Di ruangan itu berjajar dua buah meja dan beberapa kursi di sekelilingnya. Sejumlah orang duduk mengelilingi meja sambil sesekali menikmati camilan. Mereka para karyawan di lembaga Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta. Mereka berbincang tentang apa yang pertama kali dilakukan ketika membuka mata di pagi hari. Sebuah pertanyaan pemantik untuk mengawali diskusi mengenali dampak-dampak media sosial bagi kehidupan kita sehari-hari.
“Dulu ngecek jam, sekarang juga ngecek notifikasi whatsapp,” kata Dewi, salah satu karyawan kantor tersebut. Ia menambahkan, saat ini ada kebiasaan baru di kehidupan sehari-hari akibat penggunaan media sosial. Media sosial memudahkannya dalam menelusuri teman-teman yang lama tidak bertemu. Sementara menurut Ninna, koordinator human resource di kantor tersebut, media sosial mengakomodasikan naturnya manusia yang ingin selalu berhubungan. Itu yang membuat orang kecanduan karena media sosial memfasilitasi kita untuk mengetahui kabar orang lain dan apa yang sedang mereka kerjakan.
Media sosial juga membuat interaksi antar pengguna seperti tiada jarak. Semua orang bisa melakukan pertemanan dengan siapa saja, mulai dari orang biasa, pejabat, hingga artis ternama. Fitri yang sehari-hari bertugas sebagai training officer mengatakan bahwa ia memanfaatkan media sosial untuk berteman dengan penulis idolanya. Ia sangat senang manakala bisa chat dan memberikan komentar di laman sang idola apalagi jika komentar tersebut mendapat balasan. “Bisa menyampaikan uneg-uneg langsung ke penulis idolaku,” tambah Fitri menyampaikan manfaat media sosial baginya.
Namun, tidak semua mereka setuju bahwa adanya media baru tersebut membawa dampak yang positif. Fitri mengatakan tidak begitu menikmati interaksi di media sosial khususnya di grup kecuali yang masih berhubungan dengan pekerjaannya sekarang. “Aku orangnya lebih suka kopi darat atau bertatap muka,” kata Fitri. Banyaknya notifikasi (pemberitahuan) di grup media sosial yang diikutinya tak jarang juga membuat perempuan penikmat kopi dan pecinta kucing ini terganggu. Belum lagi ketika masa-masa kampanye, perbedaan pandangan dan pilihan politik membuat pengguna media sosial bisa saling membenci. Dari situlah ia banyak belajar bahwa menerima perbedaan itu sulit.
Senada dengan Fitri, Ninna dulunya juga rajin mengakses Facebook namun saat ini ia telah men-deactive-kan akunnya. Ia beralasan bahwa belakangan ini sering menemui ujaran-ujaran kebencian dan pernyataan yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, Anatomi tubuh) di media sosial. Hal tersebut tentu saja membuat tidak nyaman. Dari diskusi awal itulah pembicaraan mengenai dampak media sosial berlanjut untuk melihat bagaimana persepsi dan seberapa jauh ketergantungan masing-masing orang dengan media sosial.
Cara Manusia Memandang Teknologi
Adanya pembaruan teknologi telah mengubah tren media komunikasi. Salah satunya adalah munculnya media sosial sebagai media baru. Komunikasi dan pemberitaan ala media baru memberikan kesempatan lebih luas kepada khalayak untuk turut berkontribusi dan berpartisipasi dalam produksi informasi dan suplai konten berita. Juga termasuk agen distribusi berita. Bisa dikatakan, konten tidak lagi dikuasai hanya oleh institusi media. Bahkan, dengan adanya fitur-fitur media sosial, saat ini pun setiap orang bisa berkontribusi melaporkan peristiwa secara langsung. Namun teknologi tidak serta merta mengubah pandangan semua orang tentang kebermaknaan dalam kehidupan. Setidaknya beberapa pandangan berikut akan menjelaskan bagaimana posisi manusia terhadap teknologi tersebut (Nasrullah, 2014a; Silver, 2000; Wilhem, 2000 dalam Nasrullah, 2015).
