Seni Mencegah Kekerasan Berbasis Gender

Written by  Shinta Maharani Senin, 14 Januari 2019 10:35

Among, seorang bocah laki-laki yang hidup di kampung yang ditinggali preman. Ibundanya seorang perawat dan ayahandanya tokoh pasar. Suatu hari ia mendengar tetangganya, pasangan suami isteri sedang bertengkar. Sang suami melarang isterinya untuk bekerja mencari nafkah dengan alasan wajib di rumah saja mengurus keluarga. Tapi, isterinya ngotot untuk bisa bekerja. 

Among prihatin lalu menghampiri pasangan itu dan meminta agar mereka menghentikan pertengkaran. Among tak suka mereka dengan kekerasan. Pasangan tersebut terus saja bertengkar hingga seorang ibu, tetangganya datang untuk menasehati agar mereka tidak marah-marah terus. 

Di panggung sederhana berlatar jarit, para remaja Desa Jetis, Saptosari, Gunung Kidul, Ahad, 16 September 2018 tampil mementaskan drama berjudul Tidak Semua yang Orang Bilang. Pentas seni itu membawa pesan penting agar pasangan suami isteri menghentikan percekcokan karena berdampak buruk untuk anak dan lingkungan sekitar mereka tinggal. 

Rahmad Uzi, fasilitator kelas remaja program Prevention+ Rifka Annisa merupakan sutradara drama tersebut. Uzi melibatkan anak-anak muda desa itu untuk menyampaikan pesan-pesan anti-kekerasan melalui seni drama. “Fokusnya laki-laki bisa menjadi agen untuk menghentikan kekerasan berbasis gender,” kata Uzi. 

Drama itu juga mengangkat cerita tentang kekerasan dalam pacaran yang menimpa remaja. Seorang remaja sekolah menengah atas (SMA) digambarkan cemburu kepada pacarnya. Ia marah dan hendak memukul remaja perempuan itu. Lalu Among yang sudah beranjak dewasa datang menegur si remaja laki-laki agar tidak melakukan kekerasan. 

Pentas seni drama semacam itu menurut Uzi efektif untuk menyebarkan gagasan anti-kekerasan kepada masyarakat yang tinggal di desa itu. Kepada sejumlah penonton, Uzi bertanya ihwal pesan dari pementasan drama tersebut. Mereka rata-rata paham bahwa drama itu mengajak masyarakat agar mencegah kekerasan dan peduli pada apa yang terjadi di sekitar dia tinggal. Kepedulian itu bisa diwujudkan setidaknya dengan cara mengingatkan tetangga yang sedang bertengkar agar menghentikan segala bentuk kekerasan. 

Kampanye anti-kekerasan berbasis gender melalui seni juga pernah dilakukan di desa tersebut pada 2017. Mereka menggelar karnaval dan pentas seni musik di taman Saptosari, Gunung Kidul. Semua pentas seni yang mereka tampilkan mengambil ide dari persoalan yang muncul di kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar. 

Kreativitas muncul seiring dengan keterlibatan secara aktif para remaja untuk mengikuti kelas Rifka Annisa. Kelas remaja laki-laki dan perempuan mulai mereka ikuti sejak awal 2017. 

Saat berkreasi lewat medium seni budaya para remaja ini juga mendapat dukungan dari Rannisakustik, komunitas seni yang berkarya di bidang musik dengan mengolah isu-isu sosial kemanusiaan, termasuk isu-isu perempuan menjadi lagu. Rannikustik yang berdiri sejak 21 Desember 2008 dirintis oleh beberapa relawan Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta. 

Kesadaran para remaja di desa itu menjadi terbangun untuk bergerak bersama melawan segala bentuk kekerasan. Persoalan kekerasan bukan lagi hanya masalah perseorangan, tetapi masalah bersama yang harus terus menerus dipecahkan. 

Keberhasilan Gunung Kidul bergerak bersama untuk mencegah kekerasan berbasis gender tidak lepas dari peran serta tokoh masyarakat. Camat Saptosari, Jarot Hadi Atmojo menyebut kampanye anti-kekerasan melalui kegiatan berbasis seni budaya lebih menarik minat banyak orang untuk datang. Pesan-pesan anti-kekerasan yang disampaikan melalui seni budaya yang lentur dan menghibur lebih gampang masuk dan diterima masyarakat. “Di desa kaleng dipukul saja semua orang ngumpul. Pesan anti-kekerasannya lebih mudah tersampaikan,” kata Jarot. 

