Perempuan di Balik Kemerdekaan
Dalam proses menuju momentum kemerdekaan 17 agustus tahun 1945 banyak perempuan yang ikut serta dalam proses mengusir dan melawan penjajah yang menduduki Indonesia, bahkan banyak perempuan yang memiliki peran penting namun jasa-jasanya terlupakan. Hal ini tentu disebabkan rekonstruksi sejarah kita bercorak androsentris, karena sejarah terpusat pada kegiatan kaum laki-laki. Dalam berbagai kajian, perempuan menghilang dari literature sejarah Indonesia. Reduksionisme sejarah di Indonesia yang dijadikan alat untuk menimbulkan dominasi pengetahuan. Dalam berbagai kajian, perempuan kadang dikatakan berperan penting, tetapi biasanya tidak terlihat.
Oleh karena itu tulisan ini akan merefleksikan bagaimana kegigihan perempuan mulai dari medan perang, sampai dengan lembaga pendidikan. Selain Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, ada banyak perempuan Indonesia yang telah berjasa untuk negeri ini. Jasanya pun beragam. Sehingga menarik untuk kita telusuri jejak-jejaknya dan merefleksikan perannya dalam memperjuangkan tanah air diantaranya :
Putri Campa, merupakan selir kelima dari Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, sebagai pemeluk Islam pertama di kerajaan Majapahit. Prabu Brawijaya V sangat mencintai Putri Campa yang membuatnya menjadi sangat lunak. Kepemimpinan Prabu Brawijaya banyak menaruh perhatian terhadap Islam, meskipun sang raja sendiri tidak beragama Islam. Selain istri dan anak-anak yang telah memeluk Islam, banyak dari kalangan pejabat kerajaan yang juga telah memeluk Islam.
Keberadaan Putri Campa yang melakukan ekspansi dakwah di tubuh Kerajaan Majapahit menjadi semakin lebih mudah seiring semakin melunaknya Prabu Brawijaya terhadap perkembangan Islam. Berdatangan para ulama dari negara lain untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Hingga muncul Walisongo yang merupakan sebutan bagi para tokoh penyebar Islam dan dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, didirikan oleh Raden Patah. Selain itu, hal yang tidak boleh dilupakan dari sosok Putri Campa ini, bahwa beliau adalah ibu dari Raden Patah, Sultan Kerajaan Islam Demak yang pertama. Putri Campa juga merupakan bibi dari Sunan Ampel.
Perempuan aktif dalam gerakan buruh dari Banyuwangi, yang aktif terlibat dalam Gabungan Serikat Buruh Sedunia bahkan menjadi drafter Perluasan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 untuk persamaan upah dan anti diskriminasi. Bahkan dedikasi dari Setiati juga dibuktikan dari perannya dalam Sidang Biro Gabungan Wanita Demokratis Sedunia, dimana Setiati mengusulkan Solidaritas Internasional untuk perjuangan kemerdekaan nasional, hak-hak wanita dan perdamaian. Pada tahun 1964, Setiati pun diangkat menjadi sekretaris Gabungan Serikat Buruh Sedunia pada tahun 1964 di Praha. Ia secara khusus memperjuangkan solidaritas kaum buruh internasional yang bernafaskan anti imperialisme dan dekolonisasi.
Fransisca C Fanggidaej tokoh perempuan dari indonesia yang berpidato untuk memberitakan pada dunia internasional tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai tokoh dan pejuang, ia pernah menduduki posisi strategis di berbagai organisasi seperti Pesindo, Kantor Berita Antara, dan DPR GR RI. Setela peristiwa berdarah 1965, ia terasing dari tanah air nya sendiri, dan kini menetap di Belanda.
Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah atau cucu dari Muhammad Said Syah. Muhammad Said Syah sendiri merupakan putra Sultan Salahudin Syah yang memerintah kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1530-1539 M. Armada bentukan Malahayati tersebut kemudian bermarkas di Teluk Lamreh, Krueng Raya. Di sekitar teluk itulah, Malahayati kemudian membangun benteng pertahanan yang diberi nama Kuto Inong Balee. Selain menjadi benteng pertahanan, benteng yang dibangun Malahayati juga dijadikan tempat untuk mengawasi pergerakan berbagai kapal yang melintas di daerah kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus sebagai tempat tinggal bagi para pasukan Inong Balee.