Pertama, kelompok utopian. Secara harfiah, utopian berasal dari kata “utopis” yang merujuk pada sesuatu yang diidealkan tanpa adanya batasan-batasan atau situasi/tempat yang diidealkan seperti surge atau kesetaraan bagi semua orang. Dalam konteks ini, kaum utopian menerima keberadaan teknologi komunikasi sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Tidak hanya cara berkomunikasi tetapi juga budaya, sosial, politik, hingga ekonomi (McLuhan, 1964 dalam Nasrullah, 2015).
Kedua, kelompok dystopian. Kelompok ini memandang teknologi komunikasi secara lebih hati-hati. Keberadaan teknologi memunculkan berbagai kritik bahwa teknologi komunikasi menyebabkan munculnya keterasingan manusia dari realitas sosial-politik tertentu. Dalam konteks ini, pendukungnya menganggap bahwa hubungan komunikasi jauh lebih bermakna jika dilakukan secara langsung atau tatap muka daripada difasilitasi oleh media baru. Media sosial dianggap telah menggeser cara berkomunikasi masyarakat bahkan bisa berdampak negatif bagi praktik dan ruang komunikasi yang awalnya dipelihara secara demokratis. Kelompok ini beralasan bahwa interaksi menjadi tidak teratur karena masyarakat kehilangan pusat dan nilai-nilai. Terkait pengaruhnya dalam tataran sosial, media baru membuat tatanan masyarakat menjadi terpecah, bahkan mengisolasi satu sama lain. Komunikasi yang tidak langsung juga menimbulkan adanya fragmentasi sosial.
Ketiga, kelompok technorealism. Kelompok ini berpandangan lebih realistis terhadap kemajuan teknologi dan pengaruhnya terhadap manusia. Internet memang memberikan pengaruh yang beragam bagi kehidupan manusia namun manusia tidak bisa menerima begitu saja atau menolak keberadaan teknologi tersebut. Adanya teknologi menuntut masyarakat untuk lebih berpikir kritis dan membuka pandangan terhadap pilihan-pilihan akibat dari adanya teknologi. Bagi kelompok ini, teknologi atau media baru tidak selamanya akan mengubah total tatanan masyarakat. Teknologi perlu dilihat secara berimbang serta subjektif khususnya terkait potensi-potensi penting dari internet.
Kelompok technorealism ini memegang dua prinsip penting (Wilhelm, 2000:23), sebagaimana dikutip oleh Nasrullah (2015: 71), yaitu: (1) Technologies are not neutral; dan (2) The internet is revolutionary, but not utopian. Prinsip di atas hendak mengajak orang untuk melihat revolusi teknologi secara wajar. Adanya media baru tidak serta merta mengubah total proses komunikasi dan struktur masyarakat yang telah terbangun. Sebab, pengguna komunikasi virtual masih mempertahankan nilai-nilai yang selama ini dijadikan prinsip dalam komunikasi dunia nyata.
Interaksi yang berubah
Media sosial kini menjadi wadah digital dimana khalayak bisa berinteraksi satu sama lain. Tak jarang, aktivitas interaksi di media sosial juga mendukung kepentingan dan kebutuhan manusia. Di media sosial, realitas sosial terjadi sama halnya di dunia nyata. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat pun muncul dalam bentuk yang sama atau berbeda di media sosial.
Telah banyak penelitian yang mengenai internet yang menyimpulkan bahwa media sosial adalah gambaran yang terjadi di dunia nyata. Kasus-kasus yang sering kita temui di dunia nyata banyak terjadi pula di media sosial bahkan memiliki bentuk yang beragam. Plagiarisme, perundungan, pelecehan, pencemaran nama baik, kejahatan dunia maya dan setumpuk daftar kasus lainnya sering kita dengar mengikuti menjamurnya penggunaan media sosial.
