Kamis, 29 Februari 2024 10:39

Ditulis oleh:

Tri Kurnia Revul Andina

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Yogyakarta

 

Setidaknya 2021 menjadi tahun yang cukup melegakan, sebab Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mulai mengambil langkah tegas untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di kampus. Langkah tersebut Kemendikbudristek tuangkan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sontak hal ini disambut baik khususnya oleh mereka yang sehari-hari bergelut di lapangan sambil terus mempertanyakan komitmen bangsa dalam memerangi kasus kekerasan seksual. 

Bersamaan dengan peraturan tersebut, perguruan tinggi juga didorong untuk membentuk satuan tugas (satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) agar lebih tanggap menangani kasus di lingkup kampusnya. Ketentuan ini diikuti dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) guna melengkapi regulasi yang lebih dulu disusun.

Sebelum kebijakan tersebut disahkan dan diimplementasikan, Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC) telah gencar mengadvokasi kebutuhan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual di kampus. Kasus kekerasan seksual di kampus tergolong sebagai kasus yang pelik lantaran melibatkan institusi besardi mana nama baik serta citra dipandang jadi taruhannya. Ketiadaan payung hukum yang spesifik dan komprehensif semakin memperuncing ketegangan banyak pihak dan mengakibatkan gesekan kepentingan sulit untuk diredam. 

Tahun 2021 silam, Rifka Annisa WCC yang diwakili oleh Amalia Rizkyarini, Lystianingsih Alfani Putri, Tri Kurnia Revul Andina, Yohana Veronica, dan Abdul Karim Amirullah bekerja sama dengan The Asian-Pasific Research Center for Women (ARROW), Malaysia, melakukan penelitian “Kekerasan Seksual di Kampus di Yogyakarta”. Studi dilakukan untuk memetakan jenis kekerasan seksual yang kerap terjadi dan mengidentifikasi upaya serta peran kampus pada saat itu. 

Tulisan dan data penelitian ini kembali hadir sebagai refleksi atas dinamika kasus dalam kurun waktu tiga tahun sejak riset berlangsung, serta sebagai bentuk kesadaran bahwasanya tugas untuk menghapus kekerasan seksual masih panjang dan berliku.

Yogyakarta Semestinya Aman dan Nyaman, Seperti Slogannya 

Julukan adalah doa dan asa, begitu juga kiranya ketika Yogyakarta disebut berhati nyaman. Banyak muda-mudi pelancong datang ke Yogyakarta, bermaksud mengemban ilmu di universitas-universitas ternama di kota tersebut. Tidak mengherankan jika Yogyakarta sejak lama dinamai kota pelajar sebab memiliki iklim belajar yang menyenangkan. 

Kendati begitu, kenyamanan ini bukan tanpa sisi gelap. Survei pada 19 kampus di Yogyakarta dalam kurun waktu 2010 hingga 2021 ini, menemukan ada 163 korban yang merupakan mahasiswa aktif, baik dari kampus negeri maupun swasta. 

Survei terkait juga menunjukkan bahwa sebagian besar korban (96%) adalah perempuan. Sementara itu, sebagian besar pelaku merupakan civitas kampus laki-laki (94%), baik dari kampus yang sama maupun berbeda dengan korban. Baik berstatus sebagai teman satu angkatan, kakak tingkat, adik tingkat, dosen, karyawan universitas, alumni, teman beda kampus, pacar, dan orang tidak dikenal. Dari segi usia, baik korban maupun pelaku rata-rata berada di usia yang sama, yakni 18 – 24 tahun. 

Hasil ini disajikan bukan untuk mengonfirmasi stigma bahwa korban pasti perempuan dan pelaku pasti laki-laki. Posisi ini jelas bisa bertukar. Namun, fakta menyiratkan bahwa relasi kuasa yang timpang, bekerja di dalamnya. 

Dilihat dari bentuk kekerasannya, yang dialami korban paling banyak adalah pelecehan seksual, diikuti dengan intimidasi seksual, pemerkosaan, pemberian sanksi yang tidak adil pada penyintas, seperti skors karena korban justru dianggap telah berbuat asusila, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi.

