Kamis, 26 Juli 2018 13:22

Salah satu anggapan yang diamini oleh masyarakat secara umum adalah bahwa perempuan merupakan simbol keindahan. Dari bentuk tubuhnya, tutur katanya, hingga perbuataannya distereotipkan dengan sesuatu yang indah. Berbahayanya, anggapan tentang keindahan ini justru menjadi bumerang bagi perempuan. Dari anggapan tersebut pula,  lahir anggapan baru bahwa perempuan hanya merupakan obyek, layaknya sebuah lukisan yang indah dan dapat dimiliki oleh orang lain.

Hal tersebut pulalah yang tercermin dalam serial “Game of Thrones”. “Game of Thrones” adalah sebuah serial TV dari stasiun TV HBO yang sampai saat ini telah tayang selama 7 musim. Menceritakan mengenai perebutan tahta di sebuah wilayah bernama Westeros yang ditinggali oleh 7 kerajaan. Seksualitas dan pertumpahan darah adalah topik yang tidak asing terlihat dalam serial ini. Di beberapa episode awal, ditunjukkan bagaimana perempuan hanya dianggap sebagai obyek seksual. Namun seiring berjalannya waktu, perempuan-perempuan dari serial ini justru tumbuh menjadi karakter yang signifikan bagi jalannya cerita.

Salah satu tokoh yang paling mencolok adalah Daenerys Targaryan, putri tunggal yang masih hidup dari klan Targaryan, klan yang telah lama memegang tahta Westeros sebelum akhirnya direbut oleh Robert Baratheon. Daenerys adalah putri dari the Mad King, raja yang dulu memerintah Westeros sebelum ia mati dipenggal ksatrianya sendiri.

Daenerys kecil bersama kakaknya, Viserys, disembunyikan agar tidak ikut terbunuh saat keluarganya dihabisi dalam usaha kudeta Robert Baratheon. Saat Daenerys tumbuh menjadi gadis remaja, Viserys menjual Daenerys kepada Khal Drogo, pemimpin Dothraki, kelompok yang terkenal memiliki kekuatan perang yang tidak terkalahkan. Sebagai gantinya, Viserys dijanjikan pasukan Dothraki untuk membantunya mengambil alih kekuasaan Westeros yang berada di tangan Robert Baratheon.

Pernikahan yang dipaksakan kepadanya tentu tidak membuat Daenerys bahagia. Daenerys seolah hanya dijadikan sebagai obyek seksual oleh suaminya. Namun dengan caranya, Daenerys mampu menumbuhkan hubungan rumah tangga yang lebih intim. Dirinya yang awalnya hanya dianggap sebagai budak seksual yang dibeli, akhirnya menjadi istri yang dicintai dan dihargai.

Saat kemudian Khal Drogo meninggal, Daenerys yang awalnya hanya merupakan istri pemimpin Dothraki berubah menjadi pemimpin Dothraki. Ia disegani rakyat Dothraki karena terbukti tidak mati meski terbakar api, salah satu keunggulan yang dimiliki keturunan Targaryan murni. Ia juga semakin disegani karena menjadi ibu dari 3 naga, hewan khas keluarga Targaryan. Bersama Dothraki, Daenerys kemudian memulai kepemimpinannya. Ia juga meneruskan impian kakaknya untuk merebut kembali kekuasaan Westeros.  Bersama Dothraki dan ketiga naganya, negeri demi negeri berhasil Daenerys kuasai.

Daenerys bertranformasi layaknya ulat menjadi kupu-kupu. Ia yang awalnya dianggap tidak lebih dari obyek seksual yang dijual kakaknya kini telah menjadi salah satu orang terkuat di Westeros. Uniknya, transformasi Daenerys dilakukannya dengan “cara-cara perempuan”.

Dalam hubungan domestiknya, Daenerys merengkuh kasih sayang suaminya dengan menyetarakan diri dengan suaminya. Pada mulanya ia seperti hanya menjadi obyek pelampiasan seksual oleh suaminya. Seolah hubungan seksual yang terjadi hanya merupakan kewajiban Daenerys untuk memuaskan suaminya. Terlihat dari bagaimana Khal Drogo selalu mengontrol dan menentukan seperti apa cara menyetubuhi istrinya. Daenerys harus pasrah ketika suaminya selalu menyetubuhinya dari belakang hingga ia tidak bisa melihat wajah si suami dalam hubungan yang sangat intim tersebut.