Kita coba ambil salah satu kasus sebagai contoh yaitu perundungan. Media sosial ibarat pedang bermata dua dalam memotret kasus-kasus seperti ini. Di satu sisi, ia bisa memfasilitasi pelaku perundungan dengan menggunakan konten-konten media sosial seperti meme, video, maupun foto tertentu untuk melakukan aksinya menebar kebencian dan menjatuhkan martabat orang lain. Kasus-kasus seperti pelecehan seksual terhadap perempuan pun kerap terjadi di media sosial dengan menggunakan symbol-simbol gambar, verbal maupun guyonan seksis.
Di sisi lain, kelompok lain bisa dengan mudah memberikan respon, kritik, komentar pedas hingga yang berujung ke pelaporan pidana ketika menemui kasus-kasus tersebut. Hal-hal yang diunggah seseorang di media sosial yang mengarah ke konten-konten yang dianggap melecehkan, mencemarkan nama baik, menebar kebencian maupun perbuatan tidak menyenangkan kini dapat dengan mudah dilaporkan karena media sosial mendukung bukti-bukti tersebut. Tak jarang, kepentingan juga bisa dimanipulasi dengan membuat akun palsu dengan harapan bisa terbebas dari jerat hukum. Hal ini kemudian menjadi perdebatan dan kewaspadaan tersendiri bagi pengguna .
Meskipun masih mengusung nilai yang sama atau pun berbeda di media sosial, fitur dan karakter media sosial mempengaruhi rasa-rasa atau anggapan terhadap orang lain. Beberapa media chat memiliki notifikasi khusus dimana pengirim pesan bisa mengetahui apakah pesannya sudah sampai, sudah dibaca atau bahkan tidak mendapat respon sama sekali. Sebagai contohnya, Whatsapp dan BBM, adanya tanda centang pada pesan bisa digunakan melacak hal tersebut. Tak jarang, tanda centang ini membuat pengguna menjadi selalu baper (bawa perasaan) jika pesan yang dikirim tidak dibaca ketika tanda centang satu atau dibaca tapi tidak dibalas ketika tanda centang dua.
Hal ini kemudian membuat pengirim pesan menjadi was-was atau selalu menanti-nanti respon orang lain terhadap pesannya. Bilamana pesan tersebut telah dibaca tetapi tidak dibalas atau lama membalasnya, si pengirim akan cepat menjadi baper dan berpikiran macam-macam. Ketika si penerima membalasnya lama padahal pesan sudah terbaca, si pengirim yang baper bisa bepikiran ‘kemana dia’, ‘ada apa dengan dia’, ‘kok lama banget balasnya’, ‘emangnya pesanku gak penting ya’, dan sebagainya.
Pun kalau pesan yang telah terkirim tetapi tidak dibalas, si pengirim menjadi lebih sensitif berpikiran ‘kenapa pesanku gak dibalas’, ‘apakah ia marah sama aku’, ‘apakah ia tidak menganggap penting pesanku’, ‘yah, cuma di-read doang’, ‘gak sopan banget ini orang’, dan lain sebagainya.
Pikiran-pikiran tersebut adalah wajar muncul dalam sebuah interaksi yang difasilitasi perangkat teknologi. Apalagi media sosial yang kini memfasilitasi mode-mode untuk cepat mengetahui ketersampaian dari pesan kita dan bahkan cepat mempengaruhi perasaan kita jika pesan-pesan tersebut tidak berbalas.
Media Pencitraan
Berbagai macam cara orang membuat konten media sosial mulai dari status, foto, video, meme, dan sebagainya. Hal ini menandakan betapa kreatifnya masyarakat kita. Selain itu, kita juga perlu waspada pada informasi-informasi yang diragukan kebenarannya (hoax) atau informasi yang cenderung menimbulkan kebencian antar pengguna. Di sinilah kemudian dibutuhkan kecermatan dalam memilih dan mengonsumsi informasi di media sosial.
