Kamis, 15 Maret 2018 12:46

“Kita pernah mendengar ungkapan Jawa: Jaran Kepang Jaran Kore, Wong Lanang Menangan Dhewe (laki-laki maunya menang sendiri, red.) Itu bagaimana Pak? Apakah prinsip itu bisa memicu KDRT?” tanya moderator kepada Jatmiko diikuti gelak tawa penonton.

Jatmiko, seorang bapak dari Desa Bendung Kecamatan Semin, Gunungkidul, hari itu berkesempatan berbagi cerita dan pengalaman di acara diskusi yang diadakan oleh Rifka Annisa dalam rangkaian event Jagongan Media Rakyat (JMR) di Jogja National Museum, Kamis (8/3). Event Jagongan Media Rakyat ini dikoordinasikan oleh Combine Resource Institution (CRI), dan Rifka Annisa sebagai mitra JMR menghelat diskusi dengan judul “Masyarakat Berdaya, Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.”

Bagi Jatmiko, ‘Laki-laki Peduli’ itu identitas baru sekaligus proses yang harus ia jalani. “Itulah kenapa kami menamakan ‘laki-laki peduli’ karena kami merasa yang diluar sana sudah biasa, bahkan mereka tidak peduli. Kami ingin menjadi yang tidak biasa,” kata Jatmiko.

Laki-laki hidup dalam bayang-bayang keistimewaan sekaligus ketakutan yang dibawa budaya patriarki. Budaya patriarki itu tertanam sejak dulu dan diwarisi hingga saat ini. Kita hidup di rentetan budaya yang saat ini pun masih banyak keluarga yang memegang teguh prinsip itu. Jatmiko menceritakan, di masyarakat sekitarnya masih ada yang percaya bahwa laki-laki itu harus kuat, harus dominan, sementara kalau perempuan itu masih dianggap urusannya hanya ‘dapur-sumur-kasur’.

Katanya, perempuan sekolah SD saja cukup, wong nanti urusannya dapur-sumur-kasur. Nek laki-laki tanggung jawabnya besar. Wong lanang (laki-laki,red.) harus bisa menghidupi perempuan, menghidupi anak-anaknya,” jelasnya.

Orang Jawa itu, lanjut Jatmiko, apa-apa selalu disangkutkan dengan namanya. Misalnya sebutan wanita itu artinya ‘wani ditata’. Mau tidak mau, perempuan itu harus mau ditata salah satunya oleh laki-laki. Ia menceritakan, bahkan di keluarganya sampai saat ini masih berpegang teguh dengan hal itu. Mertuanya tidak pernah setuju kalau ia berbagi peran dengan istrinya.

“Saya masak, saya mencuci piring. Mertua saya tidak setuju. Beliau bilang, wong lanang (laki-laki, red) kok mengerjakan pekerjaan perempuan. Itu tidak pantas,” curhatnya.

Ia sering menjelaskan kepada mertuanya bahwa ini bukan sesuatu yang hina seolah-olah kalau laki-laki mencuci piring itu derajatnya dari atas langsung terjun bebas. Bukan seperti itu yang dimaksudkan, tapi kemudian bagaimana antara Jatmiko dan pasangannya bisa saling bertanggung jawab dalam berumah tangga. Ia menambahkan ketika mereka saling berbagi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, imbal baliknya bisa mereka rasakan. “Istri jadi makin sayang dan waktunya jadi lebih banyak untuk saya. Ya semua itu yang bisa kami rasakan,” kata Jatmiko.

Pemicu Kekerasan

Laki-laki peduli tidak melulu soal berbagi pekerjaan, tetapi juga peduli pada hubungan dengan pasangan serta pengasuhan anak. Dua hal tersebut disadari atau tidak seringkali menjadi pemicu munculnya konflik antara suami istri hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

Jatmiko menuturkan, di sekitar tempat tinggalnya kekerasan dalam rumah tangga banyak sekali dilatarbelakangi karena permasalahan ekonomi. Ketika ia bergabung di kelas laki-laki peduli yang diselengarakan oleh Rifka Annisa, ia beserta kelompoknya mendapatkan edukasi seputar komunikasi dengan pasangan, mengelola amarah, pengelolaan ekonomi keluarga dan sebagainya. Namun, dua hal yang menurut Jatmiko sangat berkesan dan ia coba terapkan hingga saat ini yaitu bagaimana kita berkomunikasi dengan pasangan dan mengelola amarah.

Komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan kepada pasangan. Kita sebenarya ingin menyampaikan ini ke pasangan, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ketidaktahuan dan kesalahan dalam berkomunikasi dapat menimbulkan konflik. Ketika komunikasi sudah bisa dibangun sejak awal, tindakan kekerasan terhadap pasangan seharusnya tidak terjadi.

Kemudian, tentang mengelola amarah. Jatmiko dan kelompoknya sangat menyadari bahwa marah itu manusiawi. Kita bisa mengelola itu. Marah seperti sebuah proses, pasti ada akibat dari suatu sebab. Antara emosi dan tindakan ada beberapa detik untuk memikirkan apa yang dipilih untuk dilakukan.

“Marah itu manusiawi. Misalnya kalau marah matanya merah, tangannya pengen mengepal, dibalik itu kita punya waktu untuk memilih bagaimana melampiaskan marah. Bisa jadi kita memilih melampiaskan ke hal yang negatif misalnya segera memukul anak, nyubit anak, atau memukul pasangan. Tetapi kita sebenarnya punya pilihan bagaimana meluapkan marah,” kata Jatmiko.

Ia menjelaskan ada beberapa pilihan yang bisa diambil ketika marah. Salah satunya dengan cara diam. Menunggu hati dan suasana terkondisikan. Bagi Jatmiko, hal tersebut tidaklah mudah bagi setiap orang. Semuanya butuh proses. Ia pun masih berproses untuk itu.

Tantangan

Semenjak bergabung dalam komunitas laki-laki peduli, Jatmiko selalu ingin membagi ilmu dan pengalamannya kepada orang lain. Tak jarang, ia pun gelisah bilamana mengetahui tetangganya sendiri terlibat konflik hingga terdengar ke lingkungan sekitar.

Dia sempat merasa rikuh awalnya ketika terjadi kemelut di rumah tangga sebelah. Niat hati ingin membantu, namun nanti dikira ikut-ikutan masalah rumah tangga orang. Awalnya ada kekhawatiran kalau dia ikut campur jadinya justru dimusuhi oleh tetangga sendiri. Setelah mempertimbangkan dengan matang, ia pun memberanikan diri untuk mencoba mencegah agar konflik di tetangga tidak berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

“Ketika ada percekcokan di tetangga sebelah, saya datangi. Masuk rumah dan hanya sebatas mengamati saja. Saya berdiri di depan mereka yang sedang cekcok tanpa kata tanpa ekspresi apapun. Ya berdiri saja,” kenang Jatmiko.

Dengan cara seperti itu, Jatmiko beranggapan ia bisa mengantisipasi agar pertengkaran tersebut tidak sampai main tangan atau bahkan melakukan penganiayaan. Kalau pun sampai terjadi kekerasan fisik, Jatmiko sudah tahu langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. “Mereka (yang saat itu sedang berkonflik) akan berpikir. Oh iya ya, kemarin habis sosialisasi kalau melakukan kekerasan ada payung hukumnya. Kalau ini dilaporkan ada jalurnya, ada saksinya pula. Dengan begitu kan mereka akan berpikir ulang kalau ingin memukul istrinya saat itu,” tambah Jatmiko.

Selanjutnya, Jatmiko tak lupa mengingatkan agar cara tersebut juga diikuti dengan klarifikasi kepada pasangan yang bersangkutan. Kita perlu menjelaskan maksud kita kenapa kita datang saat tetangga sedang bertengkar, bukan bermaksud menonton tetapi untuk mencegah. Menurut Jatmiko, klarifikasi dan penjelasan ini penting agar yang bersangkutan tidak memusuhi kita.

