Oleh Lamtiar D J Tambunan
Istilah ruang penggembalaan/pastoral/konseling Kristen merupakan suatu wadah atau tempat yang seharusnya dimiliki oleh gereja. Penggembalaan dalam istilah Bahasa Inggris ialah Pastoral care, pastoral Work, Bahasa Belanda Zielsorg; bahasa Jerman, Seelsorge. Penggembalaan dan konseling pastoral sering keduanya saling timpang tindih dalam praktek. Penggembalaan adalah pelayanan penggembalaan umum yang mencakup kehadiran, mendengarkan, kehangatan, dan dukungan praktis oleh gembala (pendeta, pastoral) sebagai pendamping. Mereka juga dapat dibantu oleh pelayan kristen lainnya, termasuk warga jemaat yang sudah terlatih dalam bidang pendampingan pastoral. Di dalam penggembalaan diadakan perkunjungan-perkunjungan gembala kepada rumah-rumah jemaat sakit fisiknya, dan para penggembala haruslah mengetahui dan memiliki pengetahuan yang umum mengenai hidup keluarganya.[1]
Program mengadakan penggembalaan/pastoral atau konseling memang sangat mempengaruhi tumbuhnya suatu jemaat dalam gereja. Karena dengan adanya penggembalaan maka masyarakat akan merasa bahwa mereka benar-benar mendapatkan perhatian yang penuh dari kalangan gereja. Penggembalaan dan konseling pastoral itu memang merupakan tugas pendeta (pimpinan jemaat), perlu dipahami bahwa penggembalaan itu bukan hanya tugas pendeta. Semua orang percaya harus juga dilibatkan dalam mengimplementasikan imamat am orang percaya, bahwa semua orang percaya harus saling menggembalakan dalam komunitas mereka. (Mat 18:15-20, 1 Pet 2:9).
Jadi inti dan rumusan dari setiap rumusan-rumusan para ahli tadi ialah “Penggembalaan adalah pemberitaan firman Allah yang dibedakan dengan khotbah”. Dengan tujuan supaya orang yang digembalakan ia mendapat manfaat dari firman Tuhan yang diberitakan kepadanya sehingga kepribadiannya dipengaruhi oleh firman Tuhan. Program konseling pada dasarnya tentu sangat baik untuk diterapkan di dalam wadah gereja, karena dengan adanya program penggembalaan atau konseling maka jemaat dapat terbuka kepada pihak gereja untuk meningkatkan kehidupan spiritual jemaat dan tujuan lainnya tugas pelayan atau pemimpin jemaat selaku pemimpin spiritual sudah sesungguhnya membantu jemaat dalam menangani kasus atau persoalan hidup yang dilakukan, karena dengan tindakan yang demikian maka nyatalah juga Firman yang disampaikan setiap minggunya.
Dalam program penggembalaan/pastoral yang dilakukan sangat memungkinkan untuk menjalin sebuah komunikasi yang intens antara jemaat dengan pemimpin jemaat. Komunikasi yang intens yang terjadi jika tidak menjaga jarak maka akan sangat besar peluangnya untuk menjadikan terjadinya kasus pelecehan seksual. Banyak jemaat memang meyakini bahwa seorang pemimpin spiritual atau pemimpin jemaat tentu tidak akan melakukan hal demikian karena diyakini telah memiliki spiritual yang tinggi sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Namun pemikiran jemaat demikian akan membuat jemaat rentan menjadi korban kekerasan jika tidak memiliki sikap yang waspada. Kepercayaan penuh yang diberikan jemaat kepada pemimpin gereja (Pendeta, dll) akan sangat menjauhkan jemaat memikirkan hal-hal yang tak mungkin terjadi.
Buku Carolyn Haggen yang berjudul Pelecehan Seksual Dalam Keluarga dan Gereja (edisi terjemahan), dapat menjadi referensi yang bagus mengenai kasus pelecehan seksual dalam lingkup penggembalaan. Dalam buku tersebut, penulis menyebutkan bahwa dalam program penggembalaan sering terjadi kekerasan seksual. Tetapi banyak jemaat menyangkal kalau hal itu terjadi diantara para pelayan. Seorang hamba Tuhan yang diyakini benar-benar paham akan Firman Allah tentu akan memiliki penguasaan yang tinggi tetapi dalam buku tersebut dikatakan bahwa menjadi seorang pelayan tidak memungkinkan dirinya untuk tidak melakukan pelecehan seksual terhadap jemaatnya karena pendeta atau pemimpin jemaat juga merupakan manusia biasa.