Selain membentuk armada perang, jasa besar Malahayati dan armada yang dibuatnya adalah ketika terjadi peristiwa penyerbuan yang dilakukan oleh Malahayati dan pasukannya, terhadap empat kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada tanggal 21 Juni 1599 M.
Monia Latuwaria tidak hanya memberikan semangat kepada para pejuang Hatuhaha tapi ia juga memimpin perang Alaka II, setelah Patih Hatuhaha tewas, Monia Latuwaria, tokoh perempuan yang berperan penting dalam kemenangan masyarakat Hatuhaha pada perang Alaka II melawan penjajahan Hindia-Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak tahun 1625-2637
Rohana Kudus tumbuh menjadi seorang wartawati dan ia menjadi wartawati pertama Indonesia. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KS) di kota gadang, sekolah ini lahir sebab kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai langkah awal membuka kesadaran bagi perempuan yang pada saat itu memiliki posisi nomer dua. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan Poetri Hindia. Ketika dipersekusi oleh pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu. Surat kabar tersebut menjadi salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan R.A. Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Di dukung oleh abangnya ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama diIndonesia.
Saat pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Siti manggopoh adalah seorang ibu yang memiliki dua anak, ia perempuan yang memiliki peran penting di tanah sumatera. Dia diamanahkan untuk menjadi pemimpin pertempuran belasting, ia diberikan amanah tersebut sebab keberaniaanya menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan, melalui sanggar tarung yang ia buat untuk merekrut pasukannya. Di sebuah masjid ia berikrar dihadapan suami dan 15 orang pejuang yang berhasil dihimpunnya; “Setapak tak akan mundur, selangkah tak akan kembali”
Boetet Satidjah tercatat sebagai pendiri dan sekaligus editor surat kabar bulanan “Perempuan Bergerak” yang terbit di Medan tahun 1919. Surat kabar bulanan ini menjadi wadah untuk berseru, menyuarakan perlawanan, sekaligus membawa narasi setara. “Perempuan Bergerak” mendorong perempuan untuk bergerak maju. Boetet Satidjah memperjuangkan kemajuan bangsa dengan memperjuangkan kesamaan hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan dan berorganisasi. Lewat tulisannya, Boetet mengajak perempuan untuk bergerak, bersiasat dan membangun jaringan untuk keluar dari keterbelakangan. Berikut cuplikan salah satu tulisan Boetet di koran Perempoean Berjoeang edisi Mei 1919:
“Feminisme kita ini hendaklah kita toedjoekan menoeroet djalan nan elok, dan bersih, soepaja peregerakan kita ini tiada terhambat-hambat. Adat dan agama nan elok itoe djangan kita lampawi. Pada saudara-saudara laki-laki kita poehoenkan soepaja teman fikirkan, Bahasa toean-toean moesti dipandang bangsa hoilander sebagai Indische broeder. Djadi saja harap toendjang feminism kami perempoean-perempoean poen akan dipandang oleh Hollander dari Holiandsche vrouw sebagai Indische zuster.”
Lasminingrat menjadi seseorang sastrawan, daei beberapa karyanya Lasminingrat menyadur cerita-cerita asing tersebut menjadi lebih akrab bagi masyarakat setempat, seperti mengubah nama tokoh menjadi Erman dan Ki Pawitra serta mengadaptasi ceritanya agar sesuai dengan kebudayaan lokal.
Lasminingrat mendirikan sekolah Kautamaan Istri di Pendopo Kabupaten Garut. Sekolahnya terus berkembang. Pada tahun 1911 jumlah muridnya mencapai 200 orang sehingga membangun 5 kelas baru di samping pendopo. Pada tahun 1934, saat usianya sudah lebih dari 80 tahun, Lasminingrat membangun 3 cabang sekolah lagi. Pada tahun 1948, Lasminingrat menghembuskan nafas terakhirnya dengan usia 105 tahun.
Sumber :
Hesri Setiawan, 2006, “Memoar Perempuan Revoluioner Fransisca C. Fanggidaej”, Galangpress, Yogyakarta
Deddy Effendi, 2011, “Perempuan Intelektual Pertama Indonesia, Pejuang dan Perintis Literasi Pada Zamannnya”, Studio Proklamasi.