“Kita jelaskan perlahan-lahan meskipun kemudian kita kena semprot. Dibilang, kamu kok kurang kerjaan, kayak orang paling benar sendiri mengurusi rumah tangga orang. Ya tidak apa-apa. Tapi kita punya satu keyakinan bahwa suatu saat mereka akan berterima kasih ke kita,” tegas Jatmiko.

Tidak Takut Berubah

Untuk menjadi laki-laki peduli, Jatmiko terus berproses untuk perubahan yang lebih baik. Hidup di desa menjadikannya tidak bisa meninggalkan tingginya rasa sosial. Laki-laki peduli tidak hanya peduli pada keluarganya tetapi juga peduli masyarakat sekitarnya. Kalau ada apa-apa di desanya, banyak orang segera ingin tahu. Keingintahuan ini dimanfaatkan Jatmiko untuk mengajak komunitasnya berbicara mengenai permasalahan yang ada di desa mereka.

Saat ini, Jatmiko dan komunitasnya menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama. Lebih banyak tokoh agama terlibat lebih baik, katanya. Karena ketika tokoh agama mau melakukan perubahan perilaku misalnya memberikan contoh pola pengasuhan dan berbagi peran dalam rumah tangga, itu bisa menjadi bukti nyata.

“Saya selalu bilang ke mereka, Pak Ustadz aja mau mencuci, momong anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, masa’ kok kita enggak?” begitu salah satu cara Jatmiko mempengaruhi teman-temannya. Upayanya ini juga didukung oleh seorang takmir mushola yang disegani di desanya untuk menyampaikan ke masyarakat luas tentang hal itu.

Cara yang lain adalah Jatmiko tak segan-segan mengajak teman-temannya untuk nongkrong, ngobrol atau ngopi sambil berdiskusi di warung kecil miliknya. Dalam proses pendekatan ini, ia tidak langsung masuk ke permasalahan karena sudah pasti sangat sensitif. Mulanya ia membangun suasana terlebih dulu agar mereka merasa nyaman sehingga kalau bercerita tanpa ada hambatan. Kalau sudah masuk ke inti masalah langsung diajaknya berdiskusi lebih lanjut. Ia tidak pernah melakukan dengan cara menggurui.

“Saya biasanya berbagi pengalaman yang kira-kira hampir sama dengan masalah tersebut. Itu saya kira lebih efektif. Caranya kita sentuh hatinya dulu. Setelah mereka mengamini hal-hal yang dianggapnya bermanfaat bagi dia dan keluarganya, mereka kemudian menjadi kepanjangan tangan untuk menyampaikan ke keluarganya, ke saudaranya, dan teman yang lebih luas. Kita jadi mudah dan terbantu dalam menyampaikan hal ini.”

Terkait dengan pola asuh anak, Jatmiko membuat kesepakatan dengan istri, bahwa pekerjaan di dalam rumah dan pengasuhan anak itu tanggung jawab bersama. Memang susah awalnya, tapi kemudian yang pasti ia selalu menyisihkan waktu efektif buat anak. Sekarang waktu pertama untuk keluarga, ketika pekerjaan rumah sudah beres barulah ia keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dia mengakui memang ada beberapa pekerjaan rumah yang tidak bisa ia lakukan, misalnya menyetrika. Konsekuensinya ia harus selalu membayar jasa orang untuk menyetrika.

“Setara itu tidak harus semuanya bisa kita lakukan tapi sesuai dengan proporsi dan kemampuan kita. Kalau kita gak bisa ya ndak usah malu, bilang saja tidak bisa. Jadi memang kalau tidak bisa ya harus diambil alih pasangan saya,” pungkasnya.