Terlepas dari itu semua, media sosial bisa menjadi ruang-ruang yang sangat ekspresif bagi beberapa orang. Salah satunya dalam hal membangun image atau sebut saja pencitraan diri kepada khalayak internet. Orang berlomba-lomba mengunggah foto, menandai setiap aktivitasnya, dan menyatakan keberadaan di media sosial. Memang, media sosial secara tidak langsung memfasilitasi pengguna untuk mengatakan kepada dunia apa yang sedang ia lakukan dan apa yang sedang ia pikirkan. Media sosial seakan-akan menunjukkan siapa diri kita melalui aktivitas, foto maupun pernyataan-pernyataan yang diunggah.
Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, media sosial menjadi wadah pencitraan diri. Bagi Fitri, ia tidak mempermasalahkan unggahan-unggahan yang ditujukan untuk pencitraan, misalnya tentang pekerjaan, liburan, atau pasangan. Asalkan itu inspiratif dan bisa memotivasi orang lain. Ia berpendapat, kepemilikan media sosial harusnya menjadi sarana untuk hiburan bukan malah membuat tidak nyaman, berselisih atau sampai pecah pertemanan.
“Aku posting hal-hal yang aku suka sih, bukan yang orang lain suka. Kan tidak realistis ya, di Facebook aku berteman dengan ribuan orang dan aku diminta posting yang ribuan temanku itu suka,” kata Fitri. Selain itu, jika Fitri mengetahui salah satu teman dekatnya mengunggah informasi tentang permasalahan pribadi yang tidak seharusnya diumbar ke publik, ia akan langsung mengirim pesan pribadi. “Ya, agar kita saling mengingatkan,” pungkasnya.
Cerita dari peserta lain, ia pernah mendengarkan pengakuan dari salah satu teman bahwa status yang diunggah di media sosial tak lain hanya sebagai cara mencari perhatian dan menunjukkan citra diri yang jauh berbeda dari aslinya. Sebab, dari unggahannya di media sosial public bisa memberikan persepsi bahwa karakter dia di dunia maya berbeda dengan di dunia nyata. Di media sosial, orang tersebut bisa lebih ekspresif dan terbuka dalam mengungkap hal-hal tentang dirinya. Tetapi di dunia nyata ia cenderung menutup diri saat berinteraksi dengan sesamanya.
Ada pula cerita dari komunitas di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Seorang ibu berinisial ERT mengaku sering mengunggah status-status palsu untuk mendapatkan perhatian dari teman. Kadang kala ia merasa kesepian sehingga butuh teman untuk berbicara. Namun karena tidak ada seseorang untuk mengobrol di dekatnya akhirnya dia memilih mengunggah status di media sosial. Ketika status yang diunggah biasa saja, ia tidak akan mendapatkan respon dari teman internetnya. Akhirnya ia mencoba memanipulasi dengan seolah-olah mengunggah informasi bahwa ia sedang ada masalah dalam keluarga. Tujuannya hanya untuk mendapatkan teman mengobrol dan mendapatkan banyak respon dari teman dunia maya, tidak ada maksud lain. Namun karena memanipulasi status itu menyenangkan saat ia sedang kesepian, sehingga hal ini membuat ia ketagihan dan sering melakukan hal yang sama di waktu yang lain.
Seringkali orang beranggapan bahwa realitas yang ditemui di media sosial sudah pasti serupa dengan realitas aslinya. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa proses manipulasi, pencitraan maupun berita palsu mudah sekali dibuat dengan tampak meyakinkan dengan media sosial. Jika masing-masing orang tidak kritis dan selektif, maka ia akan mudah percaya, beranggapan negatif dan menebar informasi yang salah tentang orang tersebut.