Sejak ditetapkannya physical distancing atau jaga jarak aman untuk pencegahan COVID-19, aktivitas Nia dan Adi (bukan nama sebenarnya) berubah. Sehari-hari perempuan usia 30-an itu bekerja sebagai pegawai swasta, sedangkan suaminya, Adi, berprofesi driver ojek online dan berjualan paruh waktu. Ketika rasa was-was akibat penyebaran corona bertambah, mereka bersepakat untuk sementara tidak bekerja.
Tak hanya penghasilan yang berubah, tetapi rutinitas sehari-hari juga berganti. Kantor Nia memutuskan untuk melakukan kebijakan bekerja di rumah. Demikian juga sekolah Tia, anak mereka yang tengah bersekolah di Kelas 4 SD, menerapkan belajar di rumah.
“Sekilas tampak menyenangkan semua berada di rumah. Namun, itu bukanlah hal yang mudah karena saya harus bekerja, sementara anak juga terus meminta ditemani, apakah itu ketika belajar ataupun ketika bermain.” jelas Nia.
Menurutnya, tetap menjalani kerja, sekaligus melakukan pekerjaan di rumah dan menemani anak adalah sesuatu yang berat. Suami pun merasa jenuh karena tidak bisa bekerja mencari uang, anak merasa bosan hanya beraktivitas di rumah.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Nia dan suaminya berkomunikasi lebih intens untuk menghadapi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Misalnya, membicarakan cara untuk melindungi kesehatan mereka di rumah ataupun saat keluar, membicarakan masalah ekonomi, bagaimana mengatasi kecemasan, mengatasi kejenuhan anak, bagaimana pembagian peran di rumah dan apa yang bisa dilakukan bersama agar situasi di rumah tenang, nyaman dan menyenangkan.
“Secara ekonomi berat. Karena bulan ini juga kami harus menyicil KPR untuk pertama kali, dan juga cicilan lainnya” jelas Nia. Otomatis, satu-satunya penghasilan berasal dari Nia. Keadaan ekonomi yang berubah, membuat Nia dan suami harus memberi pengertian kepada anaknya, untuk berhemat.
“Saya memberi tahu anak saya, Tia, untuk tidak lagi jajan. Selain itu juga harus makan apapun yang ada di rumah,” tutur Nia.
Semenjak pandemi COVID, Nia hanya belanja bahan masakan seminggu sekali, agar lebih menghemat, itupun hanya dipilih bahan-bahan yang sederhana namun tetap bergizi seimbang.
Selain berhemat, juga mencari alternatif-alternatif solusi untuk mengatasi kebutuhan ekomoni lainnya, “Meski merasa buntu, tapi kami yakin pasti ada jalan, dan kami tidak sendiri. Banyak keluarga lain juga mengalaminya”.
Lalu perempuan berlesung pipit ini bercerita ke suami terkait apa yang ia rasakan, sering merasa was-was atau cemas dengan paparan berita di TV atau medsos. “Emosi yang beragam ini membuat saya gampang “ngegas” alias nada suara mudah naik, dan kurang fokus menyelesaikan pekerjaan kantor, sehingga suasana rumah tidak menyenangkan”.
Nia juga bercerita bahwa dia dan suaminya membicarkaan bagaimana cara agar rasa cemas bisa berkurang, misal meminta suami untuk tidak terus menerus bercerita tentang update corona atau meminta mengurangi menonton berita di TV tentang darurat corona. Selain ia dan suami juga menyepakati untuk lebih sering ngobrol isu yang lain, mencari berita yang positif, berolahraga di halaman sembari berjemur matahari, bermain dengan anak.
“Setelah itu berjalan saya merasa lebih tenang, kebosanan anak dan suami pun teratasi,” katanya.
Hal lain yang dilakukan perempuan yang hobi masak ini adalah mengkomunikasikan tentang pembagian peran di dalam rumah. Di awal-awal bekerja dari rumah, suaminya masih bekerja, sehingga porsi pekerjaan rumah tangga lebih banyak dikerjakan Nia, akibatnya, ia tidak bisa bekerja menyelesaikan pekerjaan kantornya. Kemudian Nia menyampaikan kepada suami apa-apa saja yang sebaiknya dikerjakan juga oleh suami agar semua bisa berjalan secara optimal sebelum berangkat kerja.
Setelah suami tidak bekerja, maka pekerjaan rumah tangga sepenuhnya dilakukan suami, kecuali memasak. Sedangkan bermain dan mendampingi anak belajar dilakukan bersama-sama atau bergantian.