Jumat, 10 November 2017 13:56

Komunitas Setia Mitra mengadakan diskusi dengan tema ‘Media Sosial dan Kids Jaman Now’ di Desa Wareng pada Minggu (29/10). Kegiatan ini diikuti oleh 15 remaja putra dan putri yang berasal dari berbagai dusun. Diskusi yang bertempat di rumah warga ini dimulai dengan nonton video bersama tentang dampak yang ditimbulkan oleh media sosial bagi remaja. “Kami sadar bahwa sosial media memberikan pengaruh yang besar bagi remaja, oleh karena itu kami memilih tema ini untuk didiskusikan”, kata Lusi, salah satu pemateri.

Selanjutnya, peserta dibagi menjadi 4 kelompok dan menjawab beberapa pertanyaan yang telah disiapkan. Kelompok diberikan waktu 15 menit untuk menjawab semua soal kemudian mempresentasikan jawabannya. Berdasarkan hasil diskusi, terlihat bahwa peserta memahami dampak positif dan negatif yang dibawa media sosial bagi kehidupan mereka. Dampak positif yang dibawa antara lain, kecepatan penyampaian informasi, memperluas pergaulan, tempat promosi dan sebagai media untuk berbagi.  

Di samping itu, media sosial juga memberikan dampak negatif, yaitu kecanduan, menjadi anti sosial, cybercrime, pornografi dan membuat lupa waktu. Melihat dampak positif dan negatif yang ada dalam media sosial, maka remaja diharapkan untuk bijak dalam mengakses media sosial. Para remaja berharap kegiatan diskusi seperti ini semakin banyak dilakukan dengan menganggkat isu – isu yang dekat dengan kehidupan mereka. Beberapa diantaranya memberi masukan untuk sosialisasi selanjutnya mengangkat tema kenakalan remaja. “Saya senang dengan adanya kegiatan seperti ini dan berharap ke depannya masih ada diskusi dalam skala yang lebih besar”, ucap salah satu peserta diskusi. Selain anggota Setia Mitra, turut hadir pula beberapa relawan dari Rifka Annisa. []

 

*) Cornelia C Doa adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada dan volunteer di Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa.

Selasa, 10 Oktober 2017 05:46

Media memiliki peranan penting dalam menyebarkan informasi dan membangun opini publik terkait isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk salah satunya tentang isu kekerasan seksual. Sehubungan dengan ini, media tidak hanya dituntut untuk menyajikan informasi yang akurat dan terpercaya, lebih dari itu, media perlu menyajikan berita yang lebih berempati pada korban. Sebab, pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang tidak berperspektif korban justru akan membuat korban mengalami ‘kekerasan’ untuk kedua kalinya.

Salah satu contohnya adalah pemberitaan yang dimuat oleh Radar Jogja, 6 September 2017 yang berjudul “Telaah Dulu Motif Pelaku dan Korban”. Tulisan tersebut menyoroti kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru di Gunungkidul terhadap anak didiknya. Berita ini juga tersedia versi online dengan judul “Pencabulan Siswi SMK, Perempuan Harus Berani Menolak” bisa diakses secara melalui http://www.radarjogja.co.id/pencabulan-siswi-smk-perempuan-harus-berani-menolak/. Ada beberapa kontroversi dalam pemberitaan tersebut yang akan dibahas oleh penulis. 

Pertama, mengenai pendapat pengamat yang dikutip dalam berita. Di berita tersebut tertulis, pengamat seksologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro PhD berpendapat, pihak kepolisian tidak boleh asal menjerat pelaku dengan undang-undang pidana, tapi harus menelaah terlebih dahulu motif pelaku dan korbannya. Pengamat juga menyebutkan bahwa tidak bisa kemudian langsung menyalahkan pelaku hanya berdasarkan laporan korban. Ia mengatakan hal tersebut bisa ditelusuri lebih mendalam, apakah mereka berdua sama-sama suka atau ada perasaan, kalau memang ada perasaan cinta tindakan tersebut belum bisa dikatakan kriminal.