Demi Popularitas
Mengikuti sesuatu yang sedang hits atau trending seolah-olah menjadi kebutuhan setiap orang di era media sosial. Media sosial memberikan banyak peluang dan kesempatan bagi orang-orang yang mengejar popularitas demi menjadi hits dan eksis. Gelombang baru telah terjadi di dunia maya berupa kompetisi eksistensi di media sosial dengan alat berupa foto-foto, video, tulisan, maupun konten lainnya.
Ada sebuah anggapan umum yang diperdebatkan bahwa “bad news is good news” (berita buruk adalah berita yang bagus). Di tahun 2016, salah satu berita yang menghebohkan media sosial adalah tentang Awkarin seorang remaja perempuan kekinian yang hobi mengunggah foto-foto maupun video yang bisa dibilang kontroversial. Mulai dari foto-foto vulgar dengan kekasih, video-video yang penuh umpatan, sumpah serapah dan kata-kata kasar hingga video perayaan ulang tahun kekasih yang berakhir dengan putus cinta.
Terlepas dari kontroversi video tersebut, Awkarin telah berhasil mendulang jutaan penonton dan atensi dari media sosial, dan tidak ketinggalan popularitas yang mengikutinya. Ia menjadi semakin tenar dengan diundang mengisi talkshow di berbagai saluran radio terlepas dari kontroversi para orangtua yang khawatir bahwa hal tersebut akan berdampak buruk bagi remaja-remaja lainnya.
Dalam kasus lain, unggahan-unggahan negatif maupun yang berbau ujaran kebencian juga masih didapati oleh pengguna media sosial. Dengan adanya media sosial, hal tersebut menjadi semakin mudah tersebar karena dilihat banyak orang dan bisa jadi disebarkan ke lebih banyak orang yang lain. Perdebatan yang muncul antar warga internet terkait konten-konten negatif tersebut adalah akan mempengaruhi interaksi sosial individu di dunia nyata. Ini juga dikhawatirkan akan berkebalikan dengan ekspektasi sebagian orang bahwa interaksi antar manusia harus dilakukan dengan sopan dan beradab dimana pun itu, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Kekhawatiran ini sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh psikolog dan penulis buku The Big Disconnect: Protecting Childhood and Relationship in Digital Age, Chaterine Steiner-Adair. Sebagaimana diulas oleh Suzan Newman dalam www.psychologytoday.com, Chaterine dalam buku tersebut menjelaskan mengapa interaksi manusia dan hubungan keluarga yang kuat sangat penting untuk perkembangan kesehatan. Dia percaya, anak-anak berhak mendapatkan rasa aman dan perlindungan, dan pengalaman pertama dan paling kuat akan hal tersebut berhubungan dengan orangtua. Anak-anak mempelajari orangtuanya masing-masing, membaca keandalan dan kemampuan orangtua selama bertahun-tahun dalam cara hidup bersama mereka. Satu hal yang ditekankan terkait masalah ini adalah termasuk kebiasaan orangtua dalam penggunaan teknologi. Begitu banyak anak kecil yang menganggap harus bersaing dengan layar gadget untuk mendapatkan perhatian orangtua mereka.
Selain itu, seiring bertambahnya usia, kebiasaan teknologi kita membentuk norma dasar bagi anak-anak. Chaterine juga mengkhawatirkan banyaknya materi kejam dan mempermalukan yang diunggah di media sosial malah menjadi hits dan disukai banyak orang. Seakan-akan semakin negatif konten yang diunggah semakin meningkat pula popularitas orang yang mengunggahnya.
Sementara, perundungan yang tidak terkendali juga bisa berakibat pada pemakluman publik akan kebiasaan-kebiasaan negatif dan penghakiman massa dengan memanfaatkan media sosial. Orang boleh kritis dan tidak setuju akan konten tertentu yang diunggah orang lain, namun tidak berarti hal tersebut digunakan sebagai justifikasi untuk merendahkan dan menghakiminya dengan cara kita sendiri.