“Soal memasak, masih sering saya yang mengerjakan, karena suami kurang cekatan memasak,” jelas Nia.
Imbas pada Kaum Perempuan
Adanya himbauan physical distancing atau jaga jarak dari orang lain dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 membuat rutinitas berubah. Setelah ada himbauan tersebut, muncul kebijakan baik dari instansi atau perusahaan untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, serta beribadah di rumah. Otomatis banyak rumah tangga yang mempunyai perubahan rutinitas.
“Pada umumnya kemudian kaum ibu yang dibebani tugas untuk mengasuh, menemani belajar. Sementara, beban kerja domestik sehari-hari seringkali tetap dibebankan kepadanya. Dampaknya, waktu yang tersedia untuk dirinya sendiri semakin sedikit,” jelas Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa, ketika ditanya terkait apa dampak yang rentan menimpa perempuan dalam kondisi pandemi COVID-19.
Menurut perempuan asal Yogyakarta ini, ada berbagai imbas yang menimpa kaum perempuan dengan berbagai macam kondisi. Pertama, apabila kaum ibu tersebut adalah perempuan yang bekerja, dengan segudang aktivitas tersebut akan sulit untuk mengatur waktu menyelesaikan pekerjaan, yang dapat berimbas pada performa kerja yang buruk. Kedua, untuk perempuan yang harus bekerja untuk mendapatkan pendapatan harian seperti pedagang, pekerja lapangan, ia berisiko tidak punya waktu lagi mengerjakan pekerjaan tersebut, sehingga penghasilan pun menurun atau bahkan tak ada sama sekali pemasukan.
Ketiga, jika perempuan tersebut adalah ibu rumah tangga, maka ia akan mendapatkan tambahan pekerjaan merawat semua orang di rumah selama masa pandemi. Selain itu, ia tetap harus keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan logistik, menempatkan dia pada risiko terpapar lebih besar. Ditambah lagi, jika ada anggota keluarga yang sakit, juga umumnya perempuan yang dibebani kewajiban untuk merawat.
Beban-beban tersebut sangat berpotensi menimbulkan stres pada perempuan, disamping kecemasan terkait wabah itu sendiri. Beban tambahan yang muncul sebagai dampak wabah itu perlu disadari bersama antar pasangan, dan dapat dikerjakan secara merata dengan pasangan, atau anggota keluarga usia produktif yang lain.
Ketika ditanyai tentang tips agar terhindar dari stres akibat pandemi serta tambahan beban yang terjadi di masa pandemi, Indiah menerangkan beberapa tips untuk menangkalnya:
Penulis: Niken Anggrek Wulan | Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Sebagai anak-anak, kita tidak dibatasi dalam bermimpi dan mengungkapkan aspirasi tentang masa depan. Kita merasa kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan: astronot, kesatria dengan baju besi yang berkilauan atau penyelam di lautan yang dalam. Namun kemudian terdapat sesuatu yang disebut “pelabelan pada gender” yaitu sebuah gagasan atas apa yang tidak dan dapat dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan secara tradisional. Anak perempuan diharapkan untuk cakap di bidang seni dan humaniora, sementara anak laki-laki diarahkan pada matematika dan sains. Pelabelan ini terpenuhi dalam proses perkembangan sampai anak-anak tersebut mulai membentuk preferensi dan jalur karirnya. Kebanyakan laki-laki bekerja di pekerjaan dengan upah yang lebih baik pada bidang sains, teknik, teknologi dan informatika, sementara perempuan cenderung memilih profesi pengajar dan pekerja sosial.