Dia mendukung para remaja untuk terus berkreasi dan menggelar berbagai acara seni dengan tema anti-kekerasan berbasis gender. Remaja bagian penting yang harus melek soal gender, misalnya kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. 

Saptosari menjadi salah satu contoh kecamatan di Gunung Kidul yang berhasil mengatasi kekerasan berbasis gender. Jarot bercerita jumlah pernikahan dini di Saptosari tergolong tinggi sebelum tahun 2013. Per tahun ada 19 kasus pernikahan dini di Saptosari. Perempuan berumur 13-14 tahun dipaksa menikah. Dari tingginya kasus pernikahan dini itu, Kecamatan Saptosari berbenah. Mereka menjalin kerja sama dengan Rifka Annisa untuk membuat deklarasi anti-kekerasan berbasis gender pada 2014. Bupati Gunung Kidul, Badingah waktu itu datang untuk deklarasi bersama. 

Gerakan deklarasi bersama itu kemudian diteruskan ke desa dan sekolah-sekolah menengah pertama. Isi deklarasinya di antaranya mencegah pernikahan dini. Gerakan bersama ini cukup efektif karena pada 2014 jumlah kasus pernikahan dini turun menjadi tujuh kasus. Deklarasi anti-kekerasan berbasis gender terus menerus dilakukan. Gerakan itu juga dilakukan ketika penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah. “Gerakan kami efektif karena mulai 2015 kami zero pernikahan dini,” kata Jarot. 

Peran Saptosari mengatasi pernikahan dini diganjar penghargaan dari Badan Kependududukan dan Keluarga Berencana Nasional. Tahun 2016 Jarot menerima penghargaan itu. Saptosari dinilai berhasil mengatasi pernikahan dini. Kecamatan lain kemudian menerapkan cara Saptosari memecahkan maraknya pernikahan dini. 

Gerakan mencegah kekerasan berbasis gender melalui seni budaya juga berlangsung di Kabupaten Kulon Progo. Di kabupaten yang dipimpin Bupati Hasto Wardoyo ini, tokoh masyarakatnya punya peran aktif untuk mencegah segala bentuk kekerasan berbasis gender. Seperti di Gunung Kidul, kelas remaja untuk program Prevention+. 

Rifka Annisa melibatkan mahasiswa Institut Seni Indonesia di acara ulang tahun Pusat Informasi dan Konseling-Remaja Sehati Desa Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo pada Agustus lalu. Pentas Sandur Newyokarto kreasi mahasiswa ISI menampilkan teater yang dikemas dengan kesenian rakyat tari jaran kepang dan kidung-kidung tentang keagungan Nabi Muhammad. Para pemain teater ada yang mengenakan kostum tokoh pewayangan. Panggungnya juga sederhana di tengah pedesaan yang penduduknya guyub.

Pentas teater itu menceritakan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu oleh perselingkuhan. Penampil teater mengajak semua perempuan berani melaporkan KDRT kepada polisi. Mereka juga menyingung soal Drupadi, tokoh perempuan dalam cerita Mahabarata yang berani mengambil keputusan dan menentukan nasibnnya sendiri. Drupadi dikenal sebagai tokoh yang berani membela haknya atas represi kekuasaan. 

Pentas seni teater lainnya di tempat yang sama mengisahkan tentang pertengkaran dalam rumah tangga yang berdampak buruk untuk seorang anak bernama Lia. Lia menjadi korban dari persoalan orang tuanya. Dia depresi, seringkali marah dan murung. Lia juga menjadi korban pacarnya yang suka memaksakan kehendaknya. 

Penampil teater menyanyikan lagu Rannisakustik berjudul Joni Jagoan yang kental dengan pesan anti-kekerasan terhadap perempuan. Sebagian liriknya adalah hey Joni hentikan kekerasan. Hentikan penindasan pada pasangan. 

Pertunjukan teater di Pengasih ini menarik perhatian penduduk desa setempat. Mereka berkumpul dan muncul celetukan-celetukan pertanda menikmati hiburan itu. Pesan-pesan anti-kekerasan lewat seni budaya rupanya lebih lentur, enak didengar, dan mudah diterima, dan gampang masuk di kepala.

 

Tentang penulis: Shinta Maharani adalah koresponden Majalah Tempo dan penulis lepas Vice. 

Read 8727 times Last modified on Senin, 28 Januari 2019 15:46
46393008
Today
This Week
This Month
Last Month
All
28662
66816
245253
306641
46393008