Pernyataan diatas, menurut penulis, tidak sejalan dengan amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Tindakan pencabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur oleh oknum guru di Gunungkidul sebagaimana yang diberitakan adalah tindakan kriminal sehingga pelaku bisa dipidanakan. Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan dalam Pasal 9 (1a) bahwa Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Apa yang dilakukan oknum guru tersebut jelas merupakan kejahatan seksual yang melanggar hak anak. Maka pemidanaan sudah menjadi konsekuensi semestinya.

Kedua, pernyataan pakar tersebut juga melanggengkan stigma yang diberikan kepada perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Stigma terhadap perempuan korban masih terus bermunculan. Kutipan pernyataan seperti yang ditulis di Radar Jogja diatas justru melanggengkan stigmatisasi terhadap korban. Sebagaimana tertulis, Prof Koentjoro PhD dari UGM menyatakan: “Yang menjadi permasalahan hanyalah pada status sosial keduanya. Baik guru maupun siswi yang bersangkutan. Padahal, tidak menutup kemungkinan keduanya memang menjalin kasih di sekolah. Wajar saja kalau ada ketertarikan sang guru pada siswinya. Remaja di usia tersebut memang sudah dianggap matang untuk menjalin hubungan orang dewasa.”

Lagi-lagi kutipan pernyataan tersebut menimbulkan masalah. Pernyataan seperti itu tidak berempati pada korban. Seolah memberikan ruang untuk penyangkalan atas tindak kejahatan pelaku dengan melimpahkan kesalahan pada pihak perempuan. Kekerasan seksual yang dilakukan pada anak, termasuk anak didik, adalah mutlak kejahatan yang harus dipidanakan. Semestinya tidak ada ruang atau alasan untuk melihat tentang motif pelaku dan korban, apalagi melakukan pembenaran tindak kejahatan seksual dengan dalih pelaku dan korban ‘menjalin kasih’ atau ‘suka sama suka’. Terlebih jika korban masih berusia anak. Melakukan hubungan seksual dalam bentuk apapun terhadap anak adalah kejahatan. Sehingga consent atau persetujuan anak tidak berlaku sebagai alasan pembenaran atas tindakan pelaku.

Apapun alasan yang digunakan untuk melakukan penyangkalan atau pewajaran atas segala bentuk tindakan kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak berempati pada korban. Anggapan tentang ‘suka sama suka’ adalah sebuah gagal paham dan tidak berpengetahuan. Dalam hal ini hubungan atau perbedaan kekuasaan antara korban dan pelaku penting untuk lebih diperhatikan. Hubungan pelaku sebagai ‘guru dan murid’ sekaligus ‘orang dewasa dan anak-anak’ telah memberikan efek kekuasaan yang berbeda. Hal ini dapat dijadikan celah bagi pelaku untuk melakukan kejahatan seksual dengan atau tanpa memperlihatkan unsur kekerasan. Adanya ancaman, kekerasan atau pun yang berupa bujuk rayu dapat menjadi alat pelaku untuk mengontrol korban agar mengikuti keinginannya. Hal ini jelas menandakan adanya kekuasaan (power) yang timpang sehingga tindakan kejahatan seksual dilakukan.

Selama 24 tahun pengalaman Rifka Annisa mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan, faktor relasi kuasa ini sangat berpengaruh pada terjadinya kekerasan dan memberikan dampak yang tidak bisa disepelekan pada korban. Bagi korban dampaknya adalah perasaan takut, cemas, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa sehingga terpaksa menuruti keinginan pelaku atau pun seolah membiarkan pelaku melakukan kejahatan atas dirinya. Padahal sebenarnya korban berada dalam situasi yang tidak berdaya.

Situasi ketidakberdayaan ini yang kemudian menyebabkan perempuan dan anak terkadang tidak tahu harus berbuat apa atau bahkan cenderung memendam sendiri peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Sayangnya, ketika mereka sudah berani bicara atau melapor meskipun dalam tenggat waktu yang cukup lama, masyarakat justru melontarkan pernyataan yang menyudutkan korban seperti “Kenapa baru melapor?”, “Kamu melapor karena dipaksa ya?”, atau pernyataan lain yang menyalahkan dan semakin menambah beban psikologis pada korban. Respon tidak percaya pada korban, menganggap remeh kejadian kekerasan seksual, tidak adanya dukungan dari orang terdekat, dan kebiasaan menyalahkan korban menyebabkan tidak banyak perempuan dan anak serta merta bisa angkat bicara atas peristiwa kekerasan yang dialaminya. Korban kekerasan seksual pada akhirnya tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk pemulihan. 