Pada abad yang lalu slogan dalam Bahasa Jerman "Kinder, Küche, Kirche" yang biasa dikenal masih digunakan dalam percakapan sehari-hari. Slogan tersebut bisa diterjemahkan menjadi "anak-anak, dapur, gereja". Ini memiliki konotasi yang sangat menghina, menggambarkan apa yang dilihat sebagai model peran tradisional perempuan di masyarakat Barat kontemporer. Saat ini terkadang slogan tersebut diganti dengan "Kinder, Küche, Karriere", yang berarti "anak-anak, dapur, karir", yang menunjukkan bahwa seorang perempuan masih dipandang sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas rumah tangga dan merawat anak-anak, sementara dia juga diminta untuk menjadi seorang perempuan karir. Pelabelan dan beban ganda ini mulai berkurang di Jerman, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Namun masih banyak yang harus dilakukan. Mengakui dan mengatasi pelabelan gender ini sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender menjadi kenyataan. [1]
Konteks Jaman Dahulu
Laki-laki yang sudah menikah biasanya memiliki hak untuk menentukan keputusan akhir terkait seluruh masalah keluarga sampai tahun 1957 ketika Undang-Undang Persamaan Hak mulai berlaku. Baru pada tahun 1977, perempuan di bagian barat Jerman berhak memperoleh pekerjaan tanpa izin dari suami mereka. Hak perempuan untuk memilih bahkan tidak sampai seratus tahun di Jerman, karena perempuan baru diperbolehkan memberikan suara pada tanggal 19 Januari 1919. [2]
Situasi Hukum
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dijamin melalui Pasal 3 dalam Undang-Undang Dasar Republik Federal Jerman. Pasal ini menyatakan [3] :
Semua orang harus sama di hadapan hukum. Laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama. Negara harus mempromosikan pelaksanaan yang sebenarnya bagi persamaan hak perempuan dan laki-laki dan mengambil langkah untuk mengeliminasi kerugian-kerugian yang ada saat ini. Tidak ada orang yang harus disukai atau tidak disukai karena jenis kelamin, keturunan, ras, bahasa, tanah air dan asal-usul, kepercayaan, atau agama atau pendapat politik. Tidak ada orang yang harus dibenci karena cacat.
Pada tahun 1994, sebuah pasal baru ditambahkan ke dalam Konstitusi Jerman yang memberikan kewajiban kepada pihak yang berwenang untuk melawan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, sejauh ini negara mempromosikan pelaksanaan faktual dari kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dan berusaha untuk menghilangkan kerugian yang ada. Hukum menjamin hak yang sama dan mencegah diskriminasi di Jerman dan dikembangkan atas dasar hak-hak persamaan [4]. Undang-undang Umum tentang Kesetaraan Perlakuan telah berlaku sejak tanggal 18 Agustus 2006. Undang-Undang ini mencakup empat Petunjuk Anti-Diskriminasi Uni Eropa dalam hukum Jerman. Ujuan dari Undang-undang ini adalah untuk mencegah atau untuk menghentikan diskriminasi atas dasar rasis atau asal etnis, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, kecacatan, usia atau orientasi seksual. Undang-undang Umum tentang Kesetaraan Perlakuan mengatur klaim dan konsekuensi hukum dalam kasus diskriminasi, baik di bidang pekerjaan maupun di bidang hukum perdata [5]. Mengenai pelaporan jenis kelamin, Pemerintah Federal menyampaikan Laporan Kesetaraan Jenis kelamin pertama di tahun 2011 dan dilakukan dengan keputusan Bundestag Jerman (parlemen) untuk terus menyusun laporan tersebut dalam setiap periode pemilihan. [6]
Pendidikan
Sama seperti di seluruh negara Eropa, dulu perempuan memiliki banyak kekurangan dibandingkan dengan laki-laki dalam perjalanan pendidikan mereka. Perempuan dan laki-laki mungkin bisa memiliki nilai yang sama atau bahkan lebih baik ketika di sekolah menengah, tetapi ketika mereka melanjutkan ke universitas, para laki-laki lebih mendominasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin sulit bagi seorang perempuan untuk naik ke puncak. Pada bidang akademik, untuk waktu yang sangat lama kebanyakan yang melanjutkan pendidikan hingga PhD dan menjadi profesor adalah laki-laki. Dalam dekade terakhir negara-negara Eropa telah melakukan upaya signifikan untuk memperbaiki situasi akses pendidikan yang setara. Di Jerman pada tahun 1990, jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan mmulai meningkat dari 29-37% [7]. Sejak itu semua perbedaan dalam persentase belajar telah lenyap sampai hari ini. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa dengan adanya kesempatan yang sama untuk mengakses, lebih banyak perempuan yang memperoleh hasil pendidikan yang lebih baik dan lebih baik dalam belajar daripada laki-laki. Di bidang obat-obatan terdapat 9% pelajar perempuan dan 4% pelajar laki-laki. Karena ini adalah perkembangan terkhir yang meningkat pada tahun-tahun sebelumnya, maka laki-laki masih memperoleh posisi yang lebih tinggi di universitas [8].