Adapun tindak kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan kampus saja sebagaimana dinyatakan oleh 71% responden. Sisanya, menerangkan bahwa kekerasan berlangsung di luar kampus, yakni fasilitas umum, lokasi magang atau kuliah kerja nyata (KKN), rumah dosen, dan tempat tinggal seperti rumah, indekos, apartemen, kontrakan, serta asrama. Penelitian ini juga menemukan bahwa sejumlah korban mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO) lewat aplikasi percakapan, media sosial, dan aplikasi kencan.

Keadilan di Kampus Semoga Bukan Hanya Angan  

Mirisnya, kebanyakan korban tidak melaporkan sama sekali kekerasan seksual yang mereka alami. Korban lebih memilih bercerita kepada temannya, serta membiarkan kekerasan seksual yang menimpanya menguap, meloloskan pelaku dari jerat sanksi. Inilah yang dinamai gunung es, di mana gunung es ini hingga kini belum mampu dilebur, karena stigma masih menghantui serta menjadi salah satu penghalang terbesar. 

Penindaklanjutan kekerasan seksual tak ayal menemui jalan buntu karena stigmatisasi yang menyebabkan korban memilih bungkam. Beberapa melapor pada unit yang tersedia di kampus, tetapi sayangnya, menurut korban, respons sebagian besar kurang tanggap (53%), atau bahkan tidak tanggap sama sekali (21,5%). 

Hanya sekitar 10% yang menilai kampus sangat tanggap dan 16% cukup tanggap. Lebih parah lagi, korban tidak jarang disalahkan (victim-blaming), yang secara tidak langsung memperlihatkan sikap misoginis kampus kepada korban kekerasan seksual. Ironi, perguruan tinggi yang seyogyanya melindungi justru nampak tidak peduli. Benturan kepentingan juga kian mempersulit posisi korban untuk memperoleh keadilan.

Bagaimana dengan Hari Ini? 

Penelitian ini mencatat pula harapan-harapan korban terkait kekerasan seksual di kampus, seperti pendampingan kampus yang konsisten hingga korban mendapatkan keadilan, komitmen kampus untuk menuntaskan segala kasus kekerasan seksual dengan berperspektif korban, dan penyediaan layanan (crisis center) di kampus agar korban dapat segera memperoleh pertolongan. Dengan adanya aturan yang spesifik serta lahirnya satgas PPKS, penghapusan kekerasan seksual di kampus diharapkan selangkah demi selangkah bisa terwujud.

Namun demikian, hingga kini penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi masih bermasalah. Disinyalir, masih banyak kampus yang abai dan tidak responsif terhadap laporan kasus kekerasan seksual meski sudah dibentuk satgas PPKS (BBC, 2023). Minimnya respons ini dikarenakan masih banyak pihak yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya menangani masalah kekerasan seksual di kampus. Hal ini mengakibatkan tim satgas kerap mendapatkan intimidasi dan tekanan, serta tidak memperoleh dukungan operasional. Di samping itu, menurut data terbaru, kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi (Kusumah, 2023). 

Hasil penelitian Rifka Annisa WCC dan ARROW ini kembali diangkat guna memantik ingatan dan kesadaran bahwa perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual di perguruan tinggi membutuhkan kerja keras, komitmen, konsistensi, kesabaran, dan kolaborasi semua pihak. Meski setelah riset dilangsungkan sudah terdapat mandat dari pemerintah, tetapi tidak dapat dipungkiri implementasinya masih sukar dilakukan. 

Banyak kendala-kendala di lapangan yang perlu dikaji ulang agar prosedur dan penerapannya dapat dibenahi sesegera mungkin. Sejak lama, penghapusan kekerasan seksual di kampus dianggap sebagai misi yang berat, tetapi bukan mustahil terwujud. Advokasi, intervensi, penelitian, serta pengesahan kebijakan adalah progresivitas yang patut dihargai serta diperhitungkan. Sekarang ataupun nanti, semua tidak boleh kehilangan nyali untuk terus menyuarakan hak-hak korban kekerasan seksual di kampus.

Referensi

BBC (2023, Juli 27). Benar-benar tidak ada ruang aman” – Penindakan dan pendampingan kasus kekerasan seksual di kampus ‘masih bermasalah. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c98pnp5ypevo 

Kusumah, F. A. (2023, Oktober 25). Kemendikbud: kasus kekerasan seksual paling banyak di perguruan tinggi. Diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-7000253/kemendikbud-kasus-kekerasan-seksual-paling-banyak-di-perguruan-tinggi

46775585
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10242
10242
283952
343878
46775585