukan sekedar menyajikan sensasi dalam pemberitaan.

Kelima, menuliskan informasi yang tidak sesuai konteks adalah sebuah kecerobohan dan kegagalan media menjalankan fungsi edukatifnya. Memang fungsi media mewadahi dan memfasilitasi, namun pendapat yang disampaikan ahli dalam berita di Radar Jogja tersebut bukan dalam konteks aspirasi dan tidak dimuat di rubrik opini melainkan ditulis sebagai artikel berita. Sehingga apa yang ditulis wartawan dalam berita menjadi kabur apakah hal itu berupa opini atau fakta. Ini sangat disayangkan, semestinya pihak redaktur bisa lebih selektif menyaring pemberitaan dan memilih narasumber yang lebih kompeten atau informasi mana yang layak muat dan dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Berita yang tidak berperspektif korban dan gagal memahami konteks bisa menyesatkan dan menggiring opini publik pada melanggengkan stigma pada korban kekerasan seksual dan penyangkalan atas tindakan kejahatan.

Setiap tulisan akan dipertanggungjawabkan. Begitu pula produk jurnalistik, harus bisa dipertanggungjawabkan dan berkontribusi pada kemanusiaan. Jika pun pendapat tersebut diwadahi dalam rubrik opini, menurut penulis, agar media lebih bijak mewadahi dan memfasilitasi aspirasi, pihak redaktur perlu memiliki standar kualifikasi tingkat tinggi untuk meloloskan opini tersebut jika didukung dengan argumen, data yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga ketika ada masyarakat yang tidak setuju pun bisa berdebat secara elegan dengan membuat opini tandingan untuk diterbitkan juga oleh media yang bersangkutan. Sehingga terjadi dialog di media massa dan bisa diambil pembelajaran oleh masyarakat.

Keenam, yang tidak kalah penting adalah memastikan jurnalis dan redaktur juga lebih memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atas isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jurnalis dan redaktur dituntut untuk juga memiliki perspektif gender dan lebih dari itu perspektif empati pada korban agar bisa menghasilkan pemberitaan yang inspiratif dan edukatif bagi masyarakat. Kalau pun belum sempat belajar tentang perspektif gender serta peliputan isu perempuan dan anak, paling tidak mereka paham tentang hukum. Dalam kasus diatas jelas sekali, tindakan oknum guru  terhadap siswanya adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Anak. Minimal hal ini diketahui oleh setiap jurnalis dan redaktur. Sangat disayangkan jika kendala deadline atau pun kejar setoran selalu menjadi alasan pemakluman terkait kualitas berita yang semakin menurun. Penguatan kapasitas dan pengetahuan wartawan perlu terus ditingkatkan, termasuk berupaya agar mereka tetap bisa menghasilkan berita yang berkualitas di tengah tantangan-tantangan tersebut.

Sebagai penutup, ke depan diharapkan terjalin sinergi antara lembaga pendamping korban kekerasan dan media dalam upaya mencegah dan menangani terjadinya kekerasan. Media dapat mengambil peran yang signifikan yaitu dengan membuat pemberitaan yang berperspektif korban dan berkontribusi pada penghapusan kekerasan sehingga berdampak pada perubahan lebih baik di masa depan. []

 

-------------------------------

Tentang penulis:

Defirentia One Muharomah adalah Manajer Humas dan Media di Rifka Annisa pada tahun 2014-2017

46396429
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1915
70237
248674
306641
46396429