Ketergantungan dengan media sosial dapat membuat penggunanya menautkan apapun kebutuhan mereka pada media tersebut. Tidak hanya akses informasi dan eksistensi, bahkan ide dan pendapat akan masalah tertentu bisa jadi mereka mengambil referensi dari media sosial. Meskipun belum tentu, semua informasi tersebut terpercaya dan aman untuk dikonsumsi.
Tanda-tanda Ketergantungan
Sebuah tulisan diterbitkan dalam situs netaddiction.com berjudul “Social Media Addiction” atau Ketergantungan Media Sosial. Tulisan tersebut mengulas bagaimana ketergantungan dengan media sosial telah membuat orang mengabaikan tanggung jawab penting lainnya, komitmen atau bahkan anak-anak mereka untuk lebih focus pada Facebook, dll.
Beberapa tanda-tanda ketergantungan media sosial, mengadaptasi penjelasan yang diulas di artikel tersebut, antara lain:
Pertama, kita cenderung menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan media sosial atau merencanakan cara menggunakannya. Misalnya, orang akan disibukkan menggunakan Facebook atau dituntut untuk berbagi sesuatu di media sosial. Hal ini dapat menyebabkan ‘over-sharing’. Di zaman privasi, ‘over-sharing’ berawal dari mengatakan tentang sesuatu hal terlalu banyak dan kemudian menyesali dampak dari apa yang dikatakan. Mereka yang menderita kecanduan tidak selalu menilai apa yang pantas atau tidak patut diposkan karena keasyikan mereka dengan memeriksa dan merespons, yang mengarah pada keterlibatan konstan dalam aktivitas tersebut.
Kedua, kita merasakan bahwa dorongan untuk menggunakan media sosial selalu muncul dan intensitasnya meningkat. Ini berarti, kita akan terdorong dan selalu penasaran untuk memeriksa pembaruan pada berita atau tanggapan terhadap posting kita setiap kali ada kesempatan atau jika sedang tidak melakukan apa-apa. Dengan kata lain, pilihan untuk melakukan aktivitas bebas sangat dipengaruhi oleh media sosial. Contohnya, ketika kita sedang bekerja dengan komputer kita, ada kecenderungan untuk membiarkan halaman Facebook terbuka di mesin penelusur web (web browser). Mungkin saja kita bisa beralih antara tugas kerja atau ke halaman Facebook setiap beberapa menit. Tidak terkecuali juga ketika kita tengah berada di luar menikmati pertemuan, makan malam atau hanya sekedar nongkrong bersama seorang teman, kita masuk atau menengok ke aplikasi Facebook di ponsel cerdas kita sesekali di saat-saat tidak ada interaksi. Atau memposting foto selfie kita bersamanya dan asyik merespon setiap komentar di foto tersebut dan mengabaikan keberadaan orang yang nyata-nyata ada di depan kita.
Ketiga, jika kita termasuk kelompok orang yang menggunakan media sosial untuk melupakan masalah pribadi, maka kita akan menjadi sangat tergantung terhadapnya. Salah satu aspek kecanduan adalah kemampuan untuk menggunakan perilaku sebagai pelarian psikologis dari masalah. Seseorang mungkin memiliki masalah pekerjaan atau hubungan dan kecanduan menjadi cara mudah untuk sementara menenangkan stres yang mendasarinya yang disebabkan oleh masalah tersebut. Saat menggunakan media sosial sebagai kecanduan, pengguna terganggu dalam hal apa pun yang sedang dia lakukan dan merasa sulit hadir sepenuhnya saat ini. Bagi pecandu, mereka mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas sederhana atau mungkin beberapa teman mereka mungkin mengeluh bahwa mereka tidak cukup memperhatikan apa yang mereka katakan. Penggunaan media sosial kemudian menjadi gangguan dari masalah karena perhatian seseorang selalu dialihkan dengan penggunaannya.