Ketiga, mengajarkan asertivitas dan keberanian bagi perempuan dan anak memang penting untuk menolak perlakuan yang membuat tidak nyaman misalnya dengan berani berkata TIDAK dan berani meminta pertolongan ketika ada orang yang menunjukkan gelagat bahaya pada diri kita. Hal ini penting sebab merupakan bagian dari meningkatkan konsep diri, penghargaan atas diri, dan upaya pertahanan diri. Namun, hal yang tak kalah pentingnya adalah mencegah diri untuk tidak melakukan kekerasan pada orang lain. Terlebih jika seseorang dianggap sebagai figur yang semestinya menjadi panutan orang lain, maka yang penting adalah bagaimana menjadi role model yang memang patut digugu lan ditiru. Apa yang dilakukan oleh oknum guru pada kasus diatas jelas-jelas melanggar etika profesi dan melanggar hukum. Selain itu, penting juga memberikan pendampingan dan perlindungan korban. Bersamaan dengan itu, penegakan hukum dan proses pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak tetap harus dilakukan untuk menjamin hak korban, memberikan efek jera pada pelaku dan menjamin agar kejahatan seksual tidak berulang.

Keempat, penulis mengapresiasi bahwa media turut mengedukasi masyarakat melalui pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual. Namun, edukasi kepada masyarakat tidak cukup hanya dengan memberitakan kasus kekerasan seksual.  Menyajikan informasi yang edukatif, berdasarkan etika pemberitaan, dan berperspektif korban jauh lebih penting. Hal ini akan memberikan keuntungan bagi media supaya lebih berintegritas dan dipercaya oleh masyarakat. Media akan menjadi rujukan yang bisa berdampak pada perubahan di masyarakat bukan sekedar menyajikan sensasi dalam pemberitaan.

Kelima, menuliskan informasi yang tidak sesuai konteks adalah sebuah kecerobohan dan kegagalan media menjalankan fungsi edukatifnya. Memang fungsi media mewadahi dan memfasilitasi, namun pendapat yang disampaikan ahli dalam berita di Radar Jogja tersebut bukan dalam konteks aspirasi dan tidak dimuat di rubrik opini melainkan ditulis sebagai artikel berita. Sehingga apa yang ditulis wartawan dalam berita menjadi kabur apakah hal itu berupa opini atau fakta. Ini sangat disayangkan, semestinya pihak redaktur bisa lebih selektif menyaring pemberitaan dan memilih narasumber yang lebih kompeten atau informasi mana yang layak muat dan dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Berita yang tidak berperspektif korban dan gagal memahami konteks bisa menyesatkan dan menggiring opini publik pada melanggengkan stigma pada korban kekerasan seksual dan penyangkalan atas tindakan kejahatan.

Setiap tulisan akan dipertanggungjawabkan. Begitu pula produk jurnalistik, harus bisa dipertanggungjawabkan dan berkontribusi pada kemanusiaan. Jika pun pendapat tersebut diwadahi dalam rubrik opini, menurut penulis, agar media lebih bijak mewadahi dan memfasilitasi aspirasi, pihak redaktur perlu memiliki standar kualifikasi tingkat tinggi untuk meloloskan opini tersebut jika didukung dengan argumen, data yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga ketika ada masyarakat yang tidak setuju pun bisa berdebat secara elegan dengan membuat opini tandingan untuk diterbitkan juga oleh media yang bersangkutan. Sehingga terjadi dialog di media massa dan bisa diambil pembelajaran oleh masyarakat.