Seperti kasus yang diceritakan dalam buku Haggen tersebut, seorang perempuan guru sekolah minggu meminta untuk mengadakan pastoral dengan pendetanya dengan tujuan untuk meningkatkan spritualitasnya. Tetapi hubungan yang intens tersebut membuat pendeta terbawa oleh suasana dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada perempuan sang kliennya itu. Berbagai cara dilakukan oleh perempuan itu termasuk membatalkan janji yang telah disepakatinya dengan pimpinannya tersebut, karena ia menyadari bahwa hubungan penggembalaan tersebut telah mengarah kepada pergaulan seks terutama ketika sang pendeta mengatakan salam perpisahan dengan menciumnya dan memeluknya dengan erat. Tetapi sikap yang ditunjukkan oleh sang pendeta benar-benar mengecewakan hingga ia mendatangi apartemen perempuan itu. Sementara sikap yang ditunjukkan sang perempuan semakin menjauhkan diri dari pendeta tersebut karena perempuan itu malu terhadap dirinya dan malu melihat istri pendeta dan anak-anaknya. Hingga ia memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak menjalin hubungan komunikasi.[2]
Keyakinan masyarakat umum akan seorang pemimpin gereja menjadi sebuah perlindungan yang kuat bagi seorang pemimpin gereja dalam menutupi segala kelakuan buruknya. Menurut pandangan para jemaat seorang pelayan Tuhan tidak mungkin melakukan hal demikian karena ia bertugas dalam pemberitaan menyampaikan Firman Tuhan yang diyakini sebagai suatu Firman yang suci. Dengan perlindungan dari jemaat tersebut maka kecil kemungkinan untuk mendengarkan cerita korban yang mengalami kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta. Tidak hanya sulit untuk bercerita bahkan jika korban mengatakan kebenarannya maka akan semakin menambahkan beban bagi sang korban karena bisa jadi dikatakan korban menipulasi dan sang korban juga besar peluagnya menjadi dibenci banyak kalangan jemaat.
Kehidupan jemaat Kristen yang sangat yakin dan menghormati pelayan Tuhan terkadang menjadi faktor penghambat manakala ada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum. Adanya hubungan kekuasaan ini sangat menyulitkan para korban untuk tertolong. Pihak gereja diyakini sebagai kumpulan orang-orang suci yang memiliki iman dan penguasaan diri yang penuh. Walaupun sesungguhnya kasus pelecehan seksual merupakan sebuah kasus yang sudah sering didengarkan namun masih sulit bagi para korban untuk bercerita. Karena hal itu dianggap akan merugikan pendeta sendiri dan juga gereja tersebut. Tindakan yang sering dilakukan oleh pihak gereja sendiri jika mengetahui hal demikian terjadi, maka keputusan pengurus gereja lebih memilih diam dan memindahkan sang pendeta ke gereja lainnya tanpa menghukumnya atau membeberkan kasusnya.
Pemilihan tindakan demikian tanpa disadari akan sangat memungkinkan terjadinya kasus yang berikutnya dan akan merugikan yang lain. Karena dalam menyelesaikan sebuah kasus maka sangat diperlukan sebuah keterbukaan atau kesedian dari pihak korban dalam memperjelas sebuah kejadian yang dialami. Dalam penyelesaian kasus pelecehan seksual seharusnya tindakan yang dilakukan gereja ialah sebagai pendukung dalam penyelesaian kasus karena penyangkalan yang dilakukan oleh institusi dan individu akan semakin mempersulit penyelesaian kasus yang ditangani. Hal ini juga menambah kesulitan bagi para korban yang mengalami kasus pelecehan dalam lingkup pastoral karena mereka meyakini tidak ada perlindungan atau pertolongan yang layak bagi mereka. Sehingga pilihan lain yang lebih sering terjadi dan dilakukan para korban yaitu bunuh diri karena dengan demikian korban berpikir bahwa perkaranya akan selesai. []
Lamtiar D J Tambunan adalah mahasiswa magang di Rifka Annisa. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi “Biblevrouw HKPB” Medan, Sumatera Utara.
*Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan posisi resmi dari Rifka Annisa.
[1] Dr. M. Bons-Strorm, Apakah penggembalaan itu?, Jakarta : Gunung Mulia, 2012. Hal. 1
[2] Carolyn Holderread Haggen, Retnowati (penerjemah), Pelecehan Seksual dalam Keluarga dan Gereja, Jakarta : BPK : Gunung Mulia, 2008, hal. 103-132.