Keempat, kita menjadi gelisah atau bermasalah jika dilarang menggunakan media sosial. Setiap kecanduan akan diikuti oleh unsur penarikan seperti misalnya penarikan obat-obatan terlarang dan alcohol. Terkait dengan kecanduan media sosial seperti Facebook, kita mungkin mulai merasa cemas jika tidak bisa mengakses jaringan atau akun tersebut. Seperti terasa dipenjara, orang yang kecanduan Facebook seolah merasakan gelisah atau ada yang kurang jika ia pergi tanpa bisa mengakses akun tersebut.
Kelima, jika penggunaan media sosial sedemikian rupa sehingga memberikan dampak negatif pada hubungan kita, maka kita perlu waspada. Media sosial secara gradual akan mengubah pola interaksi dan bentuk hubungan kita. Ketika terbiasa berkomunikasi di Facebook melalui pesan, berbagi foto dan posting, berkomentar dan 'menyukai' orang lain, mungkin akan sampai pada suatu titik ketika kita akan merasa nyaman dan memilih bersosialisasi secara online daripada offline. Pengguna akan menjadi sangat bergantung pada Facebook untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka dan mungkin akan mulai mengorbankan waktu yang dihabiskan untuk bertemu dengan teman-teman nyata dan untuk berinteraksi dengan keluarga. Perilaku menjadi tidak sehat sehingga pengguna akan merasa tidak nyaman atau takut dengan komunikasi tatap muka, yang merupakan pengalaman yang jauh lebih kaya daripada berkomunikasi secara online dimana orang tidak dapat benar-benar melihat komunikasi non verbal seperti dalam bahasa tubuh, gerak tubuh, dan nada suara.
Mengalahkan Ketergantungan
Kecanduan media sosial itu nyata dan tidak terhindarkan. Bahkan, ketergantungan yang berlebihan dapat merusak karir dan hubungan, bahkan menurunkan kualitas hidup. Tanpa sadar, pengguna hanya dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh situs sosial dan pencipta konten yang membuang banyak waktu dengan cara yang menguntungkan mereka, bukan kita. Solusi terbaik yang ditawarkan oleh beberapa pengamat sosial media adalah mengunjungi situs jejaring sosial satu kali sehari. Jadwalkan kunjungan online tersebut dan perhatikan berapa banyak waktu yang kita habiskan di sana.
Jika berhasil, hal ini akan membantu kita untuk mengalahkan kecanduan tanpa melakukan pemboikotan. Namun, jika kita tidak bisa mengatasi masalah kecanduan, kita bisa menghubungi Pusat Ketergantungan Internet untuk terapi kelompok maupun untuk terapi lainnya. Ingat, media sosial akan menjadi pedang bermata dua jika pengguna tidak bijak menggunakannya. []
Referensi
Nasrullah, Rulli. 2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Elgan, Mike. Social Media Addiction is the Bigger Problem than You Think, 14 Desember 2015, http://www.computerworld.com/article/3014439/internet/social-media-addiction-is-a-bigger-problem-than-you-think.html
Newman, Suzan. The Big Disconnect: Parent’s Digital Dilemma, 13 August 2013, https://www.psychologytoday.com/blog/singletons/201308/the-big-disconnect-parents-digital-dilemma
Social Media Addiction, http://netaddiction.com/ebay-addiction/
Steiner-Adair, Catherine, and Teresa Barker. 2013. The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationships in the Digital Age. New York: Harper, http://www.amazon.com/The-Big-Disconnect-Protecting-Relationships/dp/0062082426 (link is external)
---------------------------
Defirentia One adalah program development officer di Rifka Annisa
Artikel ini pernah diterbitkan di Rifka Media No.65 edisi Mei-Juli 2016 "Dua Wajah Media Sosial'