Keenam, yang tidak kalah penting adalah memastikan jurnalis dan redaktur juga lebih memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atas isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jurnalis dan redaktur dituntut untuk juga memiliki perspektif gender dan lebih dari itu perspektif empati pada korban agar bisa menghasilkan pemberitaan yang inspiratif dan edukatif bagi masyarakat. Kalau pun belum sempat belajar tentang perspektif gender serta peliputan isu perempuan dan anak, paling tidak mereka paham tentang hukum. Dalam kasus diatas jelas sekali, tindakan oknum guru  terhadap siswanya adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Anak. Minimal hal ini diketahui oleh setiap jurnalis dan redaktur. Sangat disayangkan jika kendala deadline atau pun kejar setoran selalu menjadi alasan pemakluman terkait kualitas berita yang semakin menurun. Penguatan kapasitas dan pengetahuan wartawan perlu terus ditingkatkan, termasuk berupaya agar mereka tetap bisa menghasilkan berita yang berkualitas di tengah tantangan-tantangan tersebut.

Sebagai penutup, ke depan diharapkan terjalin sinergi antara lembaga pendamping korban kekerasan dan media dalam upaya mencegah dan menangani terjadinya kekerasan. Media dapat mengambil peran yang signifikan yaitu dengan membuat pemberitaan yang berperspektif korban dan berkontribusi pada penghapusan kekerasan sehingga berdampak pada perubahan lebih baik di masa depan. []

 

-------------------------------

Tentang penulis:

Defirentia One Muharomah adalah Manajer Humas dan Media di Rifka Annisa pada tahun 2014-2017

Kamis, 27 Juli 2017 13:00

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kasus di sekolah saya. Begini ceritanya. Ini bukan masalah sepele tapi masalah yang sangat dipastikan dapat merugikan berbagai pihak. Anak muda jaman sekarang beda sekali dengan anak muda jaman dulu. Kata orangtua, anak jaman dulu selalu mempertimbangan resiko yang akan diterima ketika melakukan berbagai tindakan, sedangkan anak jaman sekarang sifatnya maunya muluk-muluk tanpa berikir panjang dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Itu menurut saya, mungkin dari kalian ada yang tidak sependapat.

Saya amati di berbagai berita, remaja masa kini sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Didukung dengan kemajuan teknologi, justru banyak masalah yang ditimbulkan seperti pornografi, bullying, terjebak pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain. Mereka ini kan merupakan masa depan bangsa yang merupakan aset yang paling berharga. Namun mereka malah terjebak dalam suatu situasi yang menghilangkan potensi bahkan tidak ada kualitas untuk menjadi penerus bangsa.

Hamil di luar nikah adalah suatu hal yang mungkin banyak terjadi. Lebih parahnya lagi mereka masih pelajar di bawah umur yang masih jauh untuk memikirkan pernikahan atau berkeluarga. Remaja perempuan yang hamil di luar nikah biasanya selalu mengambil jalan pintas untuk aborsi. Ia tidak memikirkan bayi yang telah mereka ambil hidupnya. Perbuatan yang akan membebani hidupnya nanti. Namun, saya juga paham, bahwa si perempuan pasti berada dalam situasi yang sangat sulit, tidak ada yang mau mengerti atau membantu mencari solusi sehingga mengambil solusi yang beresiko.

Saya adalah seorang pelajar sebuah sekolah menengah di Gunungkidul. Awal mula kasus ini adalah ketika tahun ajaran baru 2016. Dua siswa kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang baru masuk sekolah awal tahun lalu sudah lama menjalin hubungan dari kelas satu. Pada semester dua kelas dua ini ada sebuah kegiatan pembelajaran yang disebut PKL (Praktik Kerja Lapangan). Menurut saya, kegiatan ini adalah satu hal yang ditunggu-tunggu oleh para pelajar SMK. Karena apa, dengan mengikuti kegiatan ini bisa menjadi ajang pamer.