Pekerjaan
Sebelumnya Jerman telah berkomitmen bahwa pada tahun 2016, perusahaan yang ditentukan dan terdaftar sebagai saham akan diminta untuk mencadangkan setidaknya 30% kursi pengawas untuk perempuan dalam jajaran dewan mereka. [9] Sejak 1 Januari 2016, kuota jenis kelamin sebesar 30% telah diterapkan untuk dewan pengawas usaha yang terdaftar dan patuh pada penentuan tujuan berbasis paritas. Bayaran diskriminasi telah dilarang, namun Pemerintah Federal juga berencana untuk memperkenalkan peraturan transparansi baru. Dibandingkan denga proporsinya di masyarakat, perempuan yang berada dalam posisi pengambil keputusan kurang terwakili di Jerman, baik di bidang politik maupun ekonomi – meskipun hak yang sama untuk perempuan dan laki-laki dijamin oleh Undang-Undang Dasar, oleh Federal Equal Treatment Act dan oleh undang-undang yang berlaku di negara bagian Federal (Lander) dan terlepas dari kenyataan bahwa kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan merupakan tujuan penting dari kebijakan kesetaraan. Partisipasi perempuan di posisi teratas perusahaan adalah isu yang berlaku, berbeda dengan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik. [10]
Kesenjangan Gaji Jenis kelamin
Untuk kesenjangan gaji jenis kelamin, perempuan di Jerman masih mengalami perbedaan pembayaran dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung mempelajari lebih banyak ilmu sosial dan humaniora sedangkan laki-laki lebih banyak mempelajari hard science. Karena pilihan tersebut, kemudian berdampak pada pendapatan kedua kelompok pekerjaan karena pekerjaan yang terkait dengan ilmu sosial dan humaniora cenderung mendapatkan upah yang lebih sedikit. Pemerintah Federal telah meluncurkan sebuah program yang mendorong perempuan untuk mempelajari ilmu teknik, teknologi, atau ilmu yang berhubungan denngan sains untuk melawan kecenderungan ini [11]. Upaya yang dilakukan untuk merubah stereotip jenis kelamin adalah adanya Hari Anak Perempuan dan Hari Anak Laki-Laki, yang juga disebut sebagai Hari Masa Depan Siswa. Program ini memungkinkan perempuan untuk melihat lingkungan yang didominasi oleh laki-laki seperti ilmuwan komputer atau sebagai tukang kayu dan laki-laki juga dapat menghabiskan satu hari di sekolah dasar atau di tempat perawatan lansia. [12]
Uang Anak-Anak
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah fereal yang berbeda dengan mayoritas politik lainnya berfokus pada kebijakan keluarga. Jumlah fasilitas penitan anak meningkat, all-day school didirikan sebagian dan skema penggantian pendapatan baru telah diebentuk. [13] Penduduk wajib pajak Jerman berhak atas TK jika mereka memiliki anak. Itu semua adalah tunjangan (juga disebut Child Benefit) dari pemerintah Jerman untuk membantu membiayai sebagian biaya untuk membesarkan anak-anak. Besar biaya tersebut antara € 192 sampai € 223 per anak setiap bulannya. Orang tua menerima uang anak-anak ini dari pemerintah sampai anak-anak berusia 18 tahun, meskipun bisa berlanjut sampai usia 25 tahun jika mereka masih bersekolah atau memenuhi persyaratan lain untuk melakukan perpanjangan. Mulai bulan Januari 2017 keuntungan telah dinaikkan menjadi € 192 per bulan per anak untuk dua anak pertama, € 198 untuk anak ketiga dan € 223 untuk masing-masing anak berikutnya. [14]
Uang Orang Tua