Sampai akhirnya Daenerys menuntut dan meyakinkan untuk melakukan hubungan seksual dengan melihat wajah suaminya sebagai bentuk kesetaraan. Daenerys justru mampu menakhlukan hati suaminya. Hubungan seksual yang awalnya hanya dinikmati suaminya kini dinikmati keduanya, dan semenjak saat itulah hubungan keduanya semakin dekat. Daenerys bukan lagi dianggap sebagai pemenuh hasrat seksual, namun pendamping dan pasangan yang penting bagi Khal Drogo.

Daenerys juga melakukan transformasi secara signifikan menyangkut masalah politik. Ia yang awalnya tidak memiliki suara bahkan setelah dijual oleh kakaknya, kini memiliki kekuatan yang sulit diimbangi. Daenerys berhasil memiliki pasukan dengan kualitas dan kuantitas tak terkalahkan. Dalam kepemimpinannya, tidak jarang ia membuat keputusan-keputusan yang mencengangkan. Menggunakan “cara-cara perempuan” membuat Daenerys mampu untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan politik yang jauh berbeda dengan apa yang dilakukan para raja laki-laki. Sensitivitas dan cara berpikir feminis tercermin dalam gaya kepemimpinannya yang tidak menyukai penindasan, perbudakan, kekerasan tidak beralasan, serta penyiksaan terhadap perempuan dan anak-anak. Banyak pula pencapaian yang berhasil ia terima, membebaskan para budak dan menghapuskan ketidakadilan adalah beberapa diantaranya.

Daenerys Targaryan, meskipun hanya merupakan karakter fiksi, merupakan cerminan dari banyak perempuan di dunia saat ini. Perempuan-perempuan yang awalnya dianggap tidak berdaya dan dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, dapat mencapai hal-hal yang tidak terduga dengan belajar dan berkaca pada kisah hidupnya.

Dengan caranya sendiri, perempuan mampu untuk meraih spektrum-spektrum yang tidak terjangkau oleh kaum laki-laki. Perempuan yang diletakkan dalam posisi berkuasa memiliki kesempatan untuk mengubah tata sosial menjadi lebih harmonis.

Keanggunan dan sensitivitas perempuan akhir-akhir ini semakin ditinggalkan karena tidak sejalan dengan anggapan kesetaraan gender yang dikembangkan sebagian besar kaum feminis. Namun sebenarnya, hal tersebut justru dapat menjadi kekuatan bagi perempuan untuk mencapai banyak hal. Seperti halnya Daenerys Targaryen yang dengan sensitivitasnya terhadap isu-isu kemanusiaan membuat kepemimpinannya unik dan berbeda dengan gaya kepemipinan kaum laki-laki.

Serial ini menunjukkan bagaimana perempuan yang awalnya tidak berdaya dalam konteks sosial, dalam waktu tertentu akan mencoba mengubah keadaan hingga akhirnya muncul perubahan yang seringkali tidak diakomodasi oleh pemimpin-pemimpin laki-laki. Feminisme yang selama ini selalu dicurigai sebagai usaha dominasi kaum perempuan terhadap kaum laki-laki sesungguhnya merupakan perjuangan atas ketidakberdayaan yang selama ini mereka rasakan. 

Cara-cara feminis kadang diacuhkan perempuan dengan anggapan tidak sesuai dengan medan yang dihadapi, seperti misalnya dalam dunia politik. Namun cara-cara feminis dapat menjadi kekuatan bagi peran perempuan di masyarakat jika dimanfaatkan dengan tepat.

 

Aziza Mahanani

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

-------------------------------

Disclaimer: Opini dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merepresentasikan sudut pandang Rifka Annisa secara keseluruhan.

46421276
Today
This Week
This Month
Last Month
All
948
948
273521
306641
46421276