Ya betul, pamer. Kegiatan ini adalah kegiatan untuk para siswa agar merasakan langsung kerja di sebuah industri. Pengawasan yang minim dan langsung percaya pada guru atau kepercayaan orang tua pada anaknya di luar sana menjadi salah satu faktor penyebab hal-hal yang sangat merugikan. Lagi pula didukung dengan uang saku yang diberikan orangtua umumnya sangat berlebihan sehingga disalahgunakan untuk hal-hal negatif.

Komunikasi antar kedua siswa ini tidak pernah henti. Suatu saat perempuan dan laki laki mengetahui tempat PKL masing-masing dan saling memberi tahu posisi tempat tersebut. Selanjutnya, perkembangan teknologi dan lemahnya pengawasan orangtua atas handphone anak menjadi faktor berikutnya. Handphone seperti menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan remaja masa kini.

Batas waktu PKL adalah tiga bulan. Dua bulan, hubungan mereka berjalan dengan komunikasi lewat handphone yang sangat lancar dan lemahnya pengawasan dari guru maupun orangtua. Suatu ketika mereka membuat janji untuk bertemu di tempat yang sudah mereka tentukan. Mula-mula mereka bersapa malu seperti orang yang baru kenal. Semakin lama semakin nyaman dan mulai ada keganjalan dan tangan usil mereka. Bukan pertemuan yang menyenangkan, tapi karena nafsu semua terasa menjerumuskan.

Kegiatan PKL telah selesai. Saatnya kembali ke sekolah, terasa seperti kembali lagi menjadi siswa baru di sekolahnya. Hari demi hari terus berjalan, mulai ada tanda-tanda dari siswi perempuan itu. Dia sering kali menyendiri atau murung, bahkan dia juga pernah bolos sekolah. Tak perlu waktu lama, guru menjenguknya. Setelah diselidiki secara detail dan juga hasil tes dokter akhirnya dikatakan bahwa si perempuan ini positif hamil.

Akhirnya guru berunding untuk mengembalikan anak ini kepada orang tuanya kembali. Sedangkan siswa laki laki juga dikeluarkan dari sekolahnya. Sekolah pun sedikit demi sedikit berbenah walaupun berjalan dengan lambat. Mulai mengadakan acara keagamaan, mengundang organisasi anti kekerasan dan lain-lain. Harapannya akan mengurangi kasus-kasus yang menjengkelkan seperti ini.

Masalah seperti ini sering terjadi berawal mula dari pacaran. Pacaran menurut saya hanyalah pengungkapan suatu gengsi atau pamor melalui hubungan antar lawan jenis. Tapi apa hasilnya? Mereka hanya membuang waktu yang seharusnya menjadi sebuah petaka yang mengincar secara pelan. Kadang orang terdekat malah menjadi salah satu bahaya yang mengintai. ‘Mendekap erat agar menancapkan pisau sedalam mungkin’. Buat apa pacaran jika pada akhirnya malah menyakitkan dan menimbulkan kerugian? Ini bukan hanya tentang mereka, tapi juga sebuah renungan bagi saya, kalian dan kita semua. Kita, anak muda harus bisa berpikir tentang baik buruknya.

Jadi pada dasarnya kita sebagai pemuda penurus bangsa harus selalu berpikiran positif, Jangan selalu mengutamakan gengsi dan meningkatkan pamor dengan hal-hal yang negatif. Katakan tidak pada kekerasan anak, kejahatan seksual dan narkoba dan lain-lainya. Sudah sepantasnya kita sebagai pemuda bangsa mengisi keseharian kita dengan hal hal yang bemanfaat dan meraih prestasi dengan baik dan memuaskan. Kita pasti bisa! []

Oleh Hima Beng2 (Pelajar di Gunungkidul)

 

*Hima Beng2 adalah nama inisial dari penulis yang disamarkan untuk melindungi privasi dan kerahasiaan karena menceritakan kasus yang sensitif.

**Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya merupakan sudut pandang dan tanggung jawab penulis.

46777874
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1196
12531
286241
343878
46777874