Elterngeld atau "Uang Orangtua" dibatasi pada 12 atau 14 bulan pertama setelah kelahiran anak tersebut. Jumlah Elterngeld didasarkan pada pendapatan setelah pajak dari orang tua yang didedikasikan untuk merawat bayi yang baru lahir dan dipandang sebagai subsidi pendapatan terbatas. Hal ini memungkinkan kedua orang tua untuk menggunakan hak mereka untuk cuti dalam rangka kelahiran baru anak mereka dan juga untuk menerima Elterngeld - dengan membagikan jangka waktu "Elterngeld" yang dialokasikan (total 12-14 bulan). Hal ini menjelaskan bahwa ibu (atau ayah yang tinggal di rumah) adalah orang yang "dipekerjakan" dan mendorong ayah untuk berkontribusi lebih aktif terhadap perawatan anak-anak. [15] Eltergeld telah memberi kontribusi pada lebih banyak "ayah aktif". 34% ayah di Jerman mengambil cuti orang tua dengan rata-rata pengeluaran 3,1 bulan di rumah dengan anak mereka. [16] Aturan cuti orang tua, yang mencakup tiga tahun, tetap berlaku. Orangtua mungkin tetap bekerja tapi saat cuti mereka tidak menerima upah atau tunjangan. Sejak 2013 semua keluarga memiliki hak untuk memberi anak mereka perawatan anak yang disediakan oleh negara. [17]
Orang Tua Tunggal
Di Jerman, peraturan baru akan memperbaiki situasi keuangan orang tua tunggal. Karena orang tua tunggal sering tidak menerima dukungan finansial untuk anak-anak mereka dari ayah (atau, dalam kasus yang jarang terjadi, dari ibu), pemerintah federal membayar subsidi uang muka untuk memastikan stabilitas ekonomi mereka. Pada tanggal 16 November 2016, Kabinet Federal menyetujui sebuah peraturan baru mengenai pembayaran pemeliharaan uang muka federal (Unterhaltsvorschusszahlung). Dari bulan Juli 2017 dan seterusnya, pembayaran ini akan diberikan sampai anak berusia 18 tahun, sedangkan menurut peraturan yang berlaku sampai Juni 2017, diberikan sampai anak berusia 12 tahun dan paling lama 72 bulan. [18]
Abortus
Setiap perempuan di Jerman dapat memiliki kontrasepsi dan mereka berusia 20 tahun alat kontrasepsi itu dibagikan secara gratis. Menurut undang-undang Penal § 218 yang kontroversial, aborsi ilegal di Jerman, namun tidak dihukum ketika seorang perempuan mencari konseling sebelumnya. Tingkat aborsi terus menurun. Sehari setelah pil tersedia tanpa resep dokter. Rasio kematian ibu di Jerman termasuk yang terendah di dunia.
Kesimpulan
Kesetaraan jenis kelamin belum tercapai di Jerman dan akan ada lebih banyak perubahan yang diperlukan di masa depan untuk mencapainya. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika melihat kembali sejarah dan meyadari, bahwa ini adalah perjalanan panjang yang telah dicapai perempuan. Setiap perubahan kecil dalam kebijakan dan setiap perempuan yang mencapai sesuatu adalah hal penting yang perlu diperhatikan karena mereka mengangkat semua perempuan ke depan. Negara anggota Uni Eropa yang berbeda berada pada tingkat kemajuan yang sangat berbeda, sementara harus diperhatikan bahwa negara-negara Skandinavia seperti Swedia memiliki kebijakan cuti parental yang lebih baik lagi, dan perusahaan dengan perbedaan besar bagi setiap jenis kelamin berisiko membayar denda, jika mereka tidak menanggapinya. [19] Penting untuk dicatat, bahwa cara Swedia atau Jerman menganjurkan kesetaraan jenis kelamin tidak dapat diberikan dengan cara yang sama ke negara lain seperti di Indonesia. Perlu diperhatikan kebutuhan setiap negara untuk melihat kemana arah yang ingin dituju oleh negara tersebut. Proses menuju masyarakat yang setara sama sekali tidak dapat dicapai dalam waktu satu tahun. Mungkin butuh waktu lama, tapi baik dan perlu untuk didiskusikan dan menginspirasi satu sama lain dalam prosesnya.
About the author: Malin Klinski is a student at Universitas Gadjah Mada where she studies at the Insitute for Social and Political Sciences.
Photo credit: @UN_Women
Referensi:
[1] European Institute for Gender Equality. 17. August 2017
[2] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 7
[3] Basic Law for the Federal Republic of Germany
[4] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 26
[5] Federal Anti-Discrimination Agency. The General Equal Treatment Act. Act Implementing European Directives Putting Into Effect the Principle of Equal Treatment. 2006.
[6] 2011 Annual Report on Gender Equality: Germany.
[7] studienwahl.de
[8] Bildungsbeteiligung und Bildungschancen. In: Bundeszentrale für Politische Bildung (31.05.2012).
[9] UN Women Report Germany. 2015
[10] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 11
[11] Kleinhubbert, Guido. Sciences Struggle to Attract Young Women. In: Der Spiegel (24.09.2013).
[12] Girls-day.de/Boys-day.de
[13] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 8
[14] www.kindergeld.org
[15] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 19
[16] Report on Equality between men and women in the EU 2017
[17] www.bmfsfj.de
[18] Report on Equality between men and women in the EU. P.26
[19] Weller, Chris. Sweden is the best country in the world for women. In: The Nordic Business Insider (17.03.2017).
Pada tanggal 14-16 Maret 2017, Rifka Annisa menyelenggarakan pelatihan “Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak bagi Pendidik Sebaya” yang berlokasi di Omah nDeso, Desa Bleberan, Kabupaten Gunung Kidul. Peserta kegiatan ini berjumlah 32 orang siswa dan siswi kelas X yang berasal dari empat sekolah, yaitu SMKN 1 Wonosari, SMKN 1 Gedangsari, SMKN 1 Ngawen dan SMKN 1 Saptosari. Selama kegiatan ini berlangsung, para peserta pelatihan juga diberikan kesempatan untuk menginap di rumah penduduk sekitar sehingga memberikan pengalaman dan pembelajaran baru bagi mereka.
Pelatihan ini memiliki beberapa tujuan diantaranya meningkatkan pemahaman peserta tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan kemampuan peserta dalam melakukan fasilitasi di kalangan teman sebayanya, serta meningkatkan pemahaman dan keterampilan peserta dalam merancang kegiatan sosialisasi dan kampanye dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di kalangan teman sebayanya.
Kegiatan pelatihan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak di Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini dibuktikan dengan sambutan baik yang disampaikan Kepala Desa Bleberan, Supraptono, pada saat acara pembukaan pelatihan. Beliau menyampaikan apreasiasi yang tinggi terhadap Rifka Annisa atas inisiatifnya menyelenggarakan kegiatan ini. Acara ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Kabupaten Gunung Kidul secara umum, khususnya dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tak lupa, beliau juga memberikan pesan dan motivasi bagi peserta pelatihan agar mengikuti pelatihan dengan maksimal. Selain dari Kepala Desa Bleberan, sambutan lain juga diberikan oleh perwakilan dari Rifka Annisa dan FPK2PA yang dalam sambutannya menyampaikan apresiasi dan dukungan atas terselenggaranya kegiatan ini.
Dalam kegiatan pelatihan ini, para peserta dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas perempuan dan kelas laki-laki. Pemisahan kelas ini dilakukan karena materi yang disampaikan untuk laki-laki dan perempuan agak berbeda. Selain itu, faktor kenyamanan juga menjadi salah satu aspek penting mengapa kelas laki-laki dan perempuan dipisah mengingat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu yang sensitif. Meksipun materi yang disampaikan sama-sama tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun pendekatan yang digunakan di tiap kelas berbeda mengingat masalah dan pengalaman yang dialami laki-laki dan perempuan berbeda.
Selama kegiatan ini berlangsung, para peserta terlihat begitu antusias dalam menjalani tiap sesi pelatihan. Hal ini tidak terlepas dari bantuan para fasilitator dari Rifka Annnisa yang berusaha memandu tiap sesi pelatihan dengan menarik dan menyenangkan, misalnya dengan menggunakan fasilitas video dan musik, bahkan bermain game bersama. Tak hanya itu, para peserta juga diajak untuk berefleksi tentang pengalaman dan lingkungan sekitarnya sehingga mereka menjadi lebih peka terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Untuk menyiapkan mereka menjadi pendidik sebaya, para peserta pelatihan juga dibekali informasi tentang metode komunikasi efektif yang diharapkan dapat membantu mereka dalam merespon masalah-masalah yang diceritakan teman-teman sebayanya.
Secara umum, para peserta memberikan respon dan apresiasi positif selama kegiatan pelatihan ini berlangsung. Harapannya, pelatihan ini dapat membekali diri mereka untuk menjadi pendidik sebaya yang baik dan mampu memberikan informasi yang tepat bagi teman-teman sebayanya. Semoga dengan adanya kelompok pendidik sebaya ini dapat membantu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya di Kabupaten Gunung